AlurPlot Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk

mengepul dari semua rumah di Dukuh Paruk, pedukuhan yang berduka ketika Srintil genap berusia lima bulan.” 27 b. Tahap Pemunculan Konflik Tahap pemunculan konflik atau tahap generating circumstances, masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan. Dalam novel ini, tahap pemunculan konflik dimulai ketika proses Srintil menjadi ronggeng hingga menjadi ronggeng. Tahap ini, Srintil mulai melalui tahapan menjadi ronggeng yaitu dimulai dengan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan sayembara bukak-klambu. Kedua tahapan yang harus dilalui Srintil sebagai seorang ronggeng membuat Rasus kecewa karena Srintil nantinya akan menjadi milik umum dan tidak bisa dimiliki oleh Rasus yang saat itu belum menjadi apa-apa. Seperti pada kutipan berikut: “Kartareja menari makin menjadi-jadi. Berjoget dan melangkah makin mendekati Srintil. Tangan kirinya melingkari pinggang Srintil. Menyusul tangannya yang kanan. Tiba-tiba dengan kekuatan yang mengherankan Kartareja mengangkat tubuh Srintil tinggi-tinggi. Menurunkannya kembali dan menciumi ronggeng itu penuh berahi…. Aku melihat tontonan itu tanpa perasaan apa pun kecuali kebencian dan kemarahan. Tak terasa tanganku mengepal. Hanya itu, karena aku tak bertindak apa-apa. Tak berani berbuat apa-apa. Dan Kartareja terus menciumi Srintil tanpa peduli puluhan pasang mata melihatnya.” 28 Kutipan tersebut menggambarkan adanya pemunculan konflik ketika Srintil melakukan upacara pemandian di makam Ki Secamenggala dan Srintil harus menari dengan Kartareja yang saat itu sedang kerasukan arwah Ki Secamenggala. Melihat itu Rasus merasa amat kecewa dan benci melihatnya karena seorang diperlakukan seperti itu di muka umum. Tetapi Rasus yang saat itu masih remaja tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga akhirnya, ketika Srintil sudah menjadi penari ronggeng terkenal, Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk karena sampai kapan 27 Ibid., h. 2131. 28 Ibid., h. 48. pun juga Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat ini sudah menjadi milik umum. Seperti pada kutipan berikut: “….Memang Dukuh Paruk memberi kesempatan kepadaku mengisi bagian hati yang kosong dengan seorang perawan kecil bernama Srintil. Tidak lama, sebab sejak peristiwa malam bukak- klambu itu Srintil diseret keluar dari dalam hatiku. Dukuh Paruk bertindak semena-mena kepadaku. Aku bersumpah tidak akan memaafkannya. Jadi ketika Dukuh Paruk bergembira ria dengan suara calung dan joget Srintil yang telah resmi menjadi ronggeng aku malah mulai membencinya. Pengikat yang membuatku mencintai Dukuh Paruk telah direnggut kembali….” 29 Kutipan di atas menggambarkan sebab pemunculan konflik yaitu, ketika Srintil telah resmi menjadi ronggeng dan Rasus merasa kecewa terhadap Dukuh Paruk karena dengan resminya Srintil menjadi ronggeng, berarti Rasus tidak bisa memiliki Srintil yang saat itu telah menjadi milik umum. c. Tahap Peningkatan Konflik Tahap peningkatan konflik atau tahap rising action, konflik yang telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tahap peningkatan konflik terjadi setelah Rasus pergi meninggalkan Srintil. Padahal saat itu Srintil ingin dinikahi oleh Rasus, namun Srintil patah hati karena Rasus tetap pergi meninggalkannya. Hal ini yang menyebabkan hubungan Srintil dengan dukun ronggengnya merenggang karena Srintil terus-terusan menolak tawaran untuk menari, seperti pada kutipan berikut: “Sebetulnya aku bisa mengerti mengapa Srintil senang terhadap Rasus. Pokoknya tak ada yang salah. Persoalannya bila 29 Ibid., h. 80. Srintil terus murung dan menolak kembali naik pentas. Dukuh Paruk jadi sepi. Itu saja yang kusayangkan.” 30 Kutipan di atas, terjadi peningkatan konflik ketika Srintil enggan naik pentas. Hal ini membuat orang Dukuh Paruk kecewa, sehingga Nyai Kartareja melakukan segala cara untuk mengubur perasaan Srintil kepada Rasus agar bisa naik pentas kembali. Tetapi, hal itu gagal dan justru malah membuat Srintil malas menari dan pergi plesiran bersama Pak Marsusi. Akibat perlakuan Srintil yang menolak pentas dan menolak ajakan Pak Marsusi membuat Nyai Kartareja marah karena Srintil telah menolak sebuah kalung emas dengan bandul berlian. Seperti pada kutipan berikut: “Oalah, toblas, beginilah caramu membalas budi kami, ya Kami berdua telah memberimu jalan sehingga kamu mendapatkan kamukten. Tetapi inilah imbalan yang kami terima; dipermalukan habis-habisan oleh Pak Marsusi. Anak Santayib, dasar cecurut kamu “Dan kamu bertingkah menolak sebuah kalung seratus gram? Merasa sudah kaya? Bila kamu tidak suka kalung itu, mestinya bisa kau ambil untukku. Dan kau layani Pak Marsusi karena semua orang toh tahu kau seorang ronggeng dan sundal.” 31 Kutipan di atas menunjukkan peningkatan konflik, karena Nyai Kartareja sangat marah akibat perlakuan Srintil terhadap Pak Marsusi. Semenjak kejadian itu, Srintil yang biasa tidur di rumah Kartareja, dukun ronggengnya, kini Srintil kembali ke rumahnya. Dan hubungan Srintil dan dukun ronggengnya menjadi kurang baik. d. Tahap Klimaks Tahap klimaks atau tahap climax, konflik dan atau pertentangan- pertentangan yang terjadi, yang dilakui dan atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik puncak. Dalam novel ini, tahapan klimaks terjadi ketika Srintil mulai menari kembali menjadi ronggeng. Ketika puncak ketenaran Srintil sebagai seorang ronggeng diakui oleh umum, 30 Ibid., h. 115. 31 Ibid., h. 152. Srintil harus menelan pahitnya hidup karena Srintil dianggap terlibat dengan PKI karena kedekatan Srintil dan orang Dukuh Paruk dengan Pak Bakar, seperti pada kutipan di bawah ini: “Nyai Kartareja segera memperbaiki hubungannya dengan Srintil, pertama-tama dengan berusaha mengaku bersalah dalam peristiwa Marsusi beberapa minggu berselang. Perubahan sikapnya terhadap Srintil sangat nyata. Dia tidak ber-kamu lagi terhadap ronggeng Dukuh Paruk yang telah sekian lama menjadi anak akuannya, Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya, kemandirian Srintil telah diakuinya.” 32 “Tetapi pada tahun 1964 itu, ketika paceklik merajalela di mana-mana, ronggeng Dukuh Paruk malah sering naik pentas. Bukan di tempat-tempat orang berhajat, melainkan di tengah rapat umum, baik siang atau malam hari. Karena sering berada di tengah rapat rombongan ronggeng Dukuh Paruk mengenal Pak Bakar; orang yang selalu berpidato berapi-api. Pak Bakar dari Dawuan yang amat pandai berbicara, sudah beruban tetapi semangatnya luar biasa…. Waktu itu kita disebut sebagai kelompok seniman rakyat. Padahal kita tidak pernah mengumumkan apa pun. Kemudian ada satu kejadian; aku dilarang membakar kemenyan dan memasang sesaji. Yang menyebut kita seniman rakyat dan melarangku memasang sesaji dialah orangnya. Pak Bakar. Aku tahu pasti. Kini orang itu malah sering datang kemari. Bagaimana, ya?” 33 Kutipan tersebut menunjukkan adanya konflik yang terjadi ketika Srintil tengah di puncak kejayaannya. Srintil dan orang Dukuh Paruk dianggap mempunyai ketelibatan dengan peristiwa kerusuhan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan Pak Bakar. Akibat adanya pertentangan atau konflik yang terjadi, maka Srintil harus ditahan di penjara selama dua tahun karena dianggap terlibat. Hal ini membuat Dukuh Paruk bersedih dan membuat keguncangan di hati Srintil, karena baik Srintil maupun orang Dukuh Paruk tidak mengerti akan lambang- lambang dan pidato-pidato yang diucapkan oleh Pak Bakar. Selama ini orang Dukuh Paruk dan Srintil hanya mengerti tentang ronggeng, calung, dan Ki Secamenggala. Seperti pada kutipan berikut: 32 Ibid., h. 179. 33 Ibid., h. 228-229. “….Srintil kembali menari dengan semangat luar biasa. Dia tidak peduli lagi apakah menari demi keramaian rapat sesuai dengan roh sejati seorang ronggeng. Dengan tarian yang lebih berani dan menantang Srintil merasa sedang membalas serangan orang-orang bercaping hijau atas nama Dukuh Paruk, atas nama arwah Ki Secamenggala yang makamnya baru saja dirusak orang. Sakum menemukan kembali cirinya; membakar setiap pentas dengan seruan-seruan yang jitu dan cabul. Bahkan Sakum ikut berteriak lantang ketika dalam pidatonya Bakar mengucapkan kata- kata serangan terhadap kaum bercaping hijau.” 34 Kutipan di atas menunjukkan adanya keterlibatan antara orang Dukuh Paruk dengan rapat-rapat Pak Bakar, tetapi orang Dukuh Paruk melakukan itu karena terprovokasi akibat rusaknya makam Ki Secamenggala. Hal ini yang membuat orang Dukuh Paruk, khususnya Srintil dan rombongan ronggeng harus ditahan karena terlibat dengan kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Seperti pada kutipan berikut: “Tentang orang yang mengepung Dukuh Paruk akan kami selidiki. Tetapi di luar masalah itu ada hal penting yang akan kami sampaikan buat kalian berdua. Bahwa saudara Kartereja dan saudara Srintil termasuk orang-orang yang harus kami tahan. Ini perintah atasan. Dan kami hanya melaksanakan tugas.” Srintil mendengar seluruh ucapan Komandan. Kata-kata itu menjadi masukan yang ternyata amat sulit dijabarkan menjadi pengertian dan kesadaran. Ketika pengertian itu baru muncul samar, jiwanya menampik dengan keras. Seluruh proses yang terjadi pada diri Srintil memerlukan tenaga ekstra. Jantung berdenyut lebih cepat dan darah terpusat pada otak dan pusat-pusat saraf. Wajah Srintil pucat tidak kebagian darah. Tangan dan kakinya berkeringat dingin, dan Srintil tergagap dalam upaya menggapai dirinya kembali.” 35 Kutipan di atas menggambarkan konflik yang menimpa tokoh Srintil karena diduga keterlibatannya dengan PKI. Hal ini membuat Dukuh Paruk semakin terpuruk dan orang Dukuh Paruk sulit diterima keberadaannya di tengah masyarakat. Bahkan, hingga Srintil dibebaskan dari penjara setelah ditahan selama dua tahun. Orang-orang di luar Dukuh 34 Ibid., h. 236. 35 Ibid., h. 240-241. Paruk masih takut untuk menegur atau menyapa Srintil karena takut disangka terlibat seperti Srintil. Hal ini membuat batin Srintil terguncang dan sering murung sejak kepulangannya dari tahanan. e. Tahap Penyelesaian Tahap penyelesaian atau tahap denouement, tahap yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk tahap penyelesaian dibuat dengan akhir cerita yang menggantung. Tahap ini dimulai ketika Srintil mulai diterima kembali oleh masyarakat karena kedekatannya dengan Bajus. Telah terbang indang ronggeng pada diri Srintil. Kedekatan Srintil dengan Bajus memberi harapan kepada Srintil akan keinginannya untuk menjadi ibu rumah tangga atau perempuan somahan, seperti pada kutipan berikut: “Betul Andaikan dipaksa meronggeng pun sampean bakal tidak laku. Burung indang telah terbang dari kurungan. Indang ronggeng kini tidak ada pada tubuh sampean.” 36 “Srintil merasakan perubahan itu dari wajah-wajah yang dilihatnya sehari-hari. Kadar kecurigaannya tidak lagi menjadi warna utama pada setiap pasang mata. Dan kenyataan bahwa Srintil sering digandeng oleh orang yang punya peran penting dalam pembangunan pengairan, Bajus, mempengaruhi pandangan orang kepadanya….” 37 Setelah masyarakat menerima kembali kehadiran Srintil, seakan membuka harapan baru bahwa Srintil bisa menjadi istri Bajus. Namun, ternyata Bajus tidak bisa menikahi Srintil dan justru membuat Srintil semakin terpuruk hingga kehilangan kesadarannya karena Bajus menipu Srintil dengan mengenalkan Srintil dengan Blengur. Srintil diminta Bajus untuk memenuhi permintaannya menemani Blengur. Ketika Srintil menolak, Srintil mendapatkan Bajus bersikap dan berkata amat kasar hingga membuat Srintil terpuruk ke bagian dirinya yang paling dasar. Penyelesaian dalam cerita ini dibuat menggantung karena ketika Srintil 36 Ibid., h. 335. 37 Ibid., h. 366. gila akibat ditipu oleh Bajus, Rasus pulang ke Dukuh Paruk dan sangat marah karena mengetahui perempuan yang sangat dicintainya gila. Seperti pada kutipan berikut: “Terasa urat-urat pengikat semua sendi tubuhku melemah. Apa yang tertangkap oleh mata amat sulit kucerna menjadi pengertian dan kesadaran. Srintil yang demikian kusut dengan celana kolor sampai ke lutut serta kaus oblong yang robek-robek. Srintil yang hanya menoleh sesaat kepadaku lalu kembali berbicara sendiri. Dan pelita kecil dalam kamar itu melengkapi citra punahnya kemanusiaan pada diri bekas mahkota Dukuh Paruk itu.” 38 Dengan demikian, alur campuran dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari memiliki kesatupaduan dengan berbagai peristiwa dan konflik serte keterikatan satu dengan yang lain dengan seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan pengarang. Penggunaan alur campuran dalam novel ini menggambarkan kesatupaduan sehingga terjalin padu mulai dari tahap penyituasian hingga tahap penyelesaian. Penggunaan alur campuran ini pula yang menyebabka pembaca mengetahui dengan jelas berbagai sebab dan akibat peristiwa yang terjadi di dalam novel tersebut. Misalnya, tahap penyituasian yang dimulai dengan masuknya indang ke dalam tubuh Srintil lalu pengarang mengajak pembaca flashback untuk melihat bagaimana Srintil yang masih bayi harus ditinggal oleh orang tuanya karena mereka telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek buatannya. Setelah itu, pembaca diajak kembali untuk mengetahui bagaimana kehidupan Srintil yang begitu dikagumi dan dimanjakan setelah dia dinobatkan menjadi seorang ronggeng, padahal akibat kejadian tempe bongkrek tersebut warga Dukuh Paruk enggan untuk berdekatan dengan Srintil tetapi setelah Srintil menjadi ronggeng, mereka justru memanjakan Srintil karena dianggap sebagai titisan arwah Ki Secamenggala yang dapat membawa keberkahan bagi warga Dukuh Paruk. 38 Ibid., h. 395.

4. Latar

Latar dibagi menjadi tiga, yaitu: latar waktu, latar tempat, dan latar sosial. a. Latar Waktu Latar waktu menunjukkan kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Apabila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di dalam novel, maka dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, latar waktu dimulai pada tahun 1946, pada tahun itu Srintil baru berusia lima bulan dan harus kehilangan orang tuanya, Santayib akibat peristiwa keracunan tempe bongkrek. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Seandainya ada seorang di Dukuh Paruk yang pernah bersekolah, dia dapat mengira-ngira saat itu hampir pukul dua belas tengah malam, tahun 1946. Semua penghuni pedukuhan itu telah tertidur pulas, kecuali Santayib, ayah Srintil. Dia sedang mengakhiri pekerjaannya malam itu….” 39 Latar waktu yang terjadi dalam novel ini pada tahun 1960, yaitu ketika Rasus mulai berkenalan dengan Sersan Slamet dan ditunjuk menjadi tobang hingga akhirnya Rasus resmi menjadi tentara karena pada tahun wilayah Kecamatan Dawuan sedang tidak aman dan sering terjadi perampokan. Seperti pada kutipan berikut: “Tahun 1960 wilayah Kecamatan Dawuan tidak aman. Perampokan dengan kekerasan senjata sering terjadi. Tidak jarang para perampok membakar rumah korbannya. Aku yang selalu tidur di sudut pasar Dawuan mulai merasa takut….” 40 Latar waktu juga terjadi ketika mulai maraknya pawai-pawai hingga pidato-pidato partai, yaitu pada tahun 1964-1965-an. Pada masa itu, Srintil sering meronggeng sebagai seniman rakyat pada pidato-pidato yang diadakan oleh orang-orang Pak Bakar. Seperti pada kutipan di bawah ini: 39 Ibid., h. 21. 40 Ibid., h. 90. “….Kemudian berkumandanglah Genjer-Genjer, sebuah lagu daerah yang entah mengapa menguasai udara tanah air pada tahun 1964 itu. Semangat dan kegembiraan pengunjung terbakar kembali. Banyak orang bangkit dari tempat duduk agar bisa lebih leluasa bertepuk tangan atau bahkan ikut tarik suara. Suasana sungguh meriah membahana.” “Pada tahun 1964 itu Dukuh Paruk tetap cabul, sakit, dan bodoh. Perubahan kecil hanya menyangkut Srintil, Sakarya, dan Kartareja. Rumah mereka berkapur, bahkan berjendela kaca. Kartareja bisa mempunyai lampu pompa, demikian juga Sakarya. Selebihnya adalah Dukuh Paruk yang sudah dikenal orang dari generasi ke generasi….” “….Pada tahun 1965 itu siapa pun tahu kelompok petani mana yang suka berpawai atau berkumpul dalam rapat dengan tutup kepala seperti itu.” 41 Selanjutnya latar waktu yang menunjukkan tahun 1970-an, yaitu setelah peristiwa besar itu terjadi dan setelah Srintil dibebaskan dari tahanan. Pada tahun tersebut, Dukuh Paruk dan sekitarnya mulai mengenal dunia yang lebih luas, yang lebih modern dari desa itu sendiri. Pada tahun tersebut banyak orang-orang Jakarta yang datang ke Dukuh Paruk untuk membangun saluran irigasi di daerah mereka. seperti pada kutipan di bawah ini: “Memasuki tahun 1970 kehidupan di wilayah Kecamatan Dawuan berubah gemuruh oleh deru truk-truk besar berwarna kuning serta buldoser dari berbagai jenis dan ukuran. Truk-truk kuning mengangkut tanah yang dikeruk dari bukit-bukit untuk menimbun wilayah-wilayah rendah yang akan dilalui jalur pengairan. Buldoser menggali atau meratakan tanah siang-malam, kadang tidak berhenti selama dua puluh empat jam. Orang Dawuan dan sekitarnya berkesempatan melihat para pekerja yang kebanyakan berasal dari daerah lain….” “Februari 1971 adalah mangsa kasanga dalam pranata mangsa yang dianut oleh orang Dukuh Paruk. Sepanjang hari, bahkan kadang juga pada waktu malam, udara terasa sangar, panas. Angin sering bertiup amat kencang merontokkan dedaunan, 41 Ibid., h. 189, 227, 237. mematahkan pelepah pisang, dan mematahkan batang bambu muda….” 42 Kutipan di atas menunjukkan adanya perubahan waktu serta perubahan latar sosial yang terjadi, percampuran antara budaya lain yang masuk ke Dawuan dan sekitarnya membuat orang-orang lupa akan peristiwa yang telah mencoreng namaSrintil dan Dukuh Paruk. Hal ini tampak dari banyaknya orang-orang dari daerah lain, baik dari Jakarta ataupun daerah sekitarnya. Sesuai dengan perkembangan zaman dan seiring dengan masuknya budaya luar ke Dawuan dan Dukuh Paruk mengakibatkan banyak anak muda sekitar Dawuan dan Dukuh Paruk yang mengikuti gaya, perilaku, dan pakaian orang-orang yang bekerja tersebut. Hal ini pula yang menyebabkan mereka terralih perhatiannya dan melupakan peristiwa kisruh PKI yang telah mencoreng nama Srintil dan Dukuh Paruk. Srintil mulai diterima kembali dan mereka mulai bersikap baik kepada Srintil setelah Bajus, orang yang bukan sekadar pekerja rendahan pada proyek pembangunan irigasi mendekati Srintil. Srintil merasa dengan Bajus mendekatinya, orang-orang mulai menerima kembali dirinya dan memaafkan kesalahannya, meski Srintil bukan lagi seorang ronggeng. b. Latar Tempat Latar tempat menunjukkan lokasi di mana peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar tempat yang terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari salah satunya adalah Dukuh Paruk. Dukuh Paruk adalah sebuah pedukuhan yang terpencil, miskin dan melarat di dekat Kecamatan Dawuan, Banyumas. Warganya banyak yang tidak bersekolah, sehingga banyak yang buta huruf. Mereka hanya mengandalkan diri sebagai petani yang bekerja di lahan orang lain. Dukuh Paruk masih sangat miskin dan terpencil, tidak terjamah oleh daerah luar. Dukuh Paruk menjadi tempat yang paling sering 42 Ibid., h. 361 371. muncul karena sesuai dengan judul novel tersebut yakni, Ronggeng Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan berikut: “Namun kemarau belum usai. Ribuan hektar sawah yang mengelilingi Dukuh Paruk telah tujuh bulan kerontang. Sepasang burung bangau itu takkan menemukan genangan air meski hanya selebar telapak kaki. Sawah berubah menjadi padang kering berwarna kelabu. Segala jenis rumput, mati. Yang menjadi bercak- bercak hijau di sana-sini adalah kerokot, sajian alam bagi berbagai jenis belalang dan jangkrik. Tumbuhan jenis kaktus ini justru hanya muncul di sawah sewaktu kemarau berjaya.” 43 Dukuh Paruk dalam novel ini digambarkan sebagai tempat kelahiran Srintil, di mana kepercayaan akan Ki Secamenggala hidup di dalamnya, mitos-mitos serta serapah cabul menjadi hal yang biasa bagi orang Dukuh Paruk. Dalam kutipan tersebut menunjukkan Dukuh Paruk yang kala itu sedang kemarau panjang yang menyebabkan orang Dukuh Paruk sulit untuk menemukan air sehingga sawah kering dan mereka hanya bisa memakan singkong sebagai makanan utamanya. Di Dukuh Paruk, Srintil pertama kali menjadi ronggeng ketika kakeknya melihat dia sedang menari di bawah pohon nangka dengan diiringi suara calung buatan yang dibuat oleh Rasus dan teman-temannya. Selain Dukuh Paruk, latar tempat yang digunakan dalam novel ini adalah pasar Dawuan. Dawuan adalah salah satu kecamatan di daerah Banyumas, Jawa Tengah. Pasar Dawuan adalah daerah luar Dukuh Paruk, adat dan kebiasaanya amat berbeda dengan Dukuh Paruk. Di pasar Dawuan tempat Rasus untuk menetap sementara setelah dia kabur dari Dukuh Paruk, dan di sana pula tempat bertemu kembali dengan Srintil setelah Srintil resmi menjadi ronggeng. Seperti pada kutipan di bawah ini: “Di pasar Dawuan pula suatu kali aku dapat melihat Srintil yang datang berbelanja dengan Nyai Kartareja. Sebelum ronggeng 43 Ibid., h. 9.

Dokumen yang terkait

Konflik batin tokoh utama dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari serta implikasinya terhadap pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di MTS Al-Mansuriyah, Kec Pinang, Kota Tangerang

4 44 99

Ronggeng dalam kebudayaan Banyumas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA

9 242 140

PENANDA KOHESI SUBSTITUSI DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)

0 32 311

TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan)

0 6 16

REALISASI KESANTUNAN BERBAHASA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

3 14 178

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastr

0 2 12

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari: Tinjauan Psikologi Sastra Dan Implementasinya Sebagai Bahan Ajar Sastra Di SMA.

0 2 14

KONFLIK BATIN TOKOH SRINTIL DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI: TINJAUAN PSIKOLOGI SASTRA.

0 2 21

REPRESENTASI DISKRIMINASI PEREMPUAN DALAM NOVEL “RONGGENG DUKUH PARUK” (Studi Semiologi Tentang Representasi Diskriminasi Perempuan Dalam Novel “Ronggeng Dukuh Paruk” Karya Ahmad Tohari).

2 7 121

View of DIKSI SEKSUALITAS DALAM NOVEL TRILOGI RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI

0 0 10