Perkembangan Fraud di Lingkungan Pemerintahan

4.1.2 Perkembangan Fraud di Lingkungan Pemerintahan

Kasus fraud dapat terjadi di lingkungan pemerintahan maupun di lingkungan bisnis suatu entitas perusahaan.Sesuatu tindakan dapat dikatakan sebagai fraud dalam pemerintahan jika terdapat adanya indikasi kerugian negara akibat tindakan tersebut. Di lingkungan instansi pemerintahan, fraud dapat dilakukan oleh oknum pegawai baik atas inisiatif sendiri atau bekerja sama dengan pihak ketiga maupun manajemen instansi. a. Fraud yang dilakukan oleh oknum pegawai Secara umum, di setiap instansi pemerintah dapat terjadi adanya tindakan-tindakan fraud yang dilakukan oleh oknum pegawai instansi yang bersangkutan, baik dalam bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN.Dalam hal terkait dengan belanja, fraud bisa terjadi pada saat pengadaan barang.Di samping itu, di bidang pelayanan, bentuk fraud yang dilakukan oleh oknum pegawai dapat berupa tindakan pemerasan maupun pencurian aset organisasi.Pemerasan dapat dilakukan dengan meminta sejumlah uang atau barang tertentu secara paksa kepada mereka yang dilayani. Bila tidak diberikan maka oknum tersebut menghambat proses pelayanan. Selama ini penanganan masalah fraud yang dilakukan oleh oknum pegawai hanya bersifat reaktif.Baik unit pengawasan internal instansi, misalnya inspektorat jendral kementrian, maupun unit-unit Universitas Sumatera Utara pengawasan eksternal seperti BPKP atau BPK. Unit-unit pengawasan tersebut umumnya akan bertindak setelah adanya pengaduan dari masyarakat atau pihak-pihak yang dirugikan sehingga sangat sedikit sekali kasus-kasus korupsi yang dapat terjaring hukum. Penanganan fraud seperti yang telah dijelaskan tersebut akan memberikan kesan adanya “tebang pilih” dalam penanganan kasus, bahkan dapat menimbulkan adanya pergesekan-pergesekan kepentingan diantara pegawai sehingga menciptakan lingkungan kurang kondusif untuk mencapai kinerja instansi. Oleh karena itu, penting bagi setiap instansi untuk mengefektifkan unit pengawasan internalnya guna melakukan audit kecurangan secara proaktif, dan menindaklanjuti dengan audit investigatif atau audit forensik atas fraud yang telah terindentifikasi.Selain itu, agar lebih efektif maka unit pengawasan internal instansi juga harus memiliki personil-personil yang mampu melakukan audit kecurangan atau audit forensik. b. Fraud yang dilakukan melalui kerja sama antara oknum pegawai dengan pihak ketiga Jenis fraud ini paling sulit diidentifikasi dan diinvestigasi. Biasanya kerjasama yang dilakukan antara oknum pegawai dengan pihak ketiga tidak akan atau sedikit meninggalkan jejak sehingga memerlukan ketelitian yang sangat tinggi dari para auditor forensik. Di samping itu, penanganan kasus seperti ini juga sangat membutuhkan adanya kerja Universitas Sumatera Utara sama antar unit pengawasan internal dengan unit-unit lain yang terkait guna menjaring adanya kolusi diantara oknum pegawai dan pihak ketiga. Dengan diperolehnya informasi dari unit lain tersebut, selanjutnya unit pengawasan internal dapat melakukan audit investigatif atau audit forensik. c. Fraud yang dilakukan manajemen Fraud yang dilakukan oleh manajemen pimpinan dapat berupa tindakan korupsi, kolusi, maupun nepotisme.Selain itu, manajemen juga dapat melakukan fraud berupa asset misappropriation atau menyajikan laporan keuanganlaporan kinerja yang menyesatkan. Berkaitan dengan fraud yang dilakukan olehmanajemen, unit pengawasan internal instansi biasanya akan mengalami banyak kesulitan dalam mengungkapkan adanya fraud yang dilakukan oleh manajemen instansi tersebut. Sebagai bawahan dari pimpinan instansi, tentunya indenpendensi dari unit pengawasan internal tersebut diragukan. Dengan kata lain, sangat sulit bagi auditor-auditor unit pengawasan internal untuk bekerja secara objektif dalam mengungkap fraud yang dilakukan pimpinan. Sering kali, bahkan mereka mendapat ancaman dari pimpinannya. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah dapat memberdayakan unit- unit pengawasan eksternal instansi, seperti BPKP dan BPK, untuk melakukan audit kecurangan secara proaktif yang dilanjutkan dengan Universitas Sumatera Utara audit investigatif atau audit forensik bila menemukan adanya indikasi fraud yang dilakukan manajemen. Agar memberikan efek jera maka penegakan hukum law enforcement atas kasus fraud yang diperoleh harus dilakukan secara serius melalui sistem peradilan yang adil dan transparan. Pada dasarnya cakupan akuntansi forensik adalah fraud dalam arti seluasnya.Seperti yang telah dikelompokkan oleh Association of Certified Fraud Examination ACFE dalam tiga kelompok besar, yakni corruption korupsi, asset misappropriation penyalahgunaan aset, dan fraudulent financial statement laporan keuangan yang dengan sengaja dibuat menyesatkan.Namun, di Indonesia kasus fraud di lingkungan pemerintahan lebih menonjol dibandingkan di lingkungan bisnis sehingga akuntansi forensik lebih fokus pada penemuan fraud dalam arti korupsi. Beberapa kasus fraud terjadi pada BUMN dan instansi pemerintahan Indonesia.Survey yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index CPI terhadap fraud di instansi pemerintahan intensitasnya meningkat dan menempatkan Partai Politik, Lembaga Legistatif, dan Dirjen Pajak sebagai instansi pemerintahan terkorup di Indonesia. Tingginya kasus korupsi di Indonesia menyebabkan negara harus menanggung kerugian ratusan juta bahkan milyaran serta triliunan rupiah.Berikut ini adalah beberapa kasus korupsi di Indonesia yang dianggap sebagai kasus korupsi besar sepanjang sejarah. Universitas Sumatera Utara 1. Korupsi BLBI Rp 183 Triliun ditambah dengan beban bunga yang harus dibayar menjadi Rp 560 Triliun. 2. Korupsi Soeharto dan keluarganya yang menurut majalah Time bernilai US 15 Milyar atau Rp 150 Triliun. 3. Korupsi Subsidi BBM pada periode presiden SBY yang bocor 30 atau sekitar US 5 - 7 Milyar Rp 50-70 Triliun per tahun. 4. Korupsi HPH dan Dana Reboisasi dengan total kerugian negara sebesar US 2 Milyar atau Rp 20 Triliun oleh Bob Hasan, Prajogo Pangestu, Salim, Tommy Cs. 5. Korupsi PT. TPPI dalam bentuk utang ke Pertamina sebesar Rp 17 Triliun oleh Hashim Djojohadikusumo. 6. Korupsi PLTU PAITON I Probolinggo kerugian negara US 800 Juta atau Rp 8 Triliun dengan pelaku mantan Dirut PLN Djiteng Marsudi cs. 7. Korupsi Bank Century dengan kerugian sebesar Rp 6,7Triliun yang dilakukan oleh Srimulyani cs. 8. Korupsi Edi TansilPT. Golden Key dengan kerugian negara pada saat itu sebesar US 530 juta atau Rp 1,3 Triliun yang sekarang setara Rp 5,3 Triliun. 9. Korupsi PSO USO dana PNBP Telco di BP3TI Kominfo yang merugikan negara sebesar Rp 3 Triliun. Universitas Sumatera Utara 10. Korupsi Sektor Pangan pada impor beras BULOG dan korupsi BLBU rugikan negara Rp 3 Triliun, pelaku Jusuf Wangkar, staf khusus SBY Bidang Pangan. 11. Korupsi Mafia Anggaran DPR yang dilakukan oleh Nazarudin cs di 60-an proyek APBN yang merugikan negara sekitar Rp 2,5 Triliun. 12. Korupsi konversi hutantanah negara jadi perkebunan oleh Torganda Grup di Riau seluas 93 ribu ha yang merugikan negara sebesar Rp 2,5 Triliun. Pelaku korupsi ini adalah DL Sitorus. 13. Korupsi Wesel Ekspor Berjangka WEB Unibank tahun 2006. Kerugian US 230 juta atau Rp 2,3 Triliun. Pelaku Sukanto Tanoto cs. 14. Korupsi investasi Kilang Minyak Pertamina di Libya US 1,5 Milyar, gagal. Investasi awal US 200 juta lenyap yang menyebabkan kerugian negara sebesarRp 2 Triliun. 15. Korupsi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia Sudjiono Timan dimana kerugian negara ditaksir sebesar US120 Juta atau Rp 1,2 Triliun. Data yang disajikan oleh Anti-Corruption Clearing House ACCH menunjukkan bahwa jumlah penanganan korupsi di instansi pemerintahan terus mengalami peningkatan dari tahun 2004 hingga tahun 2013.ACCH merupakan salah satu pilar strategi pencegahan korupsi dan merupakan platform jejaring antikorupsi dalam menjalankan misi pemberantasan korupsi di Indonesia yang dikembangkan oleh KPK. Per 30 November 2013, di tahun Universitas Sumatera Utara 2013 penanganan tindak pidana korupsi lebih banyak ditemukan di lingkungan instansi KementerianLembaga Pusat sebanyak 43 perkara, disusul dari Pemerintah KabupatenKota sebanyak 18 perkara, Pemerintah Provinsi sebanyak 3 perkara, dan DPR sebanyak 2 perkara. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2012, dimana tindak pidana korupsi yang ditemukan di lingkungan instansi KementerianLembaga Pusat sebanyak 18 perkara, disusul dari Pemerintah Provinsi sebanyak 13 perkara,Pemerintah KabupatenKota sebanyak 10 perkara, DPR sebanyak 6 perkara , danBUMNBUMD sebanyak 1 perkara. Tabel berikut ini menjelaskan peningkatan penanganan korupsi di instansi pemerintahan tahun 2004 – 2013. Tabel 2.2 Data Penanganan Korupsi Berdasarkan Instansi Tahun 2004-2013 per 30 November 2013 Instansi 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Jumlah 7 10 7 2 6 2 34 Kementerian Lembaga 1 5 10 12 13 13 16 23 18 43 154 BUMNBUMD 4 2 5 7 3 1 22 Komisi 9 4 2 2 2 1 20 Pemerintah Provinsi 1 1 9 2 5 4 3 13 3 41 Pemkab Pemkot 4 8 18 5 8 7 10 18 78 Jumlah 2 19 27 24 47 37 40 39 48 66 349 Banyaknya kasus korupsi di lingkungan pemerintahan yang terungkap tidak lepas dari peran Komisi Pemberantasan Korupsi KPK. Selama tahun 2013, KPK menyatakan telah berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Universitas Sumatera Utara Rp1,196 Triliun lebih dari penanganan tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan penerimaan gratifikasi yang berhasil diungkapkan. Ketua KPK, Abraham Samad, dalam jumpa pers di Gedung KPK merinci dari jumlah tersebut sekitar Rp 949 Miliar telah disetor ke kas negara, Rp 228 Miliar telah disetor ke kas pemerintah daerah, dan dari pendapatan gratifikasi yang telah ditetapkan KPK menjadi milik negara sebesar Rp 18,56 Miliar. Mengenai penggunaan anggaran APBN, Abraham Samad menyatakan, dari Rp 703,8 Miliar, yang digunakan KPK sebesar Rp 357,6 Miliar. Menurut survey yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia menunjukkan pada tahun 2011, Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perception Index CPI di Indonesia adalah 3,0 dan menempati urutan 100 dari 183 negara yang diukur.Pada tahun 2012 Indeks Persepsi Korupsi Indonesia adalah 3,2 dan menempati urutan 118 dari 176 negara yang diukur. Nilai indeks ini sama seperti pada tahun 2013adalah 3,2. Namun, posisi Indonesia membaik dan menempati urutan 114 dari 177 negara yang diukur.Peningkatan ini cukup membuktikan bahwa kinerja para akuntan forensik di BPKP dan para penegak hukum beserta badan khusus yang dibentuk pemerintah yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi KPK sudah membuktikan adanya usaha untuk meningkatkan penanganan terhadap kasus- kasus korupsi.Namun demikian, peningkatan ini bukanlah pencapaian yang signifikan karena pemerintah Indonesia sebelumnya menargetan untuk mendapat nilai indeks 5,0 dalam CPI pada tahun 2014. Hasil CPI ini menunjukkan bahwa memang belum ada perubahan berarti yang sudah Universitas Sumatera Utara dilakukan Indonesia untuk menciptakan perubahan dan mencapai target tersebut. Selain itu, dalam kategori Transparency International, nilai CPI di bawah 3 masih dikategorikan sebagai negara yang kondisinya sangat parah dalam persoalan korupsi.Inilah yang membuat para akuntan forensik, para penegak hukum beserta KPK masih mempunyai banyak tugas mengenai pemeriksaan kasus-kasus kecurangan fraud terutama tindak pidana korupsi di lingkungan pemerintahan Indonesia.

4.1.3 Akuntan Forensik dalam Mendeteksi Fraud di Lingkungan