Penerapan Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi Dalam Mendeteksi Fraud di Lingkungan Digital

(1)

SKRIPSI

PENERAPAN AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI DALAM MENDETEKSI FRAUD DI LINGKUNGAN DIGITAL

OLEH

DIAN DARA SWARNA 080503212

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI DEPARTEMEN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012  

         


(2)

Pernyataan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “PENERAPAN AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI DALAM MENDETEKSI FRAUD DI LINGKUNGAN DIGITAL” adalah benar hasil karya tulis saya sendiri yang disusun sebagai tugas akademik guna menyelesaikan beban akademik pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

Bagian atau data tertentu yang saya peroleh dari perusahaan atau lembaga, dan/atau saya kutip dari hasil karya orang lain telah mendapat izin, dan/atau dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dan plagiat dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan,

Dian Dara Swarna 080503212  

                               


(3)

ABSTRAK

PENERAPAN AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI DALAM MENDETEKSI FRAUD DI LINGKUNGAN DIGITAL

Perkembangan teknologi meningkatkan pengetahuan manusia dalam berpikir sehingga teknologi dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan fraud. Untuk mengungkapkan fraud diperlukan akuntansi forensik dan dapat didukung dengan melakukan audit investigasi. Hal ini harus ditangani secara serius karena mengakibatkan kerugian yang sangat luas terhadap perekonomian dan korban-korban fraud itu sendiri.

Rumusan masalah penelitian ini adalah metode yang digunakan dalam penerapan akuntansi forensik dan audit investigasi dalam mendeteksi fraud dalam lingkungan digital dan alasan mengapa metode tersebut diterapkan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana akuntansi forensik dan audit investigasi diterapkan dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital serta kenapa hal itu perlu diterapkan. Jenis data yang digunakan data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode library research yaitu diperoleh dari kumpulan buku-buku dan internet.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akuntansi forensik dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital dapat dilakukan dengan computer forensic dan investigasi yang harus dilakukan yaitu dengan membuat copies dari keseluruhan log data, membuat fingerprint dari data secara matematis, membuat fingerprint dari copies, membuat hashes masterlist dan dokumentasi data yang telah dikerjakan. Alasan akuntansi forensik dan audit investigasi diterapkan untuk mengamankan dan menganalisa bukti digital. Alasan lain yaitu untuk membasmi fraud di lingkungan digital.


(4)

ABSTRACT

APPLICATION OF FORENSIC ACCOUNTING AND AUDIT INVESTIGATION DETECTING FRAUD IN THE DIGITAL ENVIRONMENT

Technological developments increase the human knowledge in thinking that the technology can be used as a means to conduct fraud. Required to disclose fraud and forensic accounting can be supported by an audit investigation. This should be taken seriously because it resulted in very large losses to the economy and the victims of fraud themselves.

Formulation of the problems of this study is the method used in the application of investigative forensic accounting and auditing in detecting fraud in the digital environment and the reason why these methods are applied. The purpose of this study to find out how forensic accounting and auditing in detecting fraud investigations are applied in the digital environment and why it needs to be applied. Type of data used secondary data, the data collected by others. Methods of data collection is done by the method of library research that is obtained from a collection of books and the internet.

These result indicate that the forensic accounting in detecting fraud in the digital environment can be done with computer forensics and investigations to be done is to make copies of all log data, create a fingerprint of the data mathematically, making the fingerprint of the copies, create hashes masterlist and documentation of data that has been done. The reason forensic accounting and investigative audit is applied to secure and analyze digital evidence. Another reason is to root out fraud in the digital environment.

Keywords : Forensic Accounting, Audit Investigation, Fraud, Digital Environment                              


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas karunia Allah SWT dengan kemurahan-Nya, sehingga saya bisa menyelesaikan tugas penelitian skripsi ini sebagai tugas akhir yang berjudul “Penerapan Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi Dalam Mendeteksi Fraud di Lingkungan Digital”. Proses pencarian topik penelitian ini tidak terlepas dari diskusi dan masukan dari Bapak Drs. Firman Syarif, Msi., Ak., selaku dosen pembimbing yang banyak memberikan masukan terhadap penyelesaian skripsi ini.

Penyelesaian skripsi ini melibatkan banyak pihak, untuk itu saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs.Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak DR. Syafruddin Ginting Sugihen, SE., Ak., MAFIS., CPA., selaku Ketua Departemen S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Hotmal Ja’far, MM., selaku sekretaris Departemen S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Firman Syarif, MSi., Ak., selaku Ketua Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dra. Mutia Ismail, MM., Ak selaku sekretaris Program Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Drs. Firman Syarif, MSi., Ak., selaku Dosen Pembimbing yang sangat banyak membantu dan membimbing dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Dra. Mutia Ismail, MM., Ak selaku Dosen Pembaca Penilai yang telah memberikan koreksi dan masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh staf dan pengelola admisi Program Studi Strata 1 Akuntansi Fakultas Ekonomi atas dukungannya.

9. Orang tua saya tersayang, ayahanda Hadi Johan dan Ibunda Salmiati tempat saya berteduh dan mengadu, abang dan kakak tercinta Prama Yudha, Echo Mahardhika dan Mega Madya Purnama.

10. Orang-orang yang saya sayangi Ok Ibnu Ubay Dilla, Debbie Sabrina C.T, Dona Nurida Mesa, Pareme Yunita Harianja, Angga Ben Hardi Aritonang dan Muhammad Raedi. Terima kasih atas doa dan dukungan dari kalian semua.

Penulis menyadari bahwa setiap manusia tidak luput dari kesalahan dan mungkin skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan kelemahan. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membaca.

     


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ………. . ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

DAFTAR ISI ………. iv

DAFTAR TABEL ………. vi

DAFTAR GAMBAR ………. vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……… 1

1.2 Perumusan Masalah ……… 6

1.3 Tujuan Penelitian ……… 6

1.4 Manfaat Penelitian ……….. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Akuntansi Forensik ………. 8

2.1.1 Pengertian Akuntansi Forensik ……… 9

2.1.2 Mengapa Akuntansi Forensik? ………. 11

2.1.3 Akuntan Forensik ………. 12

2.1.4 Lingkup Akuntansi Forensik ………... 16

2.1.5 Atribut, Standar dan Kode Etik Akuntansi Forensik ……….. 18

2.2 Audit Investigasi ……….. 23

2.2.1 Pengertian Audit Investigasi ………… 24

2.2.2 Perbedaan Financial Audit dengan Audit Investigasi ……… 26

2.2.3 Tujuan Audit Investigasi ……….. 29

2.2.4 Prinsip-prinsip Audit Investigasi ……. 30

2.2.5 Aksioma Audit Investigasi ……… 31

2.2.6 Metodologi Audit Investigasi ………… 33

2.2.7 Teknik Audit Investigasi ………... 36

2.3 Fraud (Kecurangan) ……… 38

2.3.1 Pengertian Fraud ………... 39

2.3.2 Penyebab Terjadinya Fraud …………. 41

2.3.3 Tanda-tanda Terjadinya Fraud ……… 42

2.3.4 Unsur-unsur Fraud ……….... 43

2.3.5 Klasifikasi Fraud ……… 44

2.3.6 Cara Mencegah Fraud ……….. 46

2.4 Fraud di Lingkungan Digital ………... 47

2.4.1 Fraud yang Terkait dengan Komputer ……… 48

2.4.2 Alasan Terjadinya Fraud dalam Lingkungan Digital ……… 49 2.4.3 Jenis-jenis Fraud di Lingkungan


(7)

Digital ……….. 50

2.4.4 Pencegahan Fraud di Lingkungan Digital ……….. 53

2.5 Penelitian Terdahulu ………. 55

2.6 Kerangka Konseptual ……… 55

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ……… 57

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 57

3.3 Jenis Data ……… 58

3.4 Metode Pengumpulan Data ………... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum ……… 59

4.1.1 Data Penelitian ………... 59

4.2 Sejarah Singkat Fraud dalam Lingkungan Digital ……… 59

4.3 Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi terhadap Fraud di Lingkungan Digital ……….. 61

4.4 Tujuan Forensik dalam Lingkungan Digital …. 63 4.5 Terminologi Forensik ………... 63

4.6 Investigasi Kasus Teknologi Informasi ………... 64

4.7 Peranan Komputer dalam Kegiatan Fraud …… 66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………. 68

5.2 Saran ……… 70

DAFTAR PUSTAKA ……….. 71                              


(8)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

2.1 Ringkasan Tinjauan Penelitian Terdahulu……….... 55

3.1 Jadwal Penelitian……….. 57

                                                                         


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

2.1 Kerangka Konseptual………... 56                                                                            


(10)

ABSTRAK

PENERAPAN AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI DALAM MENDETEKSI FRAUD DI LINGKUNGAN DIGITAL

Perkembangan teknologi meningkatkan pengetahuan manusia dalam berpikir sehingga teknologi dapat dijadikan sebagai sarana untuk melakukan fraud. Untuk mengungkapkan fraud diperlukan akuntansi forensik dan dapat didukung dengan melakukan audit investigasi. Hal ini harus ditangani secara serius karena mengakibatkan kerugian yang sangat luas terhadap perekonomian dan korban-korban fraud itu sendiri.

Rumusan masalah penelitian ini adalah metode yang digunakan dalam penerapan akuntansi forensik dan audit investigasi dalam mendeteksi fraud dalam lingkungan digital dan alasan mengapa metode tersebut diterapkan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana akuntansi forensik dan audit investigasi diterapkan dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital serta kenapa hal itu perlu diterapkan. Jenis data yang digunakan data sekunder, yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain. Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode library research yaitu diperoleh dari kumpulan buku-buku dan internet.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akuntansi forensik dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital dapat dilakukan dengan computer forensic dan investigasi yang harus dilakukan yaitu dengan membuat copies dari keseluruhan log data, membuat fingerprint dari data secara matematis, membuat fingerprint dari copies, membuat hashes masterlist dan dokumentasi data yang telah dikerjakan. Alasan akuntansi forensik dan audit investigasi diterapkan untuk mengamankan dan menganalisa bukti digital. Alasan lain yaitu untuk membasmi fraud di lingkungan digital.


(11)

ABSTRACT

APPLICATION OF FORENSIC ACCOUNTING AND AUDIT INVESTIGATION DETECTING FRAUD IN THE DIGITAL ENVIRONMENT

Technological developments increase the human knowledge in thinking that the technology can be used as a means to conduct fraud. Required to disclose fraud and forensic accounting can be supported by an audit investigation. This should be taken seriously because it resulted in very large losses to the economy and the victims of fraud themselves.

Formulation of the problems of this study is the method used in the application of investigative forensic accounting and auditing in detecting fraud in the digital environment and the reason why these methods are applied. The purpose of this study to find out how forensic accounting and auditing in detecting fraud investigations are applied in the digital environment and why it needs to be applied. Type of data used secondary data, the data collected by others. Methods of data collection is done by the method of library research that is obtained from a collection of books and the internet.

These result indicate that the forensic accounting in detecting fraud in the digital environment can be done with computer forensics and investigations to be done is to make copies of all log data, create a fingerprint of the data mathematically, making the fingerprint of the copies, create hashes masterlist and documentation of data that has been done. The reason forensic accounting and investigative audit is applied to secure and analyze digital evidence. Another reason is to root out fraud in the digital environment.

Keywords : Forensic Accounting, Audit Investigation, Fraud, Digital Environment                              


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Saat ini pendeteksian penipuan (fraud) dan akuntansi forensik merupakan bidang studi yang lagi hangat-hangatnya. Dengan adanya pemberitaan media massa mengenai berbagai kasus kecurangan yang terjadi telah meningkatkan minat masyarakat terhadap akuntansi forensik dan audit investigasi terutama di kalangan mahasiswa program profesi akuntansi. Menurut Tuanakotta (2010 : 4) akuntansi forensik ialah “penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan”. Sejalan dengan perkembangan yang pesat dengan dunia teknologi dan telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan internet yang mutliguna. Perkembangan ini membawa kita ke revolusi dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuan manusia dengan cara berpikir yang tanpa batas dengan percepatan teknologi yang semakin lama semakin canggih, menjadi sebab perubahan yang terus menerus dalam semua interaksi dan aktivitas masyarakat informasi. Pearson dan Singleton (2008 : 545) mengemukakan :

Kolaborasi terbaru oleh rekan dalam praktek dan dalam pendidikan akuntansi yang lebih tinggi seperti dijelaskan dalam “Pendidikan dan Pelatihan Penipuan dan Akuntansi Forensik: Panduan bagi Lembaga Pendidikan, Organisasi Stakeholder, Fakultas dan Mahasiswa” telah menciptakan kerangka untuk menerapkan perubahan dalam pendidikan akuntansi untuk lebih memberdayakan lulusan akuntansi


(13)

lebih efektif dalam peran mereka untuk mendukung upaya anti-penipuan dan melakukan akuntansi forensik dalam lingkungan digital.

Teknologi juga membantu dalam berbagai pelayanan akuntansi forensik termasuk penilaian, perselisihan pemegang saham, dan kebangkrutan. Kebutuhan untuk memperoleh, mengelola, dan menganalisa data digital penting untuk keberhasilan akuntansi profesional di masa depan. Selain itu, justru teknologi juga menjadi sarana untuk melakukan tindakan penipuan. Oleh karena itu, pemahaman tentang alat-alat digital dan teknik tampaknya diperlukan untuk menghindari tindakan penipuan. Menurut Institute of Internal Auditors (IIA) yang dikutip dalam Sawyer et al (2006 : 339) menyebutkan kecurangan (fraud) adalah “meliputi serangkaian tindakan-tindakan tidak wajar dan ilegal yang sengaja dilakukan untuk menipu”.

Belakangan ini kasus fraud yang sering terjadi di Indonesia yaitu kejahatan teknologi informasi (cyber crime), kejahatan kerah putih (white-collar crime). Belakangan ini kejahatan cyber crime semakin lama semakin meningkat. Penanganan kasus cyber crime saat ini masih cukup sulit dilakukan karena teknologi di Indonesia masih belum memadai dan kurangnya pengetahuan terhadap teknik digital. Metode dan cara yang digunakan untuk memanipulasi perusahaan sangat banyak jumlahnya, dan kemungkinan untuk mendeteksi seluruh fraud yang ada melalui komputer hanya impian belaka. Hanya sejumlah kecil dari kasus yang terjadi dapat terungkap sedangkan kasus yang terjadi angkanya sangat


(14)

mengejutkan. Menurut Kwanadi (2006 : 16) dalam istilah ini, kegiatan yang melakukan kejahatan dalam dunia internet tersebut ialah cyber crime, yang merupakan “suatu tindakan yang merugikan orang lain atau pihak-pihak tertentu yang dilakukan pada media digital atau dengan bantuan perangkat-perangkat digital”.

Selain cyber crime, white-collar crime termasuk kejahatan yang sedang marak-maraknya di Indonesia. White-collar crime terbatas pada kejahatan yang dilakukan dalam lingkup jabatan mereka dan karenanya tidak termasuk kejahatan pembunuhan, perzinaan, perkosaan, dan lain-lain yang lazimnya tidak dalam lingkup kegiatan para penjahat berkerah putih. Menurut Kamus terbitan the Federal Bureau of Justice Statistics (Dictionary of Criminal Justice Data Terminology) dalam Tuanakotta (2010 : 213) mendefenisikan white-collar crime sebagai :

kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan penipuan oleh orang yang pekerjaannya adalah wiraswasta, profesional atau semi profesional dan yang memanfaatkan keahlian dan peluang yang diberikan oleh jabatannya; juga kejahatan tanpa kekerasan demi keuntungan keuangan yang dilakukan dengan penipuan oleh orang yang mempunyai keahlian khusus dan pengetahuan profesional mengenai bisnis dan pemerintahan, meskipun ia tidak terkait dengan pekerjaannya

Salah satu contoh kasus white-collar crime yang terjadi di Indonesia yaitu kasus bailout Bank Century yang di mulai pada bulan Oktober tahun 2008 lalu yang di mana pelaku tindak kriminal tersebut adalah pejabat-pejabat yang memiliki wewenang di Bank Century. Dan sampai sekarang kasus ini tidak kunjung selesai.


(15)

Kasus ini merupakan permasalahan yang harus ditangani secara serius karena akibatnya sangat luas dan banyak merugikan perekonomian negara. Bila tidak ditanggulangi maka tingkat kriminal akan berkembang dengan cepat dan jika tidak terkendali dampaknya akan sangat fatal. Salah satu penyebab sulit terdeteksinya fraud di Indonesia dikarenakan perkembangan ilmu akuntansi forensik yang sangat lambat dan tidak adanya ahli-ahli yang dapat mengungkapkan fraud tersebut, sehingga penanganannya sulit dilakukan. Lulusan akuntansi yang berprofesi sebagai akuntan atau auditor, suka atau tidak suka harus memahami akuntansi forensik. Oleh karena itu, disiplin ilmu akuntansi dituntut untuk melakukan perubahan dan mengikuti tren permasalahan masa kini terutama yang terkait dengan isu-isu fraud. Dengan begitu, kalangan akademisi bisa lebih tanggap terhadap kasus-kasus fraud baik di dalam lingkungan digital maupun di luar lingkungan digital yang kerap terjadi sebagai indikasi korupsi di negara ini.

Tetapi dalam mendeteksi fraud tidak hanya akuntansi forensik yang dibutuhkan untuk membedah kasus tersebut. Pelaksanaan audit investigasi juga harus dilakukan untuk membuktikan adanya fraud yang kemungukinan terjadi yang sebelumnya telah diindikasikan oleh berbagai pihak. Pelaksanaan audit investigasi lebih mendasarkan kepada pola pikir bahwa untuk mengungkapkan suatu fraud auditor harus berpikir seperti pelaku fraud itu sendiri, dengan mendasarkan pelaksanaan prosedur yang ditetapkan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hingga


(16)

tindak lanjut pemeriksaan. Istilah investigasi muncul dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang menjelaskan bahwa “audit investigasi termasuk dalam pemeriksaan dengan tujuan tertentu, yaitu pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan kinerja”. Audit investigasi adalah

serangkaian kegiatan mengenali (recognize), mengidentifikasi (identify), dan menguji (examine) secara detail informasi dan fakta-fakta yang ada untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya dalam rangka pembuktian untuk mendukung proses hukum atas dugaan penyimpangan yang dapat merugikan keuangan suatu entitas (http://id.wikipedia.org/wiki/Audit)

Sebelumnya penelitian audit investigasi terhadap fraud telah dilakukan oleh beberapa peneliti yaitu Zulaiha (2008) dan Hartini (2010). Adapun sumber untuk memenuhi penelitian adalah kumpulan jurnal-jurnal akuntansi yang terdapat di jurnal internasional.

Dari beberapa uraian latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai fraud yang terdapat pada lingkungan digital. Oleh karena itu penulis memberi judul penelitian ini “PENERAPAN AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGASI DALAM MENDETEKSI FRAUD DI LINGKUNGAN DIGITAL”.


(17)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana akuntansi forensik dan audit investigasi diterapkan dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital?

2. Mengapa akuntansi forensik dan audit investigasi dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital perlu diterapkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana akuntansi forensik dan audit investigasi diterapkan dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital. 2. Untuk mengetahui mengapa akuntansi forensik dan audit investigasi

dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital perlu diterapkan.

1.4. Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

Untuk lebih memahami mengenai penerapan akuntansi forensik dan audit investigasi dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital.


(18)

2. Peneliti selanjutnya

Penelitian ini berguna sebagai acuan untuk penelitian dan pengembangan selanjutnya.

3. Bagi pihak lain

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan bahan pertimbangan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Akuntansi Forensik

Akuntansi forensik muncul karena pesatnya perkembangan fraud yang terjadi, untuk mengungkapkan fraud tersebut diperlukan ilmu mengenai akuntansi forensik. Istilah akuntansi forensik merupakan terjemahan dari forensic accounting. Menurut Meriam Webster’s Collegiate Dictionary dalam Tuanakotta (2010 : 5) pengertian forensik dapat diartikan “yang berkenaan dengan pengadilan” atau “berkenaan dengan penerapan pengetahuan ilmiah pada masalah hukum”. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 179 ayat (1) menyatakan : “Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan”. Dalam praktek, kelompok ahli lainnya termasuk para akuntan atau pelaksana audit investigasi yang memberi keterangan ahli demi keadilan. Namun, mereka belum lazim dikenal sebagai akuntan forensik.

Pada mulanya, di Amerika Serikat, akuntansi forensik digunakan untuk menentukan pembagian warisan atau mengungkapkan motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan hukum, maka istilah yang digunakan akuntansi (bukan audit) forensik. Praktik akuntansi forensik tumbuh tidak lama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Akuntansi forensik sesungguhnya bisa mempunyai peran yang efektif dalam


(20)

menegakkan hukum di Indonesia, namun perannya masih belum maksimal. Saat ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) berusaha untuk mengembangkan akuntansi forensik yang mulai berkembang di Indonesia sejak krisis ekonomi 1997.

2.1.1 Pengertian Akuntansi Forensik

Definisi akuntansi forensik menurut Hopwood et al (2008 : 3) yaitu “forensic accounting is the application of investigative and analytical skills for the purpose of resolving financial issues in a manner that meets standards required by courts of law.”

Dengan terjemahan sebagai berikut, akuntansi forensik adalah aplikasi keterampilan investigasi dan analitik yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah-masalah keuangan melalui cara-cara yang sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pengadilan dan hukum. Menurut Tuanakotta (2010 : 4) akuntansi forensik ialah “penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan”. Menurut Bologna dan Lindquist yang dikutip dalam Crumbley dan Apostolou (2002 : 17) mendefenisikan akuntansi forensik sebagai “forensic and investigative accounting is the application of financial skills and an investigative mentality to unresolved issues, conducted within the context of the rules of evidence”.


(21)

Dengan terjemahan sebagai berikut, akuntansi forensik dan investigasi adalah aplikasi kecakapan finansial dan sebuah mentalitas penyelidikan terhadap isu-isu yang tak terpecahkan, yang dijalankan dalam konteks rules of evidence”.

Menurut de Lorenzo (1993 : 23) mendefenisikan akuntansi forensik “forensic accounting could be described as the application of accounting knowledge and skills to legal problems, though in today’s complex commercial environment the meaning and use of the term is much broader”.

Dengan terjemahan sebagai berikut, penerapan pengetahuan akuntansi dan keterampilan untuk masalah hukum, meskipun dalam kompleks lingkungan komersial dan penggunaan istilah tersebut jauh lebih luas.

Dari beberapa pengertian akuntansi forensik di atas, dapat disimpulkan bahwa akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi yang berdasarkan pada keterampilan-keterampilan dalam menginvestigasi dan menganalisis yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah keuangan yang dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh hukum. Akuntansi forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau pengeluaran tertentu) yang diindikasikan telah terjadi tindak fraud baik dalam laporan pihak dalam atau orang ketiga atau, petunjuk terjadinya fraud.


(22)

The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) dalam Hopwood (2008 : 5) mengklasifikasikan akuntansi forensik dalam dua kategori : “jasa penyelidikan (investigative services) dan jasa litigasi (litigation services)”. Dalam jasa layanan yang pertama meliputi pemeriksa penipuan atau auditor penipuan dimana mereka mengetahui tentang akuntansi mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan, penyalahgunaan dan misinterpretasi. Jenis layanan yang kedua merepresentasikan kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian.

2.1.2 Mengapa Akuntansi Forensik?

Tingkat korupsi yang tinggi menjadi pendorong yang kuat untuk berkembangnya praktik akuntansi forensik di Indonesia. Akuntansi forensik diperlukan karena adanya potensi fraud yang mampu menghancurkan pemerintahan, bisnis, pendidikan, departemen maupun sektor-sektor lainnya. Menurut Tuanakotta yang dikutip dalam Asia Pacific Fraud Convention (2007 : 23) “pada pertemuan Asia Pacific mengenai fraud tahun 2004, Deloitte Touche Tohmatsu melakukan polling terhadap 125 delegasi”. Polling tersebut menunjukkan bahwa kebanyakan peserta (82%) menyatakan bahwa mereka mengalami peningkatan dalam corporate fraud (fraud di


(23)

perusahaan) dibandingkan dengan tahun sebelumnya; 36% di antaranya menyatakan peningkatan fraud yang teramat besar. Berdasarkan forecast BMI kuartal keempat 2005 memuat SWOT Analysis mengenai lingkungan usaha diperoleh bahwa dalam kategori Weakness, BMI memasukkan sistem hukum di Indonesia yang tidak handal sedangkan dalam kategori Opportunities disebutkan bahwa pembasmian korupsi akan meningkatkan minat para investor untuk menanamkan uang mereka di Indonesia.

Fraud terjadi karena corporate governance yang rendah, lemahnya enforcement, kelemahan dalam bidang penegakan hukum, standar akuntansi dan lain-lain konsisten dengan tingkat korupsi dan kelemahan dalam penyelenggaraan negara.

2.1.3 Akuntan Forensik

Profesi akuntan forensik sangat dibutuhkan oleh penegak hukum, yakni jika ada sebuah transaksi yang dicurigai, maka abdi hukum bisa meminta bantuan akuntan forensik untuk menjelaskan dari mana dan ke mana transaksi tersebut mengalir. Akuntan forensik menerapkan keterampilan khusus di bidang akuntansi, audit, keuangan, metode kuantitatif, beberapa bidang hukum, penelitian dan keterampilan dalam menginvestigasi untuk mengumpulkan, menganalisis, dan mengevaluasi bukti dan untuk menginterpretasikan dan mengkomunikasikan temuan.


(24)

Seorang akuntan forensik membantu organisasi atau individu terutama untuk memberikan dukungan manajemen dalam bentuk laporan untuk mendeteksi fraud dan dukungan litigasi, terutama melalui kesaksian saksi ahli.

Seorang akuntan forensik menyelidiki kasus fraud yang sudah diketahui atau dicurigai harus dapat mengembangkan teori kasus tersebut dan menggabungkannya ke dalam metode ilmiah. Pendekatan ini mencakup identifikasi masalah (hipotesis), mengumpulkan bukti dan data, menganalisis data untuk menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan. Dalam melakukan penyelidikan, menurut Harris dan Brown (2000 : 6) seorang akuntan forensik memiliki keterampilan khusus dan kemampuan teknis termasuk :

1. Pemahaman hukum dan rules of evidence. Seorang akuntan forensik sudah tidak asing lagi dengan hukum pidana dan perdata dan memahami prosedur-prosedur ruang sidang dan ekspektasi. Memahami rules of evidence dengan memastikan bahwa semua temuan dan dokumentasi yang terkait dapat diterima di pengadilan. Seorang akuntan forensik harus memiliki pemahaman dasar tentang proses hukum dan masalah hukum.

2. Keterampilan investigasi kritis dan analitis. Seorang auditor mungkin bisa dikatakan juga sebagai watchdog, tetapi seorang akuntan forensik adalah bloodhound. Seorang akuntan forensik harus memiliki skeptisisme tingkat tinggi dan kegigihan seorang detektif untuk memeriksa situasi red flags yang menunjukkan adanya fraud.

3. Memahami teori, metode dan pola penyalahgunaan penipuan. Seorang akuntan forensik harus dapat berpikir secara kreatif untuk mempertimbangkan dan memahami taktik pelaku yang dapat melakukan dan menyembunyikan kecurangan. Seorang akuntan forensik juga harus dapat berpikir seperti pelaku yang akan memanipulasi catatan akuntansi atau membalikkan keadaan untuk menipu perusahaan. Sebagai contoh, seorang akuntan forensik dapat


(25)

memahami efek tekanan situasional, kesempatan untuk melakukan fraud, dan integritas pribadi.

4. Kemampuan berkomunikasi yang baik. Seorang akuntan forensik harus menjelaskan temuannya secara jelas dan ringkas kepada berbagai pihak, termasuk mereka yang belum begitu paham tentang akuntansi dan audit. Sebagai contoh, seorang akuntan forensik mungkin diminta untuk menyajikan metode investigasi dan kesimpulan yang dicapai untuk departemen akuntansi, manajemen, dewan direksi, pejabat pemerintah dan peserta sidang (hakim, juri, penggugat, terdakwa dan pengacara). Akuntan forensik secara efektif menjelaskan analisis dan prosedur yang digunakan dan dapat membedakan antara temuan fakta dan opini secara jelas.

5. Kemampuan berorganisasi yang kokoh. Kemampuan untuk mengatur dan menganalisis sejumlah besar data keuangan dan dokumen adalah kualitas utama dari seorang akuntan forensik. Mengelola tugas ini sangat penting untuk mengembangkan sebuah kesimpulan profesional, pendapat para pakar atau laporan. Akuntan forensik harus mengatur informasi dan menetapkan data yang kompleks dan dokumen yang dapat membangun pendapat mereka.

Robert J. Lindquist yang dikutip dalam Edratna (2009) membagikan kuesioner kepada staf Peat Marwick Lindquist Holmes, tentang kualitas apa saja yang harus dimiliki oleh seorang akuntan forensik yaitu :

1. Kreatif. Kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis yang normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu bukan merupakan situasi bisnis yang normal.

2. Rasa ingin tahu. Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi. 3. Tak menyerah. Kemampuan untuk maju terus pantang

mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.

4. Akal sehat. Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya, perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.


(26)

5. Business sense. Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.

6. Percaya diri. Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan, sehingga dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela).

Menurut Hopwood et al (2008 : 6) menyatakan bahwa akuntan forensik yang terlatih memiliki tingkat pengetahuan dan keterampilan dalam bidang-bidang berikut ini :

1. Keterampilan auditing merupakan hal terpenting bagi akuntan forensik karena adanya sifat pengumpulan informasi dan verifikasi yang terdapat pada akuntansi forensik. Akuntan forensik yang terampil harus mampu mengumpulkan dan mengkaji informasi apapun yang relevan sehingga kasus-kasus yang mereka tangani akan didukung secara positif oleh pihak pengadilan.

2. Pengetahuan dan keterampilan investigasi, misalnya praktik-praktik surveillance dan keterampilan wawancara dan introgasi, membantu akuntan forensik untuk melangkah di luar keterampilan mereka di dalam mengaudit aspek-aspek forensik baik aspek-aspek legal maupun aspek-aspek finansial. 3. Kriminologi, khususnya studi psikologi tindak kejahatan,

adalah penting bagi akuntan forensik karena keterampilan investigasi yang efektif sering bergantung pada pengetahuan tentang motif dan insentif yang dialami oleh perpetrator.

4. Pengetahuan akuntansi membantu akuntan forensik untuk menganalisis dan menginterpretasi informasi keuangan, apakah itu dalam kasus kebangkrutan, operasi pencucian uang, atau skema-skema penyelewengan lainnya. Hal ini meliputi pengetahuan tentang pengendalian internal yang baik seperti yang terkait dengan kepemimpinan perusahaan (corporate governance).

5. Pengetahuan tentang hukum sangat penting untuk menentukan keberhasilan akuntan forensik. Pengetahuan tentang prosedur hukum dan pengadilan mempermudah akuntan forensik untuk mengidentifikasi jenis bukti yang diperlukan untuk memenuhi standar hukum yuridiksi di mana kasus akan dinilai dan menjaga bukti melalui cara-cara yang memenuhi kriteria pengadilan.


(27)

6. Pengetahuan dan keterampilan bidang teknologi informasi (TI) menjadi sarana yang penting bagi akuntan forensik di tengah dunia yang dipenuhi oleh kejahatan-kejahatan dunia maya. Pada taraf yang minimum, akuntan forensik harus mengetahui poin di mana mereka harus menghubungi seorang ahli bidang piranti keras (hardware) atau piranti lunak (software) komputer. Akuntan forensik menggunakan keterampilan teknologi untuk mengkarantina data, ekstraksi data melalui penggalian data, mendesain dan menjalankan pengendalian atau manipulasi data, menghimpun informasi database untuk perbandingan, dan menganalisis data.

7. Keterampilan berkomunikasi juga dibutuhkan oleh akuntan forensik untuk memastikan bahwa hasil penyelidikan/analisis mereka dapat dipahami secara benar dan jelas oleh pengguna jasanya.

2.1.4 Lingkup Akuntansi Forensik a. Praktek di Sektor Swasta

Fraud jika dikaitkan dengan lemahnya corporate governance, bisa terjadi baik di sektor publik maupun di sektor privat. Dampaknya jika fraud terjadi disektor korporasi yaitu harga saham dari korporasi yang bersangkutan lebih rendah dari harga pasar. Hal tersebut akan mempengaruhi penilaian investor pada saat menentukan keputusan. Tidak jarang para investor mau membayar saham dengan harga premium jika perusahaan diindikasikan mau memperbaiki kelemahan corporate governance-nya.

Menurut Tuanakotta (2005 : 41) ialah “lingkup akuntansi forensik sangat spesifik untuk lembaga yang menerapkannya atau untuk tujuan melakukan investigasinya”.


(28)

Bologna dan Lindquist dalam Tuanakotta (2005 : 41) mengemukakan beberapa istilah dalam perbendaharaan akuntansi, yakni

fraud auditing, forensic accounting, investigative accounting, litigation support, dan valuation analysis”. Menurut mereka, istilah-istilah tersebut tidak didefenisikan secara jelas. Dalam penggunaan sehari-hari litigation support merupakan istilah yang paling luas dan mencakup keempat istilah lainnya. Bologna dan Lindquist tidak menyentuh istilah valuation analysis. Analisis ini berhubungan dengan akuntansi atau unsur hitung-hitungan. Pihak-pihak yang bersengketa dalam urusan bisnis dapat meminta satu pihak membeli seluruh saham pihak lainnya atau mereka dapat menyepakati bahwa pembeli akhirnya adalah penawar yang mengajukan harga tertinggi. Dalam kasus tindak pidana korupsi, diperlukan perhitungan mengenai berapa kerugian negara ini. Inilah gambaran umum mengenai lingkup akuntansi forensik di sektor swasta atau bisnis.

b. Praktek di Sektor Pemerintahan

Tuanakotta (2005 : 42) mengemukakan

Di sektor publik (pemerintahan), praktek akuntan forensik serupa dengan apa yang digambarkan di atas, yakni pada sektor swasta. Perbedaannya adalah bahwa tahap-tahap dalam seluruh rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi di antara berbagai lembaga. Ada lembaga yang melakukan pemeriksaan keuangan negara, ada beberapa lembaga yang merupakan bagian dari internal pemerintahan, ada lembaga-lembaga pengadilan, ada lembaga-lembaga yang menunjang kegiatan memerangi kejahatan pada umumnya, dan korupsi


(29)

khususnya seperti (PPATK), dan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK. Juga ada lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai pressure group.

Masing-masing lembaga tersebut mempunyai mandat dan wewenang yang diatur dalam konstitusi, undang-undang atau ketentuan lainnya. Mandat dan wewenang ini akan mewarnai lingkup akuntansi forensik yang diterapkan. Disamping itu keadaan politik dan macam-macam kondisi lain akan mempengaruhi lingkup akuntansi forensik yang diterapkan, termasuk pendekatan hukum atau non hukum.

Dampak yang terjadi di sektor pemerintahan apabila terdapat

fraud adalah terganggunya pelaksanaan penyelenggaraan

negara. Apabila tidak ditunjang dengan penegakan bidang hukum yang kuat, standar akuntansi dan lain-lain maka tingkat korupsi dan kelemahan dalam penyelenggaraan negara akan meningkat.

2.1.5 Atribut, Standar dan Kode Etik Akuntansi Forensik a. Atribut

Howard R. Davia dalam Tuanakotta (2005 : 45) memberi lima nasehat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud yaitu :


(30)

1. Hindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur.

2. Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku

melakukan kecurangan (perpetrators’ intent to commit fraud).

3. Kreatiflah, berpikir seperti pelaku kejahatan, jangan mudah ditebak dalam hal arah pemeriksaan, penyelidikan, atau investigasi kita (be creative, think like a perpetrator, do not be predictable).

4. Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan.

5. Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk menemukan kecurangan dalam investigasi proaktif), si auditor harus mempertimbangkan apakah kecurangan dilakukan di dalam pembukuan atau di luar pembukuan.

b. Standar

Standar ini berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh anggota organisasi auditor dalam mematuhi kode etik dan menjalankan tugas serta kewajiban profesional sebagaimana tercantum dalam Kode Etik bagi auditor. Dengan mematuhi standar audit, auditor diharapkan dapat menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa secara profesional.

K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dalam Tuanakotta (2005 : 52) merumuskan beberapa standar untuk mereka yang melakukan investigasi terhadap fraud. Standar –standar ini akan dijelaskan dengan konteks Indonesia :

1. Standar 1

Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui (accepted best practices). Dalam hal ini tersirat dua hal yaitu adanya upaya membandingkan antara


(31)

praktek-praktek yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu (benchmarking) dan upaya benchmarking dilakukan terus menerus mencari solusi terbaik.

2. Standar 2

Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.

3. Standar 3

Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks, dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar. Referensi ini juga membantu perusahan dalam upaya perbaikan cara-cara investigasi sehingga accepted best practices yang dijelaskan di atas dapat dilaksanakan.

4. Standar 4

Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya. Apabila investigasi dilakukan dengan cara yang melanggar hak asasi pegawai yang bersangkutan dapat membuat perusahaan dan investigator dituntut.

5. Standar 5

Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.

6. Standar 6

Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.

7. Standar 7

Liput seluruh tahapan kunci dalan proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.

Selain standar yang telah diuraikan di atas, dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, juga diatur mengenai standar audit


(32)

kecurangan yaitu dalam bagian standar pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Adapun standar pelaksanaan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berisikan :

1. Hubungan dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)

2. Komunikasi auditor

3. Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya 4. Pengendalian intern

5. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan; Kecurangan (Fraud), serta Ketidakpatuhan (Abuse)

6. Dokumentasi pemeriksaan

7. Pemberlakuan standar pemeriksaan

c. Kode Etik

Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya, dengan pemakai jasanya dan stakeholder lainnya, dan dengan masyarakat luas. Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional.


(33)

Di Amerika Serikat, (ACFE) telah menetapkan kode etik bagi para fraud auditor yang bersertifikat, yang terdiri atas delapan butir yaitu :

1. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam segala keadaan, harus menunjukkan komitmen terhadap profesionalisme dan ketekunan dalam pelaksanaan tugasnya.

2. Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan yang bersifat ilegal atau melanggar etika, atau segenap tindakan yang dapat menimbulkan adanya konflik kepentingan.

3. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam semua keadaan, harus menunjukkan integritas setinggi-tingginya dalam semua penugasan profesionalnya, dan hanya akan menerima penugasan yang memiliki kepastian yang rasional bahwa penugasan tersebut akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya.

4. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mematuhi peraturan/perintah dari pengadilan, dan akan bersumpah/bersaksi terhadap suatu perkara secara benar dan tanpa praduga.

5. Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, harus memperoleh bukti atau dokumentasi lain yang dapat mendukung pendapat yang diberikan. Tidak boleh menyatakan pendapat bahwa seseorang atau pihak-pihak tertentu “bersalah” atau “tidak bersalah”.

6. Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak boleh mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh dari hasil audit tanpa melalui otorisasi dari pihak-pihak yang berwenang.

7. Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mengungkapkan seluruh hal yang material yang diperoleh dari hasil audit yakni, apabila informasi tersebut tidak diungkapkan akan menimbulkan distorsi terhadap fakta yang ada.

8. Seorang fraud auditor yang bersertifikat secara sungguh-sungguh harus senantiasa meningkatkan kompetensi dan efektivitas hasil kerjanya yang dilakukan secara profesional.


(34)

2.2 Audit Investigasi

Seiring dengan waktu, perkembangan akuntansi forensik menjadi lebih kompleks yakni melibatkan satu bidang lagi yaitu audit. Berkembangnya kompleksitas bisnis dan semakin terbukanya peluang usaha dan investasi menyebabkan risiko terjadinya fraud semakin tinggi. Mengacu ke berbagai kasus baik di dalam maupun di luar negeri menunjukkan bahwa fraud dapat terjadi di mana saja. Dalam rangka memperkecil kerugian akibat fraud dan memperbaiki sistem pengendalian maka jika ada indikasi kuat terjadi suatu fraud, perusahaan diharapkan mengambil langkah yang tepat dengan melakukan audit investigasi.

Pelaksanaan audit investigasi lebih mendasarkan kepada pola pikir bahwa untuk mengungkapkan suatu kecurangan auditor harus berpikir seperti pelaku fraud itu sendiri, dengan mendasarkan pelaksanaan prosedur yang ditetapkan baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hingga tindak lanjut pemeriksaan.

Auditor harus memiliki kemampuan untuk membuktikan adanya fraud yang terjadi dan sebelumnya telah diindikasikan oleh berbagai pihak. Auditor harus peka terhadap semua hal yang tidak wajar baik hal itu dirasakan terlalu besar, terlalu kecil, terlalu sering, terlalu rendah, terlalu banyak, terlalu sedikit, maupun kesan yang janggal. Auditor harus mampu berkomunikasi dalam “bahasa” mereka. Auditor juga harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti konsep-konsep keuangan, dan kemampuan untuk menarik kesimpulan. Dan juga sangat penting bagi


(35)

auditor untuk menyederhanakan konsep-konsep keuangan sehingga orang-orang pada umumnya dapat memahami apa yang dimaksudkannya. Menurut Tuanakotta (2007 : 49) auditor investigasi adalah “gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif (atau investigator)”.

2.2.1 Pengertian Audit Investigasi

Menurut Herlambang (2011) audit investigasi yaitu

suatu bentuk audit atau pemeriksaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan atau kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur atau teknik-teknik yang umumnya digunakan dalam suatu penyelidikan atau penyidikan terhadap suatu kejahatan

Jack Bologna dan Paul Shaw yang dikutip dalam Amin Widjaja (2005 : 36) mengatakan

forensic accounting, sometimes called fraud auditing or investigative accounting, is a skill that goes beyond the realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery. Indeed, forensic accounting skill go beyond the general realm of collar crime

Yang diterjemahkan sebagai berikut, akuntansi forensik kadang-kadang disebut audit penipuan, adalah keterampilan yang melampaui alam penggelapan dan penipuan manajemen perusahaan, atau penyuapan komersial. Memang, keterampilan akuntansi forensik melampaui wilayah umum kejahatan berkerah.

Association of Certified Fraud Examiner seperti yang dikutip oleh Widjaja (2005 : 36), mendefenisikan audit investigasi sebagai


(36)

berikut : “fraud auditing is an initial approach (proactive) to detecting financial fraud, using accounting records and information, analytical relationship, and an awareness of fraud perpetration and concealment efforts”.

Dengan terjemahan sebagai berikut audit kecurangan merupakan suatu pendekatan awal (proaktif) untuk mendeteksi penipuan keuangan, dengan menggunakan catatan akuntansi dan informasi, hubungan analitis dan kesadaran perbuatan penipuan dan upaya penyembunyian.

Secara garis besar audit investigasi mirip dengan istilah Fraud Examination sebagaimana yang dimaksud dalam Fraud Examination

Manual yang diterbitkan oleh Association of Certified Fraud

Examiners (ACFE). Menurut panduan/manual para fraud examiners tersebut, yang dimaksud audit investigasi yaitu

methodology for resolving fraud allegations from inception to disposition. More specifically, fraud examination involves obtaining evidence and taking statements, writing reports, testifying findings and assisting in the detection and prevention of fraud

Yang artinya adalah metodologi untuk menyelesaikan tuduhan-tuduhan penipuan dari awal sampai disposisi. Lebih khusus, pemeriksaan penipuan melibatkan memperoleh bukti dan mengambil laporan, menulis laporan, kesaksian temuan dan membantu dalam mendeteksi dan pencegahan penipuan.


(37)

Dari ketiga definisi audit investigasi di atas, dapat disimpulkan bahwa audit investigasi merupakan suatu cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dan memeriksa fraud terutama dalam laporan keuangan yang kemungkinan sedang atau sudah terjadi menggunakan keahlian tertentu dari seorang auditor (teknik audit).

2.2.2 Perbedaan Financial Audit dengan Audit Investigasi

Sampai saat ini audit investigasi di Indonesia belum dibakukan prosedurnya oleh IAI. Selain itu, istilah yang resmi dari IAI juga belum turun. Sebagian ada yang menyebutnya audit kecurangan, audit forensik, audit khusus dan audit investigasi. Untuk memudahkan pembahasan, penulis akan menggunakan istilah audit investigasi dan mengasumsikan bahwa investigasi berkaitan dengan pengadilan atau hukum dan dilakukan mulai dari tahap pendeteksian sampai dengan persidangan.

Dalam majalah Akuntansi No. 10 Tahun 1988 yang dikutip dalam Karni (2000 : 5), dijelaskan tentang akuntan investigasi sebagai berikut :

sesungguhnya akuntan investigasi tidak berbeda dengan akuntan publik yang ada, hanya pada akuntan publik, mereka bertujuan memberikan pendapat atas laporan keuangan yang diperiksa dan kadang juga menemukan adanya kecurangan, sedangkan akuntan investigasi memang bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan adanya kecurangan, terutama terhadap perusahaan-perusahaan yang mati misterius (tidak wajar)


(38)

Dari kutipan di atas, terdapat beberapa perbedaan antara financial audit dengan audit investigasi yaitu :

1. Dasar Pelaksanaan Audit

Pada financial audit, audit dilaksanakan berdasarkan permintaan perusahaan yang menginginkan laporan keuangannya diaudit. Dasar pelaksanaan audit investigasi adalah permintaan dari penyidik untuk mendeteksi fraud yang mungkin terjadi. Selain itu, audit investigasi juga dapat dilakukan atas dasar pengaduan dari masyarakat tentang kecurigaan adanya fraud dan dari temuan audit yang mengarah pada kemungkinan adanya fraud yang didapat dari financial audit sebelumnya.

2. Tanggung Jawab Auditor

Pada financial audit, audit bertanggung jawab atas nama lembaga audit atau KAP (Kantor Akuntan Publik) tempat auditor bekerja. Pada audit investigasi, auditor bertanggung jawab atas nama pribadi yang ditunjuk, karena apabila keterangan di sidang pengadilan merupakan keterangan palsu auditor yang bersangkutan akan terkena sanksi.

3. Tujuan Audit

Tujuan financial audit adalah untuk mengetahui laporan keuangan perusahaan klien telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Audit investigasi bertujuan untuk membantu penyidik untuk membuat terang perkara dengan


(39)

mencari bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mendukung dakwaan jaksa.

4. Teknik dan Prosedur Audit

Dalam financial audit, prosedur dan teknik audit yang digunakan mengacu hanya pada standar auditing, sedangkan audit investigasi mengacu pada standar auditing juga kewenangan penyidik sehingga dapat digunakan teknik audit yang lebih luas.

5. Penerapan Azas Perencanaan dan Pelaksanaan Audit

Pada financial audit menggunakan skeptis profesionalisme, sedangkan audit investigasi selain menggunakan skeptis profesionalisme juga menggunakan azas praduga tak bersalah. 6. Tim Audit

Dalam financial audit, tim audit bisa siapa saja yang ada di KAP tersebut. Dalam audit investigasi, tim audit dipilih auditor yang sudah pernah melaksanakan bantuan tenaga ahli untuk kasus yang serupa atau hampir sama dan salah satu dari tim audit harus bersedia menjadi saksi ahli di persidangan.

7. Persyaratan Tim Audit

Pada financial audit, auditor harus menguasai masalah akuntansi dan auditing, sedangkan pada audit investigasi, auditor harus mengetahui juga ketentuan hukum yang berlaku disamping menguasai masalah akuntansi dan auditing.


(40)

8. Laporan Hasil Audit

Dalam financial audit, menyatakan pendapat auditor tentang kesesuaian laporan keuangan dengan prinsip akuntansi berlaku umum. Dalam audit investigasi, menyatakan siapa yang bertanggung jawab dan terlibat dalam kasus fraud yang ditangani, tetapi tetap menerapkan azas praduga tak bersalah.

2.2.3 Tujuan Audit Investigasi

Menurut pendapat Karni (2000 : 4) tentang audit investigasi adalah audit ketaatan bertujuan untuk mengetahui apakah seorang klien telah melaksanakan prosedur atau aturan yang telah ditetapkan oleh pihak yang memiliki otorisasi lebih tinggi. Dalam audit investigasi, ketentuan yang harus ditaati sangat luas, tidak hanya kebijakan manajemen, auditor investigasi sampai dengan hukum formal, hukum material dan lain-lain. Untuk itu, audit investigasi tidak hanya cukup untuk menguasai bidang ekonomi, tetapi juga mengerti tentang hukum yang berlaku

Dan tujuan investigasi yang di ambil dari K.H. Spencer Pickett and Jennifer Picket, Financial Crime Investigation and Control dalam Tuanakotta (2007 : 201) beberapa diantaranya yaitu :

1. Memberhentikan manajemen. Tujuannya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggung-jawabkan kewajiban fidusiernya.

2. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukup dan relevannya bukti. Tujuannya akan menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan.

3. Melindungi reputasi dari karyawan yang tidak bersalah. 4. Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan

untuk investigasi.

5. Menemukan asset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi.


(41)

6. Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang diduga menjadi pelaku kejahatan, mengerti kerangka acuan dari invetigasi tersebut; harapannya adalah bahwa mereka bersedia bersikap kooperatif dalam investigasi itu.

7. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya.

8. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan.

9. Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan.

10. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan.

Syafi’i dalam Yuhertiana (2005 : 2) juga mengungkapkan bahwa tujuan audit investigasi yaitu “mengadakan audit lebih lanjut atas temuan audit sebelumnya serta melaksanakan audit untuk membuktikan kebenaran berdasarkan pengaduan atau informasi dari masyarakat”.

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, pemilihan di antara berbagai alternatif tujuan investigasi tergantung dari organisasi atau permintaan penyidik untuk membantu penyidik mengungkapkan fraud yang terjadi dan menjebloskan oknum-oknum ke penjara. Tujuan ini juga untuk mengetahui apakah kecurigaan fraud tersebut terbukti atau tidak.

2.2.4 Prinsip-prinsip Audit Investigasi

Prinsip-prinsip berikut berdasarkan pengalaman dan praktek dapat dijadikan pedoman bagi investigator dalam setiap situasi sebagai berikut :


(42)

1. Investigasi adalah tindakan mencari kebenaran dengan memperhatikan keadilan dan berdasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Kegiatan investigasi mencakup pemanfaatan sumber-sumber bukti yang dapat mendukung fakta yang dipermasalahkan.

3. Investigator mengumpulkan fakta-fakta sedemikian rupa sehingga bukti-bukti yang diperolehnya dapat memberikan kesimpulan sendiri (bahwa telah terjadi tindak kejahatan dan pelakunya teridentifikasi).

4. Informasi merupakan napas dan darahnya investigasi sehingga investigator harus mempertimbangkan segala kemungkinan untuk dapat memperoleh informasi.

5. Pengamatan, informasi dan wawancara merupakan bagian yang penting dalam investigasi.

6. Pelaku kejahatan adalah manusia, oleh karena itu jika ia diperlakukan sebagaimana layaknya manusia maka mereka juga akan merespon sebagaimana manusia.

2.2.5 Aksioma Audit Investigasi

Ada tiga aksioma dalam melakukan audit investigasi. Aksioma menurut Tuanakotta (2007 : 208) adalah “asumsi dasar yang begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya”.


(43)

1. Fraud selalu tersembunyi.

Fraud dalam hal ini menyembunyikan seluruh aspek yang

mungkin dapat mengarahkan pihak lain dalam menemukan terjadinya fraud tersebut. Pihak-pihak yang terlibat menutup rapat-rapat kebusukan mereka. Metode dalam menyembunyikan fraud tersebut begitu rapi sehingga pemeriksa fraud atau investigator yang berpengalaman sekalipun dapat terkecoh. 2. Melakukan pembuktian timbal balik.

Seorang auditor harus mempertimbangkan apakah terdapat bukti yang dapat memberatkan seorang tersangka yang tidak pernah melakukan fraud. Dan sebaliknya, auditor juga harus dapat mempertimbangkan apakah bukti yang tidak memberatkan seseorang telah melakukan fraud.

3. Fraud terjadi merupakan kewenangan pengadilan untuk

memutuskannya.

Dalam menyelidiki fraud, investigator hanya membuat dugaan mengenai apakah seseorang bersalah atau tidak berdasarkan bukti-bukti yang telah dikumpulkannya. Tetapi adanya suatu fraud yang terjadi dapat dipastikan jika telah diputuskan oleh majelis hakim dan para jury di pengadilan.


(44)

2.2.6 Metodologi Audit Investigasi

Menurut metodologi internal audit, seorang fraud auditor dapat melakukan pengujian atau pemeriksaan beberapa hal yang berkaitan dengan subjek auditnya atau prosedur kerja dan organisasi dimana fraud diduga terjadi dan orang yang bersangkutan. Untuk mencari jawaban suatu fraud tanpa bukti yang lengkap, auditor perlu membuat asumsi tertentu.

Menurut Assosiation of Certified Fraud Examiners yang menjadi rujukan internasional dalam melaksanakan Fraud Examination. Metodologi tersebut menekankan kepada kapan dan bagaimana melaksanakan suatu pemeriksaan investigasi atas kasus yang memiliki indikasi tindak fraud dan berimplikasi kepada aspek hukum, serta bagaimana tindak lanjutnya. Pemeriksaan investigasi yang dilakukan untuk mengungkapkan adanya tindak fraud terdiri atas banyak langkah. Karena pelaksanaan pemeriksaan investigasi atas fraud berhubungan dengan hak-hak individual pihak-pihak lainnya, maka pemeriksaan investigasi harus dilakukan setelah diperoleh alasan yang sangat memadai dan kuat, yang diistilahkan sebagai predikasi.

Predikasi adalah suatu keseluruhan kondisi yang mengarahkan atau menunjukkan adanya keyakinan kuat yang didasari oleh profesionalisme dan sikap kehati-hatian dari auditor yang telah dibekali dengan pelatihan dan pemahaman tentang fraud, bahwa


(45)

fraud telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi. Tanpa predikasi, pemeriksaan investigasi tidak boleh dilakukan. Hal ini menyebabkan adanya ketidakpuasan dari berbagai kalangan yang menyangka bahwa jika suatu institusi audit menemukan satu indikasi penyimpangan dalam pelaksanakan financial audit-nya, maka institusi tersebut dapat melakukan pemeriksaan investigasi.

Pemeriksaan investigasi belum tentu langsung dilaksanakan karena indikasi yang ditemukan umumnya masih sangat prematur sehingga memerlukan sedikit pendalaman agar diperoleh bukti yang cukup kuat untuk dilakukan pemeriksaan investigasi. Garis besar proses audit investigasi secara keseluruhan, dari awal sampai dengan akhir, dipilah-pilah sebagai berikut :

1. Penelaahan Informasi Awal

Pada proses ini pemeriksa melakukan : pengumpulan informasi tambahan, penyusunan fakta dan proses kejadian, penetapan dan penghitungan tentatif kerugian keuangan, penetapan tentatif penyimpangan, dan penyusunan hipotesa awal.

2. Perencanaan Pemeriksaan Investigasi

Pada tahapan perencanaan dilakukan : pengujian hipotesa awal, identifikasi bukti-bukti, menentukan tempat atau sumber bukti, analisa hubungan bukti dengan pihak terkait, dan penyusunan program pemeriksaan investigasi.


(46)

3. Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan dilakukan : pengumpulan bukti-bukti, pengujian fisik, konfirmasi, observasi, analisa dan pengujian dokumen, interview, penyempurnaan hipotesa dan review kertas kerja.

4. Pelaporan

Isi laporan hasil pemeriksaan audit investigasi memuat : unsur-unsur melawan hukum, fakta dan proses kejadian, dampak kerugian keuangan akibat penyimpangan/tindak melawan hukum, sebab-sebab terjadinya tindakan melawan hukum, pihak-pihak yang terkait dalam penyimpangan/tindakan melawan hukum yang terjadi, dan bentuk kerja sama pihak-pihak yang terkait dalam penyimpangan/tindakan melawan hukum.

5. Tindak Lanjut

Pada tahap tindak lanjut ini : proses sudah diserahkan dari tim audit kepada pimpinan organisasi dan secara formal selanjutnya diserahkan kepada penegak hukum. Penyampaian laporan hasil audit investigasi kepada pengguna laporan diharapkan sudah memasuki pula tahap penyidikan. Berkaitan dengan kesaksian dalam proses lanjutan dalam peradilan, tim audit investigasi dapat ditunjuk oleh organisasi untuk memberikan keterangan ahli jika diperlukan.


(47)

2.2.7 Teknik Audit Investigasi

Teknik audit adalah cara-cara yang dipakai dalam mengaudit kewajaran penyajian laporan keuangan. Teknik audit yang biasa diterapkan dalam audit umum seperti :

1. Pemeriksaan Fisik

Dalam pemeriksaan fisik yang biasa dilakukan yaitu penghitungan uang tunai, kertas berharga, persediaan barang, aktiva tetap, dan barang berwujud. Untuk teknik ini, investigator menggunakan inderanya untuk mengetahui atau memahami sesuatu.

2. Konfirmasi

Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk menegaskan kebenaran atau ketidakbenaran suatu informasi. Dalam investigasi, investigator harus memperhatikan apakah pihak ketiga mempunyai kepentingan dalam investigasi.

3. Memeriksa Dokumen

Pemeriksaan dokumen selalu dilakukan dalam setiap investigasi. Dengan kemajuan teknologi dapat dipastikan dokumen menjadi lebih luas, termasuk informasi yang diolah, disimpan, dan dipindahkan.


(48)

4. Review Analitikal

Review analitikal menekankan pada penalaran, proses

berpikirnya. Dengan penalaran yang baik akan membawa pada seorang auditor investigator pada gambaran mengenai wajar, layak atau pantasnya suatu data individual disimpulkan dari gambaran yang diperoleh secara global, menyeluruh. Review analitikal didasarkan atas perbandingan antara apa yang dihadapi dengan apa yang layaknya harus terjadi.

5. Meminta Penjelasan Lisan atau Tertulis dari Auditan

Permintaan informasi harus diperkuat atau dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat dengan cara lain. 6. Menghitung Kembali

Menghitung kembali yaitu memeriksa kebenaran perhitungan. Dalam investigasi, perhitungan yang dihadapi sangat kompleks, didasarkan atas kontrak atau perjanjian yang rumit, mungkin sudah terjadi perubahan dan renegoisasi berkali-kali dengan pejabat yang berbeda.

7. Mengamati

Teknik ini juga tidak berbeda jauh dengan pemeriksaan fisik.

Investigator juga menggunakan inderanya untuk melakukan

pengamatan.

Hanya dalam audit investigasi, teknik-teknik audit tersebut bersifat eksploratif, mencari “wilayah garapan”, atau probing maupun


(49)

pendalaman. Dari ketujuh teknik audit tersebut, dalam audit investigasi lebih ditekankan kepada review analitikal. Untuk mendapatkan hasil investigasi yang maksimal, menurut Cahyani (2012) seorang fraud auditor harus juga menguasai beberapa teknik investigasi, antara lain :

1. Teknik penyamaran atau penyadapan 2. Teknik wawancara

3. Teknik merayu untuk mendapatkan informasi 4. Mengerti bahasa tubuh

5. Dengan bantuan software

2.3 Fraud (Kecurangan)

Fraud (kecurangan) merupakan penipuan yang disengaja dilakukan yang dapat menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan tersebut dan memberikan keuntungan bagi pelaku fraud. Dalam istilah sehari-hari fraud diberi nama yang berlainan, seperti pencurian, penyerobotan, pemerasan, pengisapan, penggelapan, pemalsuan, dan lain-lain. Fraud umumnya terjadi karena adanya tekanan untuk melakukan penyelewengan atau dorongan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dan adanya pembenaran (diterima secara umum) terhadap tindakan tersebut. Salah saji terdiri dari dua macam yaitu kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai Pernyataan Standar Auditing (PSA) No. 70, demikian pula error dan irregularities masing-masing diterjemahkan sebagai kekeliruan dan ketidakberesan sesuai PSA sebelumnya yaitu PSA No. 32.


(50)

2.3.1 Pengertian Fraud

Definisi fraud menurut Black Law Dictionary adalah

1. a knowing misrepresentation of the truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment; is usual a tort, but in some cases (esp. when the conduct is willful) it may be a crime.

2. a misrepresentation made recklessly without belief in its truth to induce another person to act.

3. a tort arising from knowing misrepresentation, concealment of material act, or reckless misrepresentation made to induce another to act to his or her detriment.

Yang diterjemahkan secara tidak resmi, fraud adalah :

1. Kesengajaan atas salah pernyataan terhadap suatu kebenaran atau keadaan yang disembunyikan dari sebuah fakta material yang dapat mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan atau tindakan yang merugikannya, biasanya merupakan kesalahan namun dalam beberapa kasus (khususnya dilakukan secara disengaja) memungkinkan merupakan suatu kejahatan.

2. Penyajian yang salah/keliru (salah pernyataan) yang secara ceroboh/tanpa perhitungan dan tanpa dapat dipercaya kebenarannya berakibat dapat mempengaruhi atau menyebabkan orang lain bertindak atau berbuat.

3. Suatu kerugian yang dapat timbul sebagai akibat diketahui keterangan atau penyajian yang salah (salah pernyataan), penyembunyian fakta material, atau penyajian yang


(51)

ceroboh/tanpa perhitungan yang mempengaruhi orang lain untuk berbuat atau bertindak yang merugikannya.

Menurut IIA dalam Soepardi (2010) dalam standarnya menjelaskan fraud yaitu

fraud encompasses an array of irregularities and illegal acts charactized by intentional deception. It can be perpetrated for the benefit of or to the detriment of the organization and by persons outside as well as inside organization

Dengan terjemahan sebagai berikut, fraud mencakup suatu ketidakberesan dan tindakan ilegal yang bercirikan penipuan yang disengaja. Ia dapat dilakukan untuk manfaat dan atau kerugian organisasi oleh seorang di luar atau di dalam organisasi.

Definisi lainnya dikemukakan oleh Sunarto yang dikutip dalam Zulaiha (2008) yaitu “kecurangan dalam pelaporan keuangan yang dinyatakan untuk menyajikan laporan keuangan yang menyesuaikan, seringkali disebut kecurangan manajemen (management fraud)”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud dalam Tuanakotta (2010 : 194 ) seperti :

Pasal 362 Pencurian : mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.

Pasal 368 Pemerasan dan Pengancaman : dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang maupun menghapuskan piutang.


(52)

Pasal 372 Penggelapan : dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Pasal 378 Perbuatan Curang : dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang.

Pasal 369 : merugikan pemberi piutang dalam keadaan pailit.

Pengertian lainnya dikemukakan oleh Hopwood et al dalam Tunggal (2011 : 4) “fraud means by which a person can achieve an advantage over another by false suggestion or suppression of the truth”. Yang bisa diartikan bahwa fraud berarti dimana seseorang dapat mencapai keunggulan atas yang lain dengan sugesti palsu atau penindasan kebenaran.

2.3.2 Penyebab Terjadinya Fraud

Faktor-faktor yang menyebabkan fraud terjadi yaitu pertama karena adanya peluang (opportunity), dengan mempunyai pengetahuan pelaku dapat melihat peluang mewajarkan aktivitas fraud mereka demi untuk mendapatkan kekayaan dan keuntungan. Kedua, tekanan (pressure) dimana keadaan finansial atau non finansial merupakan dorongan paling biasa untuk melakukan fraud. Ketiga, rasional (rationalization) terjadi karena sikap iri hati, dendam, marah, ingin cepat kaya dan percaya mereka hebat dapat menjadi pendorong


(53)

untuk seseorang melakukan fraud. Faktor-faktor ini lebih dikenal sebagai fraud triangle atau segitiga fraud.

Penyebab fraud yang dijelaskan Bologna dengan GONE theory dalam Soepardi (2010 : 6) terdiri dari empat faktor yaitu :

1. Greed (keserakahan), berkaitan dengan adanya perilaku

serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.

2. Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan

organisasi atau instansi masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan fraud terhadapnya.

3. Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individu untuk menunjang hidupnya yang menurutnya wajar.

4. Exposure (pengungkapan), berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang akan dihadapi oleh pelaku fraud apabila pelaku ditemukan melakukan fraud.

2.3.3 Tanda-Tanda Terjadinya Fraud

Fraud dapat sedini mungkin terdeteksi jika manajemen atau internal auditor jeli melihat tanda-tanda fraud tersebut. Tunggal (2011 : 114) menyatakan tanda-tanda fraud tersebut beberapa diantaranya yaitu :

1. Terdapat perbedaan angka laporan keuangan yang mencolok dengan tahun-tahun sebelumnya.

2. Tidak ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas. 3. Seseorang menangani hampir semua transaksi yang penting. 4. Transaksi yang tidak didukung oleh bukti yang memadai. 5. Perkembangan perusahaan yang sulit.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui dengan jelas tanda-tanda fraud dapat dilihat dari perbedaan angka laporan keuangan yang mencolok dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh pelaku


(54)

untuk menutupi fraud sehingga timbul perbedaan angka-angka. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang tidak jelas juga dapat memicu seseorang melakukan fraud karena karyawan dapat bertindak semena-mena.

Dalam melakukan suatu transaksi yang penting diperlukan beberapa orang untuk menanganinya agar karyawan tidak dapat memanipulasi transaksi yang telah terjadi. Setiap melakukan transaksi juga harus dilengkapi dengan bukti-bukti yang jelas. Perkembangan perusahaan yang sulit juga dapat menimbulkan niat seseorang untuk melakukan

fraud dikarenakan kondisi individual yang ingin menunjang

kehidupannya.

2.3.4 Unsur-Unsur Fraud

Menurut Effendi (2006) yang disampaikan dalam seminar/perkuliahan umum, unsur-unsur fraud antara lain “sekurang-kurangnya melibatkan dua pihak (collusion), tindakan penggelapan/penghilangan atau false representation dilakukan dengan sengaja, menimbulkan kerugian nyata atau potensial atas tindakan pelaku fraud”.

Unsur-unsur fraud atau penipuan menurut Tunggal (2011 : 96) antara lain sebagai berikut

pertama, suatu perjanjian palsu dari fakta material, atau dalam kasus tertentu suatu pendapat. Kedua, keinginan melakukan suatu tindakan yang salah atau untuk mencapai suatu tujuan yang tidak konsisten dengan peraturan atau kebijakan publik.


(55)

Ketiga, menyamar suatu tujuan melalui pemalsuan dan kesalahan representasi untuk melaksanakan suatu rencana. Keempat, kepercayaan pelanggar terhadap kelalaian atau ketidaktelitian dari korban. Kelima, penyembunyian dari kejahatan

2.3.5 Klasifikasi Fraud

Fraud dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam menurut

Association of Certified Fraud Examinations (ACFE) yaitu:

a. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud) Fraud yang dilakukan oleh manajemen yaitu dalam bentuk salah

saji material laporan keuangan yang merugikan investor dan kreditor. Fraud ini dapat bersifat finansial atau non finansial. b. Penyalahgunaan Aset (Asset Misappropriation)

Penyalahgunaan aset dapat digolongkan ke dalam ‘kecurangan kas’ dan kecurangan atas persediaan dan aset lainnya, serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent disbursement)

c. Korupsi (Corruption)

Korupsi terjadi apabila memenuhi tiga kriteria yang merupakan syarat bahwa seseorang bisa dijerat undang-undang korupsi, ketiga syarat itu adalah : 1) melawan hukum, 2) memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, 3) merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.


(56)

Menurut Tunggal (2011 : 82) fraud terbagi dalam beberapa jenis yaitu :

a. Kecurangan Korporasi (Corporate Fraud)

Kecurangan korporasi atau kejahatan ekonomi (economic crime) biasanya dilakukan oleh pejabat, eksekutif, atau manajemen pusat laba dan perusahaan publik untuk memuaskan kebutuhan ekonomis jangka pendek mereka. b. Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraudulent Financial

Reporting)

Contoh kecurangan ini adalah 1) memanipulasi, memalsukan, atau mengubah catatan atau dokumen. 2) menyembunyikan atau menghilangkan pengaruh transaksi yang lengkap dari dokumen. 3) mencatat transaksi tanpa substansi. 4) salah menerapkan kebijakan akuntansi. 5) gagal mengungkapkan informasi yang signifikan.

c. Kecurangan Manajemen (Management Fraud/White Collar-Crime)

Tujuan white collar-crime adalah untuk mencuri jumlah uang yang besar daripada jumlah uang yang kecil, dan modus operasinya adalah dengan menggunakan teknologi dan komunikasi massa daripada tindakan brutal dan alat-alat kasar.

d. Kegagalan Audit (Audit Failure)

Kegagalan audit mengakibatkan kantor akuntan publik berhadapan dengan litigasi yang mahal dan kehilangan reputasi. Kegagalan audit disebabkan : 1) kesalahan interpretasi auditor terhadap prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP). 2) kesalahan interpretasi terhadap standar auditing yang berlaku umum (GAAS) atau implementasi GAAS. 3) kesalahan karena adanya kecurangan.

e. Kecurangan Karyawan (Employee Fraud)

Kecurangan karyawan biasanya melibatkan perpindahan aktiva dari pemberian kerja. Kadang-kadang merupakan suatu tindakan langsung dari pencurian atau manipulasi.

Fraud juga dapat terjadi pada perusahaan dengan menggunakan

sistem komputerisasi. Computer fraud dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dengan menyalahgunakan waktu komputer atau


(57)

mencuri sumber daya komputer dan memanipulasi data atau memasukkan data yang tidak benar.

2.3.6 Cara Mencegah Fraud

Menurut Tuanakotta (2007 : 159) ada ungkapan yang secara mudah ingin menjelaskan penyebab atau akar permasalahan dari fraud yaitu “fraud by need, by greed, and by opportunity”. Maksud dari ungkapan tersebut adalah apabila kita ingin mencegah fraud, hilangkan atau tekan sekecil mungkin penyebabnya. Menurut Miqdad (2008 : 52) seorang auditor intern juga dapat melakukan beberapa hal untuk mencegah terjadinya fraud antara lain :

1. Membangun struktur pengendalian internal yang baik.

2. Mengefektifkan aktivitas pengendalian, dengan cara : review kinerja, pengolahan informasi, pengendalian fisik, pemisahan tugas.

3. Meningkatkan kultur organisasi melalui implementasi prinsip-prinsip dasar Good Corporate Governance (GCG). 4. Mengefektifkan fungsi internal audit.

Dalam mencegah terjadinya fraud, Hartini (2010) memberikan beberapa saran agar fraud tersebut dapat dihindari. Saran itu antara lain :

1. Tingkatkan pengendalian intern yang terdapat di perusahaan.

2. Lakukan seleksi pegawai secara ketat, gunakan jasa psikolog dalam penerimaan pegawai.

3. Tingkatkan keandalan internal audit departemen antara lain dengan :

a. Memberikan balas jasa yang menarik.

b. Memberikan perhatian yang cukup besar terhadap laporan mereka.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua rumusan masalah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti maka peneliti mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertanyaan penelitian pertama adalah bagaimana akuntansi forensik dan audit investigasi diterapkan dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital. Dari hasil penelitian, dalam menerapkan akuntansi forensik dan audit investigasi terhadap fraud dalam lingkungan digital akuntan dapat membuktikannya dengan melakukan computer forensics. Langkah pertama yang dapat dilakukan yaitu imaging dimana suatu alat akan dihubungkan ke salah satu communication port (parallel port) dan alat tersebut akan merekam seluruh data yang ada pada electronic storage media (hard disk) dalam komputer secara lengkap, tidak kurang dan tidak lebih. Langkah kedua yaitu processing dimana sesudah mendapatkan bayangan cermin dari data aslinya, image tersebut harus di olah untuk memulihkan file yang terlanjur dihapus atau yang ditulis kembali dengan current file. Ketiga, investigator dapat menunjukkan keahliannya, kreativitasnya dan penerapan gagasan orisinal.


(2)

media yang terpisah. 2) membuat fingerprint dari data secara matematis. 3) membuat fingerprint dari copies secara matematis. 4) membuat suatu hashes masterlist. 5) dokumentasi yang telah dikerjakan. Selain itu, perlu dilakukan investigasi lanjutan dengan metode search and seizure.

3. Pertanyaan penelitian kedua adalah kenapa akuntansi forensik dan audit investigasi dalam mendeteksi fraud di lingkungan digital perlu diterapkan. Tujuan dilakukannya forensik dan audit investigasi untuk mengungkap terjadinya fraud di dalam lingkungan digital, siapa-siapa sajakah pelaku fraud yang terkait, bagaimana fraud tersebut dilakukan. Perkembangan teknologi informasi yang semakin hari semakin pesat membuat pelaku fraud semakin terpicu untuk melakukan tindak kejahatan dalam lingkungan digital. Kejahatan yang biasa dilakukan dengan komputer meliputi penggelapan, pencurian properti dan informasi kepemilikan, penipuan, peniruan dan pemalsuan. Dengan lahirnya internet yang mampu menyebarkan informasi dengan cepat memudahkan pelaku fraud memperoleh peluang tindak kriminal tersebut. Akuntansi forensik dan audit investigasi dilakukan untuk memberantas oknum-oknum yang melakukan tindakan fraud, meminimalisir kerugian akibat adanya tindak fraud tersebut.


(3)

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian ini, peneliti mencoba memberikan saran sebagai berikut :

1. Bagi perusahaan, dalam meminimalisir terjadinya fraud di lingkungan digital dapat dilakukan pengamanan atas arus komunikasi di dalam suatu organisasi. Teknologi pengaman yang dimaksud berupa firewalls, e-mail dan instant messaging. Suatu organisasi dapat meningkatkan pengendalian intern yang kuno menjadi lebih modern untuk mencegah terjadinya tindakan kriminal berkerah putih. Menciptakan lingkungan kerja yang nyaman bagi karyawan sehingga tidak terdorong untuk melakukan tindakan kriminal. Perusahaan dapat menggunakan jasa psikolog untuk menyeleksi penerimaan pegawai.

2. Bagi akuntan forensik, tidak hanya pemahaman hukum dan rules of evidence, keterampilan investigasi kritis dan analitis, dan kemampuan berkomunikasi saja yang dibutuhkan untuk membuktikan terjadinya fraud. Seorang akuntan forensik harus mampu mengoperasikan komputer untuk mendeteksi fraud yang terjadi dalam lingkungan digital tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Cahyani, Ajeng R. 2012. Audit Investigasi, Bukan Sekadar Audit. http://www.jtanzilco.com/main/index.php/component/content/article/1-kap-news/360-auditinvestigasibukansekadaraudit (01 Feb. 2012)

Crumbley, D Larry dan Nicholas Apostolou, 2002. “Forensic Accounting : A New Growth Area in Accounting”, Ohio CPA Journal, Volume 61 Number 3, Pg16

de Lorenzo, Justin, 1993. “Forensic Accounting”, In The Black, Volume 63 Number 2, Pg 23.

Edratna, 2009. Apa, Bagaimana dan Kapan Akuntansi Forensik Digunakan?. http://edratna.wordpress.com/2009/04/27/apa-bagaimana-dan-kapan-akuntansi- forensik-digunakan/ (27 Apr. 2009)

Effendi, Muh Arief. 2009. Pencegahan, Pendeteksian dan Penginvestigasian Kecurangan Komputer oleh Auditor Melalui Audit Sistem Informasi.

http://muhariefeffendi.wordpress.com/2009/09/07/pencegahan- pendeteksian-dan-penginvestigasian-kecurangan-komputer-oleh-auditor-melalui-audit-sistem-informasi/ (07 Sept. 2009)

Harris, Cindy K dan Amy M. Brown, 2000. “The Qualities of a Forensic Accountant”, Pennsylvania CPA Journal, Volume 71 Number 1, Pg 6.

Hartini, Siska Dwi, 2010. “Pengaruh Kemampuan Auditor terhadap Efektivitas Pelaksanaan Prosedur Audit Investigasi dalam Pembuktian Kecurangan (Studi Kasus pada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Jawa Barat)”. Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Skripsi.

Herlambang, 2011. Pengertian Audit Investigasi. http://masherla.wordpress.com/2011/11/22/pengertian-audit-investigasi/ (22 Nov. 2011)

Hidayat, 2011. Digital Forensik Investigasi. http://deathwhyy.blogspot.com/2011/03/digital-forensik-investigasi.html (10 Mar. 2011)


(5)

Hopwood, William S., et al. 2008. Forensic Accounting. By The McGraw-Hill Companies, Inc., 1221 Avenue of the Americas, New York, NY,10020.

Karni, Soedjono, 2000. Auditing, Audit Khusus, dan Audit Forensik dalam Praktik, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad, 2009. Metodologi Riset untuk Bisnis & Ekonomi, Edisi 3, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Kwanadi, Devina, 2006. “Cyber Crime yang terjadi di Indonesia dan Kebijakan yang Diambil Pemerintah Indonesia dalam Menangani Kasus Tersebut”, Jurnal Sentris, Nomor 1 Tahun 3.

Lawrence, B. Sawyer, Mortimer A. Dittenhofer dan James H. Scheiner, 2006. Audit Internal, Salemba Empat, Jakarta.

Miqdad, Muhammad, 2008. “Mengungkap Praktek Kecurangan (Fraud) Pada Korporasi dan Organisasi Publik Melalui Audit Forensik”, Jurnal Ilmu Ekonomi, Volume 3 Nomor 2.

Pearson, Timothy A dan Tommie W. Singleton, 2008. “Fraud and Forensic Accounting in the Digital Environment”, Proquest, Volume 23 Number 4, Pg 545.

Soepardi, Eddy Mulyadi. 2010. Peran BPKP dalam Penanganan Kasus Berindikasi Korupsi Pengadaan Jasa Konsultasi Instansi Pemerintah. http://ebookfreetoday.com/Download.php?lj=http://www.inkindo- jateng.web.id/wp-content/uploads/Seminar/06.pdf&bt=Peran-BPKP-dalam-Penanganan-Kasus-Berindikasi-Korupsi-Pengadaan-... (22 Jun. 2010)

Theodorus, M. Tuanakotta, 2007. Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

_______,2010. Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, Salemba Empat, Jakarta.


(6)

Widjaja, Amin, 2005. Audit Kecurangan (Suatu Pengantar), HARVARINDO, Jakarta.

www.wikipedia.com

Yuhertiana, Indrawati, 2005. Peran Audit Investigasi dalam Penegakan Good Governance di Indonesia. blog.tp.ac.id/wp.../downloaddiskusifeperan auditinvestigasi.pdf (25 Mei. 2005)

Zulaiha, Siti, 2008. “Pengaruh Kemampuan Auditor Investigatif terhadap Efektivitas Pelaksanaan Prosedur Audit dalam Pembuktian Kecurangan (Studi Kasus pada Badan Pemeriksa Keuangan Bandung)”. Universitas Padjajaran, Bandung, Skripsi.