Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di Kota Medan

(1)

TESIS

Oleh

ADRIAL FALAHI

127024020/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU

DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) Program Studi Magister

Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh :

ADRIAL FALAHI

127024020/SP

PROGRAM STUDI MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

GURU DI KOTA MEDAN Nama Mahasiswa : Adrial Falahi

Nomor Pokok : 127024020

Program Studi : Studi Pembangunan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Subhilhar, MA, Ph.D) (Husni Thamrin, S.Sos., MSP) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA) (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juli 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Subhilhar, MA, Ph.D Anggota : Husni Thamrin, S.Sos., MSP

: Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA : Drs. Humaizi, MA

: Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si


(5)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU

DI KOTA MEDAN

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, 23 Juli 2014 Penulis,


(6)

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU

DI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Sertifikasi Guru merupakan program penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Implementasi merupakan kunci sukses sebuah program. Kegagalan dalam melaksanakan program berarti kegagalan dalam mencapai tujuan dari program tersebut. Sementara fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan dengan menggunakan isu-isu interaktif yang digagas oleh George C. Edward III berupa komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang berperan dalam pelaksanaan kebijakan. Keberperanan empat isu ini sangat bermakna bagi implementasi kebijakan dan penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisis deskriptif dan objek penelitiannya adalah panitia sertifikasi guru di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Medan, guru yang telah mengikuti sertifikasi guru dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013, panitia sertifikasi guru di LPMP Sumatera Utara dan panitia sertifikasi guru di LPTK. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan telah memenuhi empat isu Implementasi Kebijakan Publik model Edward III walaupun belum sempurna. Komunikasi adalah unsur yang paling lemah dalam pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Penyampaian informasi terganggu oleh kurangnya sosialisasi yang dilakukan baik dari segi waktu dan materinya serta model penyampaian informasi yang juga kurang tepat sehingga menyebabkan informasi yang tidak jelas dan tidak sampai ke guru. Kelemahan dari sudut konsistensi peraturan kebijakan itu sendiri telah menciptakan image yang tidak baik dalam masyarakat. Peraturan yang berubah-ubah telah membuat masyarakat khususnya guru menjadi bingung. Keberpihakan kebijakan khususnya terhadap guru (sebagai sasaran) hendaknya bisa diciptakan sehingga program ini bisa mencapai target dan sasaran secara maksimal.

Kata kunci : Implementasi, Kebijakan Sertifikasi Guru, Komunikasi dan Konsistensi


(7)

ABSTRACT

Teacher Certification is an important program to improve the quality of National Education. The implementation of the program is the keys to success. Failure to implement the program means failure to achieve the goal. The focus of this research is to identify and analyze the implementation of teacher certification policies in Medan by using interactive issues initiated by George C. Edward III is communications, resources, disposition and bureaucratic structures that play a role in policy implementation. The fourth role is a very significant issue for policy implementation.This study uses qualitative descriptive analysis. Is a research subject in the teacher certification committee Medan City Department of Education, teachers who have been following the certification of teachers from 2007 to 2013, the committee LPMP teacher certification in North Sumatra and teacher certification in LPTK committee. The results of this study indicate that teacher certification policy implementation in Medan has met four issues of Public Policy Implementation model of Edward III, although not perfect. Communication is the weakest element in the implementation of teacher certification policy. Submission of information is interrupted by the lack of socialization in terms of both time and material and information delivery models are also causing less precise information is not clear and not up to the teacher. Weak regulation from the point of consistency has created a policy that is not a good image in the society. Regulatory change has been made public, especially teachers become confused. Alignments policy especially towards the target (teacher) should be created so that the program can reach targets and objectives to the maximum.

Keywords : Implementation, Teacher Certification Policy, Communications and Consistency


(8)

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya saya dapat meyelesaikan tesis ini dengan Judul : “Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di Kota Medan”. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Magister Studi Pembangunan (MSP) pada program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatara Utara.

Penulis sudah merasa melakukan penelitian dengan kemampuan maksimal, namun tentunya tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih terdapat banyak kekurangan. Hal ini tentunya disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan waktu yang dimiliki oleh penulis.

Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M.&H., M.Sc. (C.T.M.), Sp.A.(K.) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU)

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, M.A selaku Ketua Program Magister Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara dan dosen pembanding.

4. Bapak Dr. R. Hamdani Harahap, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Magister Studi Pembangunan dan dosen pembanding.

5. Prof. Subhilhar, MA, Ph.D, sebagai dosen pembimbing I saya yang telah memberikan waktu, semangat dan saran-saran yang membangun guna mendukung pengerjaan tesis ini menjadi sempurna dan dapat dipertanggungjawabkan.

6. Bapak Husni Thamrin, S.Sos., MSP, sebagai dosen pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dalam membimbing, memberikan pengarahan, pengetahuan dan dukungan.

7. Bapak Drs. Humaizi, MA selaku dosen pembanding yang telah memberikan banyak masukan di dalam proses penulisan tesis saya

8. Seluruh Dosen Program Studi Magister Studi Pembangunan yang telah banyak memberikan pengetahuan dan petunjuk selama penulis mengikuti pendidikan sehingga memberikan wawasan yang luas dalam menyelesaikan tesis ini.


(9)

Dina, Bang Iwan dan Ibu Nisa, yang telah banyak membantu saya dalam proses penyusunan administrasi dan memberikan semangat.

10.Bapak Irwansyah, S.Pd, selaku Panitia/Staff pengelola Sertifikasi Guru Kota Medan yang telah memberikan waktu dan kesempatan bagi saya untuk melakukan penelitian di Dinas Pendidikan Kota Medan.

11.Bapak Drs. H. Ridwanto, M.Si, selaku Ketua Panitia Sertifikasi Guru Rayon 132 Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al-Washliyah yang telah banyak bekerjasama dalam rangka mensukseskan dan menyelenggarakan Sertifikasi Guru dan memberikan kesempatan untuk diwawancarai.

12.Seluruh mahasiswa program Magister Studi Pembangunan FISIP USU Tahun 2012 Angkatan XXV. Terima kasih untuk setiap kebersamaannya dalam proses menggali ilmu pengetahun untuk mencapai gelar magister. Semoga kita dapat mengaplikasikan ilmu yang sudah kita pelajari di lingkungan masyarakat secara bertanggung jawab.

13.Ayahanda Abdul Kadir Hasry (Alm) dan Ibunda Yarnis Syarif, Abang, Uni, Abang/Kakak Ipar serta ponakan penulis, atas do’a restu serta dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

14.Devi Silvia Rahmi, S.Pd, Istriku tercinta dan anak-anakku tersayang Fadhil Roghdan Falahi dan Lu’lu’ Al Faqihah Falahi yang selama ini mendampingi dengan penuh pengorbanan dan kesabaran serta pengertian kepada penulis. 15.Segenap pihak yang belum disebutkan di atas dan juga telah memberikan

bantuan kepada penulis baik langsung maupun tidak langsung.

Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan dan dicatat sebagai amal shalih dari Allah SWT.

Besar harapan saya semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pembaca terutama pengambil keputusan dan pelaksana kebijakan sertifikasi guru untuk dapat dipergunakan sebagai sumbang saran pemikiran.

Medan, Juli 2014 Peneliti,


(10)

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang memiliki nama lengkap Adrial Falahi merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Drs. Abdul Kadir Hasry (Alm) dan Ibu Yarnis Syarif, BA. ini lahir di Kota Padang, pada tanggal 30 November 1973. Pendidikan Sekolah Dasar penulis, ditempuh SD Negeri 1980 dan lulus pada tahun 1986. Selanjutnya penulis menjalani pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 1 Patumbak dan lulus pada tahun 1990. Pada tahun 1992 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Medan. Pada tahun 1993 penulis melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri yaitu di Jurusan Ilmu Administrasi Negara (IAN) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, dan dinyatakan lulus pada bulan Februari. Pada tahun 2012, penulis kembali melanjutkan pendidikan pada program studi Magister Studi Pembangunan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan lulus pada bulan Juli 2014.

Setelah lulus dari pendidikan S1, penulis bekerja sebagai dosen dan menjabat sebagai Kepala Laboratorium Komputer di Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al-Washliyah sampai dengan saat ini.


(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 8

1.3.Tujuan Penelitian ... 8

1.4.Manfaat Penelitian ... 9

2. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Kebijakan ... 10

2.2.Pengertian Kebijakan Publik ... 11

2.3.Pengertian Implementasi Kebijakan Publik ... 14

2.4.Model Implementasi Kebijakan Publik ... 17

2.5.Sertifikasi ... 23

2.5.1. Latar Belakang Sertifikasi ... 23

2.5.2. Pengertian Sertifikasi ... 26


(12)

vii

2.6.Defenisi Konsep ... 29

2.7.Kerangka Pemikiran ... 31

3. BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian ... 32

3.2.Lokasi Penelitian ... 32

3.3.Informan Penelitian ... 33

3.4.Teknik Pengumpulan Data ... 34

3.5.Teknik Analisa Data ... 35

4. BAB IV HASIL DAN ANALISIS DATA PENELITIAN 4.1.Deskripsi Lokasi Penelitian ... 37

4.1.1. Gambaran Umum Kota Medan ... 37

4.1.2. Geografi ... 39

4.1.3. Demografi ... 41

4.1.4. Kondisi Pendidikan Kota Medan ... 42

4.1.5. Visi dan Misi serta Tujuan Dinas Pendidikan Kota Medan ... 45

4.2.Gambaran Umum Sertifikasi Guru ... 50

4.2.1. Pengertian, Tujuan, Manfaat dan Dasar Hukum Sertifikasi Guru ... 50

4.2.2. Pola Pelaksanaan Sertifikasi Guru ... 52

4.2.3. Mekanisme, Alur Kerja dan Aktivitas Institusi ... 57

4.3.Hasil Temuan Penelitian ... 73

4.3.1. Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di Kota Medan ... 73


(13)

4.3.3. Sumberdaya ... 83

4.3.4. Disposisi ... 90

4.3.5. Struktur Birokrasi ... 94

4.3.6. Kendala Pelaksanaan Sertifikasi Guru ... 97

5. BAB VI PENUTUP 5.1.Kesimpulan ... 105

5.2.Saran ... 108


(14)

ix

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 4.1. Rangkuman Hasil Wawancara ... 102 4.2. Tanggapan Interviewer Tentang Pelaksanaan Sertifikasi Guru ... 104


(15)

No. Judul Halaman

2.1. Bagan Model George C. Edward III ... 22

2.2. Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn ... 23

4.1. Peta Kecamatan Kota Medan ... 39

4.2. Struktur Organisasi Dinas Pendidikan Kota Medan ... 49

4.3. Alur Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan ... 55

4.4. Mekanisme Sertifikasi Guru Tahun 2013 ... 58


(16)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Pedoman Wawancara Terhadap Panitia Sertifikasi Guru di Dinas

Pendidikan Kota Medan ... 113 2. Pedoman Wawancara Terhadap Guru Tersertifikasi (Tahun 2007,

2008, 2009, 2010, 2011, 2012 dan 2013) ... 115 3. Pedoman Wawancara Terhadap Panitian Sertifikasi Guru di LPMP

Sumatera Utara ... 117 4. Pedoman Wawancara Terhadap Panitian Sertifikasi Guru di LPTK

UMN Al-Washliyah Medan ... 119


(17)

ABSTRAK

Sertifikasi Guru merupakan program penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Implementasi merupakan kunci sukses sebuah program. Kegagalan dalam melaksanakan program berarti kegagalan dalam mencapai tujuan dari program tersebut. Sementara fokus penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan dengan menggunakan isu-isu interaktif yang digagas oleh George C. Edward III berupa komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang berperan dalam pelaksanaan kebijakan. Keberperanan empat isu ini sangat bermakna bagi implementasi kebijakan dan penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui analisis deskriptif dan objek penelitiannya adalah panitia sertifikasi guru di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Medan, guru yang telah mengikuti sertifikasi guru dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2013, panitia sertifikasi guru di LPMP Sumatera Utara dan panitia sertifikasi guru di LPTK. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan telah memenuhi empat isu Implementasi Kebijakan Publik model Edward III walaupun belum sempurna. Komunikasi adalah unsur yang paling lemah dalam pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Penyampaian informasi terganggu oleh kurangnya sosialisasi yang dilakukan baik dari segi waktu dan materinya serta model penyampaian informasi yang juga kurang tepat sehingga menyebabkan informasi yang tidak jelas dan tidak sampai ke guru. Kelemahan dari sudut konsistensi peraturan kebijakan itu sendiri telah menciptakan image yang tidak baik dalam masyarakat. Peraturan yang berubah-ubah telah membuat masyarakat khususnya guru menjadi bingung. Keberpihakan kebijakan khususnya terhadap guru (sebagai sasaran) hendaknya bisa diciptakan sehingga program ini bisa mencapai target dan sasaran secara maksimal.

Kata kunci : Implementasi, Kebijakan Sertifikasi Guru, Komunikasi dan Konsistensi


(18)

ii

THE IMPLEMENTATION OF TEACHER CERTIFIVICATION POLICY IN MEDAN CITY

ABSTRACT

Teacher Certification is an important program to improve the quality of National Education. The implementation of the program is the keys to success. Failure to implement the program means failure to achieve the goal. The focus of this research is to identify and analyze the implementation of teacher certification policies in Medan by using interactive issues initiated by George C. Edward III is communications, resources, disposition and bureaucratic structures that play a role in policy implementation. The fourth role is a very significant issue for policy implementation.This study uses qualitative descriptive analysis. Is a research subject in the teacher certification committee Medan City Department of Education, teachers who have been following the certification of teachers from 2007 to 2013, the committee LPMP teacher certification in North Sumatra and teacher certification in LPTK committee. The results of this study indicate that teacher certification policy implementation in Medan has met four issues of Public Policy Implementation model of Edward III, although not perfect. Communication is the weakest element in the implementation of teacher certification policy. Submission of information is interrupted by the lack of socialization in terms of both time and material and information delivery models are also causing less precise information is not clear and not up to the teacher. Weak regulation from the point of consistency has created a policy that is not a good image in the society. Regulatory change has been made public, especially teachers become confused. Alignments policy especially towards the target (teacher) should be created so that the program can reach targets and objectives to the maximum.

Keywords : Implementation, Teacher Certification Policy, Communications and Consistency


(19)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu aspek sosial dari program pembangunan nasional yang harus diperhatikan dan menjadi sesuatu yang sangat penting karena berhubungan dengan aset, modal, potensi kemajuan suatu bangsa dan juga merupakan agen perubahan (agent of change).

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah RI untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan juga mengamanatkan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang bertujuan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Untuk mengemban amanat tersebut ditetapkanlah Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk manjamin pemerataan kesempatan pendidikan, meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan serta efisiensi menajeman pendidikan dalam rangka menghadapi tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global.

Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan tersebut maka lahirlah Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2006 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menetapkan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan serta keberhasilan pendidikan nasional. Salah satu dari standar tersebut adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan.


(20)

2

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut berkenaan dengan standar pendidik dan tenaga kependidikan dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi. Kualifikasi akademik dan kompetensi yang dimaksudkan oleh Peraturan Pemerintah tersebut melahirkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru ini lah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan program sertifikasi guru yang melahirkan Peraturan Manteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan yang dimulai dari permendiknas Nomor 18 Tahun 2007, Nomor 11 Tahun 2008, Nomor 10 Tahun 2009, Nomor 11 Tahun 2011 serta Nomor 5 Tahun 2012.

Peraturan Manteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan ini menjadi landasan dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru di Indonesia dan Permendiknas ini hampir setiap tahun mengalami perubahan dan penambahan isi yang selalu disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan serta pelaksanaan sertifikasi guru di Indonesia. (http://umk.ac.id/index.php/problem-di-sekitar-sertifikasi-guru, diakses 10 Oktober 2013)

Meskipun Permendiknas tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan ini hampir setiap tahun mengalami perubahan, namun dalam pelaksanaannya tentu saja masih terdapat beberapa kendala yang menyebabkan pelaksanaan sertifikasi tidak berjalan mulus sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang sertifikasi bagi guru dalam jabatan dalam pasal 1 ayat 2 dinyatakan bahwa


(21)

guru berhak mengikuti sertifikasi adalah guru yang diangkat menjadi guru sebelum ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada tanggal 30 Desember 2005. Kondisi ini menyatakan bahwa guru yang diangkat setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 belum berhak mengikuti sertifikasi guru. Pernyataan ini menimbulkan aksi negatif dan tindakan yang menghalalkan segala cara oleh para guru untuk mendapatkan SK pengangkatan sebagai guru tahun 2005 bekerjasama dengan kepala sekolah dan yayasan.

Pelaksanaan sertifikasi guru dapat ditempuh oleh guru dalam 4 jalur yaitu jalur dokumen portofolio, Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG), Pemberian Sertifikat Pendidik secara Langsung (PSPL) dan Pendidikan Profesi Guru (PPG). Khusus jalur portofolio para peserta diberikan kesempatan untuk mengumpulkan dokumen portofolio berupa bukti fisik yang meliputi beberapa komponen. Salah satu komponen yang seringkali menjadi masalah adalah point keikutsertaan dalam forum ilmiah yang dibuktikan dengan adanya sertifikat. Cara dalam perolehan sertifikat ini juga menjadi masalah karena sertifikat seringkali didapatkan dengan cara hanya membeli sertifikat tanpa harus mengikuti forum ilmiah tersebut.

Setiap peserta yang akan mengikuti sertifikasi guru tahun 2012 dan tahun selanjutnya, terlebih dahulu diwajibkan mengikuti Uji Kompetensi Awal (UKA). Ujian ini dilaksanakan berdasarkan bidang studi yang diampu oleh peserta. Pada tahap awal, sosialisasi terhadap UKA ini juga tidak merata di setiap kacamatan dan kabupaten/kota. Ada daerah yang melakukan sosialisasi namun ada juga yang tidak melakukan sosialisasi. Padahal jelas dalam petunjuk pelaksanaan sertifikasi


(22)

4

guru harus dimulai dengan pelaksanaan UKA yang sebelumnya harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada guru. Pada tahap pelaksanaannya, UKA juga mengalami masalah diantaranya soal-soal yang diajukan ternyata ada yang tidak relevan dengan bidang studi yang diampu dan ditambah lagi dengan sarana yang tidak memadai. Hal ini banyak menimbulkan protes dari peserta (guru) yang berakibat tidak mampunya peserta dalam menjawab soal.

Dalam penelitian sebelumnya oleh Andhi Suhada (2012) yang berjudul

“Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru pada Sekolah Menengah Atas Negeri di

Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu” dijelaskan bahwa dari segi

komunikasi berupa sosialisasi di Indramayu sudah berjalan dengan baik, kondisi sumberdaya yang dimiliki juga menguasai IT dan komunikasi serta memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Namun demikian ada beberapa saran yang harus diperhatikan seperti singkatnya waktu yang diberikan dalam proses sosialisasi membuat materi sosialisasi menjadi kurang efektif. Dari segi sumberdaya disarankan agar jumlah personil panitia sertifikasi guru di Indramayu ditambah, disebabkan oleh banyaknya guru yang harus dilayani dan membutuhkan waktu penanganan yang cepat.

Winarsih (2008) dalam penelitian berjudul “Implementasi kebijakan

sertifikasi guru sekolah dasar (studi kasus di Kabupaten Semarang)” dijelaskan bahwa : Implementasi sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang secara umum sudah berjalan dengan baik. Pada faktor komunikasi dan konsistensi informasi juga baik, namun dari kejelasan informasi antara lain mengenai persyaratan masa kerja guru, format portofolio dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)


(23)

dianggap kurang. Dari segi sarana dan prasarana maupun anggaran khusus peleksanaan sertifikasi di Kabupaten Semarang tidak ada.

Dari beberapa hasil penelitian di atas memang diakui bahwa masa transisi dari tahun 2010 ke tahun 2011 terdapat perobahan dalam penetapan kriteria penentuan peserta sertifikasi guru (kuota) yang mengikuti sertifikasi guru. Tahun 2010 kriteria pertama adalah peserta yang memiliki masa mengajar paling lama, kriteria kedua jumlah usia serta pangkat dn golongan . Tahun 2011 dan seterusnya ketentuan tersebut menjadi terbalik, kriteria utama terletak pada usia kemudian disusul oleh masa mengajar yang paling lama. Perobahan ketentuan seperti ini juga akan membuat peserta akan menjadi bingung.

Akhirnya pelaksanaan sertifikasi guru akan bermuara kepada peningkatan kompetensi guru dan pemberian tunjangan profesi guru untuk guru yang telah dinyatakan lulus dan mendapatkan sertifikat pendidik. Tunjangan profesi guru ini seharusnya di berikan kepada guru setiap bulannya. Namun pada kenyataannya pemberian tunjangan profesi guru ini mengalami hambatan terbukti dengan tidak lancarnya tunjangan tersebut sampai ke guru. Ternyata ada guru yang mendapatkannya per tiga bulan, ada juga yang per enam bulan dan bahkan ada juga yang per satu tahun dan yang menyedihkan ternyata masih ada guru yang sama sekali belum memperoleh tunjangan profesi guru meskipun sudah lebih dari satu tahun lulus sertifikasi guru. (http://www.suriansyah.com/2012/11/sertifikasi-guru-antara-tuntutan-kesejahteraan-dan-profesioanlisme.htm, diakses 06 November 2013)

Berkenaan dengan standar kualifikasi akademik, maka kondisi guru di Indonesia cukup memprihatinkan jika dilihat dari data nasional yang ada. Dari


(24)

6

total jumlah guru di Indonesia (dari TK sampai SLTA, termasuk madrasah, swasta maupun negeri) yang berjumlah 2.777.802 guru, baru 34,49% atau sekitar 958.056 guru yang memiliki kualifikasi S-1. Dengan perincian sebagai berikut, guru SLTP yang berjumlah 686.402, baru 53,47% yang sudah memiliki kualifikasi S-1. Guru SLTA dengan jumlah 312.616 guru yang terdiri dari SMA dan MA, baru 68,78% sudah berkualifikasi S-1. Di SMK dari 168.031 guru, 64,70% juga sudah berkualifikasi S-1. Guru SD dan MI, baik negeri maupun swasta merupakan kelompok guru dengan jumlah paling banyak yang belum berkualifikasi S-1, yaitu dari 1.452.809 guru, baru 9,01% yang berkualifikasi S-1, sekitar 130.898 guru. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri dalam mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia (data Balitbang dan Dirjen PMPTK Depdiknas, 2004).

Pencapaian standar kualifikasi akademik dan penguasaan kompetensi guru dibuktikan melalui sertifikat pendidik yang diperoleh melalui program sertifikasi. Jika seorang guru yang telah memiliki kedua persyaratan ini maka diharapkan guru tersebut menjadi guru yang profesional yang akan mampu mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu. Kebijakan pemerintah mengenai pelaksanaan sertifikasi guru muncul dari tuntutan penciptaan sosok guru yang profesional. Profesionalitas seorang guru di atas kertas dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Dengan dimilikinya sertifikat pendidik tersebut maka ada beberapa harapan dan konsekuensi yang diemban oleh guru yang profesional tersebut antara lain, (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan


(25)

kesejahteraan guru, (4) meningkatkan martabat guru, dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.

Dari keempat konsekuensi pelaksanaan sertifikasi guru tersebut ada satu tujuan yang sebenarnya hanya sebagai instrumen dari pelaksanan sertifikasi guru tapi kemudian dijadikan sebagai tujuan utama oleh sebagian guru. Instrumen peningkatan kesejahteraan guru inilah yang menjadi polemik dan masalah dalam motivasi seorang guru untuk mengikuti program sertifikasi guru yang seharusnya berbuntut kepada penciptaan profesionalisme guru.

Kalaulah instrumen peningkatan kesejahteraan guru yang diikuti dengan tunjangan profesi guru, ini menjadi tujuan utama dari sebagian guru untuk mengikuti program sertifikasi guru maka bisa dipastikan bahwa profesionalisme tidak akan terwujud. Tunjangan profesi guru hanyalah sebagai instrumen untuk meningkatkan kinerja guru agar berdampak kepada peningkatan mutu pendidikan nasional (http://sumsel.kemengag.go.id/file/dokumen/sertifikasi.pdf, diakses 10 Oktober 2013)

Disamping itu ada beberapa faktor yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah dalam hal implementasi suatu kebijakan khususnya kebijakan program sertifikasi guru. Indikator tersebut adalah komunikasi dan sosialisasi, ketersediaan sumberdaya, sikap pelaksana serta prosedur kebijakan dan koordinasi antar pihak yang terlibat.

Keempat faktor ini menjadi tolak ukur keberhasilan pelaksanaan sertifikasi guru di Indonesia umumnya dan Medan pada khususnya yang akan dibahas dalam bab selanjutnya. Dari keempat faktor ini kita akan bisa menilai apakah pelaksanaan sertifikasi guru berjalan sesuai dengan arah kebijakan ataukah tidak.


(26)

8

Pelaksanaan sertifikasi guru yang mengacu kepada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan dilakukan secara bertahap sesuai dengan ketersediaan dana, baik dana untuk pelaksanaan sertifikasi maupun dana untuk tunjangan profesi pendidik bagi guru yang lulus sertifikasi. Dalam awal pelaksanaannya yang dimulai dari tahun 2007 sampai dengan 2012 tentunya banyak kendala yang dihadapi baik dari segi peraturan yang tidak konsisten maupun dari segi teknis pelaksanaannya di lapangan yang tentunya melibatkan banyak pihak mulai dari peserta/guru, kepala sekolah, dinas pendidikan kab./kota, LPMP, LPTK dan BSDMP dan PMP.

Penelitian ini akan membahas secara lebih mendalam tentang implementasi kebijakan serta faktor-faktor apa saja yang mungkin menjadi kendala dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru khususnya di Kota Medan.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

a. Bagaimana Implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan. b. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan sertifikasi guru.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui, memahami dan mendalami bagaimana implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan serta mengevaluasi pelaksanaannya.


(27)

2. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dialami dalam proses pelaksanaan sertifikasi guru yang sudah berlangsung selama ini yang dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan.

1.4.Manfaat Penelitian

Penelitian ini memberikan sejumlah manfaat kepada beberapa pihak, baik secara teoritis maupun secara praktis, manfaat tersebut adalah :

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan memberikan gambaran objektif serta mendalami permasalahan pelaksanaan sertifikasi guru yang ditinjau dari segi implementasinya yang meliputi proses pelaksanaan, hasil yang diperoleh serta sasaran kebijakan.

2. Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi kalangan guru-guru dan lembaga penyelenggara sertifikasi seperti Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan, (BPSDMPK dan PMP), Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota, LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan) SUMUT, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) agar lebih mengetahui dan memahami peranannya dalam mengaktualisasikan kebijakan pemerintah dalam pelaksanaan sertifikasi guru.


(28)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kebijakan

Seringkali Istilah kebijakan atau kebijaksanaan disamakan pengertiannya dengan istilah policy. Hal ini disebabkan oleh belum diketahui dan belum dijumpainya terjemahan yang tepat sampai saat ini untuk istilah policy ke dalam Bahasa Indonesia.

Pengertian Policy atau kebijakan, Donovan dan Jackson dalam Keban (2004: 55) menjelaskan bahwa policy dapat dilihat secara filosofis, sebagai suatu produk, sebagai suatu proses dan sebagai kerangka kerja. Sebagai suatu konsep filosofis, kebijakan merupakan serangkaian prinsip atau kondisi yang diinginkan; sebagai suatu produk, kebijakan dipandang sebagai serangkaian kesimpulan atau rekomendasi; sebagai suatu proses, kebijakan dipandang sebagai suatu cara dimana melalui cara tersebut suatu organisasi dapat mengetahui apa yang diharapkan darinya yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya dan sebagai kerangka kerja, kebijakan merupakan suatu proses tawar menawar dan negoisasi untuk merumuskan isu-isu dan metode implementasinya.

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan keputusan. Kebijakan senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan juga berorientasi kepada tindakan (action-oriented), sehingga dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan (Suharto, 2006).


(29)

Sementara James E. Anderson dalam Wahab (2008:2), memberikan rumusan kebijakan sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Pendapat yang lain adalah dari Carl Friedrich dalam Wahab (2008:2) yang menyatakan bahwa kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.

Dari beberapa pengertian tentang kebijakan yang telah dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya studi tentang policy (kebijakan) mencakup pertanyaan : what, why, who, where, dan

how. Semua pertanyaan itu menyangkut tentang masalah yang dihadapi lembaga-lembaga yang mengambil keputusan yang menyangkut; isi, cara atau prosedur yang ditentukan, strategi, waktu keputusan itu diambil dan dilaksanakan.

2.2. Pengertian Kebijakan Publik

Defenisi kebijakan publik menurut Nugroho (Nugroho R, 2003) adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai deng bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi. Sedangkan menurut Thomas Dye (Dye, 1992) kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan


(30)

12

dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan.

Kebijakan publik/pemerintah merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn, 2003).

Kebijakan publik/pemerintah merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan

oleh “otoritas” dalam sistem politik yaitu para senior, kepala tertinggi, eksekutif,

legislatif, para hakim, administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965 dalamAgustino, 2008).

Dalam buku III SANKRI oleh Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2004:193), yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah keputusan atau seperangkat keputusan-keputusan untuk menghadapi situasi atau permasalahan, yang mengandung nilai-nilai tertentu, memuat ketentuan tentang tujuan, cara dan sarana serta kegiatan untuk mencapainya. Kebijakan publik dilaksanakan oleh lembaga-lembaga Pemerintah yang berwenang menyelenggarakan pemerintahan negara dan pembangunan negara. Dari sudut penyelenggara pemerintahan negara, kebijakan publik berlangsung pada seluruh tatanan organisasi pemerintahan negara yang terentang di seluruh wilayah negara dan berhadapan dengan permasalahan dalam berbagai bidang kehidupan bangsa.


(31)

Sementara itu, Carl I. Friedrich dalam Budi Winarno (2002:16) menjelaskan bahwa kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk memanfaatkan potensi dan sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich menyangkut dimensi yang luas karena tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilaukan oleh pemerintah , tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu.

Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis (Wahab, 2008). Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah:

a. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal.

b. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata rantai berkesinambungan.

c. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.

d. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang hampir mungkin menjadi mungkin.


(32)

14

e. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat. Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan.

Dari beberapa pendapat yang disampaikan oleh berbagai pakar maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah sebuah kebijakan yang diambil oleh pengambil keputusan (dalam hal ini adalah pejabat negara atau pejabat pemerintahan) dalam kaitannya dengan mengatasi problem yang ada di tengah-tengah masyarakat yang tentunya dengan menggunakan tahapan, matode dan cara-cara tertentu.

Berhubungan dengan pelaksanaan sertifikasi guru maka kebijakan publik tentunya diambil dalam mengatasi atau membenahi keberadaan guru yang tidak lain tujuannya adalah peningkatan kualitas dan mutu guru agar dapat menjadi pilar dalam pembangunan khususnya pembangunan di bidang pendidikan dan sumber daya manusia.

2.3. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Pengertian implementasi disampaikan oleh Charles O. Jones (1994) yang

menyatakan bahwa implementasi sebagai “getting the job done” dan “doing it”.

Secara umum Jones menyatakan bahwa implementasi adalah sebuah pekerjaan yang mudah dan sederhana, namun dibalik semuanya itu ada beberapa faktor pendukung yang juga sangat berpengaruh antara lain ; adanya implementator, uang, dan kemampuan organisasi (resources).


(33)

Implementasi adalah sebuah proses interaksi antara penentuan tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan. Ini pada dasarnya adalah kemampuan untuk membangun hubungan dalam mata rantai sebab akibat agar kebijakan bisa berdampak (Parsons, 2006;466).

Semantara itu Ripley dan Franklin berpendapat bahwa Implementasi adalah apa yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas program, kebijakan, keuntungan, atau suatu jenis keluaran yang nyata (tangible output). Istilah implementasi menunjuk pada sejumlah kegiatan yang mengikuti pernyataan maksud tentang tujuan-tujuan program dan hasil yang diinginkan oleh para pejabat pemerintah (Ripley dan Franklin, 1982:4).

Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, di mana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan (Agustino, 2008). Ada tiga hal penting dari pengertian implementasi kebijakan, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan.

Implementasi kebijakan paling sedikit mengandung tiga makna, yaitu : (a) implementasi sebagai suatu proses atau pelaksanaan kebijakan, (b) implementasi sebagai suatu keadaan akhir atau pencapaian sutau kebijakan, dan (c) implementasi sebagai proses pelaksanaan dan pencapaian tujuan sebuah kebijakan. Implementasi sebagai proses pelaksanaan, dilihat dari segi arti kata

(lexicographic), implementasi itu berasal dari kata dalam bahasa Inggeris “to implement” berarti carry an undertaking, agreemant, pomise into effect, tanpa harus mempermasalahkan suatu kebijakan itu telah mencapai tujuan atau belum.


(34)

16

Konsep kedua lebih melihat implementasi sebagai fungsi antara tujuan yang ditetapkan dengan hasil yang ingin dicapai (output dan outcome), sedangkan konsep ketiga melihat implementasi sebagai perpaduan antara dua konsep sebelumnya, yang menyatakan bahwa implementasi kebijakan sebagai fungsi antara kebijakan, pengambil kebijakan, pelaksana, waktu pelaksanaan dan hasil yang ingin dicapai.

Implementasi kebijakan adalah proses bagaimana mentranformasikan input (tujuan dan isi kebijakan) ke dalam bentuk rangkaian tindakan operasional guna mewujudkan hasil yang diinginkan oleh kebijakan tersebut (outputs dan

outcomes). Outputs adalah hasil langsung dari pengimplementasian kebijakan, sedangkan outcomes adalah dampak perubahan yang terjadi setelah kebijakan dilaksanakan.

Pada prinsipnya ketika kebijakan diluncurkan, maka kebijakan tersebut harus dapat memberikan dampak yang positif terhadap kondisi semula. Oleh karena itu perlu adanya ukuran efektifitas dari kebijakan itu. Yang diperlukan dalam pengukuran efektifitas suatu kebijakan adalah:

a. Efesien, artinya kebijakan harus dapat meningkatkan efesiensi kondisi sekarang dibanding kondisi yang lalu.

b. Fair, artinya adil yaitu bahwa kebijakan harus dapat ditempatkan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

c. Insentif, artinya bahwa kebijakan yang diambil harus dapat memberikan rangsangan bagi masyarakat untuk dapat melakukan tindakan sesuai dengan kebijakan yang diputuskan.


(35)

d. Enforceability, artinya mempunyai kekuatan untuk menegakkan hukum. Kebijakan tidak akan berjalan efektif apabila kondisi penegakan hukum yang lemah (poor law enforcement).

e. Public acceptability, artinya dapat diterima oleh masyarakat. f. Moral, artinya bahwa kebijakan harus dilandasi dengan etika.

Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Ini mempunyai makna bahwa implementasi adalah pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi di sisi yang lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (Lester dan Stewart, 2000).

Implementasi kebijakan adalah fase yang sangat menentukan di dalam proses kebijakan, bisa jadi fase ini menjadi tahap yang sangat krusial karena menyangkut dinamika, masalah atau problematika yang dihadapi sehingga akan berimbas pada dampak dan tujuan dari kebijakan publik. Oleh karena itu dibutuhkan proses implementasi yang efektif, tanpa adanya implementasi yang efektif keputusan-keputusan yang dibuat oleh pengambil keputusan tidak akan berhasil dan sukses.

2.4. Model Implementasi Kebijakan Publik

Sejumlah teori tentang implementasi kebijakan menegaskan bahwa terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi


(36)

18

kebijakan publik. Dalam studi implementasi kebijakan, faktor-faktor yang mempengarui keberhasilan implementasi kebijakan seperti yang diteoritisasi oleh para ahli terbagi dalam banyak model.

Model implementasi kebijakan dari George C. Edward III menyatakan bahwa Implementasi sebuah program atau kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :

a. Komunikasi

Komunikasi sangat diperlukan bagi terselenggaranya sebuah kebijakan. Kebijakan tidak akan bisa dipahami oleh pelaksana kebijakan tanpa adanya penjelasan apa dan bagaimana kebijakan tersebut akan direalisasikan. Sosialisasi merupakan salah satu sarana yang bisa dipakai untuk melakukan proses komunikasi. Terdapat 3 unsur yang harus diperhatikan dalam melakukan proses komunikasi, yaitu :

1. Transmisi atau cara penyampaian informasi ; Transmisi ini mengacu kepada cara penyampaian informasi yang efektif, yang dapat dipahami oleh para pelkksana kebijakan. Kesesuaian tujuan antara konsep dan pelaksanaan merupakan tujuan dari penyampaian informasi.

2. Kejelasan (clarity) ; Kejelasan ini mengandung makna bahwa informasi yang disampaikan harus memiliki kejelasan dalam tujuan, sasaran dan aplikasinya supaya pelaksana kebijakan memiliki pandangan yang sama akan konsep kebijakan tersebut.

3. Konsistensi ; Konsistensi berarti tetap, tidak berubah-ubah sehingga tidak membingungkan. Perlunya penjelasan dari tujuan sebuah


(37)

kebijakan merupakan hal yang penting untuk dilakukan supaya tepat sasaran. Hal ini juga diperlukan untuk mencegah terjadinya resistensi. b. Sumberdaya

Sebuah kebijakan yang terstruktur, terencana dan memiliki konsep yang jelas tentunya merupakan syarat sebuah kebijakan yang baik. Namun ketika kebijakan tersebut hendak dilaksanakan tapi sumber daya atau pelaksana kebijakan tidak memadai dari segi jumlah dan kualitas maka ini merupakan sesuatu yang agak sia-sia. Sebaik apapun kebijakan dirumuskan jika pelaksana (sumberdaya manusianya) tidak memadai maka kebijakan tersebut juga tidak akan optimal. Semberdaya yang dimaksud oleh Edward III adalah :

4. Staf ; Kecukupan jumlah (kuantitas) dan kemampuan (kualitas) staf dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan merupakan kunci pokok keberhasilan sebuah kebijakan.

5. Informasi ; Ada dua hal yang berhubungan dengan informasi. Pertama, apakah ada petunjuk atas pelaksanaan kebijakan yang dimaksud. Hal ini sangat diperlukan supaya pelaksana kebijakan tahu apa yang harus dikerjakan. Kedua, apakah kebijakan tersebut memiliki landasan hukum sebagai dasar legitimasi kebijakan tersebut.

6. Kewenangan ; Harus menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan apakah pelaksana kebijakan memiliki wewenang dalam melaksanakan pekerjaannya, sebatas apakah otoritas yang dimilikinya dalam fungsinya untuk mewujudkan tujuan sebuah kebijakan.


(38)

20

7. Fasilitas ; Fasilitas yang memadai sangat menunjang dalam pelaksanaan sebuah kebijakan. Bayangkan jika sebuah pekerjaan yang dilakukan tanpa adanya fasilitas berupa sarana dan prasarana.

c. Disposisi

Pengertian disposisi dalam hal ini diartikan sebagai sebuah sikap dan komitmen. Sikap dan komitmen terbentuk dari pengetahuan/pengalaman terhadap sesuatu (kebijakan). Jika pengetahuan /pengalaman terhadap sesuatu tersebut buruk maka akan berakibat apatis dan buruk tapi jika sebaliknya maka akan terjadi sikap simpati yang akan berakibat kepada dukungan (positif). Disposisi ini terdiri dari :

1. Efek disposisi ; Efek disposisi ini merupakan sikap negatif yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan. Efek negatif timbul oleh adanya sikap yang apatis, tidak senang, tidak mendukung terhadap sebuah kebijakan. Efek apatis ini sangat fatal akibatnya karena sikap ini bukan saja hanya tidak memaksimalkan hasil sebuah kebijakan tetapi juga bisa berakibat fatal kepada pengalihan tujuan kebijakan.

2. Penempatan staf ; Penempatan staf yang tepat akan mendukung terlaksananya sebuah kebijakan. Sikap pelaksana sangat mempengaruhi berjalannya sebuah kebijakan. Sikap pelaksana yang tidak mengimplementasikan kebijakan susuai dengan keinginan atasn akan menjadi penghalang bagi implementasi. Pemindahan dan penggantian staf sangat dimungkinkan dalam hal ini demi suksesnya sebuah implementasi kebijakan.


(39)

3. Insentif ; Salah satu cara untuk menghadapi sikap pelaksana kebijakan yang memiliki sikap/etos kerja yang kurang baik adalah dengan pemberian insentif. Dengan pemberian insentif ini diharapkan mereka dapat bekerja lebih baik.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi sangat menunjang bagi sebuah implementasi kebijakan. Hal ini memungkinkan berjalannya implementasi di atas roda kepastian dan ketentuan. Struktur birokrasi membuat segalanya akan menjadi lebih sistematis dengan aturan yang jelas. Struktur biraokrasi oleh Edward III adalah mekanisme kerja yang dibentuk untuk mengelola pelaksanaan sebuah kebijakan. Ia menekankan perlu adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) yang mengatur tata aliran pekerjaan diantara para pelaksana, terlebih jika pelaksanaan program melibatkan lebih dari satu institusi. Diharapkan struktur birokrasi yang ada dibuat sesederhana mungkin, hal ini sangat berguna dalam efektifitas dan prosedur pekerjaan. Struktur birokrasi terdiri dari :

1. Prosedur pelaksanaan ; Prosedur pelaksanaan atau yang lebih dikenal dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan acuan bagi pelaksana kebijakan dalam melaksanakan tugasnya.

2. Pembagian tanggungjawab ; Sebaiknya pemegang sebuah tanggungjawab dipegang oleh sedikit orang. Semakin banyak pemegang tanggungjawab maka akan semakin kecil kemungkinan suksesnya sebuah implementasi kebijakan dilaksanakan. Tumpang


(40)

22

tindihnya tugas dan tanggung jawab akan memperparah kondisi pelaksanaan sebuah kebijakan.

Jadi dengan berdasar pada penjelasan di atas, maka faktor komunikasi, sumber daya, disposisi/ kecenderungan implementor, dan struktur birokrasi mempengaruhi derajat keberhasilan implementasi kebijakan. Masing-masing faktor tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lainnya, yang pada akhirnya mempengaruhi implementasi kebijakan.

Berikut ini kita dapat melihat bagan model implementasi kebijakan yang dibuat oleh George C. Edward III.

(Sumber : Edward III, 1980:148)

Gambar 2.1. Bagan Model George C. Edward III

Model Implementas Donald Van Meter dan Horn menggambarkan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara beralur lurus yang dimulai dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Menurut Meter dan Horn ada tujuh variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yakni :

Communication

Bueraucratic Structure

Resources

Disposition

Resources


(41)

a. Standar dan sasaran kebiijakan; b. Sumberdaya;

c. Aktivitas implementasi dan komunikasi organisasi; d. Karakteristik agen pelaksana/implementor;

e. Kondisi ekonomi, sosial dan politik;

f. Kecenderungan (desposition) pelaksana/implementor.

Sumber : Riant Nugroho, 2008:628

Gambar 2.2. : Bagan Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn

2.5. Sertifikasi

a. Latar Belakang Sertifikasi

Pendidik (guru) adalah tenaga profesional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 ayat 2, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 2 ayat 1, UU RI No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,

P O L I C Y

RESOURCES Interorganizational Communication And Enforcement Activities Characteristic of The Implementing Agencies Economic, Social, and Politic Condition

The Dispositions of Implementers Standard and Objectives PE RFORMANCE


(42)

24

dan Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Mengacu pada landasan yuridis dan kebijakan tersebut, secara tegas menunjukkan adanya keseriusan dan komitmen yang tinggi pihak Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme dan penghargaan kepada guru yang muara akhirnya pada peningkatan kualitas pendidikan nasional.

Sesuai dengan arah kebijakan di atas, Pasal 42 UU RI No. 20 Tahun 2003 mempersyaratkan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) PP RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; dan Pasal 8 UU RI No 14, 2005 yang mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kualifikasi akademik minimal S1/DIV dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, yang meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial. Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran secara formal dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kualifikasi akademik minimum diperoleh melalui pendidikan tinggi dan sertifikat kompetensi pendidik diperoleh setelah lulus ujian sertifikasi.

Pengertian sertifikasi secara umum mengacu pada National Commision on Educational Services (NCES) disebutkan“Certification is a procedure whereby the state evaluates and reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to teach”. Dalam kaitan ini, di tingkat negara bagian (Amerika Serikat) terdapat badan independen yang disebut The American Association of Colleges for Teacher Education


(43)

(AACTE). Badan independen ini yang berwenang menilai dan menentukan apakah ijazah yang dimiliki oleh calon pendidik layak atau tidak layak untuk diberikan lisensi pendidik. Persyaratan kualifikasi akademik minimal dan sertifikasi bagi pendidik juga telah diterapkan ole beberapa negara di Asia. Di Jepang, telah memiliki undang-undang tentang guru sejak tahun 1974, dan undang-undang sertifikasi sejak tahun 1949. China sendir telah memiliki undang-undang guru tahun 1993 dan peraturan pemerintah yang mengatur kualifikasi guru diberlakukan sejak tahun 2001. Begitu juga di Philipina dan Malaysia belakangan ini telah mempersyaratkan kualifikasi akademik minimun dan standar kompetensi bagi guru.

Di Indonesia, menurut UU RI No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran. Sertifikat pendidik diberikan kepada seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan profesi pendidik dan lulus uji sertifikasi pendidik. Dalam hal ini, ujian sertifikasi pendidik dimaksudkan sebagai kontrol mutu hasil pendidikan, sehingga seseorang yang dinyatakan lulus dalam ujian sertifikasi pendidik diyakini mampu melaksanakan tugas mendidik, mengajar, melatih, membimbing, dan menilai hasil belajar peserta didik. Namun saat ini, mengacu pada Permendiknas Nomor 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan disebutkan bahwa sertifikasi bagi guru dalam jabatan dilaksanakan melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio alias penilaian kumpulan dokumen yang mencerminkan kompetensi guru.


(44)

26

b. Pengertian Sertifikasi

Carol Seefeldt (1988:241), mengatakan sertifikasi guru adalah suatu metode yang digunakan untuk meningkatkan kualitas dan status profesi mengajar. Dalam hal ini sertifikasi guru diartikan sebagai prosedur untuk meningkatkan kualitas guru sehingga memenuhi persyaratan profesi sebagai pengajar.

Disamping itu Nata Atmajaya dalam E. Mulyasa (2009:34) menyatakan bahwa sertifikasi adalah prosedur yang digunakan oleh pihak ketiga untuk memberikan jaminan tertulis bahwa sesuatu produk, proses atau jasa telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Dalam pengertian ini dinyatakan bahwa sertifikat adalah sebagai syarat atau jaminan untuk menyatakan bahwa guru layak untuk melaksanakan profesinya sebagai guru.

Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang telah memenuhi standar kompetensi guru. Sertifikasi guru bertujuan untuk: (1) menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan, (3) meningkatkan martabat guru, (4) meningkatkan profesionalitas guru. c. Prinsip Sertifikasi

1) Dilaksanakan secara objektif, transparan dan akuntabel

Objektif yaitu mengacu kepada proses perolehan sertifikat pendidik yang impartial, tidak diskriminatif dan memenuhi standar pendidikan nasional. Transparan yaitu mengacu kepada proses sertifikasi yang


(45)

memberikan peluang kepada para pemangku kepentingan pendidikan untuk memperoleh akses informasi tentang pengelolaan pendidikan, yang sebagai suatu sistem meliputi masukan, proses, dan hasil sertifikasi. Akuntabel merupakan proses sertifikasi yang dipertanggungjawabkan kepada pemangku kepentingan pendidikan secara administratif, finansial, dan akademik.

2) Berujung pada peningkatan mutu pendidikan nasional melalui peningkatan mutu guru dan kesejahteraan guru

Sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan guru. Guru yang telah lulus uji sertifikasi guru akan diberi tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok sebagai bentuk upaya Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun bagi guru yang berstatus non-pegawai negeri sipil (non PNS/swasta). Dengan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru maka diharapkan dapat meningkatkan mutu pembelajaran dan mutu pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan.

3) Dilaksanakan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan Program sertifikasi pendidik dilaksanakan dalam rangka memenuhi amanat Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan


(46)

28

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

4) Dilaksanakan secara terencana dan sistematis

Agar pelaksanaan program sertifikasi dapat berjalan dengan efektif dan efesien harus direncanakan secara matang dan sistematis. Sertifikasi mengacu pada kompetensi guru dan standar kompetensi guru. Kompetensi guru mencakup empat kompetensi pokok yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial, sedangkan standar kompetensi guru mencakup kompetensi inti guru yang kemudian dikembangkan menjadi kompetensi guru TK/RA, guru kelas SD/MI, dan guru mata pelajaran.

5) Menghargai pengalaman kerja guru

Pengalaman kerja guru disamping lamanya guru mengajar juga termasuk pendidikan dan pelatihan yang pernah diikuti, karya yang pernah dihasilkan baik dalam bentuk tulisan maupun media pembelajaran, serta aktifitas lain yang menunjang profesionalitas guru. Hal ini diyakini bahwa pengalaman kerja guru dapat memberikan tambahan kompetensi guru dalam mengajar.

6) Jumlah peserta sertifikasi guru ditetapkan oleh pemerintah

Untuk alasan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan sertifikasi guru serta penjaminan kualitas hasil sertifikasi, jumlah peserta pendidikan profesi dan uji kompetensi setiap tahunnya ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan jumlah yang ditetapkan pemerintah tersebut, maka disusunlah kuota guru peserta sertifikasi untuk masing-masing Provinsi


(47)

dan Kabupaten/Kota. Penyusunan dan penetapan kuota tersebut didasarkan atas jumlah data individu guru per Kabupaten/ Kota yang masuk di pusat data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. (Depdiknas, 2010:10)

2.6. Defenisi Konsep

1. Implementasi adalah aktivitas-aktivitas yang terjadi setelah penerbitan perintah dari otoritas pemangku kebijakan publik termasuk usaha-usaha baik dari aspek pelaksana dan dampak substantifnya terhadap rakyat

2. Implementasi kebijakan adalah arah tujuan yang ditetapkan serta dapat direalisasikan sebagai kebijakan pemerintah. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya. Implementasi dari suatu program melibatkan upaya-upaya policy mekers untuk mempengaruhi perilaku birokrat pelaksana agar bersedia memberikan pelayanan dan mengatur perilaku kolompok sasaran.

3. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen. (Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)

4. Sertifikat Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. (Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)


(48)

30

5. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, emngajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. (Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen) 6. Sertifikasi Guru adalah program pemerintah yang bertujuan untuk

menjamin, menciptakan keberadaan guru yang profesional demi mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Program sertifikasi ini berharap banyak akan munculnya guru-guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang akan mengacu kepada profesionalitas guru. 7. Profesional adalah perkerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. (Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen) 8. Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan dan

prilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesinalan. (Undang Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen)

9. Tunjangan Profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik sebagai penghargaan atas profesionalitasnya. (Peraturan Pemerintah RI No. 41/2009, Tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen serta Tunjangan Kehormatan Profesor)


(49)

2.7. Kerangka Pemikiran

Berpedoman kepada teori yang dikemukakan oleh George C. Edward, maka implementasi kebijakan dipengaruhi oleh lima faktor yaitu ; sumber daya, komunikasi, sikap para pelaksana serta struktur birokrasi. Dengan adanya empat faktor tersebut maka penulis akan menggunakannya sebagai bahan atau alat untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan sertifikasi guru di Kota Medan. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dapat dilihat dari bagan berikut ini :

Gambar 2.3. Bagan Alur Krangka Pemikiran Penelitian

Sumber Daya Komunikasi

Disposisi Implementor

Temuan-Temuan

Kerangka Teoritik

Latar Belakang, Rumuasan Masalah,

Tujuan Penelitian

Observasi, Wawancara, Dokumentasi

Struktur Birokrasi

Kesimpulan dan Saran Evaluasi dan Pembahasan


(50)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Format penelitian kualitatif yang dipilih untuk meneliti implementasi kebijakan adalah format kualitatif deskriptif, yaitu ; sebuah format yang bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan bagaimana implementasi kebijakan Sertifikasi Guru di Kota Medan yang seharusnya dan idealnya berpatokan kepada Prosedur Operasional Standar dalam Sertifikasi Guru untuk kemudian membandingkan dengan fakta yang terjadi di lapangan dan sekaligus mencari dan menemukan kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan Sertifikasi Guru tersebut.

Penelitian ini juga akan menjelaskan dengan rinci berbagai kondisi dan situasi serta fenomena realitas sosial di masyarakat tentang pelaksanaan Sertifikasi Guru.

3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kota Medan. Kota Medan ini dipilih dengan beberapa alasan, antara lain :

1. Dari segi jumlah, guru yang sudah tersertifikasi di Kota Medan menduduki peringkat pertama sejak dimulainya pelaksanaan sertifikasi hingga tahun 2012 yaitu sejumah 24.697 guru, kemudian diikuti peringkat kedua dan ketiga dari Kabupaten Deli Serdang dan Kabupatan Simalungun dengan jumlah 15.825 dan 11.760 orang guru.


(51)

2. Dari hasil pelaksanaan Uji Kompetensi Awal (UKA) tahun 2013 maka Kota Medan memiliki hasil nilai rata-rata tertinggi untuk Sumatera Utara bersamaan dengan dua kota lainnya yaitu Kota Pematang Siantar dan Kota Binjai dengan nilai rata-rata 42, kemudian disusul oleh Kota Tebing Tinggi, Kota Tanjung Balai dan Kab. Nias dengan jumlah rata-rata 41.

3.3. Informan Penelitian

Untuk memperdalam analisis data yang berkaitan dengan implementasi sertifikasi guru di Kota Medan maka akan dilakukan wawancara secara mendalam dengan Informan kunci :

a. Guru yang sudah tersertifikasi tahun 2007 sampai dengan tahun 2013 sebanyak 7 orang guru dengan rincian :

1. Guru tersertifikasi tahun 2007, inisial RS 2. Guru tersertifikasi tahun 2008, inisial FW 3. Guru tersertifikasi tahun 2009, inisial YH 4. Guru tersertifikasi tahun 2010, inisial RF 5. Guru tersertifikasi tahun 2011, inisial ZD 6. Guru tersertifikasi tahun 2012, inisial MS 7. Guru tersertifikasi tahun 2013, inisial SK

b. Panitia/Staf Pengelola Sertifikasi Guru di Dinas Pendidikan Kota Medan, Irwansyah, S.Pd.

c. Panitia Sertifikasi Guru (PSG) di LPTK UMN Al-Washliyah, Drs. H. Ridwanto, M.Si


(52)

34

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari pihak yang memberikan informasi sedangkan sumber data sekunder adalah sumber yang secara tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data. Yang dimaksud dengan data primer dalam penelitian ini adalah

key person (purposive sampling) yang menjadi objek wawancara penelitian sedangkan dara sekunder adalah data yang berasal dari dokumen yang diperoleh dari buku, bahan laporan dari instansi terkait, bahan dari internet, artikel atau opini media massa. Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut :

a. Observasi ; dilaksanakan dengan melakukan pengamatan secara langsung terhadap obyek penelitian, dengan maksud memperoleh gambaran nyata pada hasil temuan. Observasi ini dilakukan terhadap proses pelaksanaan sertifikasi guru yang dimulai dari sosialisasi program sertifikasi guru di tingkat Dinas Pendidikan Kota Medan, LPMP (Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan), serta pelaksanaan sertifikasi guru berupa PLPG di LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan)

b. Wawancara ; dilakukan terhadap respon yang telah ditentukan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan mendalam dari beberapa informan tentang berbagai hal yang diperlukan, yang berhubungan dengan masalah penelitian.

c. Dokumentasi ; pengumpulan data sekunder yang berkaitan dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru.


(53)

3.5. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh dari lapangan, baik data sekunder maupun primer akan disusun dan disajikan dengan menggunakan pendekatan kualitatif berupa pemaparan yang kemudian di analisis dan dinarasikan sesuai dengan masalah penelitian.

Sejalan dengan itu penelitian ini juga akan menggunakan teknik on going analysis dimana proses pengumpulan data dan analisis dilakukan secara bersamaan, ketika data diperoleh maka data akan langsung dianalisa.

Untuk mendukung dan menguji keabsahan data maka penulis juga akan melakukan teknik triangulasi data. Menurut Patton dalam Moleong (2001), triangulasi dapat dilakukan dengan cara-cara :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; 2. Membandingkan dengan apa yang dikatakan orang didepan umum

dengan apa yang dikatakan secara pribadi;

3. Membandingkan apa yang dikatakan oleh seseorang sewaktu diteliti sepanjang waktu;

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pandangan orang seperti orang yang berpendidikan;

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. Yaitu dengan melihat langsung ke lapangan tentang proses sertifikasi yang dilaksanakan oleh pemerintah baik oleh LPMP, LPTK dan Dinas Pendidikan Kota Medan serta mewawancarai secara langsung para guru sertifikasi.


(54)

36

2. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkait. Hasil wawancara yang dilakukan tersebut di check kembali apakah sesuai dengan isi dokumen yang telah dirancang oleh para pelaksana program.


(55)

HASIL DAN ANALISIS DATA PENELITIAN

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Gambaran Umum Kota Medan

Kota Medan adalah merupakan Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara dan merupakan salah satu kota yang memiliki fungsi sebagai pusat kegiatan nasional. Kota Medan memiliki tingkat perkembangan perekonomian yang tinggi, salah satu indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan di Kota Medan, tercermin dari perekonomiannya.

Kota Medan memiliki luas 26.510 Hektar (265,10 km2) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3°30'-3°43' Lintang Utara dan 98°35'-98°44' Bujur Timur. Untuk itu topografi Kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut.

Batas Utara : Kabupaten Deli Serdang dan Selat Malaka Batas Selatan : Kabupaten Deli Serdang

Batas Timur : Kabupaten Deli Serdang Batas Barat : Kabupaten Deli Serdang

Secara administratif, wilayah Kota Medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara nya berbatasan langsung dengan


(56)

38

Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Mayoritas penduduk Kota Medan sekarang adalah Suku Jawa dan Batak, tetapi di kota ini banyak pula orang keturunan India dan Tionghoa. Komunitas Tionghoa di Medan cukup besar, sekitar 25% jumlah total. Keanekaragama etnis di Kota Medan terlihat dari jumlah mesjid, gereja dan vihara Tionghoa yang banyak dan tersebar di seluruh kota. Daerah di sekitar Jalan Zainul Arifin bahkan dikenal sebagai kampung Madras (Kampung India). Kota Medan dipimpin oleh seorang Walikota, wilayah Kota Medan dibagi menjadi 21 kecamatan dan 151 kelurahan. Keseluruhan kecamatan tersebut adalah :

1. Medan Tuntungan 2. Medan Johor 3. Medan Amplas 4. Medan Denai 5. Medan Area 6. Medan Kota 7. Medan Maimun 8. Medan Polonia 9. Medan Baru 10.Medan Selayang 11.Medan Sunggal

12.Medan Helvetia 13.Medan Petisah 14.Medan Barat 15.Medan Timur 16.Medan Perjuangan 17.Medan Tembung 18.Medan Deli 19.Medan Labuhan 20.Medan Marelan 21.Medan Belawan


(57)

Gambar 4.1. Peta Kecamatan Kota Medan

4.1.2 Geografi

Secara umum ada 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi kinerja pembangunan kota, (1) faktor geografis, (2) faktor demografis dan (3) faktor sosial ekonomi. Ketiga faktor tersebut biasanya terkait satu dengan lainnya, yang secara simultan mempengaruhi daya guna dan hasil guna pembangunan kota termasuk pilihan-pilihan penanaman modal (investasi). Sesuai dengan


(58)

40

dinamika pembangunan kota, luas wilayah administrasi Kota Medan telah melalui beberapa kali perkembangan. Pada Tahun 1951, Walikota Medan mengeluarkan Maklumat Nomor 21 tanggal 29 September 1951, yang menetapkan luas Kota Medan menjadi 5.130 Ha, meliputi 4 Kecamatan dengan 59 Kelurahan. Maklumat Walikota Medan dikeluarkan menyusul keluarnya Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor 66/lll/PSU tanggal 21 September 1951, agar daerah Kota Medan diperluas menjadi tiga kali lipat.

Melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1973 Kota Medan kemudian mengalami pemekaran wilayah menjadi 26.510 Ha yang terdiri dari 11 Kecamatan dengan 116 Kelurahan. Berdasarkan luas administrasi yang sama maka melalui Surat Persetujuan Menteri Dalam Negeri Nomor 140/2271/PUOD, tanggal 5 Mei 1986, Kota Medan melakukan pemekaran Kelurahan menjadi 144 Kelurahan.

Perkembangan terakhir berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Utara Nomor 140.22/2772.K/1996 tanggal 30 September 1996

tentang pendefinitipan 7 Kelurahan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 tahun 1992 tentang Pembentukan Beberapa Kecamatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Medan, secara administrasi Kota Medan dimekarkan kembali, dibagi atas 21 Kecamatan yang mencakup 151 Kelurahan. Berdasarkan perkembangan administratif ini Kota Medan kemudian tumbuh secara geografis, demografis dan sosial ekonomis.


(1)

Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA

TERHADAP GURU TERSERTIFIKASI

(Tahun 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012 dan 2013)

No.

Variabel

Dimensi

Pertanyaan

1.

Komunikasi

Penyampaia

n Pesan

- Sepengetahuan Bapak/Ibu, apakah ada sosialisasi sergu yang dilaksanakan baik oleh Dinas Pendidikan atau dari pelaksana sergu yang lain? Jika ada, siapa pelaksananya dan berapa kali?

- Apakah Bapak ikut dalam acara sosialisasi tersebut? jika iya berapa kali Bapak ikut dan bentuk

sosialisasinya seperti apa serta apa materinya?

- Apakah dalam sosialisasi tersebut memiliki narasumber, instruktur? Jika ada, dari mana?

- Apakah peserta sosialisasi memberikan masukan, kritikan dan pertanyaan dari peserta? Kalau ada, masukan, kritikan dan pertanyaannya seperti apa?

Kejelasan

- Apakah Bapak/Ibu merasa memperoleh informasi yang jelas dan lengkap dari sosialisasi tersebut?

- Bagaimana cara Bapak/Ibu memperoleh informasi tentang pelaksanaan pelaksanaan sergu?

- Apakah Bapak merasa kebijakan sergu ini memiliki kejelasan aturan dalam pelaksanaan, tujuan dan sasaran kebijakan?

- Artinya apakah Bapak melihat kebijakan ini ril untuk meningkatkan kompetensi guru ataukah ada yang lain?

Konsistensi

- Apakah Bapak merasa kebijakan sergu selama ini sesuai antara peraturan dengan pelaksanaannya? Seperti contoh jadwal kegiatan.

- Bagaimana bapak melihat konsistensi kebijakan sergu ini ? (Perubahan aturan setiap tahun)

2.

Sumberdaya Staf

- Apakah ada persiapan/pelatihan khusus yang

Bapak/Ibu ikuti khususnya dalam hal mempersiapkan diri dalam sergu ini? Kalau ada, persiapan/pelatihan seperti apa?

Informasi

- Bagaimana dgn ketersediaan informasi? Darimana info bisa didapatkan ? Apakah informasi tersebut mudah didapatkan ?

- Setiap tahun ada buku panduan Sergu. Apakah dalam sosialisasi buku tersebut dibagikan?

- Apakah Bapak merasa bahwa buku panduan sergu penting atau dari mana bapak mendapatkan buku panduan sergu?

- Menurut Bapak manakah yang lebih tinggi frekueansinya antara dinas yang memberikan


(2)

- Bagaimana dengan peran Kepsek dalam memberikan informasi kepada guru yang akan mengikuti sergu?

- Bagaimana dengan kinerja dinas pendidikan (komitmen mereka)?

Kewenanga

n

- Apakah kewenangan Bapak/Ibu dalam mengikuti sergu?

Apakah Bapak/Ibu tahu akan hak dan kewajiban nya?

Fasilitas

- Bagaimana dengan ketersediaan sarana dan prasarana

khususnya dalam pelaksanaan sergu?

- Dalam mengikuti sergu ini tentunya harus juga ditunjang oleh ketersediaan dana. Darimana dana tersebut didapatkan?

3. Disposisi

Efek

Disposisi

- Apa tanggapan Bapak/Ibu tentang pelaksanaan program sertifikasi guru ini? Adakah niat sungguh2 dari pemerintah?

- Bagaimana komitmen Bapak/Ibu terhadap kebijakan sergu?

- Apa pendapat Bapak tentang guru yang sudah sertifikasi namun tidak menjalankan keawajiban sebagai guru?

Penempatan

Staf

- Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa orang-orang di dalam kepanitiaan sergu sudah cocok dengan keahlian dan posisi/jabatan yang diembannya?

- Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa Staf Dinas

Pendidikan Kota Medan yang menangani sergu sudah melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik? Tanggapan Bapak/Ibu?

Insentif

- Apakah ada insentif baik materi maupun non materi yang Bapak/Ibu terima dalam pelaksanaan sergu.

- Bagaimana dengan tunjangan profesi guru yang Bapak/Ibu terima selama ini, apakah ada kendala?

4.

Struktur

Birokrasi

Prosedur

Pelaksanaan

- Apakah ada POS yang jelas dalam pelaksanaan kebijakan sergu?

- Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa setiap komponen yang ada dalam kepanitiaan sudah memahami dan melaksanakaan POS ini dengan baik ?

Pembagian

Tanggung

jawab

- Apakah ada aturan yang jelas mengenai wewenang dan tanggung jawab Bapak/Ibu sebagai peserta sergu?

PERTANYAAN TAMBAHAN

- Apa kendala utama yang Bapak/Ibu hadapi dalam pelaksanaan sergu khususnya dalam posisi sebagai guru?

- Secara umum, apa kendala utama dalam proses pelaksanaan sergu di Kota Medan.

- Apakah ada pungutan yang dilakukan oleh Dinas atau Kepsek.


(3)

Lampiran 3

PEDOMAN WAWANCARA

TERHADAP LPMP (LEMBAGA PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN)

No.

Variabel

Dimensi

Pertanyaan

1.

Komunikasi Penyampaian

Pesan

- Apakah ada LPMP melakukan sosialisasi sergu, jika ada berapa kali dan kepada siapa sosialisasi diberikan serta bentuk sosialisasinya seperti apa?

- Apa tanggapan Bapak/Ibu mengenai sosialisasi tersebut?

- Apakah LPMP sebagai pelaksana sosialisasi juga mendapat masukan, kritikan dan pertanyaan dari peserta? Jika ada, masukan, kritikan dan

pertanyaannya seperti apa?

Kejelasan

- Apakah Bapak merasa kebijakan sergu ini memiliki kejelasan aturan dalam pelaksanaan, tujuan dan sasaran kebijakan? Artinya apakah Bapak melihat kebijakan ini ril untuk

meningkatkan kompetensi guru atau ada maksud lain

Konsistensi

- Apakah Bapak merasa kebijakan sergu selama ini sudah berjalan sesuai dengan peraturan aturannya? Seperti contoh jadwal kegiatan.

2.

Sumberdaya Staf

- Apakah ada pelatihan khusus yang diberikan kepada pelaksana/panitia dalam pelaksanaan surgu? Kalau ada apa materinya?

Informasi

- Sebagai pelaksana tentunya Bapak membutuhkan informasi, darimanakah informasi tersebut bisa didapatkan? Apakah informasi tersebut mudah didapatkan

Kewenangan

- Apa saja kewenangan yang Bapak/Ibu miliki terkait pelaksanaan sergu?

Fasilitas

- Apakah pihak Bapak/Ibu ada mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan sergu ini? Jika ada dari mana sumbernya?

- Bagaimana dengan ketersediaan sarana dan prasarana khususnya dalam pelaksanaan sergu?

3. Disposisi

Efek Disposisi

- Apa tanggapan Bapak/Ibu tentang pelaksanaan

program sertifikasi guru ini?

- Bagaimana komitmen Bapak/Ibu terhadap kebijakan sergu?

Penempatan

Staf

- Apakah LPMP mengadakan seleksi terhadap perekrutan personil yang akan ditunjuk sebagai tim pelaksana sergu di lapangan?Jika ia, seperti apa perekrutannya


(4)

Birokrasi

Pelaksanaan

kebijakan sergu?

- Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa setiap komponen yang ada dalam kepanitiaan sudah memahami dan melaksanakaan SOP ini dengan baik ?

Pembagian

Tanggungjawab

- Apakah ada aturan yang jelas mengenai wewenang dan tanggung jawab setiap posisi/jabatan di kepanitiaan sergu?

PERTANYAAN TAMBAHAN

- Apa kendala utama yang Bapak/Ibu hadapi dalam pelaksanaan sergu khususnya dalam bidang pekerjaan Bapak/Ibu.

- Secara umum, apa kendala utama dalam proses pelaksanaan sergu di Kota Medan


(5)

Lampiran 4

PEDOMAN WAWANCARA

TERHADAP LPTK (LEMBAGA PENDIDIKAN DAN TENAGA

KEPENDIDIKAN)

No.

Variabel

Dimensi

Pertanyaan

1.

Komunikasi Penyampaian

Pesan

- Apakah ada LPTK melakukan sosialisasi sergu, jika ada berapa kali dan kepada siapa sosialisasi diberikan serta bentuk sosialisasinya seperti apa?

- Apa tanggapan Bapak/Ibu mengenai sosialisasi tersebut?

- Apakah LPTK sebagai pelaksana sosialisasi juga mendapat masukan, kritikan dan pertanyaan dari peserta? Jika ada, masukan, kritikan dan

pertanyaannya seperti apa?

Kejelasan

- Apakah Bapak merasa kebijakan sergu ini memiliki kejelasan aturan dalam pelaksanaan, tujuan dan sasaran kebijakan? Artinya apakah Bapak melihat kebijakan ini ril untuk

meningkatkan kompetensi guru atau ada maksud lain

Konsistensi

- Apakah Bapak merasa kebijakan sergu selama ini sudah berjalan sesuai dengan peraturan aturannya? Seperti contoh jadwal kegiatan.

2.

Sumberdaya Staf

- Apakah ada pelatihan khusus yang diberikan kepada pelaksana/panitia dalam pelaksanaan surgu? Kalau ada apa materinya?

Informasi

- Sebagai pelaksana tentunya Bapak membutuhkan informasi, darimanakah informasi tersebut bisa didapatkan? Apakah informasi tersebut mudah didapatkan

Kewenangan

- Apa saja kewenangan yang Bapak/Ibu miliki terkait pelaksanaan sergu?

Fasilitas

- Apakah pihak Bapak/Ibu ada mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan sergu ini? Jika ada dari mana sumbernya?

- Bagaimana dengan ketersediaan sarana dan prasarana khususnya dalam pelaksanaan sergu?

3.

Disposisi

Efek Disposisi

- Apa tanggapan Bapak/Ibu tentang pelaksanaan

program sertifikasi guru ini?

- Bagaimana komitmen Bapak/Ibu terhadap kebijakan sergu?

Penempatan

Staf

- Apakah LPTK mengadakan seleksi terhadap perekrutan personil yang akan ditunjuk sebagai tim pelaksana sergu di lapangan?Jika ia, seperti apa perekrutannya


(6)

sergu

4.

Struktur

Birokrasi

Prosedur

Pelaksanaan

- Apakah ada SOP yang jelas dalam pelaksanaan kebijakan sergu?

- Apakah Bapak/Ibu merasa bahwa setiap komponen yang ada dalam kepanitiaan sudah memahami dan melaksanakaan SOP ini dengan baik ?

Pembagian

Tanggungjawab

- Apakah ada aturan yang jelas mengenai wewenang dan tanggung jawab setiap posisi/jabatan di kepanitiaan sergu?

PERTANYAAN

TAMBAHAN

- Apa kendala utama yang Bapak/Ibu hadapi dalam pelaksanaan sergu khususnya dalam bidang pekerjaan Bapak/Ibu.

- Secara umum, apa kendala utama dalam proses pelaksanaan sergu di Kota Medan