Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) terhadap Gambaran Diferensiasi Leukosit dan Luasan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus)

(1)

DIAN MAYASAFIRA. Effect of Blackseed (Nigella sativa) Oil Extract on Leukocyte Differentiation and Bone Marrow of Mice (Mus musculus).Under direction of SRI ESTUNINGSIH and MAWAR SUBANGKIT

This study was aimed to get information about blackseed (Nigella sativa) suplementation effect on leukocyte differentiation and bone marrow of mice. Seventy two mice (36 male and 36 female) of 4 weeks old were divided into four group, each group consists of nine mice. Group I was negative control (received aquadest 0.1 ml), group II (received 0.1 ml blackseed oil), group III (received 0.2 ml blackseed oil), and group IV (received 0.3 ml combination of blackseed oil and honey). This treatment were done for two months. Afterward, the mice were euthanized and then necropsied followed by blood and os femur collection as the sample. The blood samples were processed to prepare blood smear and os femur samples were processed to prepare histopathology slides with Hematoxilyn-Eosin stain. The parameters observed include to count and differenciate of the leukocyte cells and bone marrow volume using Image J® software for Microsoft® Windows®. Quantitative data were analyzed with SAS® 9.1.3 software for Microsoft® Windows®, ANOVA test and followed by Duncan test. The result showed that blackseed oil caused increasing of lymphocyte and bone marrow volume, and decreasing of neutrophyl on group II, III, and IV which were significant (p<0.05) with the control group.


(2)

HITAM

(Nigella sativa)

TERHADAP GAMBARAN

DIFERENSIASI LEUKOSIT DAN LUASAN SUMSUM

TULANG MENCIT

(Mus musculus)

DIAN MAYASAFIRA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) terhadap Gambaran Diferensiasi Leukosit dan Luasan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus) adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2012

Dian Mayasafira NIM B04070092


(4)

DIAN MAYASAFIRA. Effect of Blackseed (Nigella sativa) Oil Extract on Leukocyte Differentiation and Bone Marrow of Mice (Mus musculus).Under direction of SRI ESTUNINGSIH and MAWAR SUBANGKIT

This study was aimed to get information about blackseed (Nigella sativa) suplementation effect on leukocyte differentiation and bone marrow of mice. Seventy two mice (36 male and 36 female) of 4 weeks old were divided into four group, each group consists of nine mice. Group I was negative control (received aquadest 0.1 ml), group II (received 0.1 ml blackseed oil), group III (received 0.2 ml blackseed oil), and group IV (received 0.3 ml combination of blackseed oil and honey). This treatment were done for two months. Afterward, the mice were euthanized and then necropsied followed by blood and os femur collection as the sample. The blood samples were processed to prepare blood smear and os femur samples were processed to prepare histopathology slides with Hematoxilyn-Eosin stain. The parameters observed include to count and differenciate of the leukocyte cells and bone marrow volume using Image J® software for Microsoft® Windows®. Quantitative data were analyzed with SAS® 9.1.3 software for Microsoft® Windows®, ANOVA test and followed by Duncan test. The result showed that blackseed oil caused increasing of lymphocyte and bone marrow volume, and decreasing of neutrophyl on group II, III, and IV which were significant (p<0.05) with the control group.


(5)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(6)

HITAM

(Nigella sativa)

TERHADAP GAMBARAN

DIFERENSIASI LEUKOSIT DAN LUASAN SUMSUM

TULANG MENCIT

(Mus musculus)

DIAN MAYASAFIRA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(7)

Nama : Dian Mayasafira NIM : B04070092

Disetujui,

Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi. APVet Pembimbing 1

drh. Mawar Subangkit Pembimbing 2

Diketahui,

drh. H Agus Setiyono, MS, PhD. APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor


(8)

hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Ekstrak Minyak Jintan Hitam (Nigella sativa) terhadap Gambaran Diferensiasi Leukosit dan Luasan Sumsum Tulang Mencit (Mus musculus)” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Shalawat serta salam juga tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa tulus dan hormat, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi. APVet dan drh. Mawar Subangkit, selaku pembimbing skripsi yang selalu memberikan bimbingan, arahan, motivasi, waktu, pemikiran, serta kesabaran selama proses penelitian, penyelesaian, dan penyempurnaan penulisan skripsi.

2. Kedua orang tua dan saudara penulis, Haryanto (ayahanda), Dwi Ratna Ariyani (ibunda), Rian, Fitri (kakak), serta peri kecil Revaluna dan ibundanya mbak Lina, atas seluruh kasih sayang, semangat, dukungan, perhatian, motivasi, doa, serta pengorbanan yang luar biasa dan tidak henti-hentinya kepada penulis.

3. Surya Adinata, atas perhatian, doa, motivasi, bantuan, dan dorongan yang selalu diberikan sehingga penulis tetap semangat selama proses penyelesaian skripsi.

4. Teman satu tim penelitian, Niken, Nisa, Dara, Inez, Nova, dan Agung atas kerjasama, dukungan, bantuan, masukan, serta saran selama proses penyelesaian skripsi.

5. Sahabat dekat penulis, Sandra, Arni, Andi, Lia, Divo, dan Yayan atas dukungan, bantuan, masukan, semangat, canda tawa, serta rasa kekeluargaan yang selalu terbina dalam suka dan duka.


(9)

seatap yang luar biasa.

7. Bapak Subagio dan Ibu Wulan sebagai orang tua penulis di Bogor, terima kasih atas dukungan, semangat, dan pengalaman berharga yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi penulis.

8. Staf Patologi FKH IPB, mbak Kiki, pak Endang, pak Kasnadi, dan pak Sholeh, atas bantuannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi

9. Keluarga besar Gianuzzi 44, Satliers, dan semua pihak yang secara sengaja maupun tidak sengaja membantu penyelesaian skripsi ini.

Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh Civitas Akademika Fakultas Kedokteran IPB. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat berterima kasih dan terbuka untuk kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ini memberikan manfaat untuk khasanah ilmu pengetahuan.

Bogor, Februari 2012

Dian Mayasafira NIM B04070092


(10)

Penulis bernama lengkap Dian Mayasafira, dilahirkan di Karanganyar, Jawa Tengah pada tanggal 26 Maret 1989. Penulis merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, dari pasangan Haryanto dan Dwi Ratna Ariyani.

Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 1 Karanganyar hingga lulus pada tahun 2001, kemudian dilanjutkan ke SLTP Negeri 1 Karanganyar dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA penulis selesaikan di SMA Negeri 1 Karanganyar dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama masa perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi dan kegiatan. Penulis pernah menjadi pengurus divisi pendidikan Himpunan Minat Profesi Satwaliar FKH-IPB (2009-2011), staf divisi keuangan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan (IMAKAHI) FKH-IPB (2009-2010), dan bendahara divisi Kajian Strategi IMAKAHI FKH-IPB (2010-2011). Selama perkuliahan penulis memperoleh beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) IPB pada tahun 2011. Selain itu, penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Patologi Sistemik Program Sarjana, dan mata kuliah Biologi Program Diploma IPB pada tahun 2011.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

1.4 Hipotesis ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa) ... 4

2.1.1 Klasifikasi ... 4

2.1.2 Morfologi ... 4

2.1.3 Khasiat... 5

2.1.4 Kandungan Kimia ... 7

2.2 Madu ... 9

2.3 Mencit (Mus musculus)... 11

2.4 Darah... 12

2.4.1 Sumsum Tulang ... 14

2.4.2 Hemopoiesis ... 14

2.4.3 Sel Darah Putih (Leukosit) ... 15

2.4.3.1 Limfosit ... 16

2.4.3.2 Monosit ... 17

2.4.3.3 Neutrofil ... 18

2.4.3.4 Eosinofil ... 19


(12)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN... 21

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 21

3.2 Alat dan Bahan ... 21

3.3 Metode ... 22

3.3.1 Preparasi Hewan Coba... 22

3.3.2 Kandang Hewan Coba ... 22

3.3.3 Pakan dan Minum ... 22

3.3.4 Kelompok Perlakuan ... 23

3.3.5 Nekropsi dan Pengambilan Sampel Darah dan Organ ... 23

3.3.6 Pewarnaan Preparat Ulas Darah ... 25

3.3.7 Pembuatan dan Pewarnaan Preparat Histopatologi Tulang .. 25

3.3.8 Pengamatan Diferensiasi Leukosit Sediaan Ulas Darah... 26

3.3.9 Pengamatan Preparat Histopatologi Sumsum Tulang ... 26

3.3.10 Analisis Data... 26

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 27

4.1 Gambaran Diferensiasi Leukosit ... 27

4.2 Kepadatan Sumsum dalam Rongga Tulang ... 38

BAB 5 PENUTUP ... 43

5.1 Simpulan ... 43

5.2 Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi biji jintan hitam ... 7

2. Kandungan logam dalam biji jintan hitam ... 7

3. Komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam ... 8

4. Kandungan tokoferol dan polifenol minyak biji jintan hitam ... 8

5. Komposisi vitamin biji jintan hitam ... 8

6. Komposisi asam amino biji jintan hitam ... 9

7. Data biologis mencit normal ... 12

8. Jumlah limfosit darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan ... 29

9. Jumlah neutrofil darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan ... 32

10.Jumlah monosit darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan ... 34

11.Jumlah eosinofil darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan ... 35

12.Jumlah basofil darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan ... 37


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman dan biji jintan hitam (Nigella sativa) ... 5

2. Ekstrak minyak jintan hitam siap pakai komersial ... 5

3. Campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu komersial ... 11

4. Mencit (Mus musculus) ... 12

5. Buffy coat ... 13

6. Skema proses hemopoiesis ... 15

7. Limfosit ... 17

8. Monosit ... 17

9. Neutrofil ... 18

10. Eosinofil ... 19

11. Basofil ... 20

12. Kandang hewan coba ... 22

13. Handling dan proses pencekokan ... 23

14. Pembuatan preparat ulas darah ... 24

15. Fotomikrografi sebaran leukosit ... 28

16. Fotomikrografi leukosit agranulosit dan granulosit ... 29

17. Fotomikrografi kepadatan sumsum tulang kelompok mencit jantan ... 39

18. Fotomikrografi kepadatan sumsum tulang kelompok mencit betina ... 40


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan dosis pemberian anthelmintik (Albendazole®) ... 50

2. Perhitungan dosis pemberian antibiotik (Clavamox®) ... 50

3. Perhitungan dosis pemberian antiprotozoa (Flagyl®) ... 50

4. Perhitungan dosis pemberian ekstrak minyak jintan hitam... 51


(16)

1.1 Latar Belakang

Pemanasan global dan pencemaran lingkungan yang terjadi saat ini merupakan salah satu faktor dalam permasalahan kesehatan. Faktor kerusakan lingkungan yang terus meningkat dengan beraneka ragam jenis zat yang merusak dan berbahaya dapat mengganggu keseimbangan ekologi yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah kesehatan dan penyakit. Hal tersebut menjadikan keprihatinan bukan hanya pada para dokter, tetapi juga para ilmuwan ilmu alam.

Masalah kesehatan yang sering timbul disebabkan meningkatnya agen penyakit infeksi. Agen penyakit tersebut antara lain mikroorganisme yang dapat mengganggu sistem homeostasis tubuh misalnya virus, bakteri, jamur, protozoa dan cacing. Polutan juga merupakan agen penyakit yang bersifat racun atau toksik bagi tubuh. Ariens et al. (1986) mengemukaan bahwa sesuatu zat dengan demikian dinyatakan sebagai racun, bila zat tersebut menyebabkan efek yang merugikan pada penggunanya. Terdapat tiga jenis polutan yaitu polutan udara, polutan air, dan polutan tanah. Polutan udara dapat berupa asap kendaraan bermotor dan asap yang berasal dari pabrik perindustrian. Polutan air berupa limbah dimana limbah tersebut dapat berasal dari industri ataupun rumah tangga. Hasil industrialisasi yang intensif dan pemusatan penduduk di kota besar mengakibatkan penimbunan limbah yang besar luar biasa (Ariens et al. 1986). Sedangkan polutan tanah dapat berupa limbah industri atau pertanian dan pupuk anorganik.

Agen-agen penyakit tersebut dapat menimbulkan berbagai macam penyakit. Penyakit yang ditimbulkan mampu mempengaruhi kualitas dan kuantitas produksi manusia maupun hewan. Hubungan antara penyakit dengan kehidupan manusia dan hewan melalui rantai makanan dan hubungan sosial untuk mencapai kesejahteraan. Salah satu cara untuk menghindari terjadinya penyakit adalah dengan menjaga dan meningkatkan kesehatan serta daya tahan tubuh terhadap infeksi penyakit.


(17)

Darah merupakan komponen tubuh yang sangat penting peranannya. Darah beredar di dalam sistem vaskuler dan melaksanakan fungsinya sebagai sistem transportasi nutrisi, oksigen, sisa-sisa metabolisme dan hormon, serta sebagai alat pertahanan tubuh dari benda-benda asing yang bersifat patogen, infeksi bakteri ataupun virus. Jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis dapat terjadi secara internal dan eksternal. Secara internal antara lain pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stres, siklus estrus, dan suhu tubuh. Sedangkan secara eksternal akibat infeksi atau terpapar oleh bakteri, virus, jamur, dan parasit (Guyton dan Hall 2005).

Komponen darah mampu memberikan efek pertahanan tubuh terhadap infeksi penyakit dan benda asing oleh leukosit. Fungsi utama leukosit adalah merusak bahan-bahan infeksius dan toksik melalui proses fagositosis serta membentuk antibodi (Guyton dan Hall 2005). Peningkatan kesehatan dan daya tahan tubuh dengan peningkatan sistem kekebalan melalui darah merupakan alternatif yang sangat efektif. Peningkatan daya tahan tersebut dapat dilakukan dengan pemberian terapi herbal. Salah satunya adalah pemberian terapi jintan hitam (Nigella sativa). Berbagai manfaat dapat dirasakan salah satunya adalah jintan hitam mampu menstimulasi sumsum tulang dan sel imun serta mampu melindungi sel normal dari perusakan oleh agen penyakit, peningkatan total jumlah sel darah dan diferensiasinya (Astawan 2009; Demir et al. 2006).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam (Nigella sativa) terhadap gambaran diferensiasi leukosit dan luasan sumsum tulang pada mencit (Mus musculus).

1.3 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah membuktikan secara ilmiah khasiat dari ekstrak minyak jintan hitam dalam meningkatkan jumlah komponen sel darah dan luasan sumsum tulang pada mencit dengan berbagai dosis penggunaan.


(18)

1.4 Hipotesis

H0 : Tidak terjadi kenaikan leukosit dalam sirkulasi darah dan luasan sumsum tulang antara kelompok mencit yang diberi perlakuan (diberi ekstrak minyak jintan hitam) dengan kelompok mencit kontrol (tidak diberi ekstrak minyak jintan hitam).

H1 : Terjadi kenaikan leukosit dalam sirkulasi darah dan luasan sumsum tulang antara kelompok mencit yang diberi perlakuan (diberi ekstrak minyak jintan hitam) dengan kelompok mencit kontrol (tidak diberi ekstrak minyak jintan hitam).


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jintan Hitam (Nigella sativa)

Jintan hitam atau yang dikenal dengan nama blackseed (Nigella sativa) merupakan tanaman asli Eropa Selatan dan banyak ditemukan di India, Bangladesh, Mesir, Sudan, Turki, Irak, Iran, dan Pakistan (Goreja 2003). Tanaman jintan hitam merupakan jenis tanaman rempah yang tergolong dalam famili Ranunculaceae dan merupakan tanaman herbal berbunga berupa tanaman semak semusim dengan ketinggian lebih kurang 30 cm. Budi daya perbanyakan tanaman dilakukan dengan biji (Nergiz dan Ötles 1993; Adi 2008).

2.1.1 Klasifikasi

Menurut Hutapea (1994), klasifikasi dari tanaman jintan hitam adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ranunculales Famili : Ranunculaceae Genus : Nigella

Spesies : Nigella sativa 2.1.2 Morfologi

Menurut Hutapea (1994), jintan hitam merupakan tanaman dengan warna batang hijau kemerahan, tegak, lunak, beralur, berusuk dan berbulu kasar rapat atau jarang, dan disertai dengan adanya bulu-bulu yang berkelenjar. Tanaman ini berdaun tunggal dan lonjong dengan panjang 1.5-2 cm serta ujung pangkalnya meruncing, tepi berigi berwarna hijau, pertulangan menyirip dengan tiga tulang daun yang berbulu. Kelopak bunganya kecil berjumlah lima, berbentuk bulat telur, sampai agak tumpul, pangkal mengecil membentuk sudut yang pendek dan besar.


(20)

Mahkota berjumlah 8 berwarna putih kekuningan dengan benang sari yang banyak dan berwarna kuning. Biji tanaman ini berbentuk bulat, kecil, jorong bersusut 3 tidak beraturan dan sedikit berbentuk kerucut dengan panjang 3 mm seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman dan biji jintan hitam (Nigella sativa)

(sumber: World Scientific 2009; Yulianti dan Junaedi 2006). 2.1.3 Khasiat

Jintan hitam umumnya digunakan di Timur Tengah sebagai obat tradisional untuk memperbaiki berbagai kondisi kesehatan manusia (Al-Saleh et al. 2009). Biji jintan hitam berkhasiat sebagai obat cacing (Hutapea 1994). Sedangkan menurut Hargono (1985), biji jintan hitam berguna sebagai pelancar ASI, pencegah muntah, pencahar, pengkelat (pengikat ion logam) dan pengobatan pasca persalinan. Studi klinis terbaru menunjukkan bahwa ekstrak jintan hitam memiliki efek terapi seperti bronkhodilatator, imunomodulator, antibakteri, hepatoprotektif (Demir et al. 2006), dan antidiabetes (Al-Hader et al. 1993 ; El-Shabrawy dan Nada 1996). Bentuk komersial ekstrak minyak siap pakai yang digunakan dalam penelitian ini terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Ekstrak minyak jintan hitam siap pakai (sumber: indonetwork.co.id).


(21)

Berbagai bentuk sediaan jintan hitam komersial lainnya yang dapat ditemukan di pasaran antara lain ekstrak dalam bentuk bubuk atau ekstrak minyak yang dikemas di dalam kapsul, dan dalam bentuk campuran dengan madu atau minyak zaitun.

Jintan hitam memiliki banyak kegunaan menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan. Beberapa kegunaan jintan hitam antara lain untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh sehingga dapat digunakan untuk pengobatan kanker, AIDS, dan penyakit lain yang berhubungan dengan penurunan tingkat kekebalan tubuh (El-Kadi et al. 1986). Jintan hitam juga dimanfaatkan sebagai bahan antibakterial, karena minyak atsiri jintan hitam efektif melawan bakteri seperti Vibrio cholera, Eschericia coli, dan Shigella sp. Jintan hitam juga baik dikonsumsi oleh orang yang sehat karena jintan hitam mengikat radikal bebas dan menghilangkannya (Astawan 2009).

Selain itu, jintan hitam tidak menimbulkan alergi karena memiliki aktivitas antihistamin. Kristal nigellone merupakan agen penghambat histamin yang bekerja menghambat proteinkinase C yang dikenal sebagai zat yang memacu pelepasan histamin. Kristal nigellone juga menurunkan pengambilan kalsium dari sel yang peka, sehingga dapat menghambat pelepasan histamin (Chakravarty 1993).

Ekstrak jintan hitam berguna untuk mengurangi efek radang sendi. Turunan dari fixed oil jintan hitam yaitu thymoquinone merupakan agen antiperadangan. Cara kerjanya adalah dengan menghambat pembentukan eicosanoid (El-Dakhakhny et al. 2000). Thymoquinone yang terkandung dalam ekstrak jintan hitam dapat menghambat jalur siklo-oksigenase dan lipo-oksigenase dari metabolisme arakhidonat. Lipo-oksigenase dapat mengkatalisis pembentukan leukotrienes dari asam arakhidonat yang berfungsi sebagai mediator dari alergi dan peradangan. Siklo-oksigenase adalah enzim pertama dalam metabolisme siklo-oksigenase yang dihasilkan dari asam arakhidonat yang akhirnya menghasilkan prostaglandin dan trombosit. Prostaglandin juga merupakan mediator peradangan. Selain itu, thymoquinone juga dapat menghambat peroksidasi non-enzimatis. Dengan demikian mendukung fakta bahwa ekstrak jintan hitam dapat melawan reumatik dan peradangan (Houghton et al. 1995).


(22)

Thymoquinone juga menunjukkan aktivitas antioksidan di dalam sel (Mansour et al. 2002; Demir et al. 2006). Selain itu, kombinasi dari bagian lipid dan struktur hormon dalam jintan hitam meningkatkan aliran air susu ibu (Agarwal et al. 1979; Adi 2008).

2.1.4 Kandungan Kimia

Kandungan kimia jintan hitam adalah minyak atsiri, minyak lemak, saponin, polifenol, nigelin (zat pahit), nigellone, dan thymoquinone (Suryo 2010). Sedangkan menurut Al-Jabre et al. (2003), kandungan biji jintan hitam antara lain: thymoquine, thymohydroquinone, dithymoquinone, thymol, carvacrol, nigellicine, nigellidine, nigellimine-N-oxide dan α-hedrin. Komposisi biji jintan hitam disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Air (moisture) 6.4 ± 0.15 Lemak 32.0 ± 0.54 Serat Kasar 6.6 ± 0.69 Protein 20.2 ± 0.82 Abu 4.0 ± 0.29 Karbohidrat 37.4 ± 0.87 Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Biji jintan hitam juga mengandung logam yang berjumlah sekitar 1510.8 mg/100g biji. Kandungan logam biji jintan hitam tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan logam dalam biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Kalsium 188.0 ± 1.50 Besi 57.5 ± 0.50 Natrium 85.3 ± 16.07 Kalium 1180.0 ± 10.00 Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Biji jintan hitam mengandung asam lemak tak jenuh dalam jumlah yang cukup berarti. Secara lengkap komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam tersaji pada Tabel 3.


(23)

Tabel 3 Komposisi asam lemak dan sterol biji jintan hitam

Asam lemak Jumlah (mg/100g)

Miristat (C14:0) 1.2 ± 0.04 Palmitat (C16:0) 11.4 ± 1.00 Stearat (C18:0) 2.9 ± 0.24 Oleat (C18:1) 21.9 ± 1.00 Linoleat (C18:2) 60.8 ± 2.67 Arakhidat (C20:0) Sedikit Eicosadienoat 1.7 ± 0.11

Sterol Jumlah (mg/100g)

Campesterol 11.9 ± 0.99 Stigmasterol 18.6 ± 1.52

β-sitosterol 69.4 ± 2.78 Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Kandungan tokoferol dan polifenol dalam biji jintan hitam menunjukkan adanya senyawa fenolik yang merupakan faktor utama yang berkhasiat sebagai obat dan zat pembentuk rasa. Kandungan tokoferol dan polifenol dari minyak biji jintan hitam tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Kandungan tokoferol dan polifenol minyak biji jintan hitam

Komposisi Jumlah (mg/100g)

Total tokoferol 340 ± 8.66 Alfa-tokoferol 40 ± 10.00 Beta-tokoferol 50 ± 15.00 Gamma-tokoferol 250 ± 13.00 Total polifenol 1 744 ± 10.60

Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Biji jintan hitam dapat direkomendasikan sebagai makanan tambahan yang cukup bergizi. Kandungan vitamin dari biji jintan hitam tersaji pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi vitamin biji jintan hitam

Vitamin (mg/100g)

B1 (Thiamin) 831 ± 11.36 B2 (Riboflavin) 63 ± 3.32 B6 (Pyridoxin) 789 ± 8.89 PP (Niasin) 6 311 ± 16.52 Asam Folat 42 ± 4.58 Sumber: Nergiz dan Ötles 1993

Jintan hitam mengandung 8 jenis dari 10 asam amino esensial dan 7 jenis dari 10 asam amino non-esensial. Komposisi asam amino biji jintan hitam tersaji pada Tabel 6.


(24)

Tabel 6 Komposisi asam amino biji jintan hitam

Asam amino (mg/100g) Asam amino (mg/100g)

Alanin 3.77 Serin 1.98

Valin 3.06 Asam aspartat 5.02

Glisin 4.17 Metionin 6.16

Isoleusin 4.03 Fenilalanin 7.93

Leusin 10.88 Asam glutamat 13.21

Prolin 5.34 Tirosin 6.08

Treonin 1.23 Lisin 7.62 Arginin 19.52

Sumber: Babayan et al. 1978

Jintan hitam sudah digunakan sejak jaman dahulu selain karena bijinya memiliki aroma khas yang sering digunakan sebagai bumbu untuk penyedap masakan (Nugroho 2006), berbagai khasiatnya juga telah dirasakan. Menurut Goreja (2003), seorang ilmuwan terdahulu sekaligus dokter dari Persia yaitu Ibn Sina menggunakan biji jintan hitam sebagai obat untuk mengatasi demam, sakit gigi, sakit kepala, pilek, luka atau iritasi luar, obat antijamur dan obat cacing, terutama pada anak. Penggunaan ramuan jintan hitam menyebar dengan cepat di kalangan masyarakat Muslim dan telah menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari sebagai rempah kaya nutrisi untuk menjaga kesehatan.

Menurut berbagai penelitian terdahulu, kandungan jintan hitam terbukti mampu memperkuat dan menstabilkan sistem imunitas tubuh (Schleicher dan Saleh 2000) dengan meningkatkan rasio antara sel-T helper dan sel-T supressor sebesar 55% dengan rata-rata pencapaian aktivitas sel pembunuh alami sebesar 30% (Haq et al. 1999). Jintan hitam mampu menstimulasi sumsum tulang dan sel imun, melindungi sel normal dari perusakan sel oleh virus, menghancurkan sel tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi oleh sel-B (Astawan 2009).

2.2 Madu

Madu adalah pemanis tertua yang pertama kali dikenal dan digunakan oleh manusia sebelum mengenal gula karena bisa langsung dikonsumsi tanpa diolah (Suranto 2004). Sedangkan menurut Al-Qassemi dan Robinson (2003), madu adalah salah satu makanan pemanis tertua yang paling populer, dan selama berabad-abad selalu mempertahankan citra yang alami. Madu merupakan zat


(25)

kental manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari berbagai jenis tanaman yang berbeda (Pohl dan Sergiel 2009).

Madu umumnya dikonsumsi dalam keadaan mentah, seperti kristal cair atau disisir dan digunakan sebagai obat, dimakan sebagai makanan atau dimasukkan sebagai bahan dalam resep berbagai makanan. Madu digunakan sebagai suplemen makanan, pengobatan medis dan makanan alami, tanpa menambahkan zat apapun. Madu juga dianggap sebagai indikator pencemaran lingkungan yaitu dengan keberadaan logam dalam kadar tertentu yang tidak seharusnya ditemukan pada madu (Bağciet al. 2007).

Secara umum madu berkhasiat untuk menghasilkan energi, meningkatkan daya tahan tubuh, dan meningkatkan stamina. Selain itu, di dalam madu terdapat zat asetilkolin yang dapat melancarkan metabolisme seperti memperlancar peredaran darah dan menurunkan tekanan darah. Madu mengandung zat antibakteri sehingga baik untuk mengobati luka bakar dan infeksi. Salah satu sifat madu adalah preservatif atau bersifat mengawetkan. Madu murni memiliki osmolaritas yang tinggi sehingga bakteri sulit untuk hidup, sehingga madu sering digunakan sebagai bahan pengawet dan dapat disimpan baik selama ratusan tahun (Suranto 2004).

Komposisi kimia dari lebah madu tergantung pada aktivitas biologi tanaman yang dikumpulkan serta kondisi makro dan mikroklimat. Banyak senyawa dalam madu yang berfungsi sebagai antioksidan. Salah satunya adalah asam L-askorbat. Asam L-askorbat adalah antioksidan fase cair paling efektif dalam plasma darah yang berfungsi sebagai antioksidan fisiologis penting untuk perlindungan terhadap penyakit dan proses degeneratif yang disebabkan oleh stres oksidatif (Kesićet al. 2009).

Fruktosa, glukosa, dan sukrosa adalah komponen utama madu, selain zat-zat gula lainnya dalam konsentrasi yang lebih sedikit. Terdapat juga zat-zat lain dalam jumlah sedikit yaitu asam amino, resin, protein, garam, mineral, asam organik, lakton, asam amino, mineral, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, vitamin K, niasin, asam pantotenat, asam folat, dan pigmen. Madu mengandung banyak mineral seperti kalsium, besi, seng, kalium, fosfor, magnesium, selenium, kromium mangaan, natrium, kalium, dan alumunium (Suranto 2004; Mohammed


(26)

dan Babiker 2009). Kandungan mineral magnesium dalam madu ternyata sama dengan kandungan magnesium yang ada dalam serum darah manusia. Selain itu, kandungan mineral besi dalam madu dapat meningkatkan kadar hemoglobin, sedangkan enzim yang penting dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase, dan lipase (Suranto 2004). Madu biasanya dikonsumsi dengan cara dicampur dengan minyak jintan hitam dan minyak zaitun. Dalam sediaan komersial juga banyak dijumpai beberapa sediaan madu siap konsumsi. Sediaan madu yang dapat dijumpai antara lain sediaan madu murni, campuran madu dengan minyak zaitun atau campuran madu dengan ekstrak minyak jintan hitam yang digunakan pada penelitian ini seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu komersial (sumber: dutaherbal.indonetwok.co.id).

2.3 Mencit (Mus musculus)

Mencit merupakan salah satu hewan laboratorium atau hewan percobaan. Hewan ini paling kecil diantara jenisnya yang memiliki galur mencit yang berwarna putih (Malole dan Pramono 1989). Mencit putih memiliki bulu pendek halus berwarna putih serta ekor berwarna kemerahan dengan ukuran lebih panjang daripada badan dan kepala. Taksonomi mencit menurut Besselen (2004):

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mammalia Ordo : Rodensia Famili : Muridae Genus : Mus


(27)

Gambar 4 Mencit (Mus musculus) (sumber: Rothbart 2004).

Sampai saat ini, mencit sering digunakan sebagai hewan model untuk penelitian dasar pada obat, toksikologi, medikasi, kultur jaringan dan organ, mikologi, uji sensitifitas kulit, imunologi, ophtalmologi, onkologi, dan biologi reproduksi (Hafez 1970). Selain itu, mencit merupakan salah satu hewan pengerat yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, serta sifat-sifat produksi dan reproduksinya menyerupai hewan mamalia (Nafiu 1996), dapat berkembang biak dengan cepat, pemeliharaan yang relatif mudah walaupun dalam jumlah banyak, ekonomis dan efisiensi dalam hal tempat dan biaya (Malole dan Pramono 1989). Oleh karena itu, mencit banyak digunakan dalam berbagai bidang penelitian medis, biomedis, dan obat-obatan herbal karena memiliki arti penting pada penelitian berbasis genetik. Tabel 7 Data biologis mencit normal

Data Biologis Waktu/Jumlah

Berat dewasa

a. Jantan 20-40 g b. Betina 18-35 g

Konsumsi air 6.7 ml/dewasa/hari Konsumsi pakan

Total leukosit

5 g/dewasa/hari 5-12 × 103/mm3 a. Neutrofil

b. Limfosit

7-37% 63-75% c. Monosit 0-3% d. Eosinofil 0-4% e. Basofil 0-1.5% Sumber: Smith dan Mangkoewidjojo 1988

2.4 Darah

Darah merupakan jaringan khusus yang bersirkulasi, terdiri dari sel-sel yang terendam dalam plasma darah (Dellmann dan Brown 1989). Beberapa fungsi darah di dalam sirkulasi diantaranya: (1) membawa gas-gas dan oksigen (O2) dari paru-paru ke dalam jaringan dan membawa (CO2) dari jaringan ke paru-paru. (2)


(28)

membawa produk-produk metabolit atau nutrien oleh saluran pencernaan menuju ke jaringan tubuh. (3) membawa produk-produk metabolit dari jaringan perifer ke tempat-tempat ekskresi. (4) membawa enzim dan hormon ke dalam jaringan target spesifik. (5) mengatur pH dan komposisi elektrolit cairan interstitial dalam tubuh. (6) mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebihan saat perlukaan dengan proses pembekuan darah. (7) mengandung faktor-faktor penting untuk pertahanan terhadap penyakit (Frandson 1992).

Volume sel darah umumnya 6-8% dari berat badan, jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan volume plasma. Volume darah hewan dipengaruhi oleh umur, keadaan kesehatan dan gizi makanan, ukuran tubuh, waktu menyusui atau laktasi, derajat aktivitas dan faktor lingkungan. Menurut Jain (2003), jika tubuh hewan mengalami perubahan fisiologis, maka gambaran darah juga akan mengalami perubahan. Perubahan fisiologis ini dapat disebabkan karena faktor internal seperti pertambahan umur, keadaan gizi, latihan, kesehatan, siklus stres, proses produksi darah, kebuntingan, dan suhu tubuh. Perubahan eksternal antara lain infeksi kuman penyakit, fraktura, dan perubahan lingkungan.

Komponen darah terdiri dari 60% bagian cair (plasma darah) dan 40% bagian padat (butir darah). Bila darah disentrifuse terdiri dari tiga lapisan yaitu, 54% plasma darah pada lapisan pertama terdiri dari 91% air, 7% protein darah, dan 2% nutrisi, hormon serta elektrolit, lapisan kedua adalah buffy coat dengan persentase 1% yang terdiri dari leukosit dan trombosit, serta 45% eritrosit pada lapisan ketiga (Guyton dan Hall 2005).

Gambar 5 Buffy coat (sumber: Hall et al. 2009). Platelet-poor plasma

Buffy coat

(platelet and white blood cells) Red blood cells


(29)

2.4.1 Sumsum Tulang

Sumsum tulang merupakan tempat dihasilkannya sel darah. Pada sumsum tulang terdapat sel yang disebut stem cell hemopoietic pluripotent (SHSC) yang akan berdiferensiasi menjadi sel induk khusus. Selanjutnya sel ini akan berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel darah tertentu (Ganong 2005). Proses berlangsungnya pembentukan darah disebut hemopoiesis (Manoharan dan Sethuraman 2003). Pada saat janin, hemopoiesis terjadi di kantung kuning telur, hati, limpa dan sumsum tulang (pada semua tulang). Sedangkan pada saat dewasa, hemopoiesis terjadi di tulang vertebrata, tulang iga, sternum, tulang tengkorak, tulang sacrum dan pelvis, serta ujung proksimal femur (Fawcett 2002).

Sel darah diproduksi dengan tahap perkembangan yang berbeda-beda secara morfologi maupun fungsinya. Pembentukan sel darah tergantung adanya SHSC dalam sumsum. Sel induk ini berjumlah kurang dari 0.2% dari populasi total sel berinti dalam sumsum. Kebanyakan dari mereka dalam keadaan tidak aktif dan hanya membelah setelah interval tertentu atau terhadap permintaan luar biasa akan sel darah baru. Sel induk yang beredar dapat mengalami pembelahan atau pembaharuan diri untuk mempertahankan jumlah sel pluripoten atau mengalami pembelahan diferensiasi yang menghasilkan sel progenitor. Sel progenitor tidak atau sedikit sekali memiliki kemampuan memperbarui diri dan harus berkembang menjadi satu jenis sel darah. Sel induk dan sel progenitor jalur spesifik yang berasal darinya secara morfologis dan sitokimia tidak dapat dibedakan. Dalam perkembangannya, turunan sel progenitor berbagai jalur sel berlanjut melalui sederet tahap intermediet yang secara morfologis dapat dibedakan berdasarkan ukuran, konfigurasi inti, dan ada atau tidaknya granul spesifik dalam sitoplasma (Weiss dan Wardrobe 2010).

2.4.2 Hemopoiesis

Menurut Fawcett (2002), potensi perkembangan masing-masing sel pembentuk koloni dapat lebih jelas dengan identifikasi mikroskopik sel darah dewasa. Jika semua jalur sel darah tercakup, maka sel asal adalah sebuah sel induk hemopoietik pluripoten (PHSC). Jika granulosit dan monosit yang diperoleh, progenitor bipotennya disebut unit pembentuk koloni monosit (CFU-GM). Jika hanya granulosit yang ditemukan, koloni tersebut berasal dari unit pembentuk


(30)

koloni granulosit (CFU-G), dan jika hanya monosit yang ada, sel asalnya adalah unit pembentuk koloni monosit (CFU-M). Sel progenitor unipoten yang hanya menghasilkan satu dari jenis sel lain yaitu yaitu eritrosit E), eosinofil (CFU-Eo), megakariosit (CFU-Meg), dan seterusnya seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Skema proses hemopoiesis (sumber: Morrel 2011). 2.4.3 Sel Darah Putih (Leukosit)

Sel darah putih (leukosit) berasal dari bahasa Yunani, yaitu leukos yang berarti putih dan cytes yang berarti sel. Menurut Guyton dan Hall (2005), sel darah putih (leukosit) merupakan unit yang aktif dari sistem pertahan tubuh. Fungsi utama dari leukosit adalah merusak bahan-bahan infeksius dan toksik melalui proses fagositosis (dilakukan oleh makrofag dan neutrofil) serta membentuk antibodi. Leukosit memiliki lebih dari satu jenis sel yang bersirkulasi dengan fungsi yang berbeda-beda dalam waktu yang bersamaan dan dapat keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melaksanakan fungsinya (Dellmann dan Brown 1989).

Sel darah putih dibentuk di dalam sumsum tulang, terutama granulosit disimpan di dalam sumsum tulang sampai mereka diperlukan di dalam sirkulasi dan sebagian lagi dibentuk di jaringan limfe (Guyton dan Hall 2005). Menurut


(31)

Jain (1993), leukopenia atau penurunan jumlah leukosit di dalam sirkulasi, umumnya disebabkan karena neutropenia atau limfopenia. Leukositosis merupakan keadaan bila jumlah leukosit meningkat, yaitu melebihi 10.000/µl. Leukositosis merupakan suatu reaksi terhadap adanya cidera. Leukositosis ini disebabkan produksi sumsum tulang yang meningkat, sehingga jumlahnya dalam darah cukup untuk menyelenggarakan emigrasi pada waktu ada jaringan cidera atau radang (Guyton dan Hall 2005). Leukosit terbagi atas dua golongan besar berdasarkan ada tidaknya granula.

Leukosit Agranulosit 2.4.3.1Limfosit

Limfosit termasuk dalam leukosit agranular karena di dalam sitoplasmanya tidak terdapat granula. Berdasarkan ukurannya, limfosit dibedakan menjadi dua kelompok yaitu limfosit besar (large lymphocyte) dan limfosit kecil (small lymphocyte). Pada fetus, limfosit dibentuk di sumsum tulang dan dipengaruhi oleh beberapa fungsi baik oleh kelenjar timus untuk limfosit-T maupun bursa equivalen oleh limfosit-B dan kemudian akan berdiferensiasi, sehingga dapat menghasilkan antibodi pada anak-anak (Ganong 2005). Pada akhir masa fetal dan post natal, kebanyakan limfosit diproduksi di limpa, limfonodus dan usus yang berhubungan dengan jaringan limfoid. Limfopoiesis pada organ sekunder bergantung pada stimulasi antigenik.

Limfosit sebagian besar disimpan dalam berbagai area jaringan limfoid kecuali pada sedikit limfosit yang secara temporer diangkut dalam darah. Limfosit tersebar dalam limfonodus namun dapat juga dijumpai dalam jaringan limfoid khusus, seperti limpa, daerah submukosa dari traktus gastrointestinal, dan sumsum tulang. Masa hidup limfosit berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hal ini dikarenakan ketergantungan tubuh akan sel-sel tersebut (Guyton dan Hall 2005). Secara umum limfosit berupa sel bulat kecil berdiameter 7-12 µm, dengan nukleus berlekuk yang terpulas gelap dan sedikit sitoplasma biru terang (Fawcett 2002).


(32)

Gambar 7 Limfosit (sumber: Sobotta 1993).

Menurut Tizard (1987) fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi atau sebagian sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang dibawa oleh makrofag, menghasilkan berbagai limfokin, salah satunya adalah migration inhibitor factor (MIF) yang mencegah perpindahan makrofag. Menurut Dellmann dan Brown (1989) zat lain yang juga dihasilkan dari limfosit yang terstimulasi adalah faktor kemotaktik untuk makrofag, lymphocyte transforming factor dan faktor penyebab peradangan. Jumlah limfosit dalam darah dipengaruhi oleh jumlah produksi, resirkulasi dan proses penghancuran limfosit. Setelah limfosit hancur atau dihancurkan, kemudian akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke hati (Jain 1993; Tizard 1987).

2.4.3.2Monosit

Monosit adalah leukosit terbesar berdiameter 15-20 µm. Sitoplasmanya lebih banyak daripada sitoplasma sel limfosit. Nukleus seperti ginjal atau mirip tapal kuda. Monosit darah tidak pernah mencapai dewasa penuh sampai bermigrasi ke dalam jaringan menjadi makrofag tetap pada sinusoid hati, sumsum tulang, alveoli paru-paru dan jaringan limfoid (Dellmann dan Brown 1989).

Gambar 8 Monosit (sumber: Sobotta 1993).

Monosit berperan sebagai prekursor untuk makrofag dimana sel ini akan mencerna dan membaca antigen. Monosit juga berfungsi melindungi tubuh


(33)

terhadap organisme penyerang terutama dengan fagositosis (Guyton dan Hall 2005). Aktivitas fagositosis dari monosit tergantung dari bahan yang difagosit (Tizard 1987).

Monosit memiliki masa edar yang singkat, yaitu 10-20 jam. Begitu masuk ke dalam jaringan sel-sel ini membengkak dengan ukuran yang sangat besar untuk membentuk makrofag jaringan, dan dalam bentuk ini sel-sel tersebut dapat bertahan hidup berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun kecuali bila mereka dimusnahkan karena melakukan fungsi fagositik (Guyton dan Hall 2005).

Leukosit Granulosit 2.4.3.3Neutrofil

Neutrofil merupakan sel leukosit dengan mobilitas tinggi sehingga menjadi sel pertama yang sampai ke jaringan penghasil substansi kimia yang bersifat kemotaksis. Substansi kimia tersebut mampu merangsang neutrofil keluar dari pembuluh darah melalui proses diapedesis atau gerakan amuboid (Ganong 2005). Menurut Dellmann dan Brown (1989) sel neutrofil dewasa berukuran 10-12 µm. Inti bergelambir 2-5, sitoplasma bergranul eosinofilik dan basofilik. Setelah 6-10 jam di dalam darah, memasuki jaringan dan tahan 1-2 hari. Waktu paruh rata-rata sel neutrofil di dalam sirkulasi adalah 6 jam. Untuk dapat mempertahankan kadar normal di dalam peredaran darah diperlukan pembentukan lebih dari 100 milyar sel neutrofil per hari.

Gambar 9 Neutrofil (sumber: Sobotta 1993).

Secara klinis apabila jumlah neutrofil muda meningkat dalam sirkulasi disebut left shift. Kondisi ini ditemukan pada saat infeksi akut. Sedangkan apabila jumlah neutrofil abnormal dengan hipersegmentasi disebut right shift yang ditemukan pada infeksi kronis atau stres (Dellmann dan Brown 1989). Menurut


(34)

Tizard (1987), fungsi utama neutrofil adalah penghancur bahan asing melalui proses fagositosis yaitu menghancurkan benda asing dengan segera. Oleh karena itu, neutrofil disebut sebagai lini pertahanan pertama. Bersama dengan makrofag, neutrofil dalam sirkulasi darah meningkat cepat saat terjadi infeksi yang akut. 2.4.3.4Eosinofil

Eosinofil termasuk leukosit granulosit yang berukuran hampir sama dengan neutrofil. Jumlah eosinofil dalam aliran darah berkisar 2-8% dari total jumlah leukosit. Sel ini berkembang dalam sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam aliran darah (Tizard 1987). Diameter eosinofil 10-15 µm dengan granula berwarna merah di dalam sitoplasmanya sehingga dapat dikenal dengan nama asidofil. Jangka waktu hidup sel ini 3-5 hari.

Gambar 10 Eosinofil (sumber: Sobotta 1993).

Eosinofil memiliki waktu paruh yang singkat di dalam sirkulasi. Eosinofil melepaskan protein, sitokinin dan kemokin yang mengakibatkan reaksi peradangan tetapi mampu membunuh organisme yang menyusup ke dalam tubuh. Jumlah eosinofil yang beredar dalam sirkulasi darah akan meningkat pada penyakit alergi (Ganong 2005). Eosinofil berperan sebagai sel fagosit tetapi bukan terhadap bakteri atau runtuhan-runtuhan sel, melainkan terhadap komponen asing yang telah bereaksi dengan antibodi pada penderita infeksi parasit (Guyton dan Hall 2005). Eosinofil ditarik ke lokasi terjadinya reaksi antigen-antibodi kemudian memakan kompleks antigen-antibodi tersebut (Swenson 1984). Sedangkan menurut (Tizard 1987), enzim yang ada dalam eosinofil efektif menghancurkan larva cacing dan mampu menetralkan faktor radang yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil oleh karena itu sel ini juga berfungsi mengendalikan atau mengurangi reaksi hipersensitivitas.


(35)

2.4.3.5Basofil

Basofil merupakan sel myeloid yang jumlahnya paling sedikit di dalam darah. Jumlah basofil berkisar 0-1.5% dari total leukosit. Basofil berdiameter 10-12 µm dengan inti bergelambir dua atau tidak teratur. Butirnya berukuran 0.5-1.5 µm berwarna biru tua sampai ungu sering menutupi inti yang berwarna agak cerah. Butir-butir tersebut mengandung heparin, histamin, asam hialuron, kondroitin sulfat, serotonin dan beberapa faktor kemotaktik (Dellmann dan Brown 1989). Antikoagulan heparin yang ada dalam basofil akan dilepaskan di daerah peradangan untuk mencegah timbulnya pembekuan serta stasis darah dan limpa (Frandson 1992).

Gambar 11 Basofil (sumber: Sobotta 1993).

Pembentukan basofil terjadi dalam sumsum tulang bersamaan dengan pembentukan neutrofil. Basofil berperan sebagai mediator untuk aktivitas pendarahan dan alergi, memiliki reseptor imunoglobulin E (IgE) dan imunoglobulin G (IgG) yang menyebabkan degranulasi dan membangkitkan reaksi hipersensitif dengan sekresi yang bersifat vasoaktif (Dellmann dan Brown 1989). Adanya rangsangan alergen yang bereaksi dengan IgE maka basofil akan melepaskan berbagai mediator dan mengakibatkan reaksi anafilaktik. Masa hidup basofil beberapa hari sedangkan sel mast bisa berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (Jain 1993).


(36)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Februari 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan, sedangkan pembuatan preparat ulas darah dan histopatologi bertempat di laboratorium histopatologi Bagian Patologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 box plastik dimodifikasi ukuran panjang 34.5 cm, lebar 28 cm, dan tinggi 12 cm sebagai kandang, tutup kawat, sonde lambung, alas kandang berupa kain perca yang dicuci setiap hari, tempat pakan, botol minum, sonde lambung, syringe 1 ml, jarum pentul, sterofoam, tissu, scalpel, gunting, pinset, silet, pot plastik, object glass, spidol, label, dispenser, sarung tangan, sikat, timbangan digital, tissue cassete, Sakura® automatic tissue processor, inkubator, mikrotom, tali kenur, talenan, waterbath, mikroskop cahaya, digital electronic eyepiece camera beserta satu set komputer, dan perangkat lunak Image J®.

Hewan coba yang digunakan untuk penelitian ini yaitu mencit (Mus musculus) dewasa siap kawin berumur 4 minggu sebanyak 72 ekor dengan perbandingan 36 ekor jantan dan 36 ekor betina dengan bobot rata-rata mencit jantan 16.5 gram dan mencit betina 15.8 gram. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak minyak jintan hitam siap pakai komersial, campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu sediaan liquid siap pakai komersial dengan rasio 1:20, pakan, air mineral isi ulang, desinfektan (Bayclin® dan detergen), anthelmintik Albendazole 5%, antibiotik Clavamox® 25mg/ml, antiprotozoa Flagyl® (bahan aktif Metronidazole), Buffer Neutral Formalin (BNF 10%), xylol, alkohol bertingkat, parafin, Mayer’s Hematoxilin-Eosin, lithium karbonat, dan pewarna Giemsa.


(37)

3.3 Metode

3.3.1 Preparasi Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan 72 ekor mencit yang diperoleh dari peternakan FKH-IPB dengan perbandingan 36 ekor jantan dan 36 ekor betina. Mencit dipelihara di dalam box yang diberi alas kain selama 2 bulan. Penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap, yaitu masa persiapan pemeliharaan, masa perlakuan, dan masa pengamatan jaringan histopatologi sumsum tulang dan ulas darah.

Mencit yang baru datang diistirahatkan selama dua hari untuk beradaptasi dengan kandang. Setelah itu, mencit dicekok dengan anthelmintik single dose dengan dosis 10 mg/kg BB. Kemudian selama lima hari berturut-turut setelah itu, mencit dicekok dengan antibiotik dengan dosis 0.001 mg/kg BB. Terakhir, mencit dicekok dengan antiprotozoa selama lima hari berturut-turut dengan dosis 0.03 mg/kg BB. Selama masa pemeliharaan dan perlakuan, mencit diberi pakan sebanyak 5 gram/ekor/hari dan air minum secara ad libitum.

3.3.2 Kandang Hewan Coba

Box modifikasi (dipasang tempat pakan dan minum) yang digunakan sebagai kandang dibersihkan setiap hari dengan menggunakan Bayclin® dan dijemur hingga kering dan diberi alas kain. Mencit dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan. Mencit jantan dan betina ditempatkan dalam kandang yang terpisah.

Gambar 12 Kandang hewan coba.

3.3.3 Pakan dan Minum

Mencit diberi pakan berupa pelet komersial sebanyak 5 gram/ekor/hari dan minum air mineral isi ulang secara ad libitum. Botol minum dibersihkan dan diganti dengan air mineral yang baru setiap 3 hari sekali.


(38)

3.3.4 Kelompok Perlakuan

Mencit jantan dan mencit betina pada masa perlakuan masing-masing dibagi menjadi 4 kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 9 ekor mencit. Kelompok pertama merupakan kelompok kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan, tetapi dicekok dengan aquadest sebanyak 0.1 ml/ekor/hari. Kelompok kedua merupakan kelompok preventif yang dicekok dengan ekstrak minyak jintan hitam sebanyak 0.1 ml/ekor/hari. Kelompok ketiga merupakan kelompok kuratif yang dicekok dengan ekstrak minyak jintan hitam sebanyak 0.2 ml/ekor/hari. Kelompok keempat merupakan kelompok yang dicekok dengan campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu sebanyak 0.3 ml/ekor/hari. Dosis pemberian yang digunakan berasal dari dosis anjuran yang terdapat pada label sediaan komersial yang telah dikonversikan sesuai bobot badan mencit. Masa perlakuan ini berlangsung selama 2 bulan karena pemberian terapi herbal memerlukan waktu yang lebih panjang sampai munculnya tanda klinis atau efek setelah pemberian terapi.

Gambar 13 (A) Posisi handling atau memegang, (B) posisi pencekokan, (C) proses pencekokan pada mencit.

3.3.5 Nekropsi dan Pengambilan Sampel Darah dan Organ

Setelah masa perlakuan berakhir, kemudian dilakukan penarikan ekor dan penekanan leher serta menariknya ke arah anterior (dislokasio atlanto-occipitalis) pada mencit. Setelah mencit tersebut mati, kemudian dinekropsi untuk pengambilan organ dan sampel darah dari jantung. Organ yang diambil dijadikan sebagai preparat histopatologi dan sampel darah yang dibuat sediaan ulas darah


(39)

kemudian dapat menjadi bukti ilmiah mengenai khasiat dari jintan hitam (Nigella sativa).

Sediaan ulas darah dibuat dengan mengambil sampel darah langsung dari jantung mencit saat dinekropsi menggunakan syringe 1 ml. Sebanyak 2 buah object glass bersih disiapkan dan sampel darah diteteskan di atas object glass pertama kira-kira 2 cm dari ujung. Sedangkan object glass kedua diletakkan di depan tetesan darah membentuk sudut 30ºC. Kemudian object glass kedua digeser mendekati tetesan darah dengan tetap membentuk sudut 30ºC sampai menyinggung tetesan darah sehingga darah menyebar sepanjang sudut antara kedua object glass. Segera setelah darah menyebar, dengan hati-hati dan tanpa mengangkat object glass ditarik atau didorong menjauhi tetesan darah ke permukaan object glass yang lebih luas, sehingga akan terbentuk preparat ulas darah yang tipis. Setelah preparat tersebut dikeringudarakan kemudian difiksasi ke dalam cawan berisi metil alkohol (methanol) dan didiamkan selama 3-5 menit lalu diangkat dan dikeringudarakan kembali.

Gambar 14 Pembuatan Preparat Ulas Darah

(sumber: Experimental Biosciences 2005).

Awal proses pembuatan preparat histopatologi tulang, pertama-tama mencit yang telah diambil bagian dari os femur kemudian diawetkan dalam larutan BNF 10%. Setelah larutan berpenetrasi sempurna ke dalam organ (kurang lebih 1 minggu), langkah selanjutnya adalah trimming yaitu membersihkan organ dari sisa otot yang masih melekat dan kemudian direndam selama 2 hari ke dalam larutan asam nitrat 5% untuk proses dekalsifikasi hingga tulang menjadi lunak


(40)

seperti jaringan dan dapat dipotong. Tulang yang telah lunak tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tissue basket untuk diproses dehidrasi di dalam mesin automatic tissue processor.

3.3.6 Pewarnaan Preparat Ulas Darah

Preparat ulas darah yang telah difiksasi dalam metil alkohol (methanol) dan dikeringudarakan, kemudian dimasukkan ke dalam cawan berisi larutan pewarna Giemsa selama 30 menit kemudian dicuci dengan air mengalir, dikeringudarakan dan tepi preparat dilap menggunakan tissu. Preparat ulas darah siap diamati di bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 100× lensa obyektif dan 10× lensa okuler.

3.3.7 Pembuatan dan Pewarnaan Preparat Histopatologi Tulang

Bagian dari os femur yang telah didekalsifikasi dalam larutan asam nitrat 5% selama 2 hari kemudian dimasukkan ke dalam tissue cassete dan difiksasi kembali dalam larutan BNF 10% selama 2 hari. Setelah itu dilakukan proses dehidrasi dengan cara merendam sediaan tersebut berturut-turut ke dalam alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 96%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, dan alkohol absolut III masing-masing selama 2 jam. Kemudian dilakukan proses clearing dalam cairan xylol I, xylol II, dan xylol III selama masing-masing 40 menit. Proses selanjutnya adalah embedding ke dalam parafin I, parafin II, parafin III, dan parafin IV masing-masing selama 30 menit. Masing-masing proses perendaman tersebut berjalan secara otomatis dalam tissue processor, kemudian dibuat blok parafin.

Setelah itu, jaringan dipotong dengan ketebalan 5 µm dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan mikrotom berbentuk pita (ribbon), diletakkan di atas permukaan air hangat (45ºC) dalam waterbath dengan tujuan untuk menghilangkan lipatan akibat pemotongan. Setelah itu, sediaan diangkat dari permukaan air dengan object glass. Kemudian sediaan dikeringkan di dalam inkubator suhu 60ºC selama satu malam. Setelah itu, dilakukan proses deparafinisasi dan rehidrasi, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Mayer’s Hematoxilin selama 8 menit, dibilas dengan air mengalir, dicuci dengan lithium karbonat selama 15-30 detik, dibilas dengan air, kemudian diwarnai dengan


(41)

pewarna Eosin selama 2 menit. Setelah itu, sediaan dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan warna Eosin yang berlebih sebelum dikeringkan. Setelah ditetesi dengan perekat permount, sediaan kemudian ditutup dengan cover glass, dan dibiarkan kering sesuai dengan metode bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Preparat histopatologi siap diamati di bawah mikroskop cahaya. 3.3.8 Pengamatan Diferensiasi Leukosit Sediaan Ulas Darah

Gambaran diferensiasi leukosit dapat dilihat dengan melakukan pengamatan pada preparat ulas darah yang telah diberi pewarnaan Giemsa menggunakan metode Image J®. Dari preparat ulas darah dibuat foto dengan perbesaran 1000× dengan diberi minyak emersi. Dari setiap sampel yang difoto diamati dan dihitung kelompok leukosit sampai sebanyak 100 sel. Untuk setiap 100 sel leukosit yang ditemukan dihitung dan dikelompokkan kedalam jenis limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil. Untuk setiap preparat dilakukan pengulangan sebanyak 5× dan dilakukan penghitungan akhir dengan menghitung rataan dari kelima ulangan. Dari data hasil diferensiasi leukosit setiap kelompok perlakuan kemudian dibandingkan secara statistik.

3.3.9 Pengamatan Preparat Histopatologi Sumsum Tulang

Sumsum tulang diperiksa terhadap luas jaringan sumsum tulang menggunakan metode Image J®. Dari preparat histopatologi tulang dibuat foto dengan perbesaran 40×. Setiap sampel difoto hingga 5× ulangan dan diukur luasannya. Dari hasil pengukuran akan diperoleh luasan sumsum tulang dan luasan rongga tulang. Kemudian dihitung persen kepadatan sumsum tulangnya terhadap rongga tulang tersebut lalu dilakukan penghitungan akhir dengan menghitung rataan persen kepadatan dari kelima ulangan. Dari data hasil persen kepadatan sumsum tulang tiap kelompok perlakuan kemudian dibandingkan secara statistik.

3.3.10 Analisis Data

Hasil pengamatan berupa data yang kemudian dianalisis secara statistik menggunakan metode one way ANOVA kemudian diuji lanjutan dengan metode Duncan.


(42)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Diferensiasi Leukosit

Tubuh manusia maupun hewan sepanjang waktu terpapar oleh agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan parasit dalam berbagai tingkatan infeksi. Banyak dari beberapa agen tersebut yang mampu menyebabkan berbagai jenis penyakit serius apabila berpenetrasi ke jaringan yang lebih dalam. Tubuh memiliki suatu sistem pertahanan khusus untuk melawan berbagai jenis agen infeksius. Sistem ini terdiri atas leukosit darah (limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, basofil) dan sel-sel jaringan yang berasal dari leukosit. Semua sel-sel ini bekerja bersama-sama melalui dua cara untuk mencegah terjadinya penyakit, yaitu: (1) dengan merusak antigen melalui proses fagositosis dan (2) dengan membentuk antibodi dan limfosit peka untuk menginaktifkan antigen.

Sel fagositik pada mamalia termasuk dalam dua sistem yang komplementer. Sistem pertama, yaitu sistem myeloid terdiri dari sel yang bekerja cepat tetapi tidak mampu bertahan lama. Sistem kedua, yaitu sistem fagositik mononuklear terdiri dari sel yang bekerja lebih lambat tetapi mampu melakukan fagositosis berulang-ulang. Sel fagositik mononuklear ini dapat mengolah antigen untuk reaksi tanggap kebal atau imunitas (Tizard 1987). Reaksi imunitas merupakan reaksi tubuh untuk melawan hampir semua mikroorganisme atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh (Guyton dan Hall 2005).

Studi mikroskopik ulas darah dapat memberikan gambaran tidak langsung adanya infeksi oleh agen-agen tersebut dengan melakukan pemeriksaan diferensiasi leukosit. Perubahan gambaran darah dipengaruhi oleh kondisi fisiologis individu. Perubahan fisiologis pada individu dapat terjadi secara internal dan eksternal. Secara internal antara lain pertambahan umur, status gizi, dan kondisi kesehatan. Sedangkan secara eksternal dapat terjadi perubahan akibat infeksi atau terpapar oleh berbagai agen infeksius (Guyton dan Hall 2005). Hasil pengamatan dari pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam terhadap gambaran diferensiasi leukosit pada mencit dapat dilihat pada Gambar 15.


(43)

Gambar 15 Fotomikrografi sebaran leukosit (L) dengan perbesaran 400× pada perlakuan (A) kontrol, (B) preventif, (C) kuratif, (D) campuran ekstrak minyak jintan hitam dengan madu pada kelompok mencit jantan.

Gambar 15 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah leukosit pada sirkulasi darah setelah diberi perlakuan pada kelompok mencit jantan dan betina. Peningkatan ini ditunjukkan dengan semakin banyaknya leukosit yang ditemukan dalam satu kali lapang pandang. Peningkatan jumlah leukosit paling banyak ditemukan pada kelompok perlakuan kuratif. Kemudian dilakukan penghitungan diferensiasi leukosit untuk mengetahui peningkatan dari tiap-tiap jenis sel leukosit. Penghitungan diferensiasi sel leukosit dilakukan dengan menghitung jenis limfosit, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil pada perbesaran 1000×. Untuk setiap 100 sel leukosit yang ditemukan kemudian dikelompokkan. Sel yang paling banyak ditemukan berturut-turut pada sampel ulas darah adalah limfosit, neutrofil, monosit, kemudian eosinofil dan basofil. Masing-masing sel memiliki morfologi dan ciri khas yang dapat dibedakan antar satu sel dengan sel yang lainnya seperti ditunjukkan pada Gambar 16.

A

B

C

D

L

L L


(44)

Gambar 16 Fotomikrografi leukosit agranulosit (A) limfosit, (B) monosit, dan leukosit granulosit (C) neutrofil, (D) eosinofil, (E) basofil dengan perbesaran 1000×.

Hasil penghitungan jumlah limfosit dari pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah limfosit darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan

Kelompok Kontrol Preventif Kuratif JH + madu

75.80 ± 2.84c 94.00 ± 1.06a 94.87 ± 0.12a 87.73 ± 1.17b

75.47 ± 2.39c 92.07 ± 1.53a 94.93 ± 1.20a 88.60 ± 0.40b

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Berdasarkan analisis data dari Tabel 8 dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan dengan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) dari jumlah sel limfosit pada ketiga kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada mencit jantan maupun betina. Peningkatan tertinggi terlihat pada kelompok perlakuan kuratif, kemudian preventif, dan disusul dengan campuran jintan hitam dengan madu. Hal ini juga menunjukkan bahwa peningkatan sebaran leukosit pada sirkulasi darah paling banyak didominasi oleh limfosit. Sedangkan pada mencit kontrol atau normal, jumlah limfosit yang bersirkulasi masih dalam jumlah yang normal.

Menurut Fawcett (2002), limfosit merupakan agen utama bagi respon imun tubuh. Sistem imun menyediakan mekanisme untuk pengenalan

A

B


(45)

mikroorganisme dan benda asing lain yang memasuki tubuh dan menetralkan kemungkinan akan pengaruh buruknya. Setiap substansi asing yang dapat menginduksi timbulnya respon imun disebut antigen. Dalam tubuh suatu individu dapat dijumpai dua tipe dasar imunitas dapatan yang saling berhubungan. Salah satunya, tubuh mampu membentuk antibodi yang bersirkulasi, yaitu molekul globulin dalam darah yang mampu menyerang antigen spesifik. Tipe imunitas ini disebut imunitas humoral atau imunitas sel-B (karena limfosit membentuk antibodi). Tipe kedua dari imunitas dapat diperoleh melalui pembentukan limfosit teraktivasi dalam jumlah besar yang dirancang untuk menghancurkan antigen. Tipe imunitas ini disebut imunitas yang diperantarai sel atau imunitas sel-T (karena limfosit yang teraktivasi adalah limfosit T) (Guyton dan Hall 2005).

Bagi banyak antigen, sel-sel dari subpopulasi sel-T diperlukan untuk memberi rangsangan tambahan kepada sel-B untuk menghasilkan antibodi. Limfosit ini disebut sel-T helper. Sedangkan dalam keadaan tertentu, subpopulasi sel-T menghambat produksi antibodi oleh sel-B yang disebut sel-T supressor (Fawcett 2002). Pemberian ekstrak minyak jintan hitam mampu meningkatkan jumlah sel limfosit dalam sirkulasi darah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak antibodi yang dapat dibentuk untuk sistem pertahanan tubuh.

Mekanisme pertahanan yang diperantarai antibodi dalam darah disebut respon imun humoral. Mekanisme pertahanan lain yang memerlukan kontak sel ke sel antara limfosit dan sasarannya disebut respon imun bermedia sel. Agen imunitas jenis ini adalah anggota subpopulasi lain dari sel-T yang disebut sel-T sitotoksik. Sel-sel ini ada tergantung antigen yang meningkat dengan hadirnya makrofag. Hal ini selaras dengan penelitian terdahulu, yaitu jintan hitam terbukti mampu memperkuat dan menstabilkan sistem imunitas tubuh (Schleicher dan Saleh 2000) dengan cara meningkatkan rasio antara sel-T helper dan sel-T supressor sebesar 55% dengan rata-rata pencapaian aktivitas sel pembunuh alami sebesar 30% (Haq et al. 1999), yang berarti meningkatkan aktivitas fungsional sel kekebalan tubuh. Oleh karena itu, jintan hitam dapat digunakan untuk pengobatan kanker, AIDS, dan penyakit lain yang berhubungan dengan penurunan tingkat kekebalan tubuh (El-Kadi et al. 1986).


(46)

Selain itu menurut (Astawan 2009), jintan hitam mampu menstimulasi sumsum tulang dan sel imun, meningkatkan produksi interferon sehingga mampu melindungi sel normal dari perusakan sel oleh virus, menghancurkan sel tumor dan meningkatkan jumlah antibodi yang diproduksi oleh sel-B. Jintan hitam juga baik dikonsumsi oleh individu yang sehat karena aktivitas antioksidan dalam jintan hitam berperan penting dalam mengikat radikal bebas dan menghilangkannya. Peningkatan jumlah limfosit pada kelompok perlakuan campuran jintan hitam dengan madu juga menunjukkan aktivitas sinergisme antar keduanya bila diaplikasikan secara bersama-sama. Kandungan antioksidan penting yaitu asam L-askorbat dalam madu dan komponen mineral lainnya juga mampu meningkatkan status imunitas tubuh. Menurut Kesićet al. (2009), asam L-askorbat adalah antioksidan fase cair paling efektif dalam plasma darah yang berfungsi sebagai antioksidan fisiologis penting untuk perlindungan terhadap penyakit dan proses degeneratif yang disebabkan oleh stres oksidatif.

Peningkatan jumlah limfosit paling banyak ditemukan pada kelompok perlakuan preventif dan kuratif jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan campuran jintan hitam dengan madu. Hal ini disebabkan kandungan ekstrak minyak jintan hitam yang lebih sedikit pada campurannya dengan madu, sehingga stimulasi terhadap sel imun lebih rendah dibandingkan kedua perlakuan yang lain. Selain itu, kandungan thymoquinone yang terdapat dalam jintan hitam berfungsi sebagai antioksidan melalui mekanisme penghambatan dari pelepasan histamin yang nantinya akan mereduksi nilai cyclic Adenosien Monophosphate (cAMP) (Abdel-Sater 2009). Stres menginduksi kenaikan cAMP intraseluler yang menyebabkan adanya penekanan sistem imun, contohnya dengan menghambat proliferasi limfosit dan antibodi (Glaser et al. 1990). Peningkatan jumlah limfosit pada kelompok mencit jantan dan betina tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05). Hal ini disebabkan adanya kemungkinan kondisi fisiologis keduanya pada keadaan yang sama, karena kondisi fisiologis suatu individu dapat mempengaruhi gambaran darah (Guyton dan Hall 2005).

Sel berikutnya yang banyak ditemukan yaitu neutrofil yang merupakan sel granulosit utama dalam sistem myeloid. Fungsi neutrofil adalah sebagai penghancur antigen melalui proses fagositosis yang terdiri dari beberapa tahap


(47)

antar lain: (1) kemotaksis, yaitu sel ini bermigrasi menuju antigen karena tertarik oleh faktor kemotaktik, (2) perlekatan, yaitu sel ini melekat pada antigen kemudian menjulurkan pseudopodia ke semua jurusan di sekelilingnya kemudian bertemu satu sama lain pada sisi yang berlawanan dan bergabung sehingga menciptakan ruangan tertutup, kemudian berinvaginasi ke dalam rongga sitoplasma dan melepaskan diri dari bagian luar membran sel untuk membentuk gelembung fagositik (3) penelanan, yaitu sel ini menelan antigen dalam sitoplasma, dan (4) pencernaan, yaitu antigen dicerna oleh enzim lisozim di dalam fagolisosom (Tizard 1987; Guyton dan Hall 2005). Neutrofil adalah sel-sel matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi darah. Oleh karena itu keberadaan neutrofil yang berlebih dalam peredaran darah merupakan suatu indikator terjadinya peradangan dalam tubuh. Sedangkan hasil penghitungan jumlah neutrofil dari pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah neutrofil darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan

Kelompok Kontrol Preventif Kuratif JH + madu

23.07±2.80a 5.53±1.17c 5.00±0.20c 11.93±1.14b

23.47±2.39a 6.73±1.45c 4.87±1.21c 11.20±0.53b

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Berdasarkan hasil analisis data pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa terjadi penurunan dengan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) dari jumlah neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada mencit jantan maupun betina. Penurunan jumlah yang signifikan pada kelompok perlakuan preventif dan kuratif menunjukkan bahwa jintan hitam memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Selain itu aktivitas antibakteri yang baik pada madu juga mampu menurunkan jumlah neutrofil sehingga mampu mengurangi efek peradangan. Kandungan fixed oil jintan hitam yaitu thymoquinone merupakan agen antiperadangan dan menunjukkan aktivitas antioksidan dalam sel (El-Dakhakhny et al. 2000).

Neutrofil sebagai agen peradangan memiliki aktivitas sebagai antibakteri. Dengan pemberian ekstrak minyak jintan hitam, dapat meningkatkan efektivitas


(48)

antibakterialnya sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara meningkatkan aktivitas fungsi fagositnya. Menurut Tizard (1987), setelah neutrofil bertemu dengan suatu antigen, maka antigen tersebut harus dilekatinya atau diikatnya dengan kuat. Biasanya, perlekatan ini tidak terjadi secara spontan, karena baik sel maupun antigen yang tersuspensikan dalam cairan tubuh bermuatan negatif. Oleh karena itu, muatan tersebut perlu dinetralkan dengan melapisi partikel dengan protein bermuatan positif. Partikel protein tersebut adalah molekul antibodi atau komplemen (C3). Sebuah partikel atau antigen yang terlapisi oleh C3 akan memiliki potensial muatan yang lebih rendah, sehingga memungkinkan untuk mengadakan kontak dekat dengan neutrofil yang bermuatan positif. Asam lemak tak jenuh (thymoquinone) yang terkandung dalam jintan hitam dengan atom karbon C adalah pendorong efektivitas perlekatan tersebut (Houghton et al. 1995).

Selain itu, penurunan jumlah leukosit granulosit (neutrofil) dalam sirkulasi darah pada ketiga kelompok perlakuan mengindikasikan bahwa neutrofil sebagai mediator peradangan tidak terstimulasi dalam peredaran darah, sehingga jumlah neutrofil yang bersirkulasi menjadi sedikit. Hal ini selaras dengan hasil penelitian Zaoui et al. (2002) yang mengemukakan bahwa terjadi penurunan jumlah neutrofil yang signifikan pada tikus yang diberi treatment oral ekstrak minyak jintan hitam secara rutin selama 12 minggu dan hasil penelitian Morsi (2000), yaitu efek antibakterial yang tinggi pada ekstrak minyak jintan hitam untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotik.

Penurunan jumlah neutrofil pada kelompok perlakuan preventif dan kuratif lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok perlakuan campuran jintan hitam dengan madu. Hal ini disebabkan kandungan thymoquinone dalam komposisi campuran jintan hitam dengan madu yang relatif lebih sedikit jika dibandingkan kedua kelompok perlakuan. Penurunan jumlah neutrofil pada kelompok mencit jantan dan betina tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05). Hal ini juga disebabkan adanya kemungkinan kondisi fisiologis keduanya pada keadaan yang sama. Reaksi fisiologis yang dapat mempengaruhi perbedaan jumlah neutrofil yang bersirkulasi antara lain siklus reproduksi seperti siklus estrus (Guyton dan Hall 2005).


(49)

Secara umum, monosit merupakan makrofag muda yang terdapat pada aliran darah dan berjumlah 3-8% dari total leukosit yang beredar. Monosit berasal dari sumsum tulang, dan beredar dalam darah selama satu atau dua hari, dan kemudian bermigrasi melalui dinding venul pasca-kapiler ke dalam jaringan ikat organ di seluruh tubuh, kemudian berdiferensiasi menjadi makrofag jaringan (Fawcett 2002). Berlawanan dengan neutrofil, makrofag dari sistem fagositik mononuklear mampu memiliki aktivitas fagositosis yang tahan lama, mengolah antigen dalam persiapan untuk tanggap kebal dan memberi kontribusi langsung pada perbaikan jaringan yang rusak dengan membuang jaringan yang mati, yang sedang mengalami kematian, dan yang rusak (Tizard 1987). Hasil penghitungan jumlah monosit dari pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Jumlah monosit darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan

Kelompok Kontrol Preventif Kuratif JH + madu

0.60±0.20a 0.33±0.23a 0.13±0.11a 0.27±0.11a

0.60±0.20a 0.40±0.20a 0.13±0.11a 0.20±0.20a

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Berdasarkan data pada Tabel 10 terjadi sejumlah penurunan kecil monosit yang beredar pada sirkulasi darah. Akan tetapi secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) antara ketiga kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Menurut Fawcett (2002), monosit dalam darah tidak memiliki fungsi yang berarti, dan merupakan sel cadangan bergerak yang mampu berkembang menjadi fagosit rakus yang melahap sel-sel tua dan sel debris dalam jaringan normal dan berperan aktif dalam pertahanan tubuh terhadap invasi bakteri.

Kandungan thymoquinone dalam jintan hitam berfungsi sebagai antioksidan sehingga monosit sebagai makrofag tidak terstimulasi akibat proses infeksi atau kerusakan sel dalam jaringan, karena monosit sebagai makrofag memiliki kemampuan yang besar dalam mempertahankan jaringan normal dengan memakan sel mati, sel debris, dan substansi asing yang memasuki tubuh (Fawcett 2002). Selain itu, penurunan jumlah monosit yang bersirkulasi juga disebabkan


(50)

karena tidak adanya rangsangan dari neutrofil sebagai agen peradangan, sehingga menyebabkan sel tersebut tidak berespon dan jumlahnya menjadi berkurangnya.

Penurunan tertinggi terjadi pada kelompok perlakuan kuratif. Sedangkan pada kelompok perlakuan campuran jintan hitam dengan madu juga menunjukkan penurunan jumlah monosit yang beredar walaupun tidak sebanyak pada perlakuan preventif atau kuratif. Hal ini disebabkan karena kandungan ekstrak minyak jintan hitam yang lebih sedikit dalam campurannya dengan madu. Selain itu, pada keadaan normal (kelompok kontrol) jumlah monosit yang bersirkulasi relatif sama antara kelompok mencit jantan dan betina. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan kondisi fisiologis keduanya dalam keadaan yang sama dan kerusakan sel yang terjadi cenderung sama.

Eosinofil merupakan sel darah yang lebih responsif terhadap infeksi parasit dibandingkan terhadap infeksi bakteri. Pada infeksi schistosomiasis, ascariasis, atau trichinosis, eosinofil dapat meningkat sampai 90% dari jumlah leukosit, bersamaan dengan peningkatan dramatis jumlahnya dalam jaringan ikat (Fawcett 2002). Hasil penghitungan jumlah eosinofil dari pengaruh pemberian ekstrak minyak jintan hitam dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Jumlah eosinofil darah mencit dari 100 sel leukosit pada pemberian ekstrak minyak jintan hitam dengan berbagai dosis perlakuan

Kelompok Kontrol Preventif Kuratif JH + madu

0.06±0.11a 0±0a 0±0a 0±0a

0.06±0.15a 0±0a 0±0a 0±0a

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan.

Berdasarkan data pada Tabel 11 dapat terlihat bahwa terjadi sejumlah penurunan sangat kecil dari eosinofil. Akan tetapi, secara statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05) antara ketiga kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol baik pada mencit jantan maupun betina. Bahkan pada semua kelompok perlakuan tidak ditemukan adanya eosinofil yang beredar pada sirkulasi darah. Penurunan jumlah eosinofil mengindikasikan bahwa jintan hitam memiliki aktivitas sebagai antiparasit khususnya cacing. Hal ini selaras dengan beberapa penelitian terdahulu yang menyebutkan bahwa jintan hitam yang dikonsumsi secara oral pada mencit yang


(1)

Lampiran 2

Hasil perhitungan uji ANOVA dan uji lanjut Duncan

Respon : Limfosit Mencit Jantan Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p Model 3 696.0666667 232.0222222 88.00 <.0001

Error 8 21.0933333 2.6366667

Total 11 717.1600000

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku

1 75.80 ± 2.84c

2 94.00 ± 1.06a

3 94.87 ± 0.12a

4 87.73 ± 1.17b

Respon : Limfosit Mencit Betina Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p Model 3 665.5066667 221.8355556 92.05 <.0001

Error 8 19.2800000 2.4100000

Total 11 684.7866667

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku

1 75.47 ± 2.39c

2 92.07 ± 1.53a

3 94.93 ± 1.20a


(2)

Respon : Monosit Mencit Jantan Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p

Model 3 0.347 0.116 3.85 0.0565

Error 8 0.240 0.030

Total 11 0.587

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 0.600 ± 0.200a

2 0.333 ± 0.231a 3 0.133 ± 0.115a 4 0.267 ± 0.115a

Respon : Monosit Mencit Betina Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p

Model 3 0.400 0.133 4.00 0.0519

Error 8 0.267 0.033

Total 11 0.667

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 0.600 ± 0.200a

2 0.400 ± 0.200a 3 0.133 ± 0.115a 4 0.200 ± 0.200a


(3)

Respon : Neutrofil Mencit Jantan Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p Model 3 635.3166667 211.7722222 80.22 <.0001

Error 8 21.1200000 2.6400000

Total 11 656.4366667

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku

1 23.07 ± 2.80a

2 5.53 ± 1.17c

3 5.00 ± 0.20c

4 11.93 ± 1.14b

Respon : Neutrofil Mencit Betina Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p Model 3 629.9866667 209.9955556 88.23 <.0001

Error 8 19.0400000 2.3800000

Total 11 649.0266667

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku

1 23.47 ± 2.39a

2 6.73 ± 1.45c

3 4.87 ± 1.21c


(4)

Respon : Eosinofil Mencit Jantan Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p

Model 3 0.010 0.003 1.00 0.4411

Error 8 0.027 0.003

Total 11 0.037

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 0.067 ± 0.115a

2 0 ± 0a

3 0 ± 0a

4 0 ± 0a

Respon : Eosinofil Mencit Betina Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p

Model 3 0.010 0.003 1.00 0.4411

Error 8 0.027 0.003

Total 11 0.037

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 0.067 ± 0.115a

2 0 ± 0a

3 0 ± 0a


(5)

Respon : Basofil Mencit Jantan Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p

Model 3 0.040 0.013 4.00 0.0519

Error 8 0.027 0.003

Total 11 0.067

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 0.133 ± 0.115a

2 0 ± 0a

3 0 ± 0a

4 0 ± 0a

Respon : Basofil Mencit Betina Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p

Model 3 0.010 0.003 1.00 0.4411

Error 8 0.027 0.003

Total 11 0.037

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 0.067 ± 0.115a

2 0 ± 0a

3 0 ± 0a


(6)

Respon : Luasan Sumsum Tulang Mencit Jantan Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p Model 3 3292.966015 1097.655338 103.15 <.0001

Error 16 170.266840 10.641677

Total 19 3463.232855

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 61.1760000 ± 1.75252104d 2 75.7960000 ± 2.80996085c 3 87.7940000 ± 5.17162740b 4 95.0280000 ± 2.20312732a

Respon : Luasan Sumsum Tulang Mencit Betina Tabel Analisis Ragam

Sumber Keragaman

Derajat Bebas (DB)

Jumlah Kuadrat (JK)

Kuadrat Tengah (KT)

Nilai F Nilai p Model 3 2714.023215 904.674405 96.18 <.0001

Error 16 150.494240 9.405890

Total 19 2864.517455

Uji Lanjut Duncan

Perlakuan Rata-Rata ± Simpangan Baku 1 62.4780000 ± 2.43582019d 2 74.7560000 ± 2.96209048c 3 85.9160000 ± 4.20738399b 4 93.2840000 ± 2.28347980a