Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah : Studi Pada Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat

(1)

PERJANJIAN PEMBIAYAAN

BANK SUMUT SYARIAH

(Studi Pada Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat)

OLEH:

ANDRA MULIA FATWA

NIM: 203046101672

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDATULLAH JAKARTA

1429 H/2008 M


(2)

ﻢﻴﺣﺮﻟاﻦﻤﺣﺮﻟاﷲا ﻢﺴﺑ KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Rasulullah Muhammad SAW. keluarganya, pula sahabatnya dan umatnya.

Dengan segala rendah hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan dan tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Seperti juga perjalanan studi yang penulis jalani dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dikerjakan dalam kesendirian. Di balik keberhasilan selalu ada pihak lain yang memberikan semangat, motivasi, bimbingan serta doa. Untuk itu penulis sangat berterima kasih atas bantuan dan jasa yang diberikan oleh berbagai pihak dalam penyelesaian skripsi ini, sebagai berikut:

1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

2. Ibu Euis Amalia, M.Ag, selaku Ketua Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Bapak Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, selaku sekretaris Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA., selaku Ketua Program Non-Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. H. Ahmad Yani, MA., selaku Sekretaris


(3)

Program Non-Reguler Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam menentukan judul dan dalam penyelesaian hal-hal administratif dan nasehat-nasehat yang sangat berharga.

3. Bapak Drs. Hasanuddin M.Ag dan Bapak Drs, Djawahir Hejazziey, SH., MA selaku pembimbing yang telah sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.

4. Bapak H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MH. dan Bapak Drs. Ahmad Yani, M.Ag. selaku penguji.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Muamalah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang banyak berperan dalam memberikan pembelajaran. 6. Pimpinan dan seluruh Staf Karyawan perpustakaan utama dan perpustakaan Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu fasilitas untuk studi kepustakaan.

7. Terkasih dan tercinta, Ibunda saya Hj. Nurjani S.Pd.I dan Ayahanda Wagino S.Pd atas cinta dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menjalani hidup dan dan menikmati pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi, cucuran keringat yang telah engkau berikan kepada ananda hingga sukses meraih gelar Sarjana S1.

8. “Citra Devi”. Beserta keluarga besar, terima kasih atas segala perhatian, kasih sayang, motivasi, waktu, yang telah setia mendampingi dalam mencari data dari awal sampai akhir dan telah memberikan nasehat-nasehat yang berharga.


(4)

9. Keluarga Besar Kyai, Abdul Rahman beserta Umi Dech.

10.Keluarga Besar PT. Bank Sumut Syariah Cab. Pembantu Stabat Kab. Langkat yang telah memberikan informasi banyak tentang Bank Sumut Syariah sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11.Keluarga Besar Bang Alfian.

12.Keluarga Besar Syekh Bessilam, Tanjung Pura Kab. Langkat-Sumut. 13.Buat Ibu Kosan yang Slalu Mendo’akan.

14.Keluarga Besar Pak Endang

15.Bang Kamal dan Kak Inur, yang selama ini telah memberikan support serta kontribusi besar kepada penulis sehingga mempercepat proses penyusunan skripsi ini.

16.Teman-teman PS B terima kasih atas kebersamaannya selama kita 4 tahun kita saling mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan. Apalagi disaat kita KKN di Gunung Putri Cianjur I always miss all.

17.Teman-temanku di saat menghadapi wisuda, Ayu Dhoni, Prita, Eli, Sahmi Sitompul, Uda Dion beserta Uni, Alfi, Fia, Eko Kusumo, Inal Pc, Boyduz, Hasbullah, Ram, Sarmy, Alan Nochi, Boy, Fatwa Ginting, Dhany, Ajo (dkk), Bosstink, Hadi, Egar, Helmy, Honess, Bang Rio dan Ficky (under story),

terima kasih sudah menemani saat menyelesaikan skripsi ini.

Atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT. semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah SWT., dengan pahala yang berlipat ganda.


(5)

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Jakarta, 3 Juni 2008 M

1 Jumadil Ula 1429 H,

Penulisan


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... i

DAFTAR ISI... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Kajian Pustaka……… 9

E. Kerangka Teori dan Konsep……… 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN TEORITIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN A. Perjanjian Pembiayaan ... 15

B. Azas-azas Perjanjian……… 21

C. Syarat dan Rukun Akad……….. 31

D. Batalnya Perjanjian………. 38

E. Pembiayaan………. 40

F. Prinsip Dasar Kegiatan Perbankan Syariah ... 42

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG BANK SUMUT SYARIAH A. Tinjauan Tentang Bank Sumut Syariah ... 54

1. Pendirian Bank Sumut Syariah ... 54

2. Modal Awal Bank Sumut Syariah... 54

3. Struktur Kepengurusan Bank Sumut Syariah ... 57

B. Produk-Produk Bank Sumut Syariah ... 60


(7)

BAB IV ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH

A. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan di

Bank Sumut Syariah... 77 B. Bentuk Perjanjian Pembiayaan Pada Bank Sumut

Syariah ... 82 C. Analisis Perjanjian Pembiayaan pada Bank Sumut

Syariah ... 92

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 97 B. Saran-saran... 97

DAFTAR PUSTAKA... 101 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perjanjian pembiayaan pada bank sumut syariah Muamalah

Bank

Konvensional syariah

Bank Sumut Syariah --- pembiayaan

Perjanjian

--- sah secara syariah Bank

--- pembiayaan Perjanjian

Muamalah Bank

Konvensional syariah

Manusia adalah makhluk sosial yang dalam kehidupannya

membutuhkan orang lain agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya, dengan cara memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aktivitas pemenuhan kebutuhan tersebut melahirkan berbagai kegiatan muamalah antar umat manusia, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Berbagai aktivitas

ekonomi tersebut terus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan peradaban manusia dan juga perkembangan teknologi.

Dalam aktivitas perekonomian tersebut, maka peranan bank telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dalam perdagangan antar negara maupun perdagangan dalam negara. Dengan melalui bank, berbagai transaksi dalam dunia perdagangan dapat dlakukan dengan lebih cepat dan lebih mudah, karena tidak harus melalui transaksi dalam bentuk tunai. Di segi lain, melalui perbankan masyarakat juga dapat menyimpan uangnya secara aman dan dapat memperoleh penghasilan dari aktivitas menyimpan tersebut. Di segi lain, masyarakat yang tidak


(9)

memiliki atau kekurangan modal akan dapat meminjam kredit melalui perbankan, sehingga dapat terbantu dalam melaksanakan berbagai rencananya, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian jelaslah bahwa perbank merupakan salah satu fasilitas penting dalam perekonomian modern saat ini.

Keberadaan perbankan juga telah mengalami perkembangan dalam penerimaan oleh masyarakat muslim. Pada awalnya sebagaian besar masyarakat muslim tidak menerimanya, karena ia termasuk kegiatan riba. Selanjutnya sebagain mereka dapat menerimanya, karena aktivitas riba tersebut dianggap tidak sama dengan ang terjadi pada masa

Rasululllah SAW dan mengingat kepentingannya pada masa sekarang. Namun demikian sebagian masyarakat tetap belum dapat menerima praktek perbankan yang konvensional karena masih terdapatnya unsur riba tersebut, walaupun dengan berbagai dalih atau alasannya, sehingga memerlukan suatu perbankan yang benar-benar bersih dari aktivitas atau unsur riba tersebut. Keadaan ini mendorong masyarakat muslim untuk melahirkan model perbankan yang benar-benar sesuai dengan syariat Islam. Keadaan ini akhirnya melahirkan perbankan syariah yang dianggap telah meneuhi unsure-unsur syariah tersebut dan bebar dari unsur riba. Hal ini menyebabkan tumbuhnya berbagai perbankan syariah di luruh wilyah Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatera Utara.

Salah satu perbankan syariah di Provinsi Sumatera Utara adalah Bank Sumut Syariah. Bank ini cukup dapat memberikan kepercayaan pada masyarakat dalam pelayanan maupun fasilitas. Bank ini didirikan pada tanggal 4 November 2005 dengan Akte Notaris Roesli Nomor 22 dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan pokok bank milik

Pemerintahan Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 1965. Perda tersebut menetapkan modal dasar sebesar Rp 3 Triliun dan sahamnya hanya dimiliki oleh Pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintahan Daerah Tingkat II di seluruh Sumatera Utara.

Salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan oleh Bank Sumut Syariah adalah penyalur pembiayaan kepada masyarakat. Dalam

penyaluran pembiayaan terhadap masyarakat para pihak terikat dengan perjanjian, hal itu bertujuan untuk menjamin segala kemungkinan yang terjadi pada masa pembiayaan berlangsung. Untuk itu antara pihak kreditur (yang memberikan pinjaman/pembiayaan) dengan pihak debitur (orang yang menerima pinjaman/kredit/pembiayaan) haruslah terikat satu perjanjian. Perjanjian sebagaimana dimaksud dikenal dengan istilah perjanjian penyaluran pembiayaan.

Perjanjian penyaluran pembiayaan merupakan suatu hubungan hukum antara debitur dan kreditur. Dalam perjanjian pembiayaan diatur


(10)

dengan hak dan kewajiban debitur maupun kreditur. Dalam hal ini kreditur memberikan pinjaman kepada debitur, sehingga kreditur berhak untuk menuntut pembayaran dari hutang debitur. Sebaliknya debitur sebagai pihak yang berhutang memiliki kewajiban untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan isi dari perjanjian. Konsekuensinya debitur harus membayar hutangnya pada saat jatuh tempo atau ada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.

Berkaitan dengan perjanjian penyaluran pembiayaan, maka perlu dilihat pendapat yang dikemukakan oleh R. Setiawan yang menyatakan “Perjanjian adalah persetujuan atau perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”1

Selanjutnya Hoffman menyebutkan “Perikatan adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu

(prestasi), sedangkan pihak yang lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan biasanya juga bertanggung jawab (haftung) atas prestasi itu.2

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam suatu hubungan hukum akan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Demikian pula dengan halnya dengan perjanjian yang dilakukan oleh kreditur (Bank) dengan pihak debitur (nasabah).

Eksitensi perbankan sebagai layanan jasa keuangan berbasis pada kepercayaan nasabah. Diatur dalam ketentuan perbankan dalam

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, tentang Perbankan Jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 Perbankan. Dengan adanya ketentuan syariah, Pasal 1 butir 1 jo

13. Yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha.

Perjanjian dalam bank syari’ah?

Sedangkan arti dari prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarklan Hukum Islam antar bank dan pihak lain untuk

penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan (mudharabah) atau pembiayaan

1

P.N.H, Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, 1999., h. 332

2


(11)

modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina).

Dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 maka berlaku dual sistem dalam pengelolaan bank, yakni secara konvensional dengan menggunakan bunga (interest) untuk setiap peminjaman atau penyimpangan dana, serta menggunakan sistem bagi hasil yang merupakan dasar perbankan pada Bank Syariah.

Faktor utama sebagai dasar pertimbangan bagi nasabah dalam memilih layanan perbankan adalah kepercayaan atas kinerja profesional perbankan, seperti jaminan keamanan dana nasabah, efektifitas dan efisien layanan jasa perbankan. Faktor bunga tidaklah menjadi alasan utama nasabah dalam memilih jasa perbankan, sebagian masyarakat tidak terlalu memperhatikan masalah atas bunga tersebut,dan lebih mengutamakan efektifitas, efisiensi dan keamanan atas dana yang disimpan oleh lembaga perbankan.

Eksitensi lembaga perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi salah satu alternatif lembaga keuangan bagi masyarakat sebagai dampak krisis ekonomi 1997 yang berimbas pada likuidasi perbankan nasional.

“Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51”.3

Kepercayaan masyarakat yang sempat goyah terhadap perbankan konvensional akibat krisis moneter perbankan tahun 1997 tersebut, kembali pulih dan tetap menjadi mainstream bagi masyarakat dengan alasan kepercayaan atas profesional perbankan. Menanggapi timbulnya

interest masyarakat atas prinsip syariah, perbankan konvensional pun

dengan responsive mengembangkan layanan dengan membuka unit syariah dalam fasilitas layanan jasa perbankan. Dengan profesional kinerja perbankan dan kredibilitas yang sudah disandangnya,

keberadaan unit perbankan syariah dalam perbankan konvensional telah menjadi competitor bagi perbankan syariah.

Atas dasar itu pula Bank Sumut sebagai bank konvensional membuka layanan bank dengan sistem syariah. Dalam penelitian ini penlis mencoba meninjau lebih jauh tentang bagaimana penyaluran kredit oleh Bank Sumut Syariah.

3

Http://www. LIPI.com. Menata Masa Depan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis: Perspektif Ekonomi Politik Islam, oleh Mahmud Thoha, dikutip pada tanggal 28 Desember 2006.


(12)

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis memilih judul skripsi “PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH ”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Batasan masalah merupakan hal yang sangat penting untuk ditentukan dahulu sebelum sampai tahap pembatasan selanjutnya. Melihat luasnya cakupan pembahasan serta menghindari kesimpang siuran dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul dan latar belakang masalah yang dijelaskan diatas. Maka penulis membatasi masalah sampai prinsip dasar sistem pelayanan pada bank syariah dan penyaluran dana.

Adapun rumusan masalah yang penulis bahas yaitu :

- Apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah telah memenuhi ketentuan syariah.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penyusunan skripsi harus mempunyai tujuan dan manfaat penelitian. Adapun tujuan yang dilakukan penulis sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui pembiayaan di Bank Sumut Syariah

2. Untuk mengetahui bentuk perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah kepada nasabah.

3. Untuk mengetahui apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah telah memenuhi ketentuan syariah


(13)

Adapun manfaat penelitian yang diperoleh penulis, baik Pada instansi maupun masyarakat. Jika diperinci, maka penelitian yang penulis laksanakan memiliki 2 manfaat yaitu sebagai berikut: 1. Manfaat Secara Teoritis

Secara teoritis penelitian yang penulis lakukan dapat

memberikan penambahan ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, dan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat pula memecahkan atau

mencari solusi dari suatu permasalahan yang ada. 2. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk penulis dan masyarakat, khususnya bagi penulis akan lebih memudahkan jika suatu waktu berhadapan dengan persoalan dibidang perbankan, khususnya yang menyangkut perbankan Syariah. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengalaman bagi penulis sebagai modal untuk dapat bekerja dengan baik dimasa mendatang.

D. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dipergunkan adalah dengan metode yuridis normative yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka yang merupakan data sekunder seperti: Perundang-undangan literatur yang berhubungan dengan penyaluran pembiayaan pada Bank Syariah, khususnya pada Bank SUMUT Syariah.


(14)

Perjanjian pembiayaan pada bank sumut syariah

Data:

Sumber data: Pihak bank ---- Masyarakat (nasabah)

Alat pengumpul data:wawancara --- studi documenter ---- library Analisis: Deskriptif --- tabel frekuensi persentase

Muamalah Bank

Konvensional syariah

Bank Sumut Syariah --- pembiayaan

Perjanjian ==

--- sah secara syariah

1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data penelitian ini adalah data primer. Data primer yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan variabel penelitian,

selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang pokok permasalahan. Dengan analisis kualilatif maka data yang diperoleh dari responden menghasilkan data deskriptif analisis, sehingga dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh.

Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer berupa seperti:

a. Undang-undang No. 10 Tahtm 1998 tentang Perbankan. b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.


(15)

Observasi: pengamatan Wawancara: pertanyaan lisan Angket: pertanyaan tulisan Tes:

Studi Dokumenter= dokumen Library: buku-buku

a. Library Research (Penelitian Kepustakaan).

Metode ini penelitian dilaksanakan dengan cara mengambil dari sumber bacaan tertulis dari para sarjana, yakni berupa buku-buku atau bahan ilmiah yang menyangkut tentang penyaluran dana pembiayaan oleh Bank Syariah.

b. Field Research (Penelitian Lapangan)

Penelitian lapangan dilakukan dengan cara melaksanakan

observasi langsung pada Bank Sumut Syariah dan sekaligus

mengadakan wawancara dengan staff perwakilan Bank Sumut Syariah Medan.

3. Analisa Data

Data sekunder dari bahan hukum primer disusun secara sistematis dan kemudian substansinya dianalisis secara yuridis

(contens analysis) untuk memperoleh gambaran tentang pokok

permasalahan.

E. Sistematika Penulisan


(16)

Bab I PendahuluanPada Bab I ini yang kita bahas adalah: A. Latar Belakang Masalah, B. Pembatasan dan Perumusan Masalah, C. Tujuan dan Manfaat Penelitian, D. Metode penelitian, E. Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Pustaka,A. Gambaran Umum Tentang Bank Syariah, (1) Sejarah Singkat Bank syariah, (2) Latar Belakang Bank Syariah (3) Fungsi Bank Syariah, (4) Tujuan Bank syariah. B.

Gambaran Umum Tentang Perjanjian, (1) Pengertian Perjanjian secara Umum, (2) Bentuk Perjanjian Sistem Pembiayaan Bank sumut Syariah, (3) Perjanjian Penyaluran Pembiayaan Bank Syariah, (4) Sistem

Penghimpun Dana Bank Syariah, (5) Prinsip Dasar Sistem Pelayanan Bank Syariah.

Bab III Gambaran Umum Tentang Bank Sumut Syariah, A. Pembahasan Tentang Bank Sumut Syariah, (1) Pendirian Bank Sumut Syariah, (2) Modal awal Bank Sumut Syariah, (3) Struktur

Kepengurusan Bank Sumut Syariah, (4) Kedudukan Bank Sumut

Syariah di Bank Indonesia, B. Produk-Produk di Bank SUMUT Syariah, (1) Penghimpun Dana, (2) Penyaluran Dana, (3) Pelayanan Jasa C. Realisasi Bank Sumut Syariah.

Bab IV Analisis Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah, A. Ketentuan Umum Dan Syarat Memperoleh Pembiayaan Di Bank Sumut Syariah, B. Analisis Akad Pembiayaan di Bank Sumut Syaiah, (1)


(17)

Pembiayaan Murabahah, (2) Pembiayaan Mudharabah D. Landasan Hukum.

BAB V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran terhadap hasil penelitian.


(18)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG BANK SYARIAH

A. Gambaran Umum Tentang Bank Syariah

1. Sejarah Singkat Bank Syariah

2. Latar Belakang Bank Syariah

3. Fungsi Bank Syariah

a. Bank Umum

b. Bank Pembangunan c. Bank Tabungan d. Bank Pasar e. Bank Desa f. Lumbung desa g. Bank Pegawai

4. Tujuan Bank Syariah

a. Menjalankan kegiatan ekonomi umat

b. Untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi c. Untuk meningkatkan kualitas hidup umat,

B. Gambaran Umum Tentang Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian Secara Umum

2. Syarat dan Rukun Akad

a. Shighat (pernyataan ijab dan qabul)

b. ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad)

c. Ma’qud ‘alaih (obyek akad), d. Maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).

C. Prinsip Dasar Sistem Pelayanan Pada Bank Syariah

1. Fungsi Bank Islam

a. sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi b. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki

c. Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembanyaran dan jasa-jasa lainnya d. Sebagai pengelola fungsi sosial

2. Prinsip Dasar Bank Islam a. Prinsip mudharabah b. Prinsip musyarakah c. Prinsip wadiah

d. Prinsip jual beli (al-buyu’) 1) Murabahah

2) Salam yaitu 3) Ishtisna’

4) Jasa-jasa terdiri dari: a) Ijarah

b) Wakalah c) Kafalah


(19)

d) Sharf

5) Prinsip kebajikan 2. Produk Bank Islam

a. Penyaluran dana 1) Ba’i (jual beli 2) Salam

3) Istishna 4) ijarah(sewa) b. Akad Pelengkap

1) hawalah 2) rahn 3) qardh 4) wakalah 5) kafalah

c. Penghimpun dana 1) wadi’ah 2) Mudharabah

a) Mudharabah mutlaqah b) mudharabah muqayadah c) wakalah

d. Jasa Perbankan

1) sharf (jual beli valuta asing) 2) ijarah(sewa)

D. Sistem Penghimpunan Dana Bank Syariah

Dilihat dari sumbernya, dana bank syariah terdiri dari: 1. Modal

2. Titipan 3. Investasi

E. BentukPerjanjian Sistem Pembiayaan Pada Bank Syariah

1. Pembiayaan Modal Kerja

a. Pembiayaan Likuidasi (Cash financing) b. Pembiayaan Piutang

1) Pembiayaan piutang (Receivable Financing) 2) Anjak Piutang (Factoring)

c. Pembiayaan persediaan (Inventory Financing) 1). Bai'al-Murabahah,

2). Bai' al-Istisha', 3). Bai' as-Salam,

2. Pembiayaan Investasi

3. Pembiayaan Konsumtif


(20)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG BANK SUMUT SYARIAH

a. Pembahasan tentang Bank SUMUT Syariah

1. Pendirian bank SUMUT syariah

2. Modal Awal Bank SUMUT Syariah

3. Struktur Kepengurusan Bank Sumut

Syariah

4. Kedudukan Bank Sumut Syariah di

SUMUT (Sumatra Utara)

b. Produk-Produk di Bank Sumut Syariah

i. Penghimpun Dana

I. Produk Wadiah (titipan Wadiah)

a. Tabungan Marwah (martabe wadiah) b. Giro Wadiah

Adapun ketentuan umum dari produk ini adalah : a. Keuntungan atau kerugian b. Bank harus membuka akad. c. Pengganti biaya administrasi d. Ketentuan-ketentuan lain II. Produk Mudharabah (bagi hasil)

a. Tabunagan Marhamah (martabe bagi hasil mudharabah) b. Deposito Ibadah

Dalam kegiatan penghimpun dana, mudharabah terbagi menjadi : a. GIA = General Investment Account (mudharabah mutlaqah)

Ketentuan umum : a. Bank wajib

b. Untuk tabungan mudharabah c. Tabungan dan deposito d. Ketentuan-ketentuan

b.SIA = Special Investment Account (mudharabah muqayyadah)

a. Dikelola dengan prinsip Mudharabah Mutlaqah . b. Pemilik dana mendapat bagi hasil .

c. Dapat dijadikan jaminan pembiayaan di PT. Bank Sumut

ii. Penyaluran dana.

I. Transaksi Jual Beli dalam bentuk Piutang Murabahah. II. Transaksi Bagi Hasil Mudharabah


(21)

III. Ijarah dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. IV. Gadai Emas Syariah.

V. Qardh

iii. Pelayanan Jasa

Bank Sumut Syariah merupakan perwujudan dari komitmen Pengelola untuk memberikan “pelayanan terbaik” dalam memenuhi kebutuhan nasabah akan jasa yang kami tawarkan kepada nasabah adalah :

I. Kiriman Uang (Transfer) II. Inkaso (jasa tagih)

III. Bank Garansi

a. Memilih antara Wadiah dan Mudharabah b. Giro

c. Tabungan d. Deposito


(22)

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG BANK SUMUT SYARIAH

A. Pembahasan tentang Bank SUMUT Syariah

1. Pendirian bank SUMUT syariah

2. Modal Awal Bank SUMUT Syariah

3. Struktur Kepengurusan Bank Sumut Syariah

4. Kedudukan Bank Sumut Syariah di SUMUT (Sumatra

Utara)

B. Produk-Produk di Bank Sumut Syariah

1. Penghimpun Dana

2. Produk Wadiah (titipan Wadiah)

a. Tabungan Marwah (martabe wadiah) b. Giro Wadiah

3. Produk Mudharabah (bagi hasil)

a. Tabunagan Marhamah (martabe bagi hasil mudharabah) b. Deposito Ibadah

Dalam kegiatan penghimpun dana, mudharabah terbagi menjadi :

a. GIA = General Investment Account (mudharabah

mutlaqah)

b. SIA=Special Investment Account(mudharabah

muqayyadah)

4. Penyaluran dana.

a. Transaksi Jual Beli dalam bentuk Piutang Murabahah b. Transaksi Bagi Hasil Mudharabah

c. Ijarah dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik

d. Gadai Emas Syariah

e. Qardh

5. Pelayanan Jasa

a. Kiriman Uang (Transfer) b. Inkaso (jasa tagih)

c. Bank Garansi

d. Memilih antara Wadiah dan Mudharabah e. Giro

f. Tabungan g. Deposito


(23)

BAB IV

ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH

A. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan 1. Pembiayaan Mudharabah

2. Pembiayaan Murabahah

B. Bentuk Perjanjian di Bank Sumut Syariah 1. Perjanjian Mudharabah

2. Perjanjian Murabahah C. Analisis Penulis

1. Perjanjian Mudharabah


(24)

BAB IV

ANALISIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH D. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan di Bank SUMUT

Syariah

• Perseorangan

• Badan Usaha ( Fa, Cv, PT )

• Kelompok Musytari’ (Instansi, Lembaga, BUMN, BUMD, Koperasi, Perusahaan Bonafide)

I. Proses Pengadaan Barang

I. Prosedur Kepada Perseorangan (1) I. Prosedur Kepada Perseorangan (2) II. Prosedur Kepada Badan Usaha III. Kelompok Pegawai

- Agunan / Jaminan

E. Analisis Akad Pembiayaan Bank Sumut Syariah 1. Akad Pembiayaan Murabahah

Berdasarkan sumber dana yang digunakan, pembiayaan murabahah secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok :

1. Pembiayaan Murabahah yang di danai dengan URIA (Unre stricted Investment Account = investasi tidak terikat).

2. Pembiayaan Murabahah yang di danai dengan RIA (Restricted Investment Account = investasi terikat).

3. Pembiayaan Murabahah yang di danai dengan Modal Bank. Definisi dalam akad pembiayaan murabahah bank sumut syariah ini, yang dimaksud dengan :

1. Jual-beli Murabahah 2. Barang

3. Supplier/ Developer 4. Urbun 5. Harga Beli

6. Keuntungan 7. Harga jual 8. Agunan

1. Denda

2. Hari Kerja Bank 2. Akad Pembiayaan Mudharabah


(25)

2. Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) 3. Nisbah adalah rasio atau perbandingan pembagian keuntungan (bagi hasil) 4. Bagi hasil adalah bagian hasil usaha yang dihitung dari pendapatan usaha 5. Modal (Maal) adalah dalam uang tunai atau hutang yang diperdagangkan 6. Barang adalah barang yang dihalalkan berdasarkan Syariah baik zatnya 7. Agunan adalah barang bergerak maupun tidak bergerak yang didukung

oleh

8. Cidera Janji (wanprestasi) adalah keadaan tidak dilaksanakannya sebagian

9. Denda adalah sanksi yang dikenakan kepada nasabah oleh Bank, yang 10.Keuntungan Usaha adalah pertambahan harta yang diperoleh dalam 11.Kerugian Usaha adalah berkurangnya harta di dalam menjalankan 12.Pendapatan adalah seluruh penerimaan yang diperoleh dari hasil usaha

yang

13.Keuntungan Operasional adalah pendapatan operasional yang diperoleh dari

14.Keuntungan Bersih adalah keuntungan operasional setelah dikurangi biaya

15.Pembukuan Modal adalah pembukuan atas nama Syirkah pada Pihak 16.Hari Kerja Bank

F. Landasan hukum

3. Pasal 14 UU No. 14 Tahun 1970 4. Pactum Compromittendo

LEMBAGA/BADAN ARBITRASE (“Wasit”) terdiri dari : 1. Wasit Ad Hoc.

2. Wasit Permanen.

3. Lembaga Pemberi Pendapat yang Bersifat Final. C. Analisis Penulis

1. Shighat (pernyataan ijab dan qabul)

2. ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad)

3. Ma’qud ‘alaih (obyek akad), 4. Maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).


(26)

BAB I

PENDAHULUAN

F. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupannya membutuhkan orang lain agar dapat menjaga kelangsungan hidupnya, dengan cara memenuhi kebutuhan hidup mereka. Aktivitas pemenuhan kebutuhan tersebut melahirkan berbagai kegiatan muamalah antar umat manusia, khususnya dalam kegiatan ekonomi. Berbagai aktivitas

ekonomi tersebut terus mengalami perkembangan seiring dengan kemajuan peradaban manusia dan juga perkembangan teknologi.

Dalam aktivitas perekonomian tersebut, maka peranan bank telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dalam

perdagangan antar negara maupun perdagangan dalam negara. Dengan melalui bank, berbagai transaksi dalam dunia perdagangan dapat dilakukan dengan lebih cepat dan lebih mudah, karena tidak harus melalui transaksi dalam bentuk tunai. Di segi lain, melalui perbankan masyarakat juga dapat menyimpan uangnya secara aman dan dapat memperoleh penghasilan dari aktivitas menyimpan tersebut. Di segi lain, masyarakat yang tidak memiliki atau kekurangan modal akan dapat meminjam kredit melalui perbankan, sehingga dapat terbantu dalam


(27)

melaksanakan berbagai rencananya, khususnya dalam kegiatan

ekonomi. Dengan demikian jelaslah bahwa perbankan merupakan salah satu fasilitas penting dalam perekonomian modern saat ini.

Keberadaan perbankan juga telah mengalami

perkembangan dalam penerimaan oleh masyarakat muslim. Pada

awalnya sebagaian besar masyarakat muslim tidak menerimanya, karena ia termasuk kegiatan riba. Selanjutnya sebagain mereka dapat

menerimanya, karena aktivitas riba tersebut dianggap tidak sama dengan Yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dan mengingat

kepentingannya pada masa sekarang. Namun demikian sebagian masyarakat tetap belum dapat menerima praktek perbankan

konvensional karena masih terdapatnya unsur riba tersebut, walaupun dengan berbagai dalih atau alasannya, sehingga memerlukan suatu perbankan yang benar-benar bersih dari aktivitas atau unsur riba

tersebut. Keadaan ini mendorong masyarakat muslim untuk melahirkan model perbankan yang benar-benar sesuai dengan syariat Islam.

Keadaan ini akhirnya melahirkan perbankan syariah yang dianggap telah memenuhi unsur syariah tersebut dan bebas dari unsur riba. Hal ini menyebabkan tumbuhnya berbagai perbankan syariah di seluruh

wilayah Indonesia, termasuk di Provinsi Sumatera Utara.

Salah satu perbankan syariah di Provinsi Sumatera Utara adalah Bank Sumut Syariah. Bank ini cukup dapat memberikan


(28)

kepercayaan pada masyarakat dalam pelayanan maupun fasilitas. Bank ini didirikan pada tanggal 4 November 2005 dengan Akte Notaris Roesli Nomor 22 dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang ketentuan pokok bank milik Pemerintahan Daerah dengan Peraturan Daerah (Perda) Tingkat I Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 1965. Perda tersebut menetapkan modal dasar sebesar Rp 3 Triliun dan sahamnya hanya dimiliki oleh Pemerintahan Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintahan Daerah Tingkat II di seluruh Sumatera Utara.

Salah satu dari kegiatan yang dilaksanakan oleh Bank Sumut Syariah adalah penyalur pembiayaan kepada masyarakat. Dalam penyaluran pembiayaan terhadap masyarakat para pihak terikat dengan perjanjian, hal itu bertujuan untuk menjamin segala kemungkinan yang terjadi pada masa pembiayaan berlangsung. Untuk itu antara pihak kreditur (yang memberikan pinjaman/pembiayaan) dengan pihak debitur (orang yang menerima pinjaman/kredit/pembiayaan) haruslah terikat satu perjanjian. Perjanjian sebagaimana dimaksud dikenal dengan istilah perjanjian penyaluran pembiayaan.

Perjanjian penyaluran pembiayaan merupakan suatu hubungan hukum antara debitur dan kreditur. Dalam perjanjian

pembiayaan diatur dengan hak dan kewajiban debitur maupun kreditur. Dalam hal ini kreditur memberikan pinjaman kepada debitur, sehingga


(29)

kreditur berhak untuk menuntut pembayaran dari hutang debitur. Sebaliknya debitur sebagai pihak yang berhutang memiliki kewajiban untuk melaksanakan prestasi sesuai dengan isi dari perjanjian.

Konsekuensinya debitur harus membayar hutangnya pada saat jatuh tempo atau ada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian. Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Qashash ayat 28, sebagai berikut:

Artinya: “Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan".

Berkaitan dengan perjanjian penyaluran pembiayaan, maka perlu dilihat pendapat yang dikemukakan oleh R. Setiawan yang

menyatakan “Perjanjian adalah persetujuan atau perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”4 Selanjutnya Hoffman menyebutkan “Perikatan adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (prestasi), sedangkan pihak yang lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan biasanya juga bertanggung jawab (haftung) atas

4

P.N.H, Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, 1999., h. 332


(30)

prestasi itu.5 Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam suatu hubungan hukum akan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Demikian pula dengan halnya dengan perjanjian yang dilakukan oleh kreditur (Bank) dengan pihak debitur (nasabah).

Sedangkan arti dari prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarklan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk

penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan usaha lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan (mudharabah) atau pembiayaan modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau

dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wal iqtina).

Dengan adanya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 maka berlaku dual sistem dalam pengelolaan bank, yakni secara konvensional dengan menggunakan bunga (interest) untuk setiap peminjaman atau penyimpangan dana, serta menggunakan sistem bagi hasil yang merupakan dasar perbankan pada Bank Syariah. Eksitensi lembaga

5

Bachsan Muslapa, Asas-asas Hukum Dagang, Penerbit Armico Bandung, 1982., h. 53


(31)

perbankan syariah dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi salah satu alternatif lembaga keuangan bagi masyarakat sebagai dampak krisis ekonomi 1997 yang berimbas pada likuidasi perbankan nasional.

“Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51”.6

Kepercayaan masyarakat yang sempat goyah terhadap perbankan konvensional akibat krisis moneter perbankan tahun 1997 tersebut, kembali pulih dan tetap menjadi mainstream bagi masyarakat dengan alasan kepercayaan atas profesional perbankan. Menanggapi timbulnya interest masyarakat atas prinsip syariah, perbankan

konvensional pun dengan responsive mengembangkan layanan dengan membuka unit syariah dalam fasilitas layanan jasa perbankan. Dengan profesional kinerja perbankan dan kredibilitas yang sudah

disandangnya, keberadaan unit perbankan syariah dalam perbankan konvensional telah menjadi competitor bagi perbankan syariah.

Atas dasar itu pula Bank Sumut sebagai bank konvensional

6

Http://www. LIPI.com. Menata Masa Depan Perekonomian Indonesia Pasca Krisis: Perspektif Ekonomi Politik Islam, oleh Mahmud Thoha, dikutip pada tanggal 28 Desember 2006.


(32)

membuka layanan bank dengan sistem syariah. Dalam penelitian ini penulis mencoba meninjau lebih jauh tentang bagaimana penyaluran kredit oleh Bank Sumut Syariah.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis memilih judul skripsi “PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA BANK SUMUT SYARIAH ”

G. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Batasan masalah merupakan hal yang sangat penting untuk ditentukan dahulu sebelum sampai tahap pembatasan selanjutnya. Melihat luasnya cakupan pembahasan serta menghindari kesimpang siuran dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul dan latar belakang masalah yang dijelaskan diatas. Maka penulis membatasi masalah sampai prinsip dasar sistem pelayanan pada bank syariah dan penyaluran dana.

Adapun rumusan masalah yang penulis bahas yaitu:

1. Bagaimana Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah? 2. Apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah telah

memenuhi ketentuan syariah?

H. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penyusunan skripsi harus mempunyai tujuan dan manfaat penelitian. Adapun tujuan yang dilakukan penulis sebagai


(33)

berikut:

1. Untuk mengetahui pembiayaan di Bank Sumut Syariah.

2. Untuk mengetahui apakah perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah telah memenuhi ketentuan syariah.

Adapun manfaat penelitian yang diperoleh penulis, baik Pada instansi maupun masyarakat. Jika diperinci, maka penelitian yang penulis laksanakan memiliki 2 manfaat yaitu sebagai berikut:

3. Manfaat Secara Teoritis

Secara teoritis penelitian yang penulis lakukan dapat memberikan penambahan ilmu pengetahuan bagi penulis sendiri, dan dalam bidang ilmu pengetahuan dapat pula memecahkan atau

mencari solusi dari suatu permasalahan yang ada. 4. Manfaat Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat untuk penulis dan masyarakat, khususnya bagi penulis akan lebih memudahkan jika suatu waktu berhadapan dengan persoalan dibidang perbankan, khususnya yang menyangkut perbankan Syariah. Selanjutnya penelitian ini diharapkan dapat menjadi

pengalaman bagi penulis sebagai modal untuk dapat bekerja dengan baik dimasa mendatang.


(34)

Berdasarkan telaah yang sudah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, penulis melihat bahwa apa yang merupakan masalah pokok penelitian ini tampaknya sangat penting dan prospektif untuk mengetahui banyak juga perusahaan swasta yang menggunakan sistem

syariah. yakni, penelitian ini tentang “PERJANJIAN PEMBIAYAAN BANK SUMUT SYARIAH”

Adapun kajian pustaka yang digunakan dari penulisan ini adalah:

1. Siti Khadijah, 9946117203, aplikasi Manajemen Pembiayaan pada Bank syariah, (Studi Kasus pada BNI SYARIAH) (Jakarta, Program Studi Perbankan syariah Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003.

Pada skripsi ini membahas Manajemen Pembiayaan pada Bank Syariah sedangkan, pada skripsi penulis membahas tentang Aplikasi Perjanjian pembiayaan Bank Sumut Syariah.

2. Randhi Novadinata, 202046101249, Perjanjian Kerjasama Antara PT. Jamsostek (persero) Pelaksaaan Pelayanan Kesehatan dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. (Jakarta, Program studi Perbankan Islam Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2006).

Pada skripsi Randhy Novadinata membahas Pembiayaan dengan Kerjasama antara Jamsostek (persero) dengan Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan ditinjau dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif


(35)

sedangkan, pada skripsi penulis hanya membahas Perjanjian Pembiayaan pada suatu Bank Islam.

E. Kerangka Teori dan Konsep 1. Kerangka Teori

Dalam penelitian ini membahas tentang Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syari’ah, pengertian, landasan hukum serta sistem kegiatan di Bank Syari’ah pada umumnya dan Bank Sumut Syari’ah pada khususnya.

2. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini konsep yang dikedepankan adalah sistem kegiatan Bank Sumut Syari’ah, utamanya pada produk perjanjian

pembiayaan Serta analisis perjanjian pembiayaan yang ditinjau dari rukun dan syarat akad.

F. Metode Penelitian

Metode pendekatan yang dipergunkan adalah dengan metode yuridis normative yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti pustaka yang merupakan data sekunder seperti: Perundang-undangan literatur yang berhubungan dengan penyaluran pembiayaan pada Bank Syariah, khususnya pada Bank Sumut Syariah.

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini di lakukan di Bank Sumut Syariah Cabang Pembantu Kabupaten Langkat-Sumatra Utara yang beralamat di Jl. Besar


(36)

Stabat, dan Kantor Pusat yang beralamat di Jl, Imam Bonjol No. 18, Medan. Phone : (061) 4155100 – 4514100, Facsimile : (061) 4142937 – 4152652.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data penelitian ini adalah data primer. Data primer yang diperoleh dikelompokkan berdasarkan variabel penelitian, selanjutnya dianalisis secara kualitatif sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang pokok permasalahan. Dengan analisis kualilatif maka data yang diperoleh dari responden menghasilkan data deskriptif analisis, sehingga dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh.

Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer berupa seperti: (1) Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Library Research (Penelitian Kepustakaan).

Metode ini penelitian dilaksanakan dengan cara mengambil dari sumber bacaan tertulis dari para sarjana, yakni berupa buku-buku atau bahan ilmiah yang menyangkut tentang penyaluran dana pembiayaan oleh Bank Syariah.


(37)

Penelitian lapangan dilakukan dengan cara

melaksanakan observasi langsung pada Bank Sumut Syariah dan sekaligus mengadakan wawancara dengan staff perwakilan Bank Sumut Syariah Medan.

4. Analisa Data

Data sekunder dari bahan hukum primer disusun secara sistematis dan kemudian substansinya dianalisis secara yuridis

(contens analysis) untuk memperoleh gambaran tentang pokok

permasalahan.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: Bab I PendahuluanPada Bab I ini yang kita bahas adalah: A. Latar Belakang Masalah, B. Pembatasan dan Perumusan Masalah, C. Tujuan dan Manfaat Penelitian, D. Kajian Pustaka, E. Metode

penelitian, F. Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Pustaka: A. Pengertian Perjanjian Secara Umum, B. Azas Perjanjian, C. Syarat dan Rukun Akad, D. Batalnya Perjanjian, E. Pengertian Pembiayaan, F. Prinsip Dasar Kegiatan Perbankan Syariah.

Bab III Gambaran Umum Tentang Bank Sumut Syariah, A. Pembahasan tentang Bank Sumut Syariah (a). Pendirian Bank Sumut


(38)

Syariah, (b). Modal Awal Bank Sumut Syariah, (c). Struktur

Kepengurusan Bank Sumut Syariah, dan (d). Kedudukan Bank Sumut Syariah di Sumatra Utara, B. Produk-Produk di Bank Sumut Syariah, C. Geografis Sumatera Utara

Bab IV Analisis Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah, A. Ketentuan Umum dan Syarat Memperoleh Pembiayaan (Pembiayaan Murabahah, danPembiayaan Murabahah) B. Bentuk Perjanjian Pembiayaan pada Bank Sumut Syariah (Perjanjian

Pembiayaan Murabahah, dan Perjanjian Pembiayaan Mudharabah) C. Analisis Perjanjian Pembiayaan pada Bank SUMUT Syariah (Perjanjian

Murabahah, dan Perjanjian Mudharabah

BAB V merupakan penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran terhadap hasil penelitian.


(39)

PERJANJIAN PEMBIAYAAN

BANK SUMUT SYARIAH

(Studi Pada Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat)

OLEH:

ANDRA MULIA FATWA

NIM: 203046101672

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAH (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDATULLAH JAKARTA

1429 H/2008 M


(40)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS PERJANJIAN PEMBIAYAAN

A. Pengertian Perjanjian

1. Hukum Islam

Kata perikatan/perjanjian identik dengan kata akad (al-aqdu),

karena menurut bahasa, kata akad (al-aqdu) berarti perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Hal ini diperkuat dengan alasan bahwa seringnya Al qur'an memakai kata ini dalam arti perikatan dan perjanjian. Seperti dalam firman Allah Swt bahwa memerintahkan kepada umat menusia agar senantiasa menepati janjinya, di dalam surat al-Maidah ayat 1 .

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu;.. ". Dr. Abdul razak Ahmad al-Sanhuri mengatakan dalam

bukunya Nazhariyat al-Aqdi bahwa pengertian perjanjian lebih sempit dari sebuah kesepakatan. menurut beliau. "perjanjian adalah kesepakatan yang dilakukan oleh dua pihak di dalam sehih obyek kegiatan ".7

Dalam ensiklopedi Islam dikatakan, sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali hasan, bahwa akad adalah "pertalian ijab dan Kabul

7

Abdul Razak 'Ahmad al-Sanhuri. Nadzariyat al-Aqdi. (Beirut: Dar al-Fikr, t.th). h. 80


(41)

sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan

"8

Dalam Islam sebuah perjanjian sangat dihormati dan menepatinya, adalah merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena sikap tersebut menunjukkan sikap sosok pribadi muslim yang baik.

Ada pepatah arab, yang dinukil oleh Sayyid Sabiq, yang mengatakan bahwa "Barang siapa yang bergaul dengan masyarakat, maka janganlah menzaliminya, dan apabila berbicara janganlah

membohonginya, dan apabila berjanji janganlah mengkhianatinya, apabila itu semua telah dikerjakan maka sempurnalah wibawanya. dan nampaklah kredibilitamu dan dia layak dianggap sebagai saudara.9

Dan siapa pun yang melanggar sebuah perjanjian maka sesungguhnya dia telah melakukan perbuatan dosa besar, dan diancam dengan balasan yang pedih, Allah Swt berfirman dalam surat al-Shaff ayat 2-3:

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu

mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”.

Bahkan Rasulullah Saw bersabda yang artinya:

"Sesunggnhnya perjanjian yang baik merupakan sebagian daripada iman

"10

8

M. Ali Hasan, Berhagai Transuksi Dtilum /sltim. (Jakarta: FT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 101

9

Sayyid Sabiq, Fiqh at-Sunnah. (Beirut: Dar al-fikr. 1983) Cet ke-4. h. 99

10


(42)

Dan yang harus senantiasa diperhatikan adalah bahwa setiap perjanjian yang kita lakukan. akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah Swt. Sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Isra ayat 34:

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya”.

2. Hukum Positif

Secara harfiah ada yang mengatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan, balikan ada pula yang menyamakan dengan kontrak. Istilah

"Perjanjian" dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan dari istilah

''Overeenkomst" dari Bahasa Belanda. atau "Agreement" dalam Bahasa Inggris, yang berarti kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua belah pihak.

Dari segi Bahasa Indonesia perjanjian adalah persetujuan baik tertulis maupun lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang masing-masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.11

Melihat batasan tersebut maka perjanjian adalah sama dengan persetujuan , sementara kontrak sama pula dengan perjanjian tetapi lebih sempit sifatnya, karena kontrak hanya merupakan perjanjian yang tertulis saja.

11

Munir Fuady. Hukum Kontrak. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999). h. 2


(43)

Secara yuridis banyak batasan yang diberikan oleh berbagai ahli hukum. Menurut Prof. Subekti S.H; "Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal". Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang yang membuatnya tersebut.12

Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro S.H merumuskan suatu perjanjian sebagai suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal. sedang pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.13

Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata memberikan defenisi mengenai perjanjian sebagai berikut:

''Suatu 'perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih berjanji mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. "

Dari peristiwa ini. timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.

Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak

memberikan defenisi tentang perikatan. Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya menyebutkan mengenai sumber perikatan. dimana

12

Subekti. Hukum Perjanjian. (Jakarta: PT. Imermasa, 1987), Cet. ke-12 .h.l

13

Wirjono Prodjodikoro. Azas-azas Hukum l\'rjanjicin, (Bandung: Sumur Bandung. Cet. ke-8. h. 9


(44)

dikatakan bahwa: "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-undang".

Oleh karena itu kemudian menurut Prof. Subekti yang dimaksud dengan perikatan oleh buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata. adalah:" Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk

menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang

lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”.14

Jadi dalam suatu terdapat .hak disatu pihak lainnya wajib memenuhi prestasi yang dituntut. Perhubungan antara kedua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum. artinya hak si berpiutang dijamin oleh Hukum atau Undang-undang. Apabila kewajiban itu tidak di penuhi secara suka rela, si berpiutang dapat menututnya di depan hakim.

Adapun hubungan antara perjanjian dan perikatan adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Jadi karena ada suatu perjanjian maka kemudian lahirlah perikatan.

Sumber perikatan adalah perjanjian dan Undang-undang. tetapi sumber terpenting dari perikatan adalah perjanjian karena sebagian besar perikatan terbit karena adanya suatu perjanjian.

Perikatan yang dilahirkan dari Undang-undang itu timbul karena Undang-undang saja atau karena Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia (pasal 1352 Kitab Undang-undang Hukum Perdata).

14

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdaiu. (Jakarta: PT. Intermasa. 1984). Get. ke-12, h. 122


(45)

Menurut pasal 1353 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Perikatan yang dilahirkan dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia terbit dari perbuatan halal atau perbuatan melawan hukum.

Perikatan yang bersumber dari Undang-undang semata-mata adalah perikatan yang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu ditetapkan melahirkan suatu perikatan diantara pihak-pihak yang bersangkutan. terlepas dari kemauan pihak-pihak tersebut.

Perikatan yang bersumber dari Undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa dengan dilakukannya serangkaian tingkah laku seseorang maka Undang-undang meletakkan akibat hukum berupa perikatan terhadap orang tersebut. Tingkah laku seseorang tadi mungkin merupakan perbuatan yang diperbolehkan Undang-undang atau mungkin pula perbuatan melawan hukum.

Oleh karena itu berarti perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang pihak yang membuat suatu

perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari Undang-undang diadakan oleh Undang-undang diluar kemauan para pihak yang bersangkutan. Apabila dua orang yang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum.

Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.


(46)

1. Hukum Islam

Hukum Islam mengatur pula masalah azas-azas dari suatu perjanjian, yang mana azas-azas tersebut sangat berpengaruh pada status akad dari perjanjian yang dilaksanakan. Dimana ketika azas ini tidak terpenuhi maka akan berakibat pada batalnya atau tidak sahnya perikatan (perjanjian) yang dibuat. Azas-azas itu adalah sebagai berikut:

a. Al-Hurriyah (Kebebasan)

Dalam suatu perjanjian, pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian dari segi yang diperjanjikan atau menentukan persyaratan-persyaratan lain, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian bila terjadi sengketa. Kebebasan menentukan persyaratan dalam perjanjian ini dibenarkan selama tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Hal ini agar tidak terjadi

penganiayaan sesama manusia melalui akad dan syarat-syarat yang dibuatnya. Azas ini pula menghindari semua bentuk paksaan, penipuan dan tekanan dari pihak manapun. Adanya unsur paksaan dan

pemasungan kebebasan dalam akad perjanjian mengakibatkan tidak sahnya suatu akad. Landasan azas ini terdapat dalam:15

QS. al-Maidah/5:l

15

T.M. Hasbi Ashshiddiqi, et. al., AI-Qur'an dan Terjemahnya,

(Madinah-Saudi Arabia: Mujarnma al-Malik Fahd Li Thiba'at al-Mushhaf Asy syarif. 1990 M/1410 H), h. 64. 156


(47)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu [388] dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.

Q.S.al-Ahzab/33:72

Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.

b. Al-Musawah (Persamaan atau Kesetaraan)

Azaz ini memberikan arti bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian kedudukan yang sama antara satu dan yang lainnya. Sehingga, pada saat menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak didasarkan pada azaz al-musawah ini. Landasan azas ini terdapat dalam al-qur’an al-Hujarat/49: 13

Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui lagi Maha Mengenal”.16

c. Al-Adalah (keadilan)

16

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,


(48)

Keadilan salah satu sifat tuhan dan al-qur’an menekankan agar manusia menjadikannya sebagai ideal moral. Bahkan al-qur’an menempatkan keadilan lebih dekat kepada takwah, seperti diisyaratkan dalam Q.S al-Maidah/5:8-9

Artinya:“Hai orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.Allah Telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”.17

Pelaksanaan azas ini dalam akad, dimana para pihak yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi semua kewajibannya.

d. Al-Ridha (Kerelaan)

Azas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak. Jika dalam1 transaksi tidak terpenuhi azas ini, maka itu sama artinya dengan memakan sesuatu dengan cara yang bathil (al-akl bil bathil). Transaksi

17

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,


(49)

yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai sebuah bentuk usaha yang saling rela antara pelakunya jika didalamnya ada tekanan, paksaan. penipuan dan' mis-statement. Jadi. azas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam proses transaksi dari pihak manapun.

Dasar azas ini adalah QS. An-Nisaa'/4:29:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.18

e. Ash-Shidq (Kejujuran dan Kebenaran)

Kejujuran adalah suatu nilai etika yang mendasar dalam Islam, dan Islam adalah nama lain dari kebenaran. Islam dengan tegas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Allah berbicara benar dan memerintahkan semua Muslim untuk jujur dalam segala urusan dan perikatan, seperti diungkapkan dalam firman-Nya Q.S. al-Ahzab/33:70, yaitu:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar”.19

18

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,

Kamus Perbankan, 1999

19

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahan. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971. Bank Indonesia,


(50)

Nilai kebenaran ini memberikan pengaruh kepada pihak-pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan. Pada saat azas ini tidak dijalankan, maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Dimana pihak yang merasa dirugikan dapat menghentikan proses perjanjian tersebut.

f. Al-kitabah (Tertulis)

Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan akad sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah/2:282-283, yaitu:

⌧ ☺ ☺

⌧ ☺


(51)

☺ ☺

⌧ ☺

☺ ⌧

⌧ ⌦

⌧ ☺


(52)

☺ ☺ ⌦ ☺

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang

ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu

mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia

mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak

menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[180] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan


(53)

amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)

menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang

menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Ayat ini mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan bagi semua pihak yang melakukan akad, maka akad itu harus dilakukan dengan melakukan kitabah (penulisan perjanjian). Disamping itu, diperlukan juga adanya saksi-saksi (syahadah), rahn, (gadai, untuk kasus tertentu), dan prinsip tanggung jawab individu.

2. Hukum Positif

Dikatakan bahwa hukum benda mempunyai suatu sustem tertutup, sedangkaan hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Artinya macam-macam hak atas benda adala terbatas dan peraturan-peraturan yang menganai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan Hukum Perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak

melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian merupakan apa yang dinamakan Hukum Pelengkap ("optional law "), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal Hukum Perjanjian. Kalau mereka tidak mengatur sendiri


(54)

sesuatu soal, itu berarti mereka mengenai soal tersebut tunduk kepada Undang-undang. Memang tepat sekali nama hukum pelengkap itu dapat dikatakan. melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap.

Sistem terbuka, yang mengandung suatu azas kebebasan membuat perjanjian. dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1), yang berbunyi demikian:

"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi undang-undang

bagi mereka yang membuatnya".

Dengan menekankan pada perkataan semua maka pasal tersebut seolah-olah berikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita di perbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Atau dengan perkataan lain: Dalam sosal perjanjian. kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari Hukum Perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.

Misalnya, barang yang diperjual belikan, menurut Hukum Perjanjian harus diserahkan di tempat dimana barang itu berada sewaktu perjanjian jual beli ditutup. Tetapi para pihak, leluasa untuk


(55)

diantar ke rumah si pembeli dan lain-lain, dengan pengertian bahwa biaya-biaya pengantaran harus dipikul si penjual.

Selanjutnya. Sistem terbuka dari Hukum Perjanjian itu, juga mengandung suatu pengertian, bahwa perjanjian-perjanjian khusus yang diatur dalam undang-undang hanyalah merupakan perjanjian yang paling terkenal saja dalam masyarakat pada waktu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibentuk. Misalnya, Undang-undang hanya mengatur perjanjian-perjanjian jual-beli dan sewa menyewa, tetapi dalam praktek timbul suatu macam perjanjian yang dinamakan sewa beli, yang merupakan suatu campuran antara jual-beli dan sewa menyewa.

Dalam Hukum Perjanjian berlaku azas, yang dinamakan azas kosensualisme. Perkataan ini berasal dari perkataan latin consensus yang berarti sepakat. Azas Konsensualisme bukanlah berarti untuk suatu perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Ini sudah semestinya suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, berarti dua pihak sudah setuju atau bersepakat mengenai sesuatu hal.

Arti konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik

tercapainya kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah apabila sudah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dan tidaklah

diperlukan sesuatu formalitas, Azas konsensualisme tersebut lazimnya disimpulkan dari pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: a.


(56)

sepakat mereka yang mengikat dirinya; b. kecakapan untuk membuat

suatu perjanjian; c. suatu hal tertentu; d. suatu sebab yang halal".

Oleh karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan suatu formalitas tertentu di samping kesepakatan yang telah tercapai itu. maka disimpulkan bahwa setiap perjanjian itu sudahlah sah (dalam arti

"mengikat") apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu, Terhadap azas konsensualisme itu juga ada pengecualian disana sini oleh undang-undang ditetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian, atas ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak menuruti bentuk cara yang dimaksud, misalnya : Perjanjian penghibahan, jika mengenai benda tak bergerak harus dilakukan dengan akta notaris. Perjanjian perdamaian harus diadakan secara tertulis, dan lain-lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan suatu formalitas tertentu, dinamakan perjanjian formil.

C. Syarat dan Rukun Akad

Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat. Rukun akad adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad. Jika salah satu rukun tidak ada, menurut hukum Islamakad dipandang tidak pernah ada. Sedangkan syarat adalah suatu sifat yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi. Salah satu contoh syarat dalam akad jual beli adalah “kemampuan menyerahkan barang yang dijual”. Kemampuan


(57)

menyerahkan ini harus ada dalam setiap akad jual beli, namun ia tidak termasuk dalam pembentukan akad.

Berikut akan diuraikan mengenai unsur-unsur pembentuk perangkat akad (alat al-‘aqd) di mana perangkat-perangkat inilah yang nantinya menjadi unsur-unsur pembentuk akad.

Menurut mayoritas ulama, rukun akad terdiri atas: (1) Shighat

(pernyataan ijab dan qabul); (2) ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad), (3) Ma’qud ‘alaih (obyek akad), dan (4) Maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).

Berikut diuraikan rukun dan syarat akad menurut mayoritas ulama:

1. Shighat (pernyataan ijab dan qabul)

Shighatal-aqd adalah cara bagaimana penyertaan pengikatan diri itu dilakukan. Dalam literatur fiqih, sighat al-aqd

biasanya diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabuk, agar ijab dan qabul ini benar-benar mempunyai akibat hukum, para ulama fiqih

mensyaratkan tiga hal :

a. Tujuan yang terkadang dalam penertaan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki,

b. Antara ijab dan qabul harus ada kesesuain, dan

c. Pernyataan ijab qabul ini mengacu pada suatu kehendak masing-masing pihak secara pasti dan tidak ragu-ragu.

Satu majlis akad adalah kondisi bukan fisik dimana kedua belah pihak yang berakad terfokus perhatiannya untuk melakukan akad.


(58)

2. ‘Aqidan (dua pihak yang melakukan akad)

Pihak yang berakad haruslah orang-orang yang cakap, berkaitan dengan orang yang melakukan akad ini, para fuqaha’

membahasnya pada hal dua pokok. Pertama, ahliyatul ada’ yaiti orang yang layak dengan sendirinya dapat melakukan berbagai akad, yaiti mereka yang dewasa (baligh) dan berakal, (bukan dibawah

pengampuan) atau perwalian, maja secara otomatis orang tersebut layak mendapat ketetapan untuk menerima hak dan kewajiban serta tindakan sesuai dengan perjanjian yang dibuatnya yang dibenarkan oleh syara’. Kedua, wilayah atau perwalian. Perwalian dilakukan terhadap mereka yang dianggap tidak cakap hokum yaitu terhadapo orang yang belum dewasa atau mereka yang dibawah pengampuan.

Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal1330, maka yang dianggap dewasa dan karenanya oleh hukum dianggap cakap membuat perjanjian, jika :

a. Sudah genap berusia 21 tahun

b. Sudah kawin meskipun belum genap berusia 21 tahun

c. Sudah kawin meskipun bercerai meskipun belum genap berusia 21 tahun.

Akan tetapi ketentuan diatas sudah tidak berlaku lagi karena keluarnya Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 yang dituangakan dalam pasal 47 ayat (1), yaitu : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah


(59)

melangsungkan perkawinan ada dibawah kejelasan orang tuanya

selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya”

Maka orang yang dianggap dewasa adalah orang yang sudah berumur 18 tahun ke atas atau sudah pernah menikah. Umur dewasa 18 tahun ini juga sudah dikuatkan oleh Mahkamah Agung, antara lain dalam putusannya No. 477 K/Sip/1976, tanggal 13 oktober 1976”

Sedangkan tentang orang dibawah pengampuan diatur dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 433, orang dibawah pengampuan tersebut adalah :

1). Orang yang dungu (onnoozelheid) 2). Orang gila ( tidak waras pikiran) 3). Orang yang mata gelap (rezernij)

4). Orang yang boros

Mereka tetap dibawah pengampuan sungguh pun kadang-kadang mereka dapat bertindak seperti orang yang cakap berbuat.

3. Ma’qud ‘alaih (obyek akad),

Sesuatu yang menjadi obyek akad harus memenuh 4 (empat) syarat:

a. Ia harus sudah ada secara konkret ketika akad dilangsungkan; atau diperkirakan akan ada pada masa akan datang dalam akad-akad tertentu seperti dalam akad salam,ishtishna’, ijarah dan mudarabah.


(60)

b. Ia harus merupakan sesuatu yang menurut hukum Islam sah dijadikan obyek akad, yaitu harta yang dimiliki serta halal dimanfaatkan (mutaqawwam).

c. Ia harus dapat diserahkan ketika terjadi akad, namun tidak berarti harus dapat diserahkan seketika.

d. Ia harus jelas (dapat ditentukan, mu’ayyan) dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ketidakjelasan obyek akad selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai obyek akad mudah menimbulkan persengketaan di kemudian hari, dan ini harus dihindarkan.

Mengenai penentuan kejelasan suatu obyek akad ini, adat kebiasaan

(‘urf) mempunyai peranan penting.

Dari syarat pertama ulama mengecualikan empat macam akad :

salam, istishna, ijarah dan musaqah. Artinya, empat macam aqad ini tetap dinyatakan sah walaupun objek akad belum ada ketika terjadi.

Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat, `aqid dan ma`qud`alih, telah dikemukakan. Syarat penting lainnya adalah bahwa akad yang dilakukan bukan akad yang dilarang oleh hukum dan bahwa akad tersebut harus menimbulkan manfaat. 4. Maudhu’ al-‘aqd (tujuan akad).

Maudhu` al`aqd atau tujuan akad merupakan salah satu bagian yang penting yang mesti ada pada setiap akad. Yang dimaksud


(61)

dengan maudhu`al`aqd adalah tujuan utama untuk apa akad itu

dilakukan. Menurut hukum islam, yang menentukan tujuan hukum akad adalah al-musyarri` (yang menetapkan syariat yaitu Allah). Dengan kata lain, akibat hukum suatu akad hanya diketahui melalui syara`

(hukum Islam) adalah tidak sah dan karena itu tidak menimbulkan akibat hukum. Tegasnya dalam hukum islam, jual beli atas barang yang diharamkan tersebut tidak menyebabkan perpindahan kepemilkan barang kepada pembeli dan kepemilikan harga barang kepada penjual. Tujuan dalam setiap akad-akad berbeda-beda karena berbeda jenis atau bentuk akadnya. Dalam akad jual beli, misalnya, akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan benda dengan imbalan; dalam akad hibah, akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan benda tanpa imbalan; dalam akad sewa menyewa (ijarah), akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan manfaat suatu benda atau jasa orang dengan imbalan; dalam akad peminjaman (ijarah), akibat hukumnya adalah pemindahan pemilikan manfaat suatu benda tanpa imbalan; demikian seterusnya. Tujuan akad itu tercapai segera setelah akad dilakukan apabila syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi.

Tujuan akad sebagaimana dikemukakan di atas selain disebut dengan istilah maudhu’al-‘aqd-disebut juga dengan “akibat hukum khusus akad” (al-hukm al-ashliy li-al-aqd atau atsar ‘aqd al-khash, disingkat al-atsar al-khash). Di samping itu, menurut hukum Islam, terdapat pula “akibat hukum umum akad” (atsar ‘aqd


(62)

al-‘amm, disingkat al-atsar al-‘amm) pada setiap jenis dan bentuk akad. Artinya, pada setiap akad yang sah terdapat akibat hukum yang bersifat umum dan sama, walaupun bentuk atau jenis akadnya berbeda-beda. Akibat hukum umum tersebut adalah nafadz dan ilzam wa luzum.

Nafadz adalah berlakunya akibat hukum khusus akad dan semua perikatan (iltizamat) yang ditimbulkannya begitu akad selesai dilakukan. Nafadz dalam akad jaul beli, misalnya, adalah berpindahnya kepemilikan barang yang di jual (kepada pembeli) dan pembayaran harganya (kepada penjual) begitu akad selesai dilakukan, serta timbulnya kewajiban melaksanakan perikatan atas para pihak, yaitu menyerahkan barang yang di jual dan menerima pembayaran (bagi penjual) serta menerima barang dan menyerahkan pembayaran harga barang (bagi pembeli).

Lawan atau kebalikan nafadz adalah tawaqquf

(bergantung). Akad yang nafadz disebut akad yang nafidz dan akad yang tidak nafadz disebut akad mauquf.

Ilzam dalam pengertian umum adalah mewajibkan pelaksanaan (pemenuhan) perikatan yang lahir dari akad; sedangkan menurut pengertian Fiqh (hukum Islam) adalah menimbulkan perikatan tertentu secara timbal balik atas pihak-pihak yang berakad dalam akad yang bersifat mengikat satu pihak seperti wadi’ah (penitipan).

Sedangkan, yang dimaksud dengan luzum (mengikat) adalah ketidakbolehan “membatalkan” (fasakh) akad kecuali atas


(1)

Pasal 9

PENGAWASAN DAN PEMERIKSAAN

Pihak Kedua memberi izin kepada Pihak Pertama atau petugas yang ditunjuknya, guna melaksanakan pengawasan/pemeriksaan terhadap barang maupun barang agunan, serta pembukaan dan Catatan pada setiap saat selama berlangsungnya Akad ini, dan kepada pelngas Pihak Pertama tersebut diberi hak untuk mengambil gambar (foto), membuat fotokopi dan atau catatan-catatan yang dianggap perlu,

Pasal 10

CIDERA JANJI/WAN PRESTASI

1. Jika nasabah menolak membeli barang setelah membayar urbun, maka biaya riil Bank harus dibayar dan urbun tersebut dan Bank harus mengembalikan kelebihan urbun kepada Nasabah. Namun jika nilai urbun kurang dan nilai kerugian yang harus ditanggung Bank, maka Bank dapat meminta lagi pembayaran sisa kerugian kepada Nasabah.

2. Jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah dibayar Nasabah menjadi milik Bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung Bank akibat pembatalan tersebut dan jika urbun tidak mencukupi Nasabah wajib melunasi kekurangannya.

3. Dalam hal Pihak Kedua cidera janji tidak melakukan pembayaran/melunasi hutangnya kepada Pihak Pertama, sehingga Pihak Pertama perlu menggunakan jasa Penasihat Hukum/Kuasa untuk menagihnya, maka pihak Kedua berjanji dan dengan ini mengikatkan diri untuk membayar seluruh biaya jasa Penasehat Hukum, jasa penagihan dan jasa-jasa lainnya sepanjang hal itu dapat dibuktikan secara sah menurut hukum.

4. Menyimpang dan ketentuan dalam Pasal 3 Akad ini, Pihak Pertama berhak untuk menagih pembayaran dari Pihak Kedua atau siapapun juga yang memperoleh hak darinya, atas sebagian atau seluruh jumlah hutang Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, untuk dibayar dengan seketika dan


(2)

sekaligus, tanpa diperlukan adanya siusal pemberitahuan, surat tegui'an, atau s\irat lainnya, apabila terjadi salah satu hal atau peristiwa tersebut di bawah ini:

a. Pihak Kedua tidak melaksanakan kewajiban pembayaran/pelunasan atas kewajiban kepada Pihak Pertama sesuai yang ditetapkan dalam Akad ini.

b. Dokumen atau keterangan yang dimasukan/disuluruhmasukkan ke dalam dokumen yang diserahkan Pihak Kedua kepada Pihak Pertama sebagaimana tersebut dalam Pasal 11 palsu, tidak sah, atau tidak benar;

c. Pihak Kedua tidak memenuhi dan atau melanggar salah satu ketentuan Akad ini;

d. Pihak Kedua ditaruh di bawah pengampuan, dalam keadaan insolvensi, dinyatakan pailit, atau dilikuidasi;

Pasal 11

PENGAKUAN DAN PEMBEBASAN PIHAK PERTAMA DARI TUNTUTAN/GUGATAN

PIHAK KE T1GA

Pihak Kedua dengan ini menyatakan mengakui dengan sebenarnya bahwa :

1. Pihak Kedua berhak dan berwenang sepenuhnya untuk menandatangani Akad ini dari semua surat dokumen yang menjadi kelengkapannya serta berhak pula untuk menjalankan usaha tersebut dalam Akad ini.

2. Pihak Kedua menjamin, bahwa segala surat dan dokumen serta akta yang ditandatangani oleh Pihak Kedua dan yang berkeberatan dengan Akad ini adalah benar, keberadaannya sah, tindakan Pihak Kedua tidak melanggar atau bertentangan dengan Anggaran Dasar perusahaan.

3. Dalam hal belum dicukupinya barang agunan untuk melunasi hutang Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, Pihak: Kedua secepatnya melunasi seluruh kewajibannya selama hutangnya belum lunas dan selanjutnya akan


(3)

menyerahkan agunan-agunan tambahan yang dinilai cukup oleh Pihak Pertama.

4. Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Pihak Kedua mendahulukan untuk membayar dan melunasi kewajibannya kepada Pihak Pertama dari kewajiban lainnya.

5. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat 1 dan 2 pasal ini, Pihak Kedua berjanji membebaskan Pihak Pertama dari segala tuntutan atau gugatan yang datan dari pihak manapun dan atau atas alasan apapun.

Pasal 12

PEMBATASAN TERHADAP TINDAKAN PIHAK KEDUA

Pihak Kedua berjanji bahwa selama masa berimigsungnya Akad ini, kecuali setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama, Pihak Kedua tidak akan melakukan sebahagian atau seluiruh perbuatan-perbuatan sebagai berikut.:

1. Melakukan akiusisi. merger, restrukturisasi dan atau konsolidasi perusahaan Pihak Kedua dengan perusahaan atau orang lain ;

2. Menjual, baik sebagian atau seluruh asset perusahaan Pihak Kedua yang nyata-nyata akan mempengaruhi kemampuan atau cana membayar atau melunasi hutang-hutang atau sisa hutang Pihak Kedua kepada Pihak Pertama, kecuali menjual barang dagangan yang menjadi kegiatan usaha Pihak Kedua;

3. Membua hutang kepada pihak ketiga (pihak lain);

4. Mengubah Anggaran Dasar, susunan pemegang saham, Komisaris dan atau Direksi perusahaan Pihak Kedua.;

5. Melakukan investasi baru, baik yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan tujuan perusahaan Pihak Kedua;

6. Memudahkan kedudukan/lokasi barang jaminan dari kedudukan/lokasi barang itu semua atau sepatutnya berada, dari atau mengalihkan hak atas barang atau barang jaminan yang bersangkutan kepada pihak lain;

Pasal 13 RISIKO


(4)

Pihak Kedua atas beban dan tanggung jawabuya, berkewajiban melakukan pemelaksaan, dan karenanya bertanggung jawab baik. terhadap keadaan fisik barang maupun sahnya bukti-bukti, surat-surat dan atau dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kepemilikan atau hak-hak lainnya atas barang dan barang-barang yang dijaminkan, sehingga karena itu Pihak Kedua berjanji dan dengan ini membebaskan Pihak Pertama dari segala tuntutan atau gugatan yang datang dari pihak manapun dan atau berdasar alasan apapun.

Pasal 14

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

1. Dalam hal terjadi perbedaan pendapat atau penafsiran hal-hal yang tercantum di dalam akad ini atau terjadi perselisihan atau sengketa dalam pelaksanaannya, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah untuk mufakat

2. Apabila musyawarah untuk mufakat telah diupayakan namun perbedaan pendapat atau penafsiran, perselisihan atau sengketa tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak, maka kedua belah pihak bersepakat, dan dengan ini berjanji serta mengikatkan diri satu terhadap yang lain, untuk menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase syariah Nasional (BASYARNAS) menurut prosedur beracara yang berlaku di dalam Badan Arbitrage tersebut.

3. Kedua belah pihak sepakat, dan dengan ini mengikatkan diri satu terhadap-yang lain, bahwa pendapat hukum (legal opinion) dan atau putusan terhadap-yang ditetapkan oleh BASYARNAS tersebut bersifat final dan mengikat (final and binding).

Pasal 15


(5)

1. Alamat kedua belah pihak sebagaimana yang tercantum pada kalimat-kalimat awal Akad ini merupakan alamat tetap dan tidak berubah bagi masing-masing pihak yang bersangkutan, dan ke alamat-alamat itu pula secara sah segala surat-menyurat atau komunikasi diantara kedua belah pihak akan dilakukan.

2. Apabila dalam pelaksanaan Akad ini terjadi perubahan alamat, maka pihak yang berubah alamatnya tersebut wajib memberitahukan kepada pihak lainnya alamat barunya dengan surat tercatat atau surat tertulis yang disertai tanda bukti penerimaan dari pihak lainnya.

3. Selama tidak ada pemberitahuan tentang perubahan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat 2 pasal ini, maka surat-menyurat atan komunikasi yang dilakukan ke alamat yang tercantum pada awal Akad ini dianggap sah menurut hukum.

Pasal 16 PENUTUP

1. Sebelum Akad ini ditandatangani oleh Pihak Kedua, Pihak Kedua mengakui dengan sebenarnya, bahwa Pihak Kedua lelah membaca dengan cermat atau dibacakan kepadanya seluruh isi Akad ini berikut semua surat dan atau dokumen yang menjadi lampiran Akad ini, sehingga oleh karena itu Pihak Kedua menjamin sepenuhnya segala yang akan menjadi akibat setelah Pihak Kedua menandatangani Akad ini.

2. Hal-hal yang belum diatur dalam Akad ini akan diatur lebih lanjut secara musyawarah mufakat di antata para pihak dan dituangkan dalam suatu Addedum.

3. Seluruh surat-menyurat, nota, lampiran dan addendum pada akad ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan mempunyai kekuatan hukum yang sama serta mengikat seperti halnya pasal-pasal lain dalam Akad ini.


(6)

4. Para pihak sepakat bahwa untuk Akad ini dan segala akibatnya memberlakukan syariah Islam dan peraturan perundangan-undangan lain yang tidak bertentangan dengan syariah.

Demikioanlah, Akad ini dibuat dan ditandatangani di ...(nama kota).. ... oleh kedua belah pihak

dalam rangkap dua dan dibubuhi materai yang cukup, keduanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang masing-masing disimpan oleh para pimilik.

...

PIHAK KEDUA, PIHAK PERTAMA,