B er sam a d en gan tan ah p er kebu n an , tan ah -tan ah

B er sam a d en gan tan ah p er kebu n an , tan ah -tan ah

kehutanan di J awa juga dikecualikan dari program land reform (1960 – 1965). Pengelolaan hutan di J awa telah diatur oleh perun dan g-un dan gan khusus sejak jam an kolonial, di pertengahan abad kesembilan belas sampai awal abad kedua puluh. Ton ggak bersejarah pada awaln ya dimulai lima tahun sebelum UU Agraria 1870 disahkan, yaitu ketika pemerintahan kolonial mengumumkan UU Keh u t an an t ah u n 18 6 5. UU Keh u t an an 18 6 5 in i m em perdalam praktek yan g dijalan kan pem erin tahan kolonial selama lebih dari setengah abad sejak Gubernur J enderal Daendels mengorganisasi penggunaan hutan jati

pada tahun 180 8 32 melalui dinas kehutanan pemerintah

32 Louis Napoleon yan g m em erin tah Belan da dari tah un 18 0 8 sampai 1811 menunjuk Marsekal Daendels sebagai gubernur jenderal

untuk H india Belanda. Peluso m enulis, “beberapa elem en-elem en utama dari sistem Daendels tetap penting setidaknya secara filosofis sampai dua abad berikutnya: Semua hutan ditetapkan sebagai lahan milik negara (landsdom ein), untuk dikelola demi keuntungan negara; Pengelolaan hutan diserahkan pada Dinas Kehutanan yang didirikan secara lan gsun g un tuk tujuan tersebut; H utan dibagi ke d alam parsel (perceel) untuk ditebang dan ditanami kembali dengan suatu basis rotasi; Akses pen duduk desa pada pohon jati dilaran g, dan

h an ya p en gam bilan kayu m at i d an h asil-h asil h u t an n on -kayu yan g diperbolehkan ” (Peluso 1992:68 ).

34 Land Reform Dari Masa Ke Masa yang pertam a, Dienst v an Bosw ezen, dengan hak-hak

u n tu k m en gu asai tan ah , p oh on , d an ten aga ker ja. 33 Undang-undang tersebut kemudian direvisi dengan UU tah un 18 74, 18 75, 18 97, dan 1913. Sem ua itu adalah u n d a n g-u n d a n g keh u t a n a n p er t a m a -t a m a , ya n g menerapkan lebih lanjut prinsip Dom einverklaring yang menyatakan bahwa semua tanah hutan dan tanah yang tidak dimiliki, adalah tanah milik negara. Tidak semua petani J awa membiarkan begitu saja negara kolonial dan bad an p en gu asa h u tan m en gu r an gi, m en gh ap u skan atau m en gkrim in alisasikan akses m ereka pada tan ah,

h u t a n d a n su m b er d a ya h u t a n . Beb er a p a p et a n i m elancarkan protes terang-terangan, m isalkan seperti gerakan Samin di J awa Tengah (1890 -1915) (Benda dan Castle 1969, Peluso 1992:69-78).

Perubahan besar yang ditimbulkan sebagai akibat

d a r i UU Keh u t a n a n t er m a su k p en d ir ia n Din a s Kehutanan, Het Bosw ezen van Netherland Indie pada 1 J uli 1897, pem bagian beberapa wilayah hutan m enjadi bagian-bagian yang lebih kecil. UU hutan tersebut juga m em asukkan Dinas Kehutanan di bawah Departem en Pertanian, Industri dan Perdagangan, dan memindahkan

33 Peluso m en ulis “UU H utan 18 65 dian ggap sebagai un dan g- un dan g h utan yan g per tam a kalin ya di J awa. Ber sam a den gan

d om ein v er k la r in g tah un 18 70 , yan g m en yatakan bah wa sem ua lahan yan g tidak diklaim dan lahan hutan sebagai lahan n egara, un dan g-un dan g in i m eletakkan dasar un tuk “h utan sain tifik” sebagaim an a dipr aktekkan sekar an g. Meskipun pr in sip-pr in sip filosofis dar i m an ajem en h u tan n egar a telah dipelih ar a selam a ratusan tahun atau lebih di Hindia, dan di tempat-tempat lain selama milenia . . . , ada sebuah perbedaan antara peraturan saintifik yang bar u dan deklar asi dan per jan jian di tah un -tah un sebelum n ya. Penguasaan tanah mendahului penguasaan spesies dan tenaga kerja sebagai kunci untuk kebijakan negara terhadap hutan. Negara tidak m elepaskan ben tuk-ben tuk ken dali lam a in i, tapi seirin g den gan waktu dan watak negara kolonial yang berubah, berganti pula cara- cara pengendalian hutan (Peluso 1992:50 ).”

35 p olisi h u t a n ke d a la m yu r isd iksi la n gsu n g Din a s

Bagaimana Hutan Dipisahkan Dari Tanah Pertanian

Keh u t a n a n (Soep a r d i 19 74 b :6 0 -6 3 ; Dep a r t em en Kehutanan 1986b:73-88; Peluso 1992:44-55).

UU Keh utan an 18 65 kem udian digan tikan oleh Undang-undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura tahun 1927 dan 1932, yang kemudian menjadi dasar yang lebih ku at u n tu k m en etapkan kawasan h u tan n egar a dan memisahkan tanah-tanah hutan negara dengan lainnya m elalui proses-proses pen catatan dan pem etaan yan g

resmi. 34 Walhasil, komposisi wilayah-wilayah yang berada di dalam eksploitasi negara dan swasta atas hutan-hutan jati di J awa berubah dari tahun 1900 sampai 1930. Furnival melaporkan pada tahun 1900 bahwa semua lahan hutan yang dieksploitasi oleh pihak-pihak swasta jum lahnya mencapai 655 ribu hektar. Tanah-tanah hutan ini memiliki kategori yang berbeda dengan lahan-lahan hutan yang berada dalam penguasaan langsung Dinas Kehutanan.

34 Untuk terjem ahan Indonesia lengkap dari Bosordonansi Jaw a M ad u ra 1927, Bosv erorderin g Jaw a M adura 1932, lihat: Perum

Perhutani (1984). Sebagaimana ditulis oleh Peluso, UU tahun 1927 dan 1932 mendefinisikan kawasan hutan negara di J awa dan Madura sebagai berikut:

a . tan ah-tan ah yan g dim iliki n egara, yan g oran g atau pihak lain tidak memiliki hak atau penguasaan, dan dimana tumbuh: √ spesies pohon berkayu yang tumbuh secara alamiah dan bambu, √ spesies pohon berkayu yang ditanam oleh Dinas Kehutanan, √ spesies pohon berkayu yang tidak ditanam oleh Dinas Kehutanan

tapi ditan am oleh n egara dan diserahkan kepada Din as Kehutanan untuk pengelolaannya,

√ spesies pohon berkayu yan g ditan am dari perin tah n egara/

pemerintah, spesies pohon non-kayu yang ditanam oleh Dinas Keh utan an ;

b . sem ua tan ah-tan ah yan g m en gelilin gi tan ah-tan ah yan g

disebutkan dalam paragraf di atas (a) dimana tanaman-tanaman berkayu tidak tum buh; selam a tan ah-tan ah tersebut tidak digunakan untuk tujuan lain di luar kewenangan Dinas Kehutanan;

c . sem u a t a n a h -t a n a h ya n g d ilin d u n gi oleh n ega r a u n t u k m em elih a r a a t a u m em p er lu a s h u t a n ;

36 Land Reform Dari Masa Ke Masa Pada tahun 1930 , setelah melalui proses restrukturisasi

panjang yang pada dasarnya bertujuan untuk memasukkan sem u a wilayah h u tan ke d alam ken d ali pem er in tah , perusahaan-perusahaan swasta hanya mengendalikan 97 ribu hektar. Wilayah-wilayah hutan di bawah eksploitasi n egara m en capai 698 ribu hektar (Furn ival 1944:325

d iku t ip d alam Boom gar d 19 9 4:130 -131). Set elah pembentukan Dienstvak: Dienst der Bossen op Java and M adura di tahun 1938, yang m enyatukan Djatibedrijf (Perusahaan J ati] dan Dinas Kehutanan yang mengurusi kayu rim ba, sem ua eksploitasi hutan oleh perusahaan- perusah aan swasta diakh iri (Departem en Keh utan an 1986a:115, Peluso 1992:67).

Sampai akhir era kolonial Belanda di tahun 1940 , Dinas Kehutanan melaporkan sudah mengelola 757.648 hektar hutan jati. J umlah tersebut mencakup sekitar 92 persen dari jumlah keseluruhan hutan jati di J awa dan Madura. Din as Kehutan an tersebut m en gelola sekitar 819.749 hektar dari hutan kayu belantara, setara dengan

30 persen dari jumlah keseluruhan hutan kayu belantara di J awa dan Madura (Soepardi 1974:121). Di bawah pen dudukan J epan g (1942-1945), baik m anajem en m aupun institusi kehutanan berada dalam kondisi kacau. Ringy oo Ty uoo Zim usy o dibentuk untuk menggantikan kewenangan Bosw ezen, namun sebagian besar pengelola hutan berkebangsaan Belanda menolak untuk bergabung. Sebagian besar dari kawasan hutan tidak berhasil dikelola. Pihak J epang m engam bil kayu

d . sem u a t a n a h -t a n a h t er m a su k t a n a h h u t a n [n ega r a ] d isa a t

bat asan -bat asan h u t an d it et ap kan (Pelu so 19 9 2:6 6 ). P er a t u r a n ya n g sa m a m en d efin isika n h u t a n ja t i seb a ga i

“t a n a h a t a u b id a n g t a n a h (a ) d i sem u a a t a u seb a gia n d im a n a poh on -poh on jati tu m bu h ; d an (b) yan g d ir an can g oleh n egar a un tuk perluasan h utan jati, baik tan ah tersebut sudah ditan am i p oh on at au p u n belu m d it an am i” (Pelu so 19 9 2:6 6 ).

37 un tuk tujuan per an g tan pa m em per h atikan m asalah

Bagaimana Hutan Dipisahkan Dari Tanah Pertanian

r efor est a si, d a n m em er in t a h ka n m a sya r a ka t u n t u k mengubah tanah hutan menjadi tanah pertanian minyak untuk bahan bakar (J atropha) dan makanan, termasuk u n t u k b a la t en t a r a J ep a n g (Soep a r d i 19 74 :1-4 0 ; Departement Kehutanan RI 1986b:1-21; Peluso 1992:93- 97; Simon 1999:39-41). Sebagaimana disebutkan di bagian awal, para petani pada m ulanya m enyam but perintah J ep an g u n t u k m en golah lah an h u t an yan g d u lu n ya terlarang, namun tidak terlalu lama sebelum para petani melawan bentuk pemaksaan kerja pertanian ini.

Den gan pr oklam asi kem er dekaan 1945, elit-elit politik m en doron g pen gelola h utan In don esia un tuk m en em ukan cara-cara baru pen gaturan h utan un tuk m en jalan kan pr in sip-pr in sip yan g ditetapkan dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, terutama p a sa l 33 ya n g m en ya t a ka n b a h wa “b u m i, a ir , d a n kekayaan alam yang terkandung di dalam nya dikuasai n ega r a d a n d ip er gu n a ka n u n t u k seb esa r -b esa r kem a km u r a n r a kya t ” (Poer wokoesoem o 19 56 :2 18 ; Soepardi 1974:41-83). Sementara itu, perang kemerdekaan m em bu at ken d ali kolon ial t er h ad ap h u t an m en jad i m engendor, dan para penduduk desa bertindak secara leluasa memanfaatkan hutan, termasuk mengambil kayu di wilayah yang sejak lama dilarang. Berbagai ketegangan mulai berm unculan. Nam un, J awatan Kehutanan yang mewarisi sekitar tiga juta hektar tanah hutan di Jawa telah gagal untuk mendirikan sebuah tatanan kelembagaan dan pengaturan yang baru. Para pengelola hutan bersikukuh untuk melanjutkan apa yang telah dilakukan oleh Bosw ezen pada masa kolonial terdahulu.

Setelah pemberlakuan UUPA 1960 , dua organisasi gerakan pedesaan beraliaran kiri, Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Serikat Buruh Kehutanan Indonesia (SABUKSI), m elan car kan sebu ah kam pan ye u n tu k m em asu kkan

38 Land Reform Dari Masa Ke Masa sebagian dari tanah hutan yang berada dalam kendali Dinas

Kehutanan ke dalam program land reform. Para pengelola hutan mengartikan kampanye tersebut secara berbeda-beda. Salah satu faksi dari rim bawan m em an dan g gerakan ter sebut sebagai sebuah an cam an ter h adap h utan , kehutanan dan pengelolaan hutan. Mereka berpendapat bahwa tanah kehutanan harus dikecualikan dari program land reform karena Jawatan Kehutanan berdasar pada UU 1927 dan 1932, dan bukannya UUPA 1960 . Sedangkan kelompok rimbawan yang lain bersikap simpatik terhadap gerakan pedesaan tersebut dan mendukung segala upaya m erom bak J awatan Kehutanan untuk m engakom odasi tuntutan redistribusi tanah hutan untuk dijadikan tanah pertanian.

UU keh u tan an dan UU agr ar ia m er u pakan du a perangkat UU yang secara keseluruhan m em iliki rute, kewenangan dan daerah jurisdiksi yang berbeda. Para r im b a wa n ya n g a n t i la n d r e fo r m m e m p r a k a r s a i k e s e p a k a t a n d e n ga n P r e s id e n Su k a r n o u n t u k m em prom osikan status J awatan Keh utan an m en jadi p er u sa h a a n m ilik n ega r a t in gka t p r op in si d en ga n m en ja n jika n p en d a p a t a n t a h u n a n u n t u k a n gga r a n negara dari perusahaan-perusahaan tersebut. Di tahun 1961 Sukarno m enandatangani seperangkat peraturan pem erintah (No. 17 sam pai No. 30 ) untuk m endirikan perusahaan-perusahaan kehutanan m ilik negara di tiga belas propinsi term asuk J awa Tim ur, J awa Tengah, dan J a wa Ba r a t . Kem u d ia n , Su ka r n o m en a n d a t a n ga n i per atur an pem er in tah yan g lain (No. 35/ 1963) yan g m e n ga t u r p r in s ip d a n m e k a n is m e p e n ge lo la a n perusahaan -perusahaan kehutan an tersebut. Sebelum pen gaturan in i berjalan , ketegan gan an tara kalan gan bir okr at keh u tan an di J awatan Keh u tan an yan g pr o versus anti-land reform m eningkat sehubungan dengan

b a n ya kn ya “a ksi p en d u d u ka n t a n a h sep ih a k” p a d a

39 beberapa bagian tanah kehutanan di J awa, seperti juga

Bagaimana Hutan Dipisahkan Dari Tanah Pertanian

ya n g b e r la n gs u n g p a d a t a n a h - t a n a h p e r k e b u n a n negara dan swasta, serta tanah-tanah pertanian pribadi yang luas.

Pemimpin PKI – dan ormas-ormas pedesaan yang berada di bawah pen garuh n ya – berpen dapat bah wa sebagian besar dari para pen guasa tan ah -tan ah luas tersebut telah melanggar UUPA dan bersiasat sedemikian r u p a u n t u k m en cega h t a n a h -t a n a h m er eka u n t u k dijadikan target/ sasaran program redistribusi tanah. 35 Ket ega n ga n sem a kin m en in gka t ket ika kelom p ok- kelompok politik anti-komunis beraksi dan bereaksi balik terhadap menguatnya kekuatan PKI dan pendukungnya di dalam dan di luar birokrasi kehutanan.

Kemudian di tahun 1965, sebuah upaya kudeta yang dirancang oleh para tentara dan elite pemimpin PKI untuk menculik dan membunuh beberapa jenderal angkatan darat

35 P elu so (19 9 2 :119 ) m en gga m b a r ka n p en d u d u ka n la h a n ter sebu t sebagai ber iku t: Sekelom pok petan i, ber ju m lah sekitar

ratusan atau ribuan dan dikabarkan digerakkan oleh BTI atau kelom pok pem uda PKI, Pem uda Rakyat, m em asuki lahan hutan . Mereka kem udian akan m em bagi lahan hutan tersebut di an tara p a r a p et a n i.Ser in gka li, kelom p ok-kelom p ok in i b er h a d a p a n

d en ga n p eker ja p er u sa h a a n keh u t a n a n ya n g b ia sa n ya dikabarkan berusah a un tuk m en gh en tikan para petan i tersebut. Ter kad an g, p en gelola h u tan yan g sim p atik d en gan p ar a p etan i ter sebu t ber u sah a u n tu k m en jau h d ar i kon flik. In sid en -in sid en ser in gka li m en im b u lka n kor b a n lu ka d a r i p et a n i m a u p u n p eker ja p er u sa h a a n keh u t a n a n . Da la m b a n ya k ka su s, r u m a h m a n d or h u t a n a t a u r u m a h p ih a k ya n g t er ka it a t a u ka n t or - ka n t or d iser a n g d a n d ija r a h d a n u a n gn ya d icu r i. Da la m beber apa kasu s, faksi-faksi kom u n is m em bela tin d akan m er eka

d en gan ber kat a bah wa m an d or h u t an set em p at m em p r ovokasi oku p a si t a n a h h u t a n m ela lu i p en ya la h gu n a a n wewen a n g sebelum kejadian tersebut (H arian Ben ten g, October 21, 1964). Para m an dor hutan terkadan g bereaksi den gan cara kon fron tatif pula, seperti m engganti para petani hutan BTI begitu saja dengan pekerja hutan yang berasal dari luar desa. Dalam contoh lainnya,

40 Land Reform Dari Masa Ke Masa dan memproklamasikan Dewan Revolusi, memprovokasi

gerakan kontra-manuver yang masif dari Angkatan Darat dan kekuatan-kekuatan anti-komunis lainnya, yang secara efektif menghabisi kekuatan komunis: ideologi, organisasi, hingga orang-orangnya (lihat uraian selanjutnya tentang hal ini di bagian akhir “Kebangkitan dan Kejatuhan Land Refor m 19 6 0 -19 6 5”). Digu lin gkan n ya Su kar n o, d an dian gkatn ya Suharto sebagai presiden baru Republik Indonesia di tahun 1966, m erupakan awal dari babak bar u yan g m en gakh ir i p r ogr am lan d r efor m secar a keseluruhan, termasuk untuk meredistribusikan bagian- bagian tanah kehutanan J awa kepada para petani yang tidak memiliki lahan. Peluso menjelaskan:

Setelah upaya kudeta, yang kemudian dikenal dengan sebutan Gerakan 30 Septem ber (G30 S), banyak or-

a n g ya n g m em iliki m a sa la h d en ga n J a wa t a n Kehutanan – yakni para penggarap tanah kehutanan, bu r u h keh u t an an d ar i or gan isasi yan g ber afiliasi dengan partai komunis, dan para pedagang gelap kayu jati – telah dibunuh atau dipenjara sebagai tahanan p olit ik. Kelom p ok-kelom p ok Isla m , t en t a r a , d a n kelom pok pem uda telah digerakkan oleh kekuatan kon tra-revolusi un tuk m en em ukan dan m em bun uh setiap or an g yan g diketah u i atau diyakin i sebagai kom u n is, t er m a su k set ia p or a n g ya n g b er a filia si

d en ga n or ga n isa si kom u n is. An ggot a -a n ggot a SARBUKSI yan g tidak dibun uh atau dipen jarakan , dipecat secara perm an en dari J awatan Keh utan an (Pelu so 1992:120 -121).

seor a n g p et a n i m en u n t u t h a k t a n a h b er d a sa r ka n a la sa n p en d u d u ka n t a n a h ya n g d ila ku ka n seja k za m a n J ep a n g. Dila p or ka n b eb er a p a m a n d or h u t a n set em p a t m en er im a u a n g su a p d a r i p eker ja r efor est a si a ga r m em b oleh ka n m er eka m en gga r a p p lot -p lot t a n a h d i d a la m h u t a n (Dep a r t em en Keh utan an 198 6, 2:10 9). BTI m em bela klaim -klaim par a petan i den gan alasan kebijakan pem erin tah un tuk m en aikkan produksi m akan an . Kelapar an , m en u r u t m er eka, sed an g m elan d a d aer ah p ed esa a n (Mor t im er , 19 74 ).

Bagaimana Hutan Dipisahkan Dari Tanah Pertanian

Bahkan, lebih dari itu, kekerasan yang sistematis dan meluas sepanjang tahun 1965-1966 menyisakan trauma yang mendalam bagi mayoritas rakyat pedesaan selama puluhan tahun berikutnya.

Pemisahan kehutanan dari wilayah agraria diperlebar setelah Pr esid en Su h ar to m en an d atan gan i Un d an g- undang Kehutanan (UU No. 5/ 1967) sebagai bagian dari sebuah paket untuk memfasilitasi investasi modal dari luar negeri dan dalam negeri dalam sektor ekstraktif. Selain dari UU Kehutanan 1967, paket hukum tersebut terdiri dari tiga UU lain, yaitu UU No. 1/ 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No.8/ 1967 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, dan UU No. 11/ 1967 tentang Pertambangan. UU Keh utan an 1967 in i sam a sekali tidak m en yin ggun g keberadaan UUPA 1960. Lebih parah lagi, UU Kehutanan 1967 ini menghidupkan kembali prinsip dom ain negara yang m enyatakan bahwa negara adalah pem ilik lahan hutan , dan Men teri Kehutan an m em iliki kewen an gan untuk m enentukan kawasan m ana saja yang term asuk dalam “kawasan hutan” (Pasal 1 dari UU Kehutanan 1967). Berdasarkan pernyataan ini Menteri memiliki kewenangan untuk m em berikan konsesi penebangan hutan kepada perusahaan-perusahaan swasta dari dalam dan luar negeri (Pasal 14 d ar i UU Keh u t an an 19 6 7, d an Per at u r an

Pem erintah No. 21/ 1970 ). 36 Pada tahun 1983, Presiden Suh ar to m em utuskan un tuk m em isah kan Dir ektor at J en deral Kehutan an dari Departem en Pertan ian , dan m enaikkan statusnya m enjadi Departem en Kehutanan dengan yurisdiksi sekitar lebih dari 140 juta hektar lahan hutan di seluruh Indonesia. Luas lahan hutan tersebut

36 An tar a 1967 sam p ai 1975 em p at belas kon sesi p en eban gan h u t an d iber ikan kep ad a p er u sah aan -p er u sah aan asin g yan g

m en dapat 2,948 juta h ektar h utan prim er, dan tujuh puluh dua konsesi diberikan kepada perusahaan-perusahaan join-venture yang m en dapat 7,6215 ju ta h ektar (Ru zika 1978 :10 ).

42 Land Reform Dari Masa Ke Masa mencakup 70 persen dari luas lahan seluruh Indonesia. Dengan

dem ikian, sektor kehutanan m enjadi salah satu sektor ekstraktif yang strategis. Dari sektor kehutanan ini, rejim Suharto dan perusahaan-perusahaan penebangan hutan dari dalam dan luar negeri mengakumulasi kekayaan mereka den gan m en geksploitasi hutan prim er un tuk kayu di kepulauan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya (Barr 1998, Dauvergne 1994, Gellert 2010) (lihat tabel 1).

Un tuk wilayah J awa dan Madura, pem erin tahan Suharto secara resm i m endirikan kem bali Perusahaan Hutan Negara (Perhutani) pada tahun 1972 dalam bentuk perusahaan milik negara untuk mengelola lahan hutan di J awa Tengah dan J awa Timur (Peraturan Pemerintah No. 2/ 1972). Tujuan utama dari Perhutani ini adalah untuk menghasilkan keuntungan dari produksi kayu jati. Lebih dari 80 persen dari hutan di J awa Tengah dan J awa Timur berada di bawah kendali Perhutani. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 64/ 1957, Pemerintah Propinsi J awa Barat tetap mempertahankan kewenangannya atas lahan hutan J awa Barat. Kawsan hutan J awa Barat dinilai berbeda dengan kawasan hutan di J awa Tengah dan J awa Timur karena perbedaan nilai dan keuntungan yang dihasilkan melalui karakter-karakter hutan yang berbeda. Hanya 7 persen (sekitar 67.861,70 dari 968.100 hektar) dari hutan J awa Bar at yan g m er u pakan h u tan jati. Dan kar en a perbedaan ciri-ciri ekologi tanah dan iklim di hutan jati J awa Barat, pohon jati tersebut belum pernah tumbuh sebegitu baik diban din gkan den gan di J awa Ten gah dan J awa Tim u r . Selan ju tn ya, d en gan tu ju an u n tu k m em bu at pengelolaan hutan J awa Barat menjadi menguntungkan dan tidak tergantung sepenuhnya pada anggaran negara, pemerintahan Suharto di tahun 1978 memutuskan untuk memasukkan hutan J awa Barat dalam kendali Perhutani (Peraturan Pemerintah No. 2/ 1978) (Hidayat et al 1980, Peluso 1992:285 fn 5).

Bagaimana Hutan Dipisahkan Dari Tanah Pertanian

44 Land Reform Dari Masa Ke Masa Walhasil, setelah m em asukkan hutan J awa Barat,

kawasan yan g d iku asai oleh Per h u tan i sekar an g in i sama dan sebangun dengan kawasan yang dikendalikan dan dikuasai oleh J awatan Kehutanan Belanda di J awa, kecuali untuk enclave-enclave tanah yang diduduki oleh para petan i, baik yan g dim ulai pen dudukan n ya pada m asa In d on esia d i bawah p em er in t ah p en d u d u kan J epang (1942-1945) atau menduduki dan memanfaatkan tanah tersebut sejak revolusi (Peluso 1992:125). Bukan

h an ya wilayah n ya yan g sam a d an seban gu n d en gan pen dahulu kolon ialn ya, lebih dari itu, Perhutan i juga m elan jutkan ben tuk-ben tuk kolon ial dari pen guasaan

h u t a n , t er it or ia lisa si, d a n p en gelola a n h u t a n ya n g dilegitimasi oleh tiga prinsip ideologi utama:

(a) bahwa kehutanan negara dilangsungkan berdasar p r in sip u tilitar ian , segala sesu atu u n tu k sebesar - besar kem akm uran rakyat (the greatest good of the

g r ea test n u m ber of p eop le ); (b) bah wa keh utan an ilm ia h (scien t ific for est r y ) a d a la h su a t u b en t u k p en ggu n aan su m ber d aya yan g p alin g efisien d an r a sion a l; d a n (c) b a h wa m em p r om osika n p er t u m b u h a n ekon om i m ela lu i u sa h a p r od u ksi kehutanan adalah orientasi utama (Peluso 1992:125).

Peluso menulis “ideologi-ideologi ini tidak cocok dengan p an d an gan m asyar akat lokal m en gen ai h u t an , ju ga tidak berkontribusi pada perkem bangan petani hutan” (Ibid).

Ber bagai kar ya tu lis telah m en d oku m en tasikan bagaim an a r akyat petan i d i d esa-d esa sekitar h u tan dikriminalisasi dan berjuang, sehubungan dengan akses m ereka atas h utan di J awa (Peluso 1992, Lin dayan ti

20 0 3, Suprapto 20 0 3, Santoso 20 0 4, Mary et al 20 0 7). Hegem oni Perhutani m enguasai kawasan hutan – apa yang diistilahkan Vandergeest dan Peluso (20 0 1, 20 0 6a,

Bagaimana Hutan Dipisahkan Dari Tanah Pertanian

20 0 6b) sebagai political forest (hutan yang didefinisikan

secara politis) 37 telah dipertahan kan m elalui berbagai ben tu k p en in d asan m em p er gu n akan keker asan d an penaklukan melalui kesepakatan. Hegemoni ini jauh dari stabil. Perhutani merancang dan menjalankan berbagai ben tu k pr ogr am per h u tan an sosial u n tu k m en gatasi kon flik p en gu a sa a n d a n p em a n fa a t a n h u t a n . Perhutanan sosial di J awa m em punyai rutenya sendiri sejak tahun 1970 -an yang berakar dalam pertarungan dan perun din gan yan g pan jan g an tara Perhutan i dan penduduk desa dalam akses atas tanah dan sumberdaya

hutan . 38 Produksi berbagai ben tuk perhutan an sosial

d a p a t d ip a h a m i seb a ga i sia sa t u n t u k m ela n ju t ka n

h egem on i Perh utan i terh adap m asyarakat desa yan g t in gga l d i sekit a r ka wa sa n h u t a n . Sia sa t t er seb u t dijalankan dengan menyediakan dan memodifikasi akses ke ka wa sa n h u t a n t er t en t u , t er m a su k u n t u k dipergunakan rakyat untuk kegiatan-kegiatan wana-tani (a g r ofor est r y ). Ber ba gai siasat t er sebu t t elah ju ga dipergun akan un tuk m en an din gi gerakan sosial yan g menuntut pengakuan hak tanah dan redistribusi tanah- tanah yang dikuasai Perhutani. Dengan m enggunakan

b er b a ga i sia sa t t er seb u t , Per h u t a n i b er h a sil d a la m menyampaikan sebuah pesan ke pendukung land reform bahwa tanah hutan di J awa harus dikeluarkan dari pro- gram land reform.

37 Cara-cara Perhutani melanjutkan penguasaan hutan, penerapan hutan ilmiah, teritorialisasi, dan pengelolaan model hutan kolonial,

m em u n gkin kan Van d er geest d an Pelu so (20 0 1, 20 0 6a, 20 0 6b) untuk m enteorikan apa yang m ereka sebut political forest (hutan yan g d id efin isikan secar a politik).

38 Untuk penjelasan yang lebih lengkap m engenai perjalanan kebijakan kehutanan sosial di J awa, lihat: Barber (1989), Peluso dan

Poffenberger (1989), Peluso (1992), Sunderlind (1993), Bratamihardja et al (1995), Lindayati (20 0 0 , 20 0 3), dan Awang (20 0 4).

46 Land Reform Dari Masa Ke Masa

- VII -