Hubungan Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Perbankan

3. Functional regulator 4. Institutional regulation 47

C. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Perbankan

Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Dengan tujuan ini, Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan harus mampu menjaga kepentingan nasional, antara lain meliputi sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek positif globalisasi. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, yang meliputi independensi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, transparansi, dan kewajaran fairness. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan tugas pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan berlaku terhadap : - Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan. - Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. 47 Ibid., Hal. 111 Universitas Sumatera Utara - Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang independen seperti yang telah dijelaskan pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari cmpur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal tersebut tersirat arti bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga non- pemerintahan atau independen. Artinya, Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah. Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan kerja sama dengan otoritas pengawas Lembaga Jasa Keuangan di Negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya, antara lain pada bidang danatau kegiatan sebagai berikut: - Pengembangan kapasitas kelembagaan, antara lain pelatihan sumber daya manusia di bidang pengaturan dan pengawasan Lembaga Jasa Keuangan. - Pertukaran informasi. - Kerja sama dalam rangka pemeriksaan dan penyidikan serta pencegahan kejahatan di sektor keuangan. Dalam hal pengawasan Otoritas Jasa Keuangan pada industri keuangan, baik bank maupun non bank berada di satu atap atau sistem pengawasan terpadu Universitas Sumatera Utara sehingga sistem pengawas bisa bertukar informasi dengan mudah. Hal ini dapat menghindari adanya putusnya informasi antara badan pengawas bank dan nonbank yang telah ada di Indonesia sebelumnya. Sebagai contoh kasus bailout Bank Century yang telah terjadi yang hingga sampai saat ini belum terselesaikan. Dalam kasus tersebut Bank Indonesia sebagai pengawas bank menganggap PT Antaboga sudah di awasi Bapepam-LK karena merupakan produk reksadana, tetapi Bapepam-LK juga tidak mengetahui keberadaan PT Antaboga Karena produk ini dijual di Lingkungan bank. Sistem pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya kordinasi antar lembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawas dalam suatu sistem keuangan banyak tantangan yang harus dihadapi salah satunya adalah memastikan kordinasi antar lembaga-lembaga agar terciptanya konsistensi dalam menentukan suatu kebijakan atau menentukan siapa yang bertanggung jawab atas suatu kebijakan tersebut. Namun, pada kenyataannya sering terjadinya kegagalan kordinasi dalam bentuk pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengawasan terhadap dunia Perbankan. 48 Dalam sistem pengawasan terpadu terdapat dua persoalan penting mengenai perubahan tata kelola yang akan dihadapi menuju sistem pengawasan terpadu yang diinginkan. Kegagalan dalam mengatasi persoalan tersebut, secara efektif akan mengurangi kemampuan lembaga pengawasan yang baru dalam kewenangannya melakukan pengawasan. Pertama, kesepakatan mengenai pemindahan pegawai dari lembaga pengawasan yang lama ke lembaga pengawasan yang baru. Dalam hal ini ketika sudah ada beberapa lembaga pengawas akan memunculkan ketegangan antar keduanya. Untuk mencegah hal 48 Ibid., Hal. 114 Universitas Sumatera Utara tesebut dapat dilakukan dengan cara pemindahan pegawai dari lembaga yang lama ke lembaga pengawas yang baru. Akan tetapi, harus disertai dengan kesepakatan antar dua lembaga untuk meninjau dan menempatkan kedudukan ulang para pegawai dan juga membentuk struktur pengawasan yang teratur. Hal ini agar tidak terjadi benturan atau persaingan antar pegawai yang sebelumnya bekerja di lembaga yang berbeda. Kedua, perubahan budaya kerja di setiap lembaga pengawas yang berbeda tentunya memiliki suatu budaya kerja yang beda pula. Budaya kerja dalam hal ini telah terjadi suatu kebiasaan yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti tata kelola dari masing-masing lembaga dan pendekatan umum pengawasan terhadap lembaga keuangan. Untuk itu, dengan adanya penggabungan menjadi satu lembaga pengawas harus diciptakan budaya kerja yang mencakup dari setiap- setiap lembaga pengawas yang sudah ada sebelumnya. Dalam hal pengawasan yang dilakukan dalam melakukan fungsi pengawasan terhadap lembaga keuangan harus dilakukan dengan berdasarkan dengan prinsip-prinsip independensi, transparansi, dan akuntabel. Prinsip-prinsip tersebut hanya dijadikan sebagai tulisan belaka yang tidak dijalankan. Oleh karena itu, hingga saat ini kasus-kasus dalam fungsi pengawasan masih banyak tejadi dan melibatkan pihak pemerintah dalam menentukan kebijakan. Agar tidak terjadi benturan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan pengawasan terhadap bank, perlu adanya kejelasan mengenai pembagian otoritas dan koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam pengawasan Perbankan. Untuk itu, diperlukan adanya suatu revisi dari Undang- Universitas Sumatera Utara Undang Bank Indonesia mengenai fungsi pengawasannya yang telah diambil alih oleh Otoritas Jasa Keuangan. Berkaitan dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan, hal yang terpenting juga adalah bahwa formasi keanggotaan Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, hendaknya tidak menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah. Intervensi dari pemerintah akan menjadi percuma dan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan ini adalah hanyalah menjadi boneka bagi pemerintah dalam menjalankan kepentingannya. Oleh karena itu, diharapkan pihak-pihak dalam Otoritas Jasa Keuangan bertindak tegas apabila ada intervensi dari pemerintah. Pembentukan lembaga pengawas juga bertujuan untuk menciptakan fleksibilitas dan efisiensi peraturan dan akuntabilitas. Hadirnya beberapa lembaga pengawas berpotensi menciptakan arogansi sektoral turf wars dan pengalihan tanggung jawab pass the buck sehingga penerapan peraturan tidak efektif. Selain itu, duplikasi proses pengambilan dan pengolahan data menyebabkan penerapan aturan yang tidak efisien antar lembaga pengawas. Blame disbursement strategy pengalihan wewenangpengalihan kesalahan juga dapat muncul apabila terdapat beberapa lembaga pengawas keuangan sekaligus. 49 - Peningkatan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan. Dalam pembentukan Otoritas Jasa Keuangan terdapat pro dan kontra. Beberapa pendapat yang mendukung pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pada : - Netralitas persaingan antar lembaga pengawas. 49 Ibid., Hal. 120 Universitas Sumatera Utara - Fleksibilitas peraturan. - Efisiensi peraturan. - Pengembangan SDM yang lebh baik. - Peningkatan akuntabilitas. - Arbitrase peraturan. Sementara itu, pendapat yang tidak mendukung pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pada : - Tujuan lembaga yang tidak jelas. - Diseconomies of scale. - Potensi kebijakan antar lembaga keuangan yang tidak sinkron. - Potensi penyalahgunaan. - Potensi krisis ekonomi. Universitas Sumatera Utara BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan