AlurPlot Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk
mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan.”
27
b. Tahap Pemunculan Konflik
Tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances,
masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Dalam novel ini, tahap pemunculan konflik
dimulai ketika proses Srintil menjadi ronggeng hingga menjadi ronggeng. Tahap ini, Srintil mulai melalui tahapan menjadi ronggeng yaitu dimulai
dengan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan sayembara bukak-klambu. Kedua tahapan yang harus dilalui Srintil sebagai seorang
ronggeng membuat Rasus kecewa karena Srintil nantinya akan menjadi milik umum dan tidak bisa dimiliki oleh Rasus yang saat itu belum
menjadi apa-apa. Seperti pada kutipan berikut: “Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan
melangkah makin mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba
dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi
ronggeng itu penuh berahi…. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa
tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan Kartareja terus menciumi Srintil
tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya.”
28
Kutipan tersebut menggambarkan adanya pemunculan konflik ketika Srintil melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala
dan Srintil harus menari dengan Kartareja yang saat itu sedang kerasukan arwah Ki Secamenggala. Melihat itu Rasus merasa amat kecewa dan benci
melihatnya karena seorang diperlakukan seperti itu di muka umum. Tetapi Rasus yang saat itu masih remaja tidak bisa berbuat apa-apa.
Hingga akhirnya, ketika Srintil sudah menjadi penari ronggeng terkenal, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk karena sampai kapan
27
Ibid., h. 2131.
28
Ibid., h. 48.
pun juga Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat ini sudah menjadi milik umum. Seperti pada kutipan berikut:
“….Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil
bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukak-
klambu itu Srintil diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah tidak akan
memaafkannya.
Jadi ketika Dukuh Paruk bergembira ria dengan suara calung dan joget Srintil yang telah resmi menjadi ronggeng aku
malah mulai membencinya. Pengikat yang membuatku mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali….”
29
Kutipan di atas menggambarkan sebab pemunculan konflik yaitu, ketika Srintil telah resmi menjadi ronggeng dan Rasus merasa kecewa
terhadap Dukuh Paruk karena dengan resminya Srintil menjadi ronggeng, berarti Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat itu telah menjadi milik
umum. c.
Tahap Peningkatan Konflik Tahap peningkatan konflik atau tahap
rising action, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk
tahap peningkatan konflik terjadi setelah Rasus pergi meninggalkan Srintil. Padahal saat itu Srintil ingin dinikahi oleh Rasus, namun Srintil
patah hati karena Rasus tetap pergi meninggalkannya. Hal ini yang menyebabkan hubungan Srintil dengan dukun ronggengnya merenggang
karena Srintil terus-terusan menolak tawaran untuk menari, seperti pada kutipan berikut:
“Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila
29
Ibid., h. 80.
Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas. Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangkan.”
30
Kutipan di atas, terjadi peningkatan konflik ketika Srintil enggan naik pentas. Hal ini membuat orang Dukuh Paruk kecewa, sehingga Nyai
Kartareja melakukan segala cara untuk mengubur perasaan Srintil kepada Rasus agar bisa naik pentas kembali. Tetapi, hal itu gagal dan justru malah
membuat Srintil malas menari dan pergi plesiran bersama Pak Marsusi. Akibat perlakuan Srintil yang menolak pentas dan menolak ajakan Pak
Marsusi membuat Nyai Kartareja marah karena Srintil telah menolak sebuah kalung emas dengan bandul berlian. Seperti pada kutipan berikut:
“Oalah, toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan
kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut
kamu
“Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram? Merasa sudah kaya? Bila kamu tidak suka kalung itu,
mestinya bisa kau ambil untukku. Dan kau layani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal.”
31
Kutipan di atas menunjukkan peningkatan konflik, karena Nyai Kartareja sangat marah akibat perlakuan Srintil terhadap Pak Marsusi.
Semenjak kejadian itu, Srintil yang biasa tidur di rumah Kartareja, dukun ronggengnya, kini Srintil kembali ke rumahnya. Dan hubungan Srintil dan
dukun ronggengnya menjadi kurang baik. d.
Tahap Klimaks Tahap klimaks atau tahap
climax, konflik dan atau pertentangan- pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para
tokoh cerita mencapai titik puncak. Dalam novel ini, tahapan klimaks terjadi ketika Srintil mulai menari kembali menjadi ronggeng. Ketika
puncak ketenaran Srintil sebagai seorang ronggeng diakui oleh umum,
30
Ibid., h. 115.
31
Ibid., h. 152.
Srintil harus menelan pahitnya hidup karena Srintil dianggap terlibat dengan PKI karena kedekatan Srintil dan orang Dukuh Paruk dengan Pak
Bakar, seperti pada kutipan di bawah ini: “Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan
Srintil, pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya
terhadap Srintil sangat nyata. Dia tidak ber-kamu lagi terhadap ronggeng Dukuh Paruk yang telah sekian lama menjadi anak
akuannya, Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa
kedewasaan, tepatnya, kemandirian Srintil telah diakuinya.”
32
“Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas.
Bukan di tempat-tempat orang berhajat, melainkan di tengah rapat umum, baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah
rapat rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan
yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar
biasa…. Waktu itu kita disebut sebagai kelompok seniman rakyat. Padahal kita tidak pernah mengumumkan apa pun. Kemudian ada
satu kejadian; aku dilarang membakar kemenyan dan memasang sesaji. Yang menyebut kita seniman rakyat dan melarangku
memasang sesaji dialah orangnya. Pak Bakar. Aku tahu pasti. Kini
orang itu malah sering datang kemari. Bagaimana, ya?”
33
Kutipan tersebut menunjukkan adanya konflik yang terjadi ketika Srintil tengah di puncak kejayaannya. Srintil dan orang Dukuh Paruk
dianggap mempunyai ketelibatan dengan peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan Pak Bakar. Akibat adanya
pertentangan atau konflik yang terjadi, maka Srintil harus ditahan di penjara selama dua tahun karena dianggap terlibat. Hal ini membuat
Dukuh Paruk bersedih dan membuat keguncangan di hati Srintil, karena baik Srintil maupun orang Dukuh Paruk tidak mengerti akan lambang-
lambang dan pidato-pidato yang diucapkan oleh Pak Bakar. Selama ini orang Dukuh Paruk dan Srintil hanya mengerti tentang ronggeng, calung,
dan Ki Secamenggala. Seperti pada kutipan berikut:
32
Ibid., h. 179.
33
Ibid., h. 228-229.
“….Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai
dengan roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan
orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang.
Sakum menemukan kembali cirinya; membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut
berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan kata-
kata serangan terhadap kaum bercaping hijau.”
34
Kutipan di atas menunjukkan adanya keterlibatan antara orang Dukuh Paruk dengan rapat-rapat Pak Bakar, tetapi orang Dukuh Paruk
melakukan itu karena terprovokasi akibat rusaknya makam Ki Secamenggala. Hal ini yang membuat orang Dukuh Paruk, khususnya
Srintil dan rombongan ronggeng harus ditahan karena terlibat dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Seperti pada kutipan berikut:
“Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami
sampaikan buat kalian berdua. Bahwa saudara Kartereja dan saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini
perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas.” Srintil mendengar seluruh ucapan Komandan. Kata-kata itu
menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul
samar, jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung
berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat saraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan
kakinya berkeringat dingin, dan Srintil tergagap dalam upaya
menggapai dirinya kembali.”
35
Kutipan di atas menggambarkan konflik yang menimpa tokoh Srintil karena diduga keterlibatannya dengan PKI. Hal ini membuat Dukuh
Paruk semakin terpuruk dan orang Dukuh Paruk sulit diterima keberadaannya di tengah masyarakat. Bahkan, hingga Srintil dibebaskan
dari penjara setelah ditahan selama dua tahun. Orang-orang di luar Dukuh
34
Ibid., h. 236.
35
Ibid., h. 240-241.
Paruk masih takut untuk menegur atau menyapa Srintil karena takut disangka terlibat seperti Srintil. Hal ini membuat batin Srintil terguncang
dan sering murung sejak kepulangannya dari tahanan. e.
Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian atau tahap
denouement, tahap yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Dalam
novel Ronggeng Dukuh Paruk tahap penyelesaian dibuat dengan akhir
cerita yang menggantung. Tahap ini dimulai ketika Srintil mulai diterima kembali oleh masyarakat karena kedekatannya dengan Bajus. Telah
terbang indang ronggeng pada diri Srintil. Kedekatan Srintil dengan Bajus
memberi harapan kepada Srintil akan keinginannya untuk menjadi ibu rumah tangga atau perempuan
somahan, seperti pada kutipan berikut: “Betul Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal
tidak laku. Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang
ronggeng kini tidak ada pada tubuh sampean.”
36
“Srintil merasakan perubahan itu dari wajah-wajah yang dilihatnya sehari-hari. Kadar kecurigaannya tidak lagi menjadi
warna utama pada setiap pasang mata. Dan kenyataan bahwa Srintil sering digandeng oleh orang yang punya peran penting
dalam pembangunan pengairan, Bajus, mempengaruhi pandangan
orang kepadanya….”
37
Setelah masyarakat menerima kembali kehadiran Srintil, seakan membuka harapan baru bahwa Srintil bisa menjadi istri Bajus. Namun,
ternyata Bajus tidak bisa menikahi Srintil dan justru membuat Srintil semakin terpuruk hingga kehilangan kesadarannya karena Bajus menipu
Srintil dengan mengenalkan Srintil dengan Blengur. Srintil diminta Bajus untuk memenuhi permintaannya menemani Blengur. Ketika Srintil
menolak, Srintil mendapatkan Bajus bersikap dan berkata amat kasar hingga membuat Srintil terpuruk ke bagian dirinya yang paling dasar.
Penyelesaian dalam cerita ini dibuat menggantung karena ketika Srintil
36
Ibid., h. 335.
37
Ibid., h. 366.
gila akibat ditipu oleh Bajus, Rasus pulang ke Dukuh Paruk dan sangat marah karena mengetahui perempuan yang sangat dicintainya gila. Seperti
pada kutipan berikut: “Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah.
Apa yang tertangkap oleh mata amat sulit kucerna menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan
celana kolor sampai ke lutut serta kaus oblong yang robek-robek. Srintil yang hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara
sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk
itu.”
38
Dengan demikian, alur campuran dalam novel Ronggeng Dukuh
Paruk karya Ahmad Tohari memiliki kesatupaduan dengan berbagai peristiwa dan konflik serte keterikatan satu dengan yang lain dengan
seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan pengarang. Penggunaan alur campuran dalam novel ini menggambarkan kesatupaduan
sehingga terjalin padu mulai dari tahap penyituasian hingga tahap penyelesaian. Penggunaan alur campuran ini pula yang menyebabka
pembaca mengetahui dengan jelas berbagai sebab dan akibat peristiwa yang terjadi di dalam novel tersebut. Misalnya, tahap penyituasian yang
dimulai dengan masuknya indang ke dalam tubuh Srintil lalu pengarang
mengajak pembaca flashback untuk melihat bagaimana Srintil yang masih
bayi harus ditinggal oleh orang tuanya karena mereka telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek buatannya. Setelah itu,
pembaca diajak kembali untuk mengetahui bagaimana kehidupan Srintil yang begitu dikagumi dan dimanjakan setelah dia dinobatkan menjadi
seorang ronggeng, padahal akibat kejadian tempe bongkrek tersebut warga Dukuh Paruk enggan untuk berdekatan dengan Srintil tetapi setelah Srintil
menjadi ronggeng, mereka justru memanjakan Srintil karena dianggap sebagai titisan arwah Ki Secamenggala yang dapat membawa keberkahan
bagi warga Dukuh Paruk.
38
Ibid., h. 395.