Kajian Pustaka

2.1.1.5 Hakikat dan Tujuan IPS SD

Menurut Susanto (2013:143) pendidikan IPS di sekolah dasar merupakan bidang studi yang mempelajari manusia dalam semua aspek kehidupan dan interaksinya dalam masyarakat. Sedangkan pengertian IPS di SD menurut Ahmadi (2011:10) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di SD yang meng- kaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Memuat materi geografi, sejarah, sosiologi, dan ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, anak diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.

Peneliti mengelaborasi pendapat Susanto (2013:143), dan Ahmadi (2011:10) bahwa IPS SD adalah salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar yang mengkaji semua aspek kehidupan, yang berkaitan dengan peristiwa, fakta, konsep dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial dalam masyarakat.

Tujuan utama pembelajaran IPS menurut Susanto (2013:145) adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ke- timpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Pendidikan IPS mengembangkan tiga ranah pembelajaran yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Adapula tujuan dan batasan pembelajaran IPS dalam kaitannya dengan KTSP, sebagai berikut.

1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

2. Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial.

3. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan ke- manusiaan.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.

Tujuan IPS di tingkat sekolah (Sapriya, 2015:12) pada dasarnya untuk mem- persiapkan para peserta didik sebagai warga negara yang menguasai pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dapat digunakan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah pribadi atau masalah sosial serta kemampuan mengambil keputusan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan agar menjadi warga negara yang baik.

Peneliti mengelaborasi pendapat Susanto (2013:145), dan Sapriya (2015:12) bahwa IPS SD adalah salah satu mata pelajaran di sekolah dasar yang bertujuan untuk mengembangkan potensi pengetahuan, nilai, keterampilan, dan sikap siswa agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki ke- mampuan berkomunikasi, bekerjasama, berkompetisi, dan sikap mental positif, terhadap perbaikan dengan segala ketimpangan yang terjadi, sehingga siswa telah siap dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.

2.1.1.6 Batasan Materi IPS SD

Menurut Taneo (2010:1-40) batasan materi IPS sebagai pengetahuan, adalah kehidupan manusia di masyarakat atau manusia dalam konteks sosial. Berdasarkan aspeknya, batasan materi IPS meliputi hubungan sosial, ekonomi, psikologi sosial, budaya, sejarah, geografi, dan aspek politik, dan batasan kelompoknya, meliputi keluarga, rukun tetangga, rukun kampung, warga desa, organisasi masyarakat, sampai ke tingkat bangsa. Ditinjau dari ruangnya, meliputi tingkat lokal, regional sampai tingkat global. Sedangkan dari proses interaksi sosialnya, meliputi interaksi dalam bidang kebudayaan, politik, dan ekonomi.

Menurut Susanto (2013:160) batasan materi IPS di sekolah dasar memiliki karakteristik, sebagai berikut.

1. Ilmu pengetahuan sosial merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum, dan politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan, dan agama.

2. Standar kompetensi dan kompetensi dasar IPS berasal dari struktur keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi, yang dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau topik atau tema tertentu.

3. Standar kompetensi dan kompetensi dasar IPS juga menyangkut berbagai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner (pendekat- an dengan menggunakan tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang relevan secara terpadu) dan multidisipliner (pendekatan dengan meng- gunakan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan).

4. Standar kompetensi dan kompetensi dasar dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi, dan pengolahan lingkungan, struktur, proses, dan masalah sosial serta upaya-upaya perjuangan hidup agar mampu bertahan seperti pemenuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan, dan jaminan keamanan.

5. Standar kompetensi dan kompetensi dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan manusia secara keseluruhan. Dimensi tersebut meliputi alam sebagai tempat penyedia potensi sumber daya yang berhubungan dengan mata pelajaran geografi, waktu yang selalu berproses yang berhubungan dengan mata pelajaran sejarah, dan norma berupa aturan yang menjadi perekat keharmonisan kehidupan manusia dan alam yang berhubungan dengan mata pelajaran ekonomi, maupun sosiologi.

Peneliti mengelaborasi pendapat Taneo (2010:1-40), dan Susanto (2013:160) bahwa batasan materi IPS SD berupa kehidupan manusia di

masyarakat dalam konteks sosial, yang terdiri dari gabungan unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum, dan politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan, dan agama. Sedangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar IPS berasal dari struktur keilmuan geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi, yang dikemas menjadi pokok bahasan tertentu yang menyangkut berbagai masalah sosial berupa peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewilayahan, adaptasi, dan pengolahan lingkungan, yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner (pendekatan dalam pemecah- an suatu masalah dengan tinjauan berbagai sudut pandang ilmu serumpun yang berkaitan) dan multidisipliner (pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang berkaitan), dengan tiga dimensi meliputi alam sebagai tempat penyedia potensi sumber daya yang ber- hubungan dengan mata pelajaran geografi, waktu yang selalu berproses yang ber- hubungan dengan mata pelajaran sejarah, dan norma berupa aturan yang menjadi perekat keharmonisan kehidupan manusia dan alam yang berhubungan dengan mata pelajaran ekonomi, maupun sosiologi.

2.1.1.7 Karakteristik IPS SD

Menurut Hidayati (2008:1-26) bidang studi IPS merupakan gabungan ilmu-ilmu sosial yang terpadu. Terpadu yang dimaksud adalah materi IPS diambil dari ilmu-ilmu sosial yang dipadukan dan tidak terpisah-pisah dalam kesatuan disiplin ilmu. Sehingga IPS memiliki ciri khusus atau karakteristik tersendiri. Berikut karakteristik IPS yang dilihat dari materi dan strategi penyampainnya, sebagai berikut.

1. Materi IPS Materi IPS digali dari segala aspek kehidupan praktis sehari-hari di masyarakat. Pengetahuan konsep, teori-teori IPS yang didapat anak melalui teori IPS saat di dalam kelas dapat diuji cobakan didalam kelas selanjutnya di- terapkan dalam kehidupan kesehariannya di masyarakat. Berikut ini terdapat 5 macam sumber materi IPS antara lain:

a. Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah, desa, kecamatan, negara bahkan dunia dengan berbagai masalah yang ada di dalamnya.

b. Kegiatan manusia misalnya: komunikasi, transportasi, produksi, keagamaan, pendidikan, mata pencaharian.

c. Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi dan yang terdapat sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh.

d. Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang di- mulai dari sejarah lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh- tokoh dan kejadian-kejadian yang besar.

e. Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, makanan, pakaian, permainan, keluarga.

2. Strategi Penyampaian IPS Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagian besar didasarkan pada suatu tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat, tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum didasarkan 2. Strategi Penyampaian IPS Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagian besar didasarkan pada suatu tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat, tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum didasarkan

Peneliti mengelaborasi pendapat Hidayati (2008:1-26) bahwa bidang studi IPS memiliki ciri khusus atau karakteristik IPS yang dilihat dari: (1) materi berupa, (a) segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak; (b) kegiatan manusia misalnya, komunikasi, transportasi, produksi, keagamaan, pen- didikan, mata pencaharian; (c) lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang terjauh; (d) kehidupan masa lampau; (e) anak sebagai sumber materi meliputi ber- bagai segi, makanan, pakaian, permainan, keluarga; dan (2) strategi penyampaian pengajaran IPS didasarkan pada suatu tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan, anak (diri sendiri), keluarga, masyarakat/ tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum berdasarkan pemikiran dari lingkungan terdekat anak kemudian menuju yang terjauh.

2.1.1.8 Kurikulum IPS SD

Menurut Mulyasa (2009:21) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah suatu ide tentang pengembangan kurikulum yang diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran, yakni sekolah dan satuan pendidikan.

Mulyasa (2009:50) berpendapat bahwa, struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan Mulyasa (2009:50) berpendapat bahwa, struktur kurikulum SD/MI meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan

a. Kurikulum SD memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri. Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak dapat dikelompokkan ke dalam mata pelajaran yang ada. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan. Pengembangan diri pada kurikulum SD bukan mata pelajaran yang harus diasuh guru, melainkan bertujuan untuk meningkatkan bakat dan minat sesuai kebutuhan individual;

b. S ubstansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/ MI merupakan “IPA Terpadu” dan “IPS Terpadu.” ;

c. Pembelajaran pada kelas I sampai dengan III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada kelas IV sampai dengan VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran;

d. Jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sesuai yang tertera dalam struktur kurikulum;

e. Alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 35 menit; dan

f. Minggu efektif dalam satu tahun pembelajaran (dua semester) adalah 34-38 minggu.

Berikut ini disajikan tabel Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS SD Semester II:

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS SD Semester II

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

2. Menghargai peran tokoh

2.1 Mendeskripsikan perjuangan para tokoh pejuang dan masyarakat

pejuang pada masa penjajahan Belanda dalam mempersiapkan dan

dan Jepang

mempertahankan

2.2 Menghargai jasa dan peran tokoh kemerdekaan Indonesia

perjuangan dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia

2.3 Menghargai jasa dan peran tokoh dalam memproklamasikan kemerdekaan

2.4 Menghargai perjuangan para tokoh dalam mempertahankan kemerdekaan

2.1.1.9 Evaluasi Pembelajaran IPS SD

Menurut Slameto (2001:6) evaluasi adalah suatu kegiatan yang direncana- kan dengan cermat untuk mengetahui sejauh mana perubahan itu telah terjadi melalui kegiatan belajar mengajar. Jadi evaluasi digunakan untuk mengukur pe- rubahan yang diinginkan oleh suatu program pengajaran, yakni perubahan melalui peningkatan akademik, kognitif, sosial, emosional, maupun kemampuan motorik (gerak). Evaluasi dilakukan dengan cara pengumpulan bukti sebagai dasar pe- nilaian, selanjutnya bukti tersebut diukur dan dideskripsikan. Evaluasi tahap akhir dilakukan melalui suatu pengambilan keputusan dari hasil pengukuran. Keputusan tersebut ialah: lulus-tidak lulus; berhasil-gagal; atau baik-tidak baik; dan sebagai- nya.

Menurut Sudjana (2009:3) penilaian adalah proses memberikan atau me- nentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Penilaian Menurut Sudjana (2009:3) penilaian adalah proses memberikan atau me- nentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu. Penilaian

Evaluasi menurut Uno (2014:3) adalah proses pemberian makna atau ke- tetapan kualitas hasil pengukuran dengan cara membandingkan angka hasil pe- ngukuran dengan kriteria tertentu. Kriteria sebagai pembanding dari proses pe- ngukuran dapat ditetapkan sesudah pelaksanaan pengukuran. Kriteria dapat berupa kemampuan rata-rata unjuk kerja kelompok dan patokan lain berupa batas kriteria minimal yang telah ditetapkan sebelum pengukuran dan bersifat mutlak.

Peneliti mengelaborasi pendapat Slameto (2001:6), Sudjana (2009:3), dan Uno (2014:3) bahwa evaluasi atau penilaian hasil belajar IPS SD adalah kegiatan yang direncanakan dengan cermat untuk mengukur perubahan yang diinginkan dengan cara membandingkan angka hasil pengukuran dengan kriteria tertentu yang dapat ditetapkan sesudah pelaksanaan pengukuran oleh suatu program peng- ajaran IPS SD. Perubahan dilihat melalui peningkatan akademik, kognitif, sosial, emosional, tingkah laku, maupun kemampuan motorik (gerak). Evaluasi tahap akhir dilakukan melalui suatu pengambilan keputusan dari hasil pengukuran. Keputusan tersebut ialah: lulus-tidak lulus; berhasil-gagal; atau baik-tidak baik; dan sebagainya.

2.1.1.10 Pengukuran Hasil Belajar IPS

Tes yang bersifat objektif maupun berbentuk subjektif dapat digunakan untuk mengukur hasil belajar IPS. Menurut Widoyoko (2017:57) tes dibedakan menjadi dua bentuk yaitu tes objektif dan tes subjektif. Tes objektif adalah bentuk tes yang mengandung kemungkinan jawaban atau respon yang harus dipilih oleh peserta tes. Siapa saja yang memeriksa lembar jawaban tes akan menghasilkan skor yang sama. Sedangkan tes subjektif pada umumnya berbentuk uraian, tes bentuk uraian adalah butir soal yang mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara meng- ekspresikan pikiran peserta tes dan seringkali penskorannya selain dipengaruhi oleh jawaban maupun respons peserta tes juga dipengaruhi oleh subjektivitas korektor. Lain halnya, Slameto (2001:33) berpendapat bahwa pengertian bentuk tes uraian atau esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban peserta didik dalam bentuk uraian dengan mempergunakan bahasa sendiri. Ciri- ciri pertanyaan pada tes subjektif dengan kata-kata uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana, bandingkan, simpulkan, dan sebagainya. Macam-macam tes objektif antara lain tes benar-salah, tes pilihan ganda, menjodohkan dan melengkapi jawaban. Pengertian lain dari Slameto (2001:40) mengungkapkan bentuk tes objektif menuntut peserta didik untuk memilih beberapa kemungkinan jawaban yang telah tersedia dan atau memberikan jawaban singkat atau mengisi titik-titik ditempat yang tersedia.

Penilaian pembelajaran IPS SD yang digunakan dalam penelitian ini adalah penilain tes objektif dengan menggunakan kurikulum tingkat satuan pen- Penilaian pembelajaran IPS SD yang digunakan dalam penelitian ini adalah penilain tes objektif dengan menggunakan kurikulum tingkat satuan pen-

2.1.2 Pola Komunikasi Orangtua

2.1.2.1 Hakikat Pola Komunikasi Orangtua

Pengertian pola menurut Djamarah (2017:1), pola adalah model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Pola pada dasarnya merupakan bentuk atau model.

Menurut Widjaja (2000:15) komunikasi adalah penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Komunikasi akan berhasil jika timbul saling pengertian atau saling memahami kedua belah pihak, yaitu antara pengirim pesan dan penerima pesan. Sejalan dengan pendapat Djamarah (2017:1) bahwa komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Lain halnya dengan pendapat Everett M. Rogers (dalam Mulyana, 2010:69) yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses dimana suatu ide di- alihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.

Peneliti mengelaborasi pendapat Widjaja (2000:15), Djamarah (2017:1), dan Everett M. Rogers (dalam Mulyana, 2010:69) bahwa komunikasi adalah pe- nyampaian informasi dari sumber (pengirim pesan), kepada penerima pesan dengan cara yang tepat yaitu saling pengertian dan saling memahami sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Pola komunikasi menurut Djamarah (2017:2) dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Sejalan dengan pendapat Gibson (dalam Brahmasari, 2008:245) bahwa pola komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dan pengertian dengan menggunakan tanda-tanda yang sama. Sedangkan pola komunikasi menurut Azeharie (2015:214) adalah bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat di- pahami.

Peneliti mengelaborasi pendapat Djamarah (2017:2), Gibson (dalam Brahmasari, 2008:245), dan Azeharie (2015:214) bahwa pola komunikasi orangtua menurut peneliti adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pendidikan di rumah dan di sekolah melalui kegiatan pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami lawan bicara dalam suatu komunikasi, berupa timbal balik antara orangtua dengan siswa, siswa dengan orangtua, siswa dengan guru, dan orangtua dengan guru. Kegiatan pola komunikasi dalam skripsi ini dibatasi pada pola komunikasi orangtua dengan siswa di rumah, dan siswa dengan guru di sekolah Peneliti mengelaborasi pendapat Djamarah (2017:2), Gibson (dalam Brahmasari, 2008:245), dan Azeharie (2015:214) bahwa pola komunikasi orangtua menurut peneliti adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam proses pendidikan di rumah dan di sekolah melalui kegiatan pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami lawan bicara dalam suatu komunikasi, berupa timbal balik antara orangtua dengan siswa, siswa dengan orangtua, siswa dengan guru, dan orangtua dengan guru. Kegiatan pola komunikasi dalam skripsi ini dibatasi pada pola komunikasi orangtua dengan siswa di rumah, dan siswa dengan guru di sekolah

Menurut Moekijat (1993:143) komunikasi dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu komunikasi satu arah dan komunikasi dua arah. Komunikasi satu arah meniadakan fasilitas untuk mencari penjelasan, pembenaran, dan sebagainya. Komunikasi satu arah hanya menjamin penyampaian pesan. Contohnya perintah dalam suatu kelompok. Sedangkan komunikasi dua arah adalah komunikasi yang mempunyai sistem umpan balik yang melekat. Komunikasi ini menjamin bahwa informasi, penjelasan, dan lainnya dapat diberikan lebih lanjut. Contohnya dalam kegiatan seminar. Menurut Puspitaningtyas (2016:939) komunikasi satu arah terjadi saat guru memberikan informasi kepada orangtua siswa tentang suatu peristiwa, kegiatan, serta kemajuan yang dicapai anak melalui berbagai sumber seperti rapor, maupun buku penghubung. Sedangkan komunikasi dua arah yaitu apabila terjadi dialog interaktif antara guru dan orangtua. Contohnya: percakapan melalui telepon, kunjungan guru kerumah, pertemuan orangtua dan guru, serta aktivitas sekolah yang mengharuskan kehadiran orangtua lainnya. Komunikasi tersebut akan menumbuhkan kepercayaan dan penghargaan di antara keduanya.

Menurut Gunawan (2017:5) komunikasi multi arah ditunjukkan dengan munculnya umpan balik dari penerima pesan. Siswa juga aktif melakukan Menurut Gunawan (2017:5) komunikasi multi arah ditunjukkan dengan munculnya umpan balik dari penerima pesan. Siswa juga aktif melakukan

Peneliti mengelaborasi pendapat Gunawan (2017:5) dan Mahturohmah (2013:2) mengenai komunikasi multi arah didalam kelas, yaitu komunikasi yang berhubungan dengan pola komunikasi orangtua, sehingga komunikasi multiarah ditunjukkan dengan munculnya umpan balik dari penerima pesan. Komunikasi tidak hanya melibatkan interaksi dinamis antara guru dengan siswa, tetapi juga melibatkan interaksi dinamis antara siswa dengan orangtua. Interaksi tersebut dapat terjadi melalui suatu pesan yang disampaikan oleh guru kepada siswa, dan siswa menyampaikan kepada orangtua. Sedangkan pesan tersebut berisi keharusan orangtua untuk bertemu dengan guru, maka disitulah timbul suatu rantai komunikasi multi arah dalam lingkup komunikasi orangtua.

2.1.2.2 Unsur Komunikasi Orangtua

Mulyana (2010:69) menyatakan bahwa unsur komunikasi yang bergantung satu sama lain yaitu sumber yang berperan sebagai pihak yang berinisiatif atau mempunyai kebutuhan untuk berkomunikasi, pesan yang dikomunikasikan oleh penerima berupa seperangkat simbol verbal atau non verbal yang mewakili gagasan atau perasaan, media berupa alat yang digunakan sumber untuk me- nyampaikan pesannya kepada penerima, penerima, dan efek apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut.

Unsur-unsur komunikasi menurut Widjaja (2000:30) yaitu sebagai berikut.

1. Sumber Sumber adalah dasar yang digunakan dalam penyampaian pesan dan digunakan untuk memperkuat pesan itu sendiri. Sumber komunikasi dapat berupa orang, lembaga, buku, dan dokumen atau sejenisnya.

2. Komunikator Komunikator adalah setiap orang ataupun kelompok yang me- nyampaikan pesan-pesan komunikasi sebagai suatu proses. Sebuah komunikasi, seseorang tersebut dapat menjadi komunikator atau komunikan, dan sebaliknya komunikan dapat menjadi komunikator.

3. Pesan Pesan adalah keseluruhan dari apa yang disampaikan oleh komunikator. Pesan ini mempunyai inti pesan (tema) yang sebenarnya menjadi pengaruh dalam usaha mencoba mengubah sikap dan tingkah laku komunikan. Pesan dapat secara panjang lebar mengupas berbagai segi, namun inti pesan dari komunikasi akan selalu mengarah kepada tujuan akhir komunikasi itu.

4. Saluran Saluran penyampaian pesan, biasa disebut dengan media. Media dapat dikategorikan menjadi dalam dua bagian, bagian tersebut, yaitu:

a. Media Umum Media umum ialah media yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, contohnya adalah radio CB, OHP, dan sebagainya.

b. Media Massa Media massa adalah media yang digunakan untuk komunikasi massal. Disebut demikian karena sifatnya yang massal misalnya: pers, radio, film dan televisi.

5. Efek Efek adalah hasil akhir dari suatu komunikasi, yakni sikap dan tingkah laku orang, sesuai atau tidak sesuai dengan yang kita inginkan. Apabila sikap dan tingkah laku orang lain itu sesuai, maka itu berarti komunikasi berhasil, demikian juga sebaliknya.

Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti mengelaborasi pendapat Mulyana (2010:69) dan Widjaja (2000:30) dan bahwa unsur-unsur komunikasi menurut peneliti terdiri dari sumber komunikasi yang dapat berupa buku maupun orang, penyampai pesan, pesan berupa informasi yang akan disampaikan, penerima pesan, media yang digunakan, dan dampak dari sebuah proses komunikasi.

2.1.2.3 Macam Pola Komunikasi Orangtua

Ada berbagai macam pola komunikasi secara umum menurut Djamarah (2017:110), namun secara khusus pola komunikasi yang dimaksud dalam proses pendidikan, ialah yang melibatkan orangtua yang mendampingi siswa di rumah dan guru disekolah, dengan rincian sebagai berikut.

1. Model Stimulus – Respon Pola komunikasi yang biasanya terjadi dalam keluarga adalah model stimulus-respon (S-R). Pola ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses “aksi-reaksi” yang sangat sederhana. Pola S-R mengasumsikan bahwa 1. Model Stimulus – Respon Pola komunikasi yang biasanya terjadi dalam keluarga adalah model stimulus-respon (S-R). Pola ini menunjukkan komunikasi sebagai suatu proses “aksi-reaksi” yang sangat sederhana. Pola S-R mengasumsikan bahwa

Seringkali dalam kehidupan sehari-hari, orangtua memberikan isyarat verbal, nonverbal, gambar atau tindakan tertentu untuk merangsang anak. Jadi, orangtua harus lebih proaktif dan kreatif untuk memberikan rangsangan kepada anak, sehingga kepekaan anak atas rangsangan yang diberikan semakin membaik.

2. Model ABX Pola komunikasi lain yang juga sering terjadi dalam komunikasi antara anggota keluarga adalah model ABX yang dikemukakan oleh Newcomb dari perspektif psikologi-sosial. Newcomb menggambarkan bahwa seseorang (A) menyampaikan informasi kepada seseorang lainnya (B) mengenai sesuatu (X). Model tersebut mengasumsikan bahwa orientasi A (sikap) terhadap B dan terhadap X saling tergantung dan ketiganya merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat orientasi, yaitu: (1) orientasi A terhadap X, (2) orientasi A terhadap B, (3) orientasi B terhadap X, (4) orientasi B terhadap A.

Menurut Mulyana (2010:154), bila A dan B mempunyai sikap positif terhadap satu sama lain dan terhadap X (orang, gagasan, atau benda) hubungan ini merupakan simetri. Bila A dan B saling membenci, dan salah satu menyukai X, sedangkan yang lainnya tidak, hubungan itu juga merupakan simetri. Akan tetapi, bila A dan B saling menyukai, namun Menurut Mulyana (2010:154), bila A dan B mempunyai sikap positif terhadap satu sama lain dan terhadap X (orang, gagasan, atau benda) hubungan ini merupakan simetri. Bila A dan B saling membenci, dan salah satu menyukai X, sedangkan yang lainnya tidak, hubungan itu juga merupakan simetri. Akan tetapi, bila A dan B saling menyukai, namun

Sebuah keluarga, suami-istri sering membicarakan anaknya. Berkaitan dengan sikap dan perilaku anak, pergaulan anak, masalah sandang atau pangan anak, masalah pendidikan anak, dan sebagainya. Ketika pembicaraan kedua orangtua itu berlangsung, anak sama sekali tidak tahu. Anak tidak terlibat dalam pembicaraan itu. Sebagai objek yang dibicarakan, anak hanya menunggu hasilnya dan mungkin melaksanakannya sebatas kemampuannya.

3. Model Interaksional Model Interaksional ini berlawanan dengan model S-R. Sementara model S-R mengasumsikan manusia adalah pasif, model interaksional menganggap manusia jauh lebih aktif. Interaksi yang terjadi antar individu tidak sepihak. Antar individu saling aktif, reflektif, dan kreatif dalam me- maknai dan menafsir pesan yang dikomunikasikan. Interaksi antar individu atau kelompok dapat berlangsung dengan lancar jika pesan yang disampai- kan dapat dimaknai dan ditafsirkan secara tepat. Sebuah keluarga, interaksi terjadi dalam macam-macam bentuk. Interaksi tidak mesti dari orangtua yang memulai kepada anak, tetapi bisa juga sebaliknya, dari anak ke orangtua, atau dari anak kepada anak. Semuanya aktif, reaktif, dan kreatif dalam berinteraksi. Suasana keluarga aktif dan dinamis dalam berinteraksi. Suasana dialogis lebih terbuka, karena yang aktif menyampaikan pesan tertentu tidak hanya dari orangtua kepada anak, tetapi juga dari anak kepada orangtua atau dari anak kepada anak.

Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti mengelaborasi pendapat Djamarah (2017:110), Mulyana (2010:154) bahwa pola komunikasi keluarga terdiri atas model stimulus-respon, model ABX, dan model interaksional. Selanjutnya peneliti mengembangkan pola komunikasi yang merujuk pada pola komunikasi orangtua yang berpengaruh terhadap hasil belajar IPS siswa sesuai dengan penelitian yang sedang dikaji yaitu:

Gambar 2.1 Pola Komunikasi Orangtua, Siswa, dan Guru

Pola komunikasi yang dimaksud berasal dari komunikasi guru kepada siswa, begitu juga sebaliknya siswa kepada guru. Menurut Siahaan (2018:281) hubungan siswa dengan guru yang baik berpengaruh terhadap keberhasilan belajar di sekolah. Hubungan yang dimaksud ialah interaksi antara guru dan siswa di dalam kelas saat proses belajar mengajar. Selanjutnya informasi yang didapat siswa dibawa ke rumah untuk dikomunikasikan kepada orangtua untuk mendapat- kan pemecahan masalah yang didapat siswa di sekolah apabila siswa mendapat kesulitan atau pekerjaan rumah yang harus dipecahkan untuk mencapai suatu ke- berhasilan pembelajaran IPS yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Selain komunikasi antara guru dan siswa yang terjadi disekolah dan komunikasi siswa dengan orangtua saat di rumah, komunikasi yang tidak kalah penting demi ke- berhasilan hasil belajar IPS, ialah komunikasi antara guru dengan orangtua untuk Pola komunikasi yang dimaksud berasal dari komunikasi guru kepada siswa, begitu juga sebaliknya siswa kepada guru. Menurut Siahaan (2018:281) hubungan siswa dengan guru yang baik berpengaruh terhadap keberhasilan belajar di sekolah. Hubungan yang dimaksud ialah interaksi antara guru dan siswa di dalam kelas saat proses belajar mengajar. Selanjutnya informasi yang didapat siswa dibawa ke rumah untuk dikomunikasikan kepada orangtua untuk mendapat- kan pemecahan masalah yang didapat siswa di sekolah apabila siswa mendapat kesulitan atau pekerjaan rumah yang harus dipecahkan untuk mencapai suatu ke- berhasilan pembelajaran IPS yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Selain komunikasi antara guru dan siswa yang terjadi disekolah dan komunikasi siswa dengan orangtua saat di rumah, komunikasi yang tidak kalah penting demi ke- berhasilan hasil belajar IPS, ialah komunikasi antara guru dengan orangtua untuk

2.1.2.4 Tujuan Komunikasi Orangtua

Menurut Mudjito (dalam Widjaja, 2000:67) bahwa komunikasi bertujuan untuk mengharapkan pengertian, dukungan, gagasan, dan tindakan setiap kali kita bermaksud mengadakan komunikasi maka kita perlu meneliti apa yang menjadi tujuan kita. Pada umumnya komunikasi mempunyai beberapa tujuan antara lain:

1. Supaya yang kita sampaikan dapat dimengerti, sebagai komunikator kita harus menjelaskan kepada komunikan (penerima) dengan sebaik-baiknya dan tuntas sehingga mereka dapat mengerti dan mengikuti apa yang kita maksudkan.

2. Memahami orang lain. Sebagai komunikator harus mengerti benar aspirasi masyarakat tentang apa yang diinginkan, tidak memaksakan kehendak mereka.

3. Supaya gagasan dapat diterima orang lain. Harus berusaha agar gagasan kita dapat diterima orang lain dengan pendekatan yang persuasif bukan memaksa- kan kehendak.

4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu. Menggerakkan sesuatu itu dapat bermacam-macam, mungkin beberapa kegiatan. Kegiatan yang di- 4. Menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu. Menggerakkan sesuatu itu dapat bermacam-macam, mungkin beberapa kegiatan. Kegiatan yang di-

Tujuan komunikasi lain menurut Ma‟arif (2007:18) yaitu:

1. Membentuk perubahan sosial

2. Membentuk perubahan sikap

3. Membentuk perubahan pendapat

4. Membentuk perubahan tingkah laku Berdasarkan uraian sebelumnya, peneliti mengelaborasi pendapat Mudjito (dalam Widjaja, 2000:67) , dan Ma‟arif (2007:18) bahwa tujuan komunikasi orangtua yaitu: (1) Orangtua sebagai pengirim pesan harus menjelaskan kepada anak supaya pesan yang akan disampaikan dimengerti anak; (2) Orangtua me- mahami anak; (3) Supaya anak mampu menerima gagasan orangtua, orangtua perlu menggunakan pendekatan persuasif bukan dengan memaksakan kehendak; (4) Orangtua mampu menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu, seperti belajar, maupun berperilaku baik, dengan memberikan dorongan atau motivasi yang disertai dengan contoh konkret; dan (5) Komunikasi orangtua bertujuan untuk merubah sikap, pendapat, dan tingkah laku anak.

2.1.2.5 Manfaat Komunikasi Orangtua

Menurut Helmawati (2014:137), manfaat komunikasi bagi keluarga banyak pesan yang ingin disampaikan oleh setiap anggota keluarga dari satu kepada lainnya terutama pesan orangtua terhadap anak. Manfaat komunikasi agar anak menangkap isi pesan berupa nasihat orangtua sehingga hidupnya selamat dan Menurut Helmawati (2014:137), manfaat komunikasi bagi keluarga banyak pesan yang ingin disampaikan oleh setiap anggota keluarga dari satu kepada lainnya terutama pesan orangtua terhadap anak. Manfaat komunikasi agar anak menangkap isi pesan berupa nasihat orangtua sehingga hidupnya selamat dan

Menurut Nurudin (2008:16) salah satu fungsi komunikasi yaitu menurun- kan warisan sosial dari generasi ke generasi berikutnya yang dilakukan oleh para pendidik di dalam pendidikan informal atau formal karena terlibat dalam mewaris- kan adat kebiasaan, serta nilai dari generasi ke generasi.

Peneliti mengelaborasi pendapat dari Helmawati (2014:137) dan Nurudin (2008:16) bahwa komunikasi orangtua bermanfaat untuk menyampaikan pesan dari orangtua terhadap anak berupa nasihat maupun arahan yang disebut sebagai warisan sosial, supaya anak mampu menangkap isi pesan untuk kebaikan dirinya dan keberhasilan dalam belajar dan sebagai bekal hidup di masa depan.

2.1.2.6 Prinsip Komunikasi Orangtua

Menurut Mulyana (2010:91), menyatakan bahwa prinsip-prinsip komunikasi pada dasarnya merupakan penjabaran lebih jauh dari definisi atau hakikat komunikasi. Berikut ini prinsip-prinsip dalam komunikasi yang berhubungan dengan komunikasi orangtua dengan anak yaitu:

1. Komunikasi Adalah Proses Simbolik Proses simbolik adalah proses penyampaian suatu pesan melalui sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya berdasarkan ke- sepakatan sekelompok orang. Pada prinsip komunikasi orangtua ini yang di- maksudkan adalah berdasarkan kesepakatan antara orangtua dan anak.

2. Setiap Perilaku Mempunyai Potensi Komunikasi Kita tidak dapat tidak berkomunikasi. Tidak berarti bahwa semua perilaku adalah komunikasi. Komunikasi terjadi bila seseorang memberi makna pada perilaku orang orang lain atau perilakunya sendiri. Setiap sikap dapat memunculkan berbagai macam tafsiran. Misal, diam bisa ditafsirkan setuju, sakit gigi atau bisu. Terkadang orangtua menunjukkan sikap yang diam karena orangtua tidak setuju dengan yang dilakukan anak.

3. Komunikasi Melibatkan Prediksi Peserta Komunikasi Ketika seseorang berkomunikasi, mereka meramalkan efek perilaku komunikasi mereka. Komunikasi seringkali terikat oleh aturan atau tata krama. Artinya, Orangtua memilih strategi tertentu berdasarkan bagaimana anak sebagai penerima pesan akan merespons, baik atau tidaknya dan dampak perubahan yang terjadi pada anak untuk lebih baik, yang dilandasi oleh tata krama.

4. Komunikasi Bersifat Sistemik Setiap individu adalah suatu sistem berupa nilai yang hidup, dan saling berhubungan satu sama lain, yang sering dilakukan selama sosialisasi dalam berbagai lingkungan sosialnya seperti keluarga, maupun lembaga pen- didikan. Komunikasi bersifat sistemik menciptakan suatu pola komunikasi yang berhubungan satu sama lain, antara orangtua dengan anak, anak dengan orangtua, maupun anak dengan anak.

Menurut Jannati (2016:144), prinsip komunikasi terdiri atas: perkataan yang benar; perkataan yang membekas pada jiwa; perkataan yang baik; perkataan yang mulia; perkataan yang lembut; dan perkataan yang ringan.

Berdasarkan pendapat Mulyana (2010:91) dan Jannati (2016:144), peneliti mengelaborasi bahwa prinsip komunikasi orangtua meliputi: (1) komunikasi sebagai proses simbolik; (2) setiap perilaku mempunyai potensi komunikasi; (3) komunikasi orangtua melibatkan respon anak dalam menangapi maksud orangtua; (4) komunikasi memunculkan suatu pola yang saling berkaitan dan mampu melekat pada jiwa anak maupun orangtua; dan (5) komunikasi meng- gunakan perkataan yang benar, baik, mulia, lembut, dan ringan, sehingga dapat di- pahami maksudnya.

2.1.2.6 Faktor yang Memengaruhi Komunikasi Orangtua

Menurut Widjaja (2000:97) faktor-faktor yang memengaruhi komunikasi yang baik meliputi kondisi geografis, politik, ekonomis, dan waktu. Faktor-faktor yang memengaruhi komunikasi pada umumnya yakni kemungkinan berbagai hambatan yang dapat timbul.

Menurut Djamarah (2017:138) faktor-faktor yang memengaruhi komunikasi orangtua meliputi:

1. Citra Diri Citra diri memengaruhi komunikasi dalam menentukan gaya dan cara komunikasi. Citra diri orangtua yang menganggap dirinya serba tahu, lebih tahu daripada anaknya melahirkan sikap dan perilaku yang otoriter. Sedang- 1. Citra Diri Citra diri memengaruhi komunikasi dalam menentukan gaya dan cara komunikasi. Citra diri orangtua yang menganggap dirinya serba tahu, lebih tahu daripada anaknya melahirkan sikap dan perilaku yang otoriter. Sedang-

2. Lingkungan Fisik Lingkungan fisik keluarga memengaruhi seseorang dalan ber- komunikasi. Komunikasi terlihat berbeda antara siswa yang hidup dalam keluarga yang menjunjung tinggi norma, kehidupan keluarga yang terdidik, dan keluarga yang tidak termasuk keduanya.

3. Kepemimpinan Tipe kepemimpinan orangtua akan memengaruhi pola komunikasi antara ayah, ibu, maupun anak. Tipe kepemimpinan berpengaruh dalam komunikasi perihal cara mendidik anak.

4. Perbedaan Usia Komunikasi dipengaruhi oleh usia, supaya setiap orang tidak ber- bicara sekehendak hati tanpa memperhatikan siapa yang diajak bicara. Pem- bicaraan yang sesuai dengan usia menjadi salah satu penentu kualitas komunikasi.

Peneliti mengelaborasi pendapat Widjaja (2000:97), dan Djamarah (2017:138), bahwa faktor yang memengaruhi komunikasi orangtua antara lain: (1) ekonomi dalam hal kebutuhan alat belajar anak; (2) citra diri memengaruhi komunikasi dalam menentukan gaya dan cara komunikasi. Citra diri orangtua yang menganggap dirinya serba tahu, lebih tahu daripada anaknya melahirkan sikap dan perilaku yang otoriter. Sedangkan citra diri orangtua yang menyadari pengalamannya berbeda dengan anaknya akan melahirkan sikap dan perilaku

orangtua yang demokratis; (3) lingkungan fisik keluarga memengaruhi seseorang dalam berkomunikasi. Komunikasi terlihat berbeda antara anak yang hidup dalam keluarga yang menjunjung tinggi norma, kehidupan keluarga yang terdidik, dan keluarga yang tidak termasuk keduanya; (4) tipe kepemimpinan orangtua akan memengaruhi pola komunikasi antara ayah, ibu, maupun anak. Tipe kepemimpinan berpengaruh dalam komunikasi perihal cara mendidik anak; dan (5) perbedaan usia berdampak agar setiap orang tidak berbicara sekehendak hati tanpa memperhatikan siapa yang diajak bicara. Pembicaran yang sesuai dengan usia menjadi salah satu penentu kualitas komunikasi.

2.1.2.7 Faktor yang Menghambat Komunikasi Orangtua

Menurut Sutisna (2016:75) yang dimaksud hambatan komunikasi adalah salah satu masalah yang muncul dan dihadapi manusia dalam berkomunikasi. Masalah komunikasi biasanya merupakan gejala bahwa ada sesuatu yang tidak beres sehingga muncul masalah yang lebih dalam. Menurut Widjaja (2000:100), hambatan komunikasi ada yang berasal dari pengirim (komunikator), transmisi, dan penerima. Hambatan komunikasi tersebut antara lain: kebisingan, keadaan psikologis komunikator dan komunikan yang kurang baik, kekurangterampilan, bahasa, isi pesan berlebihan, bersifat satu arah, faktor teknis, kepentingan, cara penyampaian yang terlalu verbalistik, kurangnya perencanaan dalam komunikasi, perbedaan persepsi, pesan yang tidak jelas, prasangka buruk, transmisi yang kurang baik, dan tidak ada kepercayaan. Disamping hal tersebut terdapat hambatan lain yakni keadaan geografis, kondisi budaya, pendidikan dan ekonomi.

Peneliti mengelaborasi pendapat Sutisna (2016:75), dan Widjaja (2000:100), bahwa masalah yang muncul dan harus dihadapi manusia saat ber- komunikasi antara orangtua dengan anak antara lain: keadaan psikologis orangtua dan anak yang kurang baik, komunikasi bersifat satu arah tidak ada tanggapan dari salah satu pihak, faktor kepentingan karena kesibukan bekerja orangtua, pra- sangka buruk anak terhadap orangtua atau sebaliknya, cara penyampaian yang terlalu verbalistik, karena anak perlu contoh konkret daripada hanya kata-kata, perbedaan persepsi yang menyebabkan kesalahan penerimaan informasi, pesan yang tidak jelas, proses penyampaian pesan yang kurang baik, dan tidak ada ke- percayaan antara orangtua dengan anak.

2.1.2.8 Indikator Pengukuran Pola Komunikasi

Suranto (2011:144) menyatakan bahwa indikator-indikator untuk mengetahui seseorang memiliki pola komunikasi yang baik adalah sebagai berikut.

1. Keterbukaan Keterbukaan yang dimaksud adalah sikap mampu menerima pendapat orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Sikap keterbukaan ini ditandai dengan kejujuran untuk mengungkapkan informasi yang tidak bertentangan dengan asas kepatutan. Begitupula menurut Fatimah (2014:201), dengan keterbukaan maka komunikasi akan berlangsung secara adil, transparan, dua arah, dan mampu diterima semua pihak yang ber- komunikasi. Indikator ini bertujuan untuk menilai pola komunikasi anak terhadap orangtua yang terjadi di sekolah.

2. Empati Empati adalah kemampuan seseorang untuk merasakan seandainya men- jadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan, dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain. Diharapkan anak mampu memahami motivasi dan pengalaman orangtua- nya untuk belajar lebih giat.

3. Sikap Mendukung Sikap mendukung berarti masing-masing pihak yang berkomunikasi me- miliki komitmen untuk mendukung terjadinya komunikasi yang baik.

4. Sikap Positif Sikap positif dapat berbentuk sikap yang berarti memiliki perasaan dan pikiran positif bukan prasangka maupun curiga; dan perilaku yang berarti bahwa tindakan yang dipilih sesuai dengan tujuan komunikasi. Perilaku dan sikap yang dimaksud ialah menghargai orang lain, berpikiran positif terhadap orang lain, tidak menaruh curiga secara berlebihan, meyakini pentingnya orang lain, memberikan pujian dan penghargaan, serta komitemen menjalin kerjasama.

5. Kesetaraan Kesetaraan adalah bentuk pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. Indikator kesetaraan terlihat dari suasana komunikasi yang akrab, saling memerlukan, komunikasi dua arah, tidak memaksakan kehendak, me- 5. Kesetaraan Kesetaraan adalah bentuk pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. Indikator kesetaraan terlihat dari suasana komunikasi yang akrab, saling memerlukan, komunikasi dua arah, tidak memaksakan kehendak, me-

Adapula indikator keberhasilan komunikasi orangtua menurut Sendjaja (2009:6.29) antara lain: (1) keterbukaan orangtua dalam masalah-masalah umum yang dihadapi anak; (2) sikap empati yang tinggi terhadap anak sehingga me- nimbulkan motivasi yang tinggi bagi anak; (3) perilaku suportif dan mendukung dapat mengefektifkan komunikasi yang baik antara orangtua dan anak; (4) sikap positif orangtua dapat berupa pujian dan penghargaan membuat anak lebih percaya diri dalam belajar; dan (5) kesamaan pengalaman antara orangtua dan anak membuat mereka saling menghargai kekurangan dan kelebihan masing- masing. Sejalan dengan pendapat Setyowati (2005:70) bahwa komunikasi efektif sangat diperlukan adanya keterbukaan, empati, saling percaya, kejujuran, dan sikap suportif.

Berdasarkan pendapat Suranto (2011:82), Fatimah (2014:201), Sendjaja (2009:6.29), dan Setyowati (2005:70) peneliti meringkas bahwa indikator dalam pengukuran pola komunikasi orangtua meliputi, (1) keterbukaan orangtua terhadap masalah umum yang dihadapi anak; (2) sikap memahami perasaan untuk menumbuhkan motivasi belajar anak; (3) perilaku mendukung kegiatan positif anak; (4) upaya sikap positif; dan (5) kesetaraan pengalaman komunikasi karena orangtua merasa pernah mengalami di posisi anak. Skripsi ini, pola komunikasi menyangkut muatan IPS pada kelas V SD Gugus Moh Syafei Kabupaten Semarang. Pola komunikasi yang baik untuk skor jawaban positif cenderung mempunyai jawaban selalu dan sering, sebaliknya untuk pola komunikasi yang Berdasarkan pendapat Suranto (2011:82), Fatimah (2014:201), Sendjaja (2009:6.29), dan Setyowati (2005:70) peneliti meringkas bahwa indikator dalam pengukuran pola komunikasi orangtua meliputi, (1) keterbukaan orangtua terhadap masalah umum yang dihadapi anak; (2) sikap memahami perasaan untuk menumbuhkan motivasi belajar anak; (3) perilaku mendukung kegiatan positif anak; (4) upaya sikap positif; dan (5) kesetaraan pengalaman komunikasi karena orangtua merasa pernah mengalami di posisi anak. Skripsi ini, pola komunikasi menyangkut muatan IPS pada kelas V SD Gugus Moh Syafei Kabupaten Semarang. Pola komunikasi yang baik untuk skor jawaban positif cenderung mempunyai jawaban selalu dan sering, sebaliknya untuk pola komunikasi yang

2.1.3 Latar Belakang Pendidikan Orangtua

2.1.3.1 Pengertian Pendidikan

Pengertian pendidikan menurut Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif me- ngembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagaaman, pengendalian diri, kepribadian, kercerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut Fuad (2013:7) pendidikan adalah aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya, yaitu rohani (pikir, karsa, rasa, cipta, dan budi nurani) dan jasmani (panca indera serta keterampilan-keterampilan). Sedangkan pengertian pendidikan menurut Susanto (2013:85) adalah upaya yang terorganisasi, terencana, dan ber- langsung secara terus menerus sepanjang hayat untuk membina anak didik menjadi manusia paripurna, dewasa, dan berbudaya. Sejalan dengan pendapat Munib (2012:31) pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk memengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan Indonesia.

Pendidikan adalah bantuan yang diberikan dengan sengaja kepada peserta didik dalam pertumbuhan jasmani maupun rohaninya secara optimal untuk mencapai tingkat dewasa.

Berdasarkan pendapat Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Fuad (2013:7), Susanto (2013:85), dan Munib (2012:31), peneliti meng- elaborasi bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk membina peserta didik mencapai tingkat dewasa dengan meningkatkan potensi dirinya yang menyangkut segala aspek kehidupan jasmani maupun rohaninya.

2.1.3.2 Pengertian Orangtua

Menurut Hasbullah (2013:2) orangtua adalah orang yang pertama dan utama yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anaknya. Orangtua di dalam kehidupan keluarga mempunyai posisi sebagai kepala keluarga atau pemimpin rumah tangga. Orangtua sebagai pembentuk pribadi pertama dalam kehidupan anak, kepribadian orangtua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.

Berdasarkan berbagai rumusan pengertian tersebut terkandung unsur orangtua, yaitu:

a) Terdiri dari 2 unsur yakni ayah dan ibu

b) Mereka yang memusatkan perhatian pada anak

c) Mereka yang pertama bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak.

Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa kewajiban orangtua memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Salah satu kewajiban utama orangtua yang sangat penting adalah mendidik anaknya. Jadi tugas sebagai orangtua tidak hanya sekedar menjadi perantara manusia baru dengan kelahiran, tetapi juga memelihara dan mendidiknya. Agar dapat me- laksanakan pendidikan terhadap anak-anaknya, maka diperlukan adanya beberapa ilmu pengetahuan tentang pendidikan.

Menurut Susantin (2015:120) orangtua adalah orang yang mempunyai amanat dari Allah untuk mendidik anak dengan penuh tanggungjawab dan kasih sayang serta yang bertanggung jawab atas perkembangan dan kemajuan anak. Pada dasarnya dibagi menjadi tiga yaitu orangtua kandung, orangtua asuh, dan orangtua tiri.

Sedangkan menurut Cholifah (2016:487) menyatakan bahwa relasi antara anak dan orangtua itu secara kodrati tercakup unsur pendidikan untuk membangun kepribadian anak dan mendewasakannya. Adanya kemungkinan untuk dapat men- didik diri sendiri, maka orangtua menjadi agen utama dan pertama yang mampu dan berhak menolong keturunanya, serta mendidik anak-anaknya.

Berdasarkan pendapat Hasbullah (2013:2), Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Susantin (2015:120), dan Cholifah (2016:487) peneliti mengelaborasi bahwa orangtua merupakan orang utama yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan anaknya, termasuk mem- berikan pendidikan demi perkembangan dan kemajuan anak. Orangtua yang ber- tanggung jawab ini tidak pasti ayah dan ibu kandung anak, melainkan ada Berdasarkan pendapat Hasbullah (2013:2), Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Susantin (2015:120), dan Cholifah (2016:487) peneliti mengelaborasi bahwa orangtua merupakan orang utama yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan kesejahteraan anaknya, termasuk mem- berikan pendidikan demi perkembangan dan kemajuan anak. Orangtua yang ber- tanggung jawab ini tidak pasti ayah dan ibu kandung anak, melainkan ada

Pada penelitian ini, peneliti melakukan pengambilan data latar belakang pendidikan orangtua dewasa yang mendampingi selama belajar yang berstatus sebagai wali siswa di kelas V SD Gugus Moh Syafei Kabupaten Semarang melalui angket dan wawancara, karena dikhawatirkan orang dewasa yang men- dampingi siswa saat belajar tidak hanya orangtua kandung, melainkan orangtua tiri, maupun orangtua asuh.

2.1.3.3 Latar Belakang Pendidikan Orangtua

Menurut Fuad (2013:17), keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak, di lingkungan keluarga pertama-tama anak mendapatkan pengaruh sadar. Ayah dan ibu di dalam keluarga sebagai pendidiknya, dan anak sebagai terdidik- nya. Hal ini menunjukkan bahwa ayah dan ibu memiliki kedudukan yang sama dalam keluarga yaitu sebagai orangtua. Tingkat pendidikan orangtua akan me- nentukan cara orangtua dalam membimbing dan mengarahkan anaknya dalam hal pendidikan.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8, menyatakan bahwa jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat per- kembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang di- kembangkan. Tingkat pendidikan yaitu jenjang yang telah ditempuh, baik formal maupun nonformal. Sikap yang terbentuk pada masing-masing individu untuk Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8, menyatakan bahwa jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat per- kembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang di- kembangkan. Tingkat pendidikan yaitu jenjang yang telah ditempuh, baik formal maupun nonformal. Sikap yang terbentuk pada masing-masing individu untuk

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab VI pasal 14, menjelaskan tentang jenjang pendidikan formal yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, dimana setiap jenjang pendidikan akan melandasi jenjang pendidikan berikutnya.

Setiap jenjang pendidikan memiliki kurikulumnya sendiri dengan mem- perhatikan peningkatan potensi, kecerdasan dan minat peserta didik, peningkatan akhlak mulia, tuntutan dunia kerja, perkembangan ilmu pengetahuan, tekonologi dan seni, dinamika perkembangan global, serta tuntutan pembangunan daerah dan nasional sesuai dengan peraturan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab X pasal 36. Sehingga semakin tinggi suatu jenjang pendidikan terakhir akan berpengaruh terhadap bekal yang diperoleh yang bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup pribadi, keluarga, maupun masyarakat disekitarnya.

Menurut Widodo (2015:9) bahwa latar belakang tingkat pendidikan orangtua memiliki peran yang sangat penting untuk menjadikan hasil belajar siswa meningkat karena dengan pendidikan tinggi diharapkan orangtua mem- punyai pengetahuan yang tinggi tentang apa saja yang harus dilakukan dalam menunjang keberhasilan belajar anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, maka semakin tinggi pula motivasi belajar siswa. Sedangkan menurut Yani (2017:2) menyatakan bahwa orangtua yang berlatar belakang pendidikan Menurut Widodo (2015:9) bahwa latar belakang tingkat pendidikan orangtua memiliki peran yang sangat penting untuk menjadikan hasil belajar siswa meningkat karena dengan pendidikan tinggi diharapkan orangtua mem- punyai pengetahuan yang tinggi tentang apa saja yang harus dilakukan dalam menunjang keberhasilan belajar anak. Semakin tinggi tingkat pendidikan orangtua, maka semakin tinggi pula motivasi belajar siswa. Sedangkan menurut Yani (2017:2) menyatakan bahwa orangtua yang berlatar belakang pendidikan

Berdasarkan pendapat Fuad (2013:17), Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Widodo (2015:59), dan Yani (2017:2), peneliti mengelaborasi bahwa latar belakang pendidikan orangtua adalah tingkat pendidikan terakhir yang telah ditempuh oleh orangtua, baik formal maupun nonformal yang digunakan sebagai wadah untuk membentuk pola pikir dan turut berpengaruh dalam pendidikan yang berdampak pada hasil belajar siswa dalam kehidupan saat ini.

2.1.3.4 Indikator Pengukuran Latar Belakang Pendidikan Orangtua

Pengukuran latar belakang pendidikan orangtua berupa tingkat pendidikan orangtua menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8 yaitu jenjang yang telah ditempuh, baik formal maupun nonformal. Jenjang pendidikan formal yang dimaksud yaitu lulusan Sekolah Dasar (SD)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan lulusan Perguruan Tinggi (PT). Pengukuran ini dilakukan dengan data dokumentasi dari sekolah dan wawancara dengan siswa yakni untuk memastikan dengan siapa Pengukuran latar belakang pendidikan orangtua berupa tingkat pendidikan orangtua menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8 yaitu jenjang yang telah ditempuh, baik formal maupun nonformal. Jenjang pendidikan formal yang dimaksud yaitu lulusan Sekolah Dasar (SD)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan lulusan Perguruan Tinggi (PT). Pengukuran ini dilakukan dengan data dokumentasi dari sekolah dan wawancara dengan siswa yakni untuk memastikan dengan siapa

V. Pendapat lainnya yaitu berasal dari Reskia (2014:84) bahwa jenis pendidikan yang berkembang di Indonesia terdiri dari pendidikan umum yang terdiri dari pendidikan dasar dan menengah dalam bentuk SD, SMP, dan SMA, pendidikan kejuruan dalam bentuk SMK, pendidikan akademik atau pendidikan tinggi program sarjana dan pascasarjana, dan pendidian profesi untuk memasuki suatu profesi menjadi seorang profesional.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8, dan pendapat Reskia (2014:84) peneliti meringkas bahwa pengukuran latar belakang pendidikan orangtua dapat dilakukan melalui penyebaran dengan memperhatikan indikator jenjang pendidikan terakhir yang telah ditempuh orangtua. Dalam skripsi ini variabel latar belakang pendidikan orangtua siswa kelas V SD Gugus Moh Syafei Kabupaten Semarang dengan mengelaborasi pendapat Berdasarkan Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8, dan pendapat Reskia (2014:84). Pendidikan yang dimaksud adalah latar belakang pendidikan berupa jenjang pendidikan terakhir orangtua, yaitu meliputi lulusan Sekolah Dasar (SD)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan lulusan Perguruan Tinggi (PT). Perhitungan skor latar belakang pendidikan orangtua siswa adalah dengan pilihan ganda dengan memilih jawaban yang sesuai dengan keadaan dirinya. Latar belakang pendidikan orangtua yang baik cenderung mem- 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8, dan pendapat Reskia (2014:84). Pendidikan yang dimaksud adalah latar belakang pendidikan berupa jenjang pendidikan terakhir orangtua, yaitu meliputi lulusan Sekolah Dasar (SD)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan lulusan Perguruan Tinggi (PT). Perhitungan skor latar belakang pendidikan orangtua siswa adalah dengan pilihan ganda dengan memilih jawaban yang sesuai dengan keadaan dirinya. Latar belakang pendidikan orangtua yang baik cenderung mem-

2.1.4 Hubungan Pola Komunikasi Orangtua dengan Hasil Belajar IPS

Menurut Djamarah (2017:1) pola komunikasi adalah pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Pola komunikasi orangtua dapat dipahami sebagai pola hubungan antara dua orang atau lebih dalam keluarga melalui proses pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami lawan bicara dalam suatu komunikasi. Pola komunikasi ini terjadi timbal balik antara orangtua dengan siswa, siswa dengan orangtua, maupun orangtua dengan orangtua. Sedangkan pola komunikasi menurut Azeharie (2015:214) adalah bentuk atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan dengan cara yang tepat, sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami.

Pengertian hasil belajar menurut Rifa‟i dan Anni (2012:69) merupakan perubahan perilaku yang diperoleh peserta didik setelah mengalami kegiatan belajar. Hasil belajar menurut Susanto (2013:5) adalah kemampuan yang di- peroleh siswa setelah melalui kegiatan belajar, sehingga hasil belajar IPS merupa- kan kemampuan dan suatu perubahan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar IPS.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.

Menurut Rahmawati (2012:2) kualitas komunikasi anak dan orangtua dapat meningkatkan prestasi belajar anak, yang didasari dengan perasaan me- nyenangkan, terbuka, saling mencintai, dinamis, dan berkesinambungan yang di- wujudkan dalam kata-kata dan gerakan non-verbal. Sehingga, apabila komunikasi orangtua terhadap siswa dapat terjalin dengan baik maka semakin baik hasil belajar IPS yang dicapai. Begitu juga sebaliknya apabila kurang komunikasi orangtua terhadap siswa maka hasil belajar IPS akan rendah karena siswa kurang mendapat dorongan dan bimbingan dari orangtua.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola komunikasi orangtua dengan hasil belajar IPS yang diduga mempunyai hubungan positif antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas peneliti me- ramalkan ada hubungan yang positif antara pola komunikasi orangtua dengan hasil belajar IPS.

Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Enni Uli Sinaga, Metty Muhariati, dan Kenty pada tahun 2016 yang berjudul “Hubungan Intensitas Komunikasi Orang Tua dan Siswa terhadap Hasil Belajar Siswa” Hasil penelitian

ini adalah Hubungan Intensitas Komunikasi Orang Tua (X 1 ), Siswa (X 2 ) terhadap Hasil Belajar Siswa (Y) pada siswa kelas VIII di SMP Bhakti Mulia Jakarta Timur menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara ini adalah Hubungan Intensitas Komunikasi Orang Tua (X 1 ), Siswa (X 2 ) terhadap Hasil Belajar Siswa (Y) pada siswa kelas VIII di SMP Bhakti Mulia Jakarta Timur menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara

Intensitas Komunikasi Orangtua (X 1 ), dengan Siswa (X 2 ) berpengaruh signifikan terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran IPS Terpadu (Y) di MTs Hasanah Pekanbaru. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung = 27,417 > F tabel = 3,16.

2.1.5 Hubungan Latar Belakang Pendidikan Orangtua terhadap Hasil Belajar IPS

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab I Pasal 1 Ayat 8, menyatakan bahwa jenjang pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang di- kembangkan. Tingkat pendidikan yaitu jenjang yang telah ditempuh, baik formal maupun nonformal. Sikap yang terbentuk pada masing-masing individu untuk setiap jenjang pendidikan formal akan berbeda-beda lulusan Sekolah Dasar (SD)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan lulusan Perguruan Tinggi (PT). Menurut Mapparenta (2015:81) orangtua yang mempunyai latar belakang

pendidikan yang tinggi sangat mengharapkan anaknya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau setara dengan tingkat pendidikan yang orangtuanya miliki. Orangtua yang memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan, keterampilan yang luas, dan emosi yang dapat membantu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh anak, yang berkaitan dengan pergaulan anak maupun pelajaran di sekolah. Hal tersebut di- dapat orangtua ketika melalui proses pendidikan yang pernah dijalaninya. Sebalik- nya, orangtua dengan pendidikan formal yang rendah, seringkali mereka belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk mengarahkan pendidikan anak.

Menurut Susanto (2013:12) faktor yang memengaruhi keberhasilan belajar, termasuk keberhasilan pembelajaran IPS salah satunya adalah keluarga. Keadaan keluarga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Keluarga yang meng- alami pertengkaran antara suami dan istri, perhatian orangtua yang kurang ter- hadap siswanya, serta kebiasaan berperilaku yang kurang baik dari orangtua dalam kehidupan sehari-hari berpengaruh dalam hasil belajar peserta didik. Sedangkan menurut Helmawati (2014:52) setiap orangtua harus memiliki pe- ngetahuan yang memadai, agar anak-anaknya dapat menjadi manusia berilmu, berakhlak, dan memiliki keterampilan untuk bekal hidupnya. Apabila latar belakang pendidikan orangtua tinggi maka semakin baik hasil belajar IPS yang akan dicapai. Sebaliknya, apabila rendah latar belakang pendidikan orangtua maka hasil belajar IPS akan rendah karena siswa kurang mendapat bimbingan dari orangtua yang memiliki pengetahuan yang memadai.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang latar belakang pen- didikan orangtua dengan hasil belajar IPS yang diduga mempunyai hubungan positif antara kedua variabel tersebut. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas peneliti meramalkan ada hubungan yang positif antara pola komunikasi orangtua dengan hasil belajar IPS.

Hal ini dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi Zulaekha Prastiwi Puspitaningtyas pada tahun 2015 yang berjudul “Pengaruh Latar

Belakang Pendidikan Orangtua terhadap Hasil Belajar Mata Pelajaran IPS Siswa Kelas IV SD Negeri Se- Kecamatan Ngemplak Tahun Ajaran 2014/ 2015.” Hasil

penelitian ini adalah pengaruh Latar Belakang Pendidikan Orangtua (X 1 ), ber- pengaruh signifikan terhadap Hasil Belajar IPS Mata Pelajaran IPS Siswa (Y) pada siswa kelas IV di SD Negeri Se-Kecamatan Ngemplak. Hal ini ditunjukkan dengan nilai F hitung = 4,320672 dengan nilai F tabel = 1,67. Sehingga F tabel <

F hitung, dan nilai signifikansi (p) < 0,05. Dibuktikan pula oleh Nchedo Eucharia Aye, Magaji Haladu Idris Theresa Olunwa Oforka, Immaculata Nwakaego Akaneme, Magaji Idris, dan Ann Nkechi Okolo pada tahun 2016 yang berjudul “Influence of Parents Educational and Occupational Background on Educational Support of Secondary School Students in Jigawa and Kano States, Nigeria. ” Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orangtua berpengaruh dalam mendukung tingkat pendidikan anak yang dibuktikan dengan hasil penelitian yang menunjukkan nilai Chi Square sebesar 0,39 pada taraf signifkan 0,05, karena 0,05 < 0,39 dimana (p=0,39; 0,05<0,39).

2.1.6 Hubungan Pola Komunikasi dan Latar Belakang Pendidikan Orangtua dengan Hasil Belajar IPS

Pola komunikasi dan latar belakang pendidikan orangtua memegang peran penting dalam keberhasilan belajar IPS siswa. Keberhasilan belajar IPS siswa di- pengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pola komunikasi dengan orangtua dan latar belakang pendidikan orangtua. Sinaga (2016:81) menyatakan bahwa dengan adanya komunikasi yang baik dengan siswa, orangtua lebih mengetahui kesulitan- kesulitan apa yang dihadapi siswa dalam belajar. Sedangkan orangtua dengan latar belakang pendidikan tinggi diharapkan mampu mengerti pentingnya pendidikan siswa sesuai dengan perkembangan jiwanya, yang berpengaruh terhadap pen- capaian prestasi belajar siswa. Demikian dapat disimpulkan bahwa dengan pola komunikasi orangtua dan latar belakang pendidikan orangtua yang baik maka hasil belajar IPS siswa yang dicapai akan baik.