73
Pemegang Deposito
Perusahaan Finansial
Lainnya Pemerintah
Perusahaan Non-
finansial Sektor
Domestik Lainnya
2005 0.94
2.66 1.01
48.91 45.92
0.55 100.00
2006 1.24
2.29 0.90
49.19 45.95
0.43 100.00
2007 1.81
2.26 1.03
49.60 44.70
0.60 100.00
2008 1.21
2.85 0.76
50.56 44.08
0.54 100.00
2009 1.52
3.02 0.81
46.87 47.37
0.41 100.00
2010 1.37
4.40 0.74
43.46 49.61
0.42 100.00
2011 1.23
4.76 0.72
42.26 50.62
0.41 100.00
Penduduk Bukan
Penduduk
Total Tahun
Inflasi memiliki koefisien positif dan signifikan secara statistik, namun koefisiennya sangat kecil bila dibandingkan dengan perubahan BI rate ataupun
laju pertumbuhan ekonomi. Tidak ada konsensus yang jelas mengenai bagaimana inflasi memengaruhi permintaan kredit yang berdampak pada pergeseran
pertumbuhan kredit bank. Banyaknya perusahaan dan rumah tangga di Indonesia yang bersifat bank-dependent mengindikasikan bahwa inflasi tidak menurunkan
permintaan kredit sehingga inflasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap perubahan pertumbuhan kredit bank. Bank-dependent dapat dilihat dari data
mengenai pentingnya kredit bank bagi sektor domestik.
Sumber : Financial Soundness Indicators FSI, diolah
Di tahun 2011, lebih dari 92 kredit bank disalurkan ke perusahaan non- finansial dan sektor domestik. Survei World Bank menyebutkan bahwa di
Indonesia pada tahun 2010, per 1000 orang dewasa terdapat lebih dari 200 orang yang meminjam ke bank. Banyaknya peminjam yang bergantung pada kredit bank
sebagai sumber pembiayaan bank-dependent akan terus menjadikan bank sebagai lembaga intermediasi yang berpengaruh kuat dalam sistem finansial
Indonesia dan membuat inflasi tidak berpengaruh besar dalam pergeseran permintaan kredit.
Tabel 16 Persentase kredit bank yang disalurkan menurut kategori penduduk dan bukan penduduk tahun 2005 - 2011
2. Pengaruh variabel karakteristik bank terhadap perubahan pertumbuhan kredit bank
Ketika Bank Indonesia mengumumkan BI rate tidak berubah, ukuran aset tidak signifikan memengaruhi perubahan pertumbuhan kredit bank atau dengan
kata lain perubahan pertumbuhan kredit bank tidak tergantung langsung pada ukuran aset yang dimiliki oleh bank, sedangkan likuiditas adalah karakteristik
yang signifikan memengaruhi perubahan pertumbuhan kredit bank. Bank yang memiliki derajat likuiditas tinggi mampu memacu pertumbuhan kreditnya.
Likuiditas dalam studi ini merupakan likuiditas yang berbeda dari aset likuid yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam beberapa publikasinya karena likuiditas
yang digunakan dalam studi ini merupakan likuiditas tertimbang dengan ukuran aset bank dan rata-rata likuiditas seluruh bank serta komponen penyusunnya tidak
hanya memperhitungkan penempatan SBI dan Surat Utang Negara SUN tetapi juga memperhitungkan surat berharga, kas, dan penempatan pada bank lain.
Gambar 16 Aktifitas penempatan dana di SBI berdasarkan jenis bank tahun
2005-2011 Pada tahun 2008, bank yang memiliki derajat likuiditas sangat tinggi
diantaranya adalah beberapa BPD. Hal tersebut sesuai dengan data yang menunjukkan bahwa penempatan dana BPD di instrumen SBI sebelum tahun
2008 cukup tinggi, namun setelah kinerjanya banyak dikritik akibat dana tidak produktif maka secara pasti penempatan dana BPD di instrumen SBI terus
0.00 10.00
20.00 30.00
40.00 50.00
60.00
2005 2006
2007 2008
2009 2010
2011
Persero BUSN Devisa
BUSN Non Devisa BPD
Campuran Asing
75
berkurang Gambar 16. Ketidakpastian perekonomian dan risiko kredit merupakan pertimbangan yang digunakan oleh bank-bank untuk memegang
likuiditas yang tinggi. Bank-bank besar seperti Bank Mandiri, Bank BCA, dan bank lainnya memegang nominal aset likuid yang tinggi, namun jika di ukur
dengan ukuran aset sebagai penimbangnya maka derajat likuiditas bank-bank besar tersebut berada pada tingkat rata-rata atau tidak terlalu rendah dan tidak
terlalu tinggi. Tabel 17
Daftar bank menurut derajat likuiditas sangat rendah dan derajat likuiditas sangat tinggi
Koefisien negatif dari ukuran aset dan kapital mengindikasikan bahwa ketika BI rate tidak berubah, semakin besar ukuran aset dan kapital maka semakin
rendah perubahan pertumbuhan kredit bank. Bank-bank besar memiliki nilai kredit yang besar sehingga pertumbuhan kreditnya tidak sebesar bank-bank kecil.
Selain itu, kapital yang besar umumnya dimiliki oleh bank-bank berukuran besar, sehingga arah dari pengaruh kapital akan sejalan dengan arah dari pengaruh
ukuran aset terhadap perubahan pertumbuhan kredit bank. Koefisien CAR yang bernilai negatif menyatakan bahwa semakin kecil CAR suatu bank maka semakin
besar perubahan pertumbuhan kredit bank tersebut. CAR yang rendah
Sangat Rendah Sangat Tinggi
Sangat Rendah Sangat Tinggi
Sangat Rendah Sangat Tinggi
ARTHA GRAHA ROYAL
LIMAN INTERNASIONAL BANK ROYAL CIMB NIAGA
MITRANIAGA MAYAPADA
BPD ACEH PUNDI
BPD ACEH DANAMON
ROYAL MESTIKA DHARMA
BPD KALTIM RESONA PERDANIA
BPD JATIM HANA
BPD LAMPUNG ANDARA
BPD RIAU KEPRI BPD KALSEL
HIMPUNAN SAUDARA BPD PAPUA
ARTOS INDONESIA COMMONWEALTH
BPD KALTENG INDEX SELINDO
BPD SULTENG ANGLOMAS INTERNASIONAL BANK
BPD KALTIM UOB INDONESIA
BNP PARIBAS CENTRATAMA NASIONAL BANK
BPD MALUKU BTN
CITIBANK N.A. INA PERDANA
BPD PAPUA KESEJAHTERAAN EKONOMI
FAMA INTERNASIONAL BPD RIAU KEPRI
PRIMA MASTER BANK MULTI ARTA SENTOSA
BANK SUMSEL BABEL BPD BALI KESEJAHTERAAN EKONOMI
DBS INDONESIA PUNDI
RESONA PERDANIA PRIMA MASTER BANK
SUMITOMO MITSUI INDONESIA SINAR HARAPAN BALI
SAHABAT SAMPOERNA BNP PARIBAS
CHINA TRUST INDONESIA RESONA PERDANIA
Keterangan : Likuiditas sangat rendah = di bawah persentile ke-10
Likuiditas sangat tinggi = di atas persentile ke-90
Desember 2005 Maret 2008
Desember 2011
menunjukkan bahwa bank aktif dalam menyalurkan kredit namun bisa juga berarti Aktiva Tertimbang Menurut Risiko ATMR bank tersebut besar.
Fokus model dalam penelitian ini terletak pada variabel interaksi. Interaksi antara karakteristik bank yaitu ukuran aset, likuiditas, kapital dan CAR dengan
perubahan BI rate menggambarkan perbedaan respon bank yang memiliki karakteristik yang tidak sama dalam menghadapi perubahan BI rate. Interaksi
antara ukuran aset dengan perubahan BI rate berpengaruh positif terhadap perubahan pertumbuhan kredit bank. Ketika BI rate naik, maka bank yang
memiliki ukuran aset yang semakin tinggi masih mengalami perubahan pertumbuhan kredit yang lebih besar dari bank yang memiliki ukuran aset lebih
kecil. Dampak yang dirasakan oleh bank yang ukuran asetnya semakin kecil adalah lebih besar bila dibandingkan dengan bank yang ukuran asetnya semakin
besar. Alasan yang mendasari perilaku tersebut sesuai dengan konsensus bahwa
pada masa kebijakan moneter kontraktif, bank kecil menghadapi masalah informasi asimetris yang menyebabkan sulitnya mencari dana non-deposito untuk
meng-offset penurunan deposito dan tabungan masyarakat yang berpengaruh pada menurunnya reserves bank. Menurunnya reserves bank mengharuskan bank kecil
merubah perilaku dalam memberikan kredit yaitu dengan mengurangi pemberian kreditnya. Bank-bank kecil menerapkan tingkat suku bunga yang lebih tinggi
untuk menarik dana masyarakat deposito sehingga struktur biaya dana bank- bank kecil tersebut lebih tinggi dibandingkan bank-bank besar.
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan LPS, di tahun 2011 bank-bank sangat kecil dan
bank kecil masih memberikan bunga simpanan di atas bunga penjaminan LPS yang sebesar 5.5. Bank dengan total aset di bawah satu triliun rupiah
memberikan bunga simpanan 7.81, sedangkan bank kecil dengan total aset 1-10 triliun rupiah memberikan bunga simpanan 6.15
. Hal tersebut menjadikan bank- bank kecil merespon lebih kuat terhadap kebijakan moneter ketat karena biaya
yang dikeluarkan untuk menarik dana masyarakat tinggi. Interaksi karakteristik likuiditas dengan perubahan BI rate mendukung
kesimpulan dari interaksi ukuran aset dengan perubahan BI rate. Bank-bank dengan ukuran aset yang semakin kecil cenderung memiliki derajat likuiditas
77
yang lebih tinggi. Pengaruh interaksi karakteristik likuiditas dengan perubahan BI rate adalah negatif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi derajat likuiditas
bank maka lebih sensitif bank tersebut terhadap perubahan BI rate sehingga perubahan pertumbuhan kreditnya lebih rendah bila dibandingkan dengan bank-
bank yang derajat likuiditasnya semakin rendah. Hasil tersebut berbeda dengan banyak penelitian yang menunjukkan bahwa interaksi likuiditas dengan BI rate
memiliki koefisien positif seperti dalam Ehrmann et al. 2002, Juks 2004 dan Juurikkala et al. 2011. Juks 2004 menyebutkan bahwa karakteristik likuiditas
bisa merupakan variabel yang endogen yaitu bank-bank yang kesulitan untuk menggantikan deposito yang berkurang akibat kebijakan moneter kontraktif
dengan bentuk lain dari pendanaan akan mungkin memegang jumlah saham yang sangat besar. Dari sampel diketahui bahwa bank-bank yang memiliki derajat
likuiditas sangat tinggi di bulan Desember 2011 yaitu Bank Mitraniaga, Bank Royal, BPD Lampung, BPD Papua, BPD Sulteng, BNP Paribas dan Citibank.
Selain itu, komponen likuiditas yang salah satunya adalah kepemilikan SBI mungkin menjadi salah satu alasan kenapa bank dengan derajat likuiditas yang
semakin tinggi justru lebih responsif daripada bank dengan derajat likuiditas yang semakin rendah. Gambar 17 menunjukkan bahwa suku bunga SBI 1 bulan
bergerak lebih tinggi dari suku bunga BI rate di beberapa periode.
Gambar 17 Pergerakan BI rate dan SBI 1 bulan triwulanan tahun 2005-2010 Bank-bank dengan derajat likuiditas yang tinggi memang memiliki pilihan
untuk mempertahankan perilaku kreditnya dengan mencairkan asetnya yang bersifat likuid ketika terjadi penurunan reserves akibat perubahan BI rate, namun
0.00 2.00
4.00 6.00
8.00 10.00
12.00 14.00
S ep
-0 5
De c-
5 M
ar -0
6 Ju
n -0
6 S
ep -0
6 De
c- 6
M ar
-0 7
Ju n
-0 7
S ep
-0 7
De c-
7 M
ar -0
8 Ju
n -0
8 S
ep -0
8 De
c- 8
M ar
-0 9
Ju n
-0 9
S ep
-0 9
De c-
9 M
ar -1
Ju n
-1 BI rate
SBI 1 bulan