68 Secara naturnya transaksi jual beli ini bank dapat memiliki barang
persediaan yang dapat diperjual belikan, akan tetapi karena kendala teknis dan biaya, maka bank melakukan transaksi jual beli kepada nasabah dengan didukung
oleh supplier penyedia barang dan pihak ketiga lainnya sehingga disatu sisi memudahkan bagi bank dan disisi lain berpotensi kepada risiko yang harus
ditanggung oleh bank dan nasabah. Memang secara teoritis bahwa yang terpenting pertama adalah karakter
dari nasabah calon penerima pembiayaan nasabah debitur, karena jika karakternya baik, sekalipun kondisinya buruk, nasabah debitur akan tetap
berusaha serius dan dengan jujur mengembalikan dana pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian.
68
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang
disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank, yaitu bahwa dana
bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati.
B. Landasan Syariah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
1. Landasan Syariah.
Tentang murabahah, maka tidak akan dapat dilepaskan dengan sistem jual beli yang dalam fiqh biasa disebut secara etimologis dapat diartikan dengan tukar
68
Muhammad Syafe’i Antonio, dan Purwatmaja, Op. Cit., hlm. 125.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69 menukar atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain atau mengeluarkan
benda yang dimiliki dengan suatu pengganti.
69
Lafadz al-bai dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata asy-syira beli.
Dengan demikian dengan al-bai.
70
Ditinjau dari segi harga, al-bai’ dapat dikategorikan menjadi beberapa bagian, di antaranya adalah murabahah. Jual beli
dalam terminologi fiqh disebut dengan al-bai yang kata al-bai berarti jual, tetapi sekaligus juga berarti beli. Dari Sohib r.a, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan : Jual beli secara tangguh murabahah, muqaradhah mudharabah, dan mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”. HR.Ibnu Majah. Secara konseptual, murabahah sebagai salah satu bentuk jual beli, sangat
banyak dibicarakan oleh kalangan ulama fiqh dan secara operasional dia merupakan salah satu produk perbankan Islam di antara produk-produk yang lain.
Murabahah adalah salah satu produk yang dikembangkan oleh bank syariah. Produk ini didasarkan pada prinsip jual beli yang dalam istilah fiqh Islam
disebut dengan bai al-murabahah sebagaimana didefinisikan oleh ulama fiqh adalah menjual barang dengan harga pokok ditambah dengan keuntungan yang
disepakati oleh kedua belah pihak. Bai al-murabahah ini merupakan salah satu bentuk bai al-amanah, disamping bai at-tauliyyah, yakni menjual barang dengan
harga pokok tanpa mengambil keuntungan apapun dan baial-wadhiah, yakni menjual barang dengan harga jual dibawah harga pokok. Bai al-murabahah
69
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hlm. 34.
70
Sayyid Sabiq, Op.Cit., hlm. 44.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70 dalam fiqh kemudian diterapkan dalam bentuk produk perbankan syariah. Dalam
perbankan syariah, produk ini diartikan sebagai akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari
transaksi tersebut, bank mendapatkan keuntungan. Murabahah tidak mempunyai rujukan atau referensi langsung dari Al-Quran
maupun Sunnah, yang ada hanyalah referensi tentang jual beli atau perdagangan. Jual beli murabahah hanya dibahas dalam kitab-kitab fiqh. Imam Malik dan Imam
Syafii mengatakan bahwa jual beli murabahah itu sah menurut hukum walaupun Abdullah Saeed mengatakan bahwa pernyataan ini tidak menyebutkan referensi
yang jelas dari Hadits.
71
Menurut al-Kaff, seorang kritikus kontemporer tentang murabahah, bahwa para fuqaha terkemuka mulai menyatakan pendapat mereka
mengenai murabahah pada awal abad ke-2 Hijriah. Karena tidak ada acuan langsung kepadanya dalam Al-Quran atau dalam Hadits yang diterima umum,
maka para ahli hukum harus membenarkan murabahah berdasarkan landasan lain. Malik mendukung validitasnya dengan acuan pada praktek orang-orang Madinah.
Ia berkata penduduk Madinah telah berkonsensus akan legitimasi orang yang membeli pakaian di sebuah toko dan membawanya ke kota lain untuk dijual
dengan adanya tambahan keuntungan yang telah disepakati. Imam Syafii menyatakan pendapatnya bahwa jika seseorang menunjukkan sebuah komoditi
kepada seseorang dan berkata: “Belikan sesuatu untukku dan aku akan memberimu keuntungan sekian dan orang itu kemudian membelikan sesuatu itu
untuknya, maka transaksi demikian ini adalah sah”.
71
Ibid., hlm. xi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71 Ada beberapa pendapat ulama mengenai praktek murabahah di perbankan
syariah, antara lain : 1.
Murabahah ini bukan jual beli melainkan hilah dengan tujuan mengambil riba. 2.
Murabahah merupakan jual beli inah yang diharamkan Islam. 3.
Murabahah merupakan bai atani fi baiah. 4.
Murabahah merupakan jual beli barang yang belum dimiliki. Pendapat pertama: murabahah bukanlah jual beli melainkan hilah dengan
tujuan untuk mengambil riba. Ada sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan murabahah adalah untuk memperoleh riba dan menghasilkan uang sebagaimana
yang dilakukan oleh bank-bank konvensional. Gambarannya sebagai berikut: Secara hakiki, pembeli datang ke bank untuk mendapatkan uang pinjaman dan
bank tidak membeli barang asset kecuali dengan maksud untuk menjual kepada pembeli secara kredit. Yang demikian itu bukanlah tujuan jual beli.
Istilah hilah dalam fiqh diidentifikasikan sebagai upaya mencari legitimasi hukum untuk suatu kepentingan dengan tujuan-tujuan ekstra. Tujuan ekstra dalam
konteks tersebut diartikan sebagai kepentingan khusus yang tidak memiliki kaitan langsung dengan hakikat aturan yang ditentukan oleh hukum syariat.
Dalam kasus murabahah ini kadang pembeli membeli barang atau sesuatu untuk memanfaatkannya dan kadang membeli barang untuk menjualnya kembali
seperti Bank Islam, kedua hal ini dibolehkan, namun kadang pembeli bermaksud untuk mengambil riba. Dengan demikian tergantung niat dari pembeli tersebut,
sebagaimana ditegaskan dalam Hadis Nabi SAW : “Sesungguhnya amal perbuatan itu berdasarkan niatnya”
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72 Pendapat kedua, murabahah merupakan jual beli inah. Inah berarti
pinjaman. Seorang pedagang menjual barangnya dengan harga kredit, kemudian barangnya itu dibelinya lagi dari debitur dengan harga lebih murah. Rafi Yunus
mengatakan bahwa jual beli inah adalah seorang menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga bertempo, lalu sesuatu itu diserahkan kepada pihak pembeli,
kemudian penjual itu membeli kembali barangnya tadi sebelum harganya diterima dengan harga yang lebih rendah dari pada harga jualnya tadi.
Tidaklah dibenarkan menjual sesuatu dengan harga kredit atau membeli dari pembelinya secara kontan dengan harga lebih murah sebelum penjual
pertama menerima pembayarannya. Karena kalau yang dimaksud untuk berdalih agar dapat menerima barang seketika dan menjualnya dengan harga yang lebih
mahal beberapa hari kemudian, maka tidak diragukan bahwa perbuatan semacam ini adalah riba.
Pendapat ketiga, murabahah adalah bai atanai fi baiah. Ibnu Ruslan dalam syarah as-Sunan menafsirkan bahwa bai atani fi baiah adalah sesorang
meminjamkan satu dinar kepada orang lain selama sebulan dengan ketentuan dibayar satu takar gandum. Kemudian setelah datang waktu yang ditentukan dan
gandum itu telah dimintanya, maka orang yang meminjam itu berkata: “juallah gandum ini kepada saya dengan tempo pembayaran selama dua bulan yang akan
saya bayar dengan dua takar”. Pendapat keempat, murabahah adalah jual beli barang yang belum dimiliki.
Al-Baghawi berkata: termasuk jual beli yang fasid ialah menjual sesuatu yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73 belum dimiliki, misalnya menjual burung yang lepas tidak ada harapan pulang
kembali ke tempatnya. Itulah beberapa pendapat ulama mengenai murabahah yang saat ini sedang
dan masih diterapkan dalam operasional perbankan syariah. Namun demikian ada sebagian fuqaha yang membolehkan pembiayaan murabahah ini, karena
mekanisme pembiayaan murabahah ini merupakan pengembangan dari bai murabahah atau jual beli dengan harga pokok plus margin keuntungan yang telah
disepakati. Pembiayaan murabahah ini menjauhkan dari praktek riba dan memberikan kesempatan kepada orang yang membutuhkan barang dalam keadaan
yang mendesak. 2.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Tujuan dari murabahah untuk menjembatani antara penyedia dana yang
tidak mengetahui seluk beluk usaha dengan pengelola dana yang memang ahli dibidang usaha. Untuk dapat terlaksananya tujuan ini, harus ada hubungan hukum
antara penyedia dana bank dengan pengelola dana nasabah. Dalam dunia usaha khususnya dunia perbankan hubungan hukum ini terjadi karena adanya suatu
kepentingan yang sifatnya timbal balik, dimana satu pihak berhak menuntut sesuatu dari pihak lain dan pihak yang lain itu berkewajiban untuk memenuhi
tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu itu dinamakan kreditur atau si piutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan
debitur atau si berhutang. Asas dari kegiatan usaha perbankan syariah adalah prinsip syariah,
demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Yang dimaksud dengan berasaskan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74 prinsip syariah adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung riba, maisir,
gharar, objek haram dan menimbulkan kezaliman. Sedangkan yang dimaksud dengan berasaskan demokrasi ekonomi adalah kegiatan usaha yang mengandung
nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan dan kemanfaatan. Tujuan dari perbankan syariah adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional Pasal 2 dan Pasal
3. Fungsi dari perbankan syariah, selain melakukan fungsi penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat, juga melakukan fungsi sosial yaitu ;
1. Dalam bentuk lembaga baitul maal yang menerima dana zakat, infak, sedekah, hibah dan lainnya untuk disalurkan ke organisasi pengelola zakat, dan
2. Dalam bentul lembaga keuangan syariah penerima wakaf uang yang menerima wakaf uang dan menyalurkannya ke pengelola nazhir yang ditunjuk Pasal 4.
Dengan terjadinya hubungan hukum antara bank dengan nasabah ini, maka telah terjadi suatu perikatan antara bank dengan nasabah. Menurut Prof. Subekti,
bahwa : “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Tiap– tiap perikatan ini dapat lahir karena persetujuan atau karena undang–undang”.
Bila dikaitkan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, maka perjanjian murabahah ini juga merupakan suatu hubungan hukum setara penyedia dana
bank dengan pengelola dana nasabah yang melahirkan perikatan. Hubungan hukum ini timbul karena adanya suatu peristiwa hukum, yaitu kesepakatan antara
bank dengan nasabah untuk sama-sama mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75 Dengan adanya perjanjian yang dibuat oleh bank dengan nasabah telah
menimbulkan hubungan hukum yang beraspek hukum perdata. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian yaitu : a.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, b.
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, c.
Suatu hal tertentu, d.
Suatu sebab yang halal Selanjutnya dalam Pasal 1338 KUHPerdata mengandung suatu asas
kebebasan membuat perjanjian yang menganut sistem terbuka, dimana pada Pasal 1338 ayat 1 menyatakan bahwa, “Semua persetujuan yang dibuat secara sah dan
berlaku sebagai undang–undang bagi yang membuatnya”. Di dalam Undang–Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tidak
diatur masalah bentuk perjanjian kredit pembiayaan bank ini, begitu juga dalam peraturan pelaksananya dan dalam undang-undang perbankan yang lama Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1967 hal ini juga tidak diatur serta dalam undang– undang perbankan syariah yang baru yaitu Undang–Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah juga tidak diatur model perjanjian yang dibuat, sepenuhnya diserahkan kepada lembaga perbankan yang bersangkutan. Dalam
Undang–Undang Nomor 21 Tahun 2008 menjelaskan : a.
Pasal 1 ayat 25 point c berbunyi “Transaksi jual beli dalam bentuk Piutang murabahah, Salam, dan Istisha”.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76 b.
Pasal 19 point d mengenai “Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad istisha, ataupun akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah”. Dalam mengadakan perjanjian ini, antara bank dengan pemohon
mengadakan musyawarah untuk mencapai mufakat bersama mengenai bentuk dan isi perjanjian tersebut dengan ketentuan bahwa perjanjian itu tidak menyimpang
dari Syariah Islam dan tidak merugikan masing-masing pihak. Rangkaian perbuatan dalam terjadinya perjanjian pembiayaan ini, pada dasarnya dapat
dibedakan menjadi dua peristiwa hukum, yaitu : a.
Terjadinya persetujuan pemberian pinjaman uang yang dalam hal ini adalah tercapainya kesepakatan tentang peminjaman uang, maka perbuatan perjanjian
ini bersifat konsensual. b.
Terjadinya penyerahan uang dari pihak bank kepada nasabah, maka perbuatan penyerahan ini bersifat riil.
C. Karakteristik Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syariah