D alam mendemontrasikan dan menganalisis bagaimana

D alam mendemontrasikan dan menganalisis bagaimana

berbagai hubungan sosial atau kekuatan saling bertarung satu sama lain dalam babakan/ periodisasi kebijakan land re- form Indonesia, penulis mempergunakan pendekatan analisis konjungtural yang secara padat ditampilkan oleh Stuart Hall (2007:280) dalam kutipan di awal bab pendahuluan. Penulis telah mempertunjukkan secara ringkas, rute (trajektori) yang ditempuh oleh land reform dalam perjalanan kebijakan pertan ahan In don esia sejak 1945, saat proklam asi kemerdekaan Republik Indonesia.

UUPA 1960 menetapkan seperangkat kewenangan pemerintah pusat yang disebut sebagai “Hak Menguasai dari Negara”, yang memungkinkan berbagai rezim politik yang berbeda (a) m engatur, m engelola dan m engalokasikan tanah dan sumber daya alam, (b) menentukan hubungan kepem ilikan, dan (c) m enentukan m ana tindakan yang sesuai dengan hukum (legal) dan melanggar hukum (ille- gal ) dalam tindakan hukum mengenai tanah dan kekayaan alam. Penulis telah menunjukkan bagaimana rezim politik yang berbeda membentuk kebijakan land reform, atau anti land reform, yang berbeda-beda walau di bawah naungan Undang-undang Dasar 1945 dan UUPA 1960 yang sama. Perundang-undangan agraria secara strategis dibentuk, disiasati, dan dimanfaatkan oleh para penguasa politik yang berbeda-beda un tuk m em en uhi kepen tin gan dan visi

Land Reform Dari Masa Ke Masa

ideologis yan g berbeda pula. Telah diuraikan sejarah kelembagaan, pengaturan hukum, dan perjuangan politik terten tu m en geluarkan tan ah -tan ah perkebun an dan kawasan hutan di J awa dari program redistribusi tanah 1960 -1965, m eskipun or gan isasi-or gan isasi ger akan pedesaan menuntut pemerintah menargetkan kedua sistem agraria warisan kolonial tersebut.

Meskipun semua partai politik di parlemen nasional sepakat untuk memberlakukan UUPA, sifat khas dari pro- gram lan d reform yan g “bertekad un tuk m en jalan kan perubahan tenurial yang memaksa, drastis, dan cepat” (Tai 1974:19), telah menghasilkan resistensi dari kaum tuan tanah yang tanahnya disasar untuk diredistribusi. “Aksi-aksi sepihak” untuk menandingi resistensi tuan tanah itu bergaung luas dalam pertarungan politik elite di tingkat nasional. Kudeta militer secara drastis dan dramatis mengakhiri Demokrasi Terpimpin (1957-1965), dan semua agenda politik dan visi Sukarno tentang sosialisme Indonesia. Selanjutnya, setelah m em beran tas gerakan kom un is, m elaran g PKI dan organisasi-organisasi yang diasosiasikan dengannya, dan membunuhi dan memenjarakan orang-orang yang diberi cap komunis, dan melarang ajaran-ajaran komunisme, rezim militer Suharto yang disebut “Orde Baru” membalikkannya, menempatkan Indonesia di bawah visi ideologis yang sama sekali berbeda den gan yan g diusun g oleh Dem okrasi Terpimpin Sukarno. Di J awa, dua penguasa tanah negara terluas (Perhutani dan perkebunan-perkebunan-perkebunan m ilik pem erintah m aupun swasta), m endapatkan jalan melanjutkan hegemoni mereka atas penduduk desa secara keseluruhan , terutam a m em an faatkan traum a dan ketakutan penduduk desa yang meluas setelah pemberantasan komunisme yang berlangsung secara brutal itu.

Pada tahun 1978 Pemerintah membuat Departemen Keh utan an (sebelum n ya adalah Dir ektor at J en der al Kehutanan dalam Departemen Pertanian), dan selanjutnya

123 m elalui kebijakan Tata Guna Hutan Kesepakatan pada

Ringkasan

tah un 198 4 Men ter i Keh utan an m en un juk apa yan g diistilahkan “kawasan hutan”, seluas 120 juta hektar, 62 persen dari wilayah daratan Republik Indonesia (Contreras- Hemolisa dan Fay 2005). Selanjutnya, terbentuklah sistem ganda penguasaan dan pengelolaan pertanahan di Republik Indonesia ini, yakni pada “kawasan hutan” yang berada di bawah jurisdiksi Departem en Kehutanan berdasarkan Undang-undang Kehutanan (UU no 5/ 1967 yang kemudian direvisi menjadi UU no 41/ 1999) dan tanah-tanah non- kawasan hutan yang berada di bawah jurisdiksi BPN berdasar pada UUPA dan perundang-undangan agraria (Fay dan Sirait 2004, Moniaga 2007).

Di wilayah n on -hutan , pem erin tahan Orde Baru membentuk rejim kebijakan “tanah untuk pembangunan” dengan mengandalkan apa yang secara formal diistilahkan sebagai “pengadaan tanah”. Badan Pertanahan Nasional (BPN) diben tu k pada m u lan ya u n tu k m en in gkatkan kapasitas pem er in tah dalam m elayan i kepen tin gan pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan itu. Protes-protes rakyat secara sporadis meletap-letup di sana- sini. Sejak tahun 1980an para aktivis bantuan hukum dan

h ak Azasi m an usia beker ja m em bela kor ban -kor b an perampasan tanah, mengkritik kebijakan pertanahan Orde Baru, dan mulai mempromosikan (kembali) land reform.

Sejak tahun 1991, Bank Dunia mulai merencanakan intervensi pada hukum, lembaga, dan manajemen tanah Indonesia yang dianggap menghambat munculnya pasar tanah yang efisien dan wajar. Penulis telah menjelaskan bagaim an a proyek tan ah Ban k Dun ia diarahkan pada legalisasi aset tanah yang kemudian menjadi ortodoksi baru dalam BPN.

Tumbangnya rezim militer-otoriter Suharto pada tahun 1998 memungkinkan aktivis agraria dan akademisi untuk m en gartikulasikan kritik terhadap pen ggun aan dan

Land Reform Dari Masa Ke Masa

penyalahgunaan kewenangan pemerintahan oleh Rejim Orde Baru, khususnya kebijakan-kebijakan pemberian konsesi. UUPA 1960 memainkan peran penting sebagai acuan resmi dan inspirasi bagi kalangan aktivis dan akademisi agraria untuk mengingat kembali visi “Sosialisme Indonesia” dan agenda land reform. Penulis telah menunjukkan bagaimana dinamika politik setelah jatuhnya Suharto membuka kemungkinan baru untuk membawa land reform kembali ke arena kebijakan formal di tingkat nasional, termasuk yang disuarakan oleh aktivis dan akademisi agraria melalui seminar dan konferensi, buku, artikel jurnal, advokasi kebijakan dan kampanye, demonstrasi dan bentuk lain dari mobilisasi rakyat, dan lainnya. Satu puncak pencapaian kampanye promosi land reform adalah dihasilkannya TAP MPR RI No.IX/ 2001 yang mengakui bahwa sepanjang orde baru 1967-1998 kebijakan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dijalankan oleh perundang-undangan yang saling tum pang tindih dan bertentangan satu sama lain, dan menghasilkan konflik agraria dan kerusakan lingkungan yang kronis. Presiden dan DPR RI dimandatkan mengkaji ulang perundang-undangan yang bertumpang tindih dan bertentangan satu sama lain itu, dan menjalankan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

Nam un , m eski dalam hirarki sistem perun dan g- undangan Indonesia TAP MPR RI No IX/ 2001 ini berada satu tingkat dibawah UUD, dan setingkat di atas UU, namun efektifitas pelaksanaannya bergantung pada kekuatan- kekuatan yang bekerja efektif dalam proses-proses kebijakan di DPR RI dan badan-badan pemerintahan pusat. Pada kenyataannya, TAP MPR itu adalah instrumennya para aktivis dan akadem isi agraria m en agih badan -badan pemerintah pusat agar mereka menjalankannya.

Bab akhir dari buku kecil ini diisi oleh yang disebut “Reforma Agraria” oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kepala BPN yang baru yang diangkat oleh Presiden Susilo

125 Bam bang Yudhoyono pada tahun 20 0 5, J oyo Winoto,

Ringkasan

merombak organisasi BPN, peran dan fungsinya, menjadikan “Reforma Agraria” menjadi orientasi utama dari BPN, dan secara gencar mempromosikan “Reforma Agraria” sebagai “mandat politik, konstitusi dan hukum” untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan penguasaan tanah, dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Namun, usaha menciptakan legislasi yang mengatur pelaksanaan land reform yan g m en yeluruh, m em ben tuk kelem bagaan pelaksana yang kuat, dan menjalankan program-program redistribusi tanah tidak memperoleh dukungan yang memadai dari pim pinan tertinggi pem erintahan, yakni Presiden Yudhoyon o, koalisi partai politik yan g berkuasa di pemerintahan dan DPR RI. Dalam jaman demokrasi liberal saat ini, dijalankan atau tidak dijalankannya land reform, tidak mengganggu bagi keberlangsungan dan reproduksi elite penguasa politik di DPR RI maupun pemerintahan melalui pemilu Presiden/ Wk.Presiden, DPR/ DPRD, maupun pilkada. Walhasil, walau konflik agraria meletus disana-sini dan protes agraria tak henti-hentinya diartikulasikan, land reform dalam pengertian sebagaimana Michael Lipton (2009) maksudkan tidak menjadi agenda utama pemerintahan nasional. Lebih jauh dari itu, sektoralism e hukum dan kelem bagaan pem erin tahan yan g terus dilan jutkan pada akhirn ya membuat yang disebut “Reforma Agraria” menjadi urusan BPN saja.

Quo vadis kebijakan land reform yang pada mulanya diniatkan untuk pencapaian keadilan sosial?

126 Land Reform Dari Masa Ke Masa