Latar Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk

muncul karena sesuai dengan judul novel tersebut yakni, Ronggeng Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut: “Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak- bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.” 43 Dukuh Paruk dalam novel ini digambarkan sebagai tempat kelahiran Srintil, di mana kepercayaan akan Ki Secamenggala hidup di dalamnya, mitos-mitos serta serapah cabul menjadi hal yang biasa bagi orang Dukuh Paruk. Dalam kutipan tersebut menunjukkan Dukuh Paruk yang kala itu sedang kemarau panjang yang menyebabkan orang Dukuh Paruk sulit untuk menemukan air sehingga sawah kering dan mereka hanya bisa memakan singkong sebagai makanan utamanya. Di Dukuh Paruk, Srintil pertama kali menjadi ronggeng ketika kakeknya melihat dia sedang menari di bawah pohon nangka dengan diiringi suara calung buatan yang dibuat oleh Rasus dan teman-temannya. Selain Dukuh Paruk, latar tempat yang digunakan dalam novel ini adalah pasar Dawuan. Dawuan adalah salah satu kecamatan di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Pasar Dawuan adalah daerah luar Dukuh Paruk, adat dan kebiasaanya amat berbeda dengan Dukuh Paruk. Di pasar Dawuan tempat Rasus untuk menetap sementara setelah dia kabur dari Dukuh Paruk, dan di sana pula tempat bertemu kembali dengan Srintil setelah Srintil resmi menjadi ronggeng. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan Nyai Kartareja. Sebelum ronggeng 43 Ibid., h. 9. itu mendekat aku telah tahu kehadirannya dari celoteh orang-orang di pasar itu.” 44 Selanjutnya, selain di pasar Dawuan latar tempat dalam novel ini juga terjadi di Alaswangkal yaitu, tempat ketika Srintil seorang ronggeng yang kala itu diminta untuk menjadi gowok bagi Waras, anak laki-laki Sentika. Seperti pada kutipan berikut: “Babak demi babak terus berlanjut. Alaswangkal yang biasa sepi tersembunyi di belakang hutan jati dan ladang singkong jadi semarak oleh irama calung. Dan sorak-sorai warganya yang malam itu berkumpul di halaman rumah Sentika, menonton Srintil berjoget….” 45 Kutipan di atas menunjukkan latar tempat dalam novel ketika Srintil diminta untuk meronggeng dan menjadi gowok yaitu, di Alaswangkal. Selanjutnya, selain di Alaswangkal, latar tempat lain yang digunakan dalam novel ini adalah Eling-eling. Eling-eling adalah tempat Srintil selama kurang lebih dua tahun ditahan di tahanan karena diduga terlibat dalam PKI, seperti pada kutipan di bawah ini: “Tengah malam Februari 1966 di sebuah kota kecil di sudut tenggara Jawa Tengah. Kegelapan yang mencekam berlangsung setengah tahun lamanya. Tak ada orang keluar setelah matahari terbenam kecuali para petugas keamanan: tentara, polisi, dan para militer….” “…. Di sana ada sebuah bangunan besar, tinggi, dan beratap seng. Dahulu bangunan itu adalah bagian dari sebuah kompleks pabrik minyak kelapa. Sekarang bangunan itu berisi ratusan atau ribuan tahanan yang berasal dari seluruh pelosok Kabupaten Eling- eling.” 46 Dengan demikian, latar tempat yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Dukuh Paruk sebagai tempat yang paling banyak digunakan di dalam novel. Dukuh Paruk yang merupakan sebuah desa terpencil, miskin, melarat yang berada di dekat Kecamatan Dawuan, 44 Ibid., h. 81. 45 Ibid., h. 217. 46 Ibid., h. 247 266. Banyumas, Jawa Tengah. Warganya banyak yang tidak sekolah sehingga kemiskinan dan kebodohan sangat kental kaitannya dengan Dukuh Paruk. Selain Dukuh Paruk, latar yang digunakan adalah pasar Dawuan yang menjadi tempat pembeda dari Dukuh Paruk. Norma dan nilai moral yang terdapat di pasar Dawuan amat berbeda dengan Dukuh Paruk. Pasar Dawuan merupakan salah satu pasar yang terdapat di Kecamatan Dawuan, Banyumas, Jawa Tengah, Pasar Dawuan menjadi tempat pelarian Rasus sebelum akhirnya Rasus diangkat menjadi tentara. c. Latar Sosial Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir masyarakat, dan juga status sosial tokohnya. Seperti dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, masyarakatnya memiliki kebiasaan hidup dan adat istiadat yang amat keras, sumpah serapah menjadi hal yang biasa di Dukuh Paruk, kata-kata cabul juga menjadi hal yang biasa untuk diucapkan, sumpah serapah itu bukan suatu hal yang tabu untuk diucapkan bagi orang Dukuh Paruk, hal ini karena, kebodohan dan kemiskinan masih lekat dengan Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut: “Tak seorang pun menyalahkan pikiran Sakarya. Dukuh Paruk hanya lengkap bila di sana ada keramat Ki Secamenggala, ada seloroh cabul, ada sumpah serapah, dan ada ronggeng bersama perangkat calungnya.” 47 Kutipan di atas menjelaskan tentang masyarakat sosial Dukuh Paruk yang belum terjamah oleh dunia luar, sehingga kepercayaan akan mitos-mitos dan keramat Ki Secamenggala sangat lekat di dalamnya. Kebiasaan masyarakatnya yang tidak mau ambil pusing ini juga ditunjukkan ketika ada seorang suami misalnya, tidak perlu ribut bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur dengan laki-laki tetangga, 47 Ibid., h. 15. suami tersebut telah tahu apa yang harus diperbuatnya yaitu melakukan hal yang sama kepada istri tetangganya, seperti pada kutipan di bawah ini: “…. Di sana, seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri tetangga dan menidurinya. Habis segala urusan Tanah airku yang kecil itu hanya mengajarkan pengertian moral tanpa tetek-bengek. Buktinya, siapa anak siapa tidak pernah menjadi nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya tidak perna h menimbulkan urusan….” 48 Status sosial di Dukuh Paruk juga amat terlihat, seperti keberterimaan mereka dengan adanya seorang ronggeng. Seorang ronggeng akan dianggap sebagai seorang yang amat disegani dan disukai baik oleh laki-laki maupun perempuan. Meski dengan konotasi yang negatif sekali pun, seorang ronggeng akan tetap dipuja oleh masyarakat tersebut, karena tanpa ronggeng dan calungnya Dukuh Paruk akan sepi dan tidak akan dinilai apa-apa. Seperti pada kutipan berikut: “Aku bersembunyi di balik onggokan singkong dan karung- karung. Semua pedagang di pasar memperlakukan Srintil sebagai orang istimewa. Penjual pakaian menawarkan baju merah saga dengan harga luar biasa tinggi. Kalau tidak dicegah oleh pengiringnya, Nyai Kartareja, Srintil akan membayarnya. Tanpa menawar. Penjual benda manik-manik mengangkat dagangannya. Sebuah cermin ditawarkannya kepada Srintil. Kali ini Nyai Kartareja tidak menghalangi ronggeng itu membeli kaca itu bersama beberapa bungkus pupur dan minyak wangi.” 49 Kutipan di atas menunjukkan status sosial Srintil menjadi tinggi ketika dia telah menjadi seorang ronggeng. Semua orang memperlakukan Srintil dengan istimewa dan semua orang selalu ingin memanjakan ronggeng itu. Dengan demikian, kebodohan, kemiskinan, dan kebiasaan hidup dan adat istiadat yang amat keras, sumpah serapah yang menjadi hal biasa 48 Ibid., h. 85. 49 Ibid., h. 82. di Dukuh Paruk yang menjadi latar sosial dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk. Kepercayaan akan mitos-mitos dan keramat Ki Secamenggala juga menjadi bagian dari latar sosial dalam novel tersebut. Kepercayaan dan keramat Ki Secamenggala menyebabkan warga Dukuh Paruk percaya bahwa seorang ronggeng akan memberikan keberkahan bagi Dukuh Paruk. Ronggeng dianggap sebagai titisan dari arwah Ki Secamenggala sehingga ronggeng di Dukuh Paruk memiliki kedudukan yang tinggi. Ronggeng merupakan gairah dari kehidupan di Dukuh Paruk. Dukuh Paruk akan sepi apabila tidak terdapat ronggeng di pedukuhannya.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dengan gayanya sendiri. 50 Dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu. Dalam penggunaan sudut pandang persona ketiga, pengarang yang menjadi narator dan menggunakan fokalisasi tokoh utama. Fokalisasi menunjukkan hubungan antara unsur- unsur cerita dengan visi yang meliputi unsur-unssur tersebut. 51 Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, sudut pandang yang digunakan persona ketiga “dia” mahatahu dengan fokalisasi intern yang berpangkal pada seorang tokoh utama dalam cerita, yakni Rasus. Fokalisasi ini digunakan untuk menjelaskan sebuah cerita dan penokohan tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel. Untuk mengamati Srintil sebagai objek utama yang difokalisasikan oleh Rasus. C erita dikisahkan dengan sudut pandang “dia” mahatahu pada bagian awal novel pertama Ronggeng Dukuh Paruk, namun kemudian pengarang menggunakan fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama “aku” dan kembali lagi ke “dia” mahatahu. 50 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakata: PT Grasindo, 2008, h. 151. 51 Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu, 2004, h. 332. Penggunaan sudut pandang persona ketiga “dia” mahatahu dan fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Pada bagian pertama pengarang mahatahu. Srintil adalah tokoh yang disoroti oleh “dia”, seperti pada kutipan berikut: “Duduk bersimpuh di tanah sambil meneruskan pekerjaannya. Srintil berdendang. Siapa pun di Dukuh Paruk, hanya mengenal dua irama. Orang-orang tua bertembang kidung, dan anak-anak menyanyikan lagu-lagu ronggeng. Dengan suara kekanak-kanakannya. Srintil mendendang lagu kebanggaan para ronggeng: Senggot timbane rante, tiwas ngegot ning ora suwe. ” 52 Mulai bagian kedua, fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama digunakan, tokoh yang di bagian pertama muncul sebagai salah seorang kawan mainan Srintil. Tokoh “aku” yang bercerita, selain menceritakan tentang Srintil yang akan menjadi penari, “aku” juga menceritakan tentang permasalahannya, gambaran tentang emaknya yang meninggal akibat tempe bongkrek akhirnya memiliki sangkut-paut dengan Srintil. Ronggeng cilik itu mengingatkan Rasus pada emaknya. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Ah, sebaiknya kukhayalkan Emak sudah mati. Ketika hidup dia secantik Srintil. Bila sedang ttidur, tampillah Emak sebagai citra perempuan sejati. Ayu, teduh, dan menjadi sumber segala kesalehan, seperti Srintil yang saat itu masih lelap memeluk keris yang kuletakkan di sampingnya.” 53 Lalu, pada bagian novel kedua Lintang Kemukus Dini Hari, penggunaan sudut pandang berganti menjadi sudut pandang persona “dia” mahatahu. Teknik ini digunakan karena tokoh “aku” sebagai fokalisasi intern tokoh utama meninggalkan Srintil, maka sudut pandang yang diguanakan adalah teknik “dia”. Teknik ini digunakan agar pengarang lebih leluasa untuk mengisahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam novel Lintang Kemukus Dini Hari, seperti pada kutipan berikut: 52 Tohari, Op. Cit, h. 11. 53 Ibid., h. 42. “Tentu saja hanya Srintil yang bisa merasakan dirinya sedang ditarik keluar dari keakuannya. Ada yang menelanjanginya, entah siapa dia, sehingga Srintil sedikit demi sedikit mengenal dirinya dari sisi lain. Bukan sebagai perempuan milik bersama sebuah tatapan, melainkan seorang perempuan dalam arti yang paling bersahaja….” 54 Di akhir cerita pada novel ketiga Jantera Bianglala, penggunaan fokaliasasi intern Rasus sebagai tokoh utama digunakan kembali. Seperti pada kutipan berikut: “Ketika masih kecil aku sering keluar Dukuh Paruk malam hari bersama teman-teman untuk melihat pagelaran wayang kulit. Wayang kulit itu. Dunia kecil berbumi batang pisang, bermatahari lampu blencong, telah berjasa meletakkan dasar-dasar wawasan pada diriku tentang kehidupan ini. Para dalang telah menanamkan pada diriku yang masih anak-anak nilai-nilai dasar yang waktu itu kuyakini sebagai kebenaran sejati….” 55 Sudut pandang persona ketiga “dia” mahatahu dengan fokalisasi intern Rasus sebagai tokoh utama sengaja digunakan untuk menegaskan narator dan bagaimana narator menceritakan dan memandang cerita tersebut untuk memberikan gambaran terhadap tokoh Srintil, Rasus dan tokoh-tokoh lain di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah majas sarkasme. Majas ini paling dominan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sarkasme adalah majas sindiran yang paling kasar. Majas ini biasanya dikatakan oleh orang yang sedang marah. Sarkasme adalah penggunaan kata-kata yang pedas untuk menyakiti orang lain, yang berupa ejekan, cemoohan. Majas sarkasme dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk menjadi hal yang sangat biasa untuk diucapkan. Umpatan dan makian kepada orang lain menjadi hal yang biasa dikatakan. Tetapi, apabila kata-kata tersebut diucapkan di luar Dukuh Paruk dapat menyinggung orang 54 Ibid., h. 114. 55 Ibid., h. 387. lain karena kata-kata tersebut merupakan umpatan yang sangat kasar. Kata- kata tersebut di antaranya, asu buntung, bajul buntung, bangsat, dan asu. Seperti pada kutipan berikut: “Santayib. Engkau anjing Asu buntung. Lihat, bokor ini biru karena beracun. Asu buntung. Engkau telah membunuh semua orang. Engkau… engkau aaasssu….” 56 Kutipan di atas merupakan majas sarkasme yang digunakan oleh para tokoh di dalam novel untuk mengumpat, memaki, dan menghina orang lain. Tetapi, karena kemeralatan, kebodohan, dan rendahnya nilai moral warga Dukuh Paruk maka kata-kata tersebut menjadi hal yang biasa untuk diucapkan. Penggunaan majas sarkasme menunjukan bahwa Dukuh Paruk yang merupakan desa terpencil di tenggara Jawa Tengah yang masih tertinggal, sehingga mereka memiliki budaya, adat, dan moral tersendiri dalam bermasyarakat di pedukuhan tersebut. Hal ini tentu berkaitan dengan kemelaratan, kebodohan, dan kemiskinan yang terjadi di Dukuh Paruk, sehingga umpatan dan makian kasar menjadi hal yang biasa diucapkan oleh warga Dukuh Paruk. Majas sarkasme digunakan untuk mengekspresikan bahwa Dukuh Paruk dengan kebodohan dan kemiskinannya meneyebabkan umpatan dan makian kasar menjadi hal yang biasa. Terlebih pengarang seakan menertawakan kebodohan, kemisikinan Dukuh Paruk. Pengarang seakan- akan tengah mengejek atau menyindir kebodohan dan kemiskinan warga Dukuh Paruk. Seperti dalam kutipan di bawah ini: “Entah sampai kapan pemukiman sempit dan terpencil itu bernama Dukuh Paruk. Kemeralatannya, keterbelakangannya, penghuninya yang kurus dan sakit, serta sumpah serapah cabul yang menjadi bagiannya yang sah. Keramat Ki Secamenggala pada puncak bukit kecil di tengah Dukuh Paruk seakan menjadi pengawal abadi atas segala kekurangan di sana. Dukuh Paruk yang dikelilingi amparan sawah berbatas kaki langit, tak seorang pun penduduknya memiliki lumbung padi meski yang paling kecil 56 Ibid., h. 26.

Dokumen yang terkait

Konflik batin tokoh utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari serta implikasinya terhadap pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di MTS Al-Mansuriyah, Kec Pinang, Kota Tangerang

4 44 99

Ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

9 242 140

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

0 32 311

TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)

0 6 16

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

3 14 178

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastr

0 2 12

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 14

KONFLIK BATIN TOKOH SRINTIL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA.

0 2 21

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari).

2 7 121

View of DIKSI SEKSUALITAS DALAM NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

0 0 10