Dampak Kerusuhan Mei Tahun 1998 bagi Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di kota Medan.

dia memberontak dan memukul salah satu pelaku.Pelaku tersebut langsung mengambil sebilah pisau dan menusukkanya ke perut korban. Kerusuhan Mei 1998 di Medan terjadi dari pagi menjelang malam, kerusuhan ini sendiri dipicu oleh provokasi dan isu mengenai kenaikan harga barang dan kelangkaan bahan-bahan pokok pasaran.Isu yang beredar dimana etnis Tionghoa pemilik toko-toko menimbun bahan-bahan pokok yang memang saat itu sangat langka bahkan nyaris tidak ada di pasaran Dian, 2015:20.

5.2 Dampak Kerusuhan Mei Tahun 1998 bagi Perubahan Nilai Budaya Etnis Tionghoa di kota Medan.

Perubahan nilai Budaya adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya.Unsur-unsur yang termasuk ke dalam sistem sosial adalah nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilakunya diantara kelompok- kelompok dalam masyarakat. 1. Nilai-nilai Nilai-nilai adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Nilai juga suatu karateristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku. 2. Sikap Universitas Sumatera Utara Sikap adalah suatu keadaan jiwa dan keadaan pikiran yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek dan keadaan yang diorganisasi dari pengalaman dan mempengaruhi secara langsung pada perilaku. 3. Pola Perilaku Pola perilaku adalah keteraturan tertentu dalam hal perasaan, pemikiran dan tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Pola perilaku juga merupakan kelakuan seseorang yang sudah tersusuntertata karena proses dari kelakuan tersebut dilakukan secara berulang-ulang dan menghasilkan suatu kebiasaan. Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah benturan, pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negative.Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu orang, benda yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perubahan seseorang. Pengaruh adalah suatu keadaan dimana ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi. Dampak dari suatu kejadian dapat mempengaruhi gaya hidup seseorang, seperti sikap, kepribadian, konsep diri, motif, persepsi, kelompok referensi, kelas sosial, keluarga, pengalaman, pegamatan dan kebudayaan Amstrong dalam Nugrahen, 2003:15. Universitas Sumatera Utara Kerusuhan Mei 1998 telah membawa luka yang mendalam bagi bangsa Indonesia dan menimbulkan dampak yang sangat besar.Hancurnya beberapa fasilitas umum, penjarahan toko-toko etnis Tionghoa, pembunuhan dan pelecehan seksual terhadap etnis Tionghoa meninggalkan kepediahn dan kepiluan yang sangat mendalam.Akibat dari kerusuhan Mei 1998 membuat Indonesia jatuh dalam jurang keterpurukan. Dampak utama peristiwa kerusuhan tersebut adalah terjadinya pergantian kepemimpinan nasional pada tanggal 21 Mei 1998.Selain itu dampak dari kerusuhan Mei 1998 adalah terjadinya krisis di segala bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Di kota Medan dampak kerusuhan Mei 1998 adalah lumpuhnya perekonomian dan perubahan nilai budaya etnis Tionghoa. Banyak etnis Tionghoa Medan pergi meninggalkan kota Medan karena merasa keamanan mereka tidak terjamin, walaupun banyak juga dari mereka yang tinggal untuk melindungi harta benda mereka supaya tidak di jarah. Kerusuhan ini juga menumbuhkan sikap antisipasi etnis Tionghoa.Mereka semakin menutup diri dan bersikap individu. Salah seorang informan berkata, demikian kutipannya: “Sebelum kerusuhan kami masih hidup damai dengan warga pribumi namun setelah kejadian itu, keadaan pun berubah. Saya memagar lapis seluruh bagian depan dan belakang rumah saya. Saya takut di jarah lagi, karena tetangga saya juga ikut menjarah toko saya.Barang-barang yang dijarah sangat banyak, hal itu merugikan saya.Saya menjadi takut dan tidak percaya lagi dengan warga setempat”. Bapak Koko nama disamarkan mengatakan bahwa dia sempat mengalami trauma yang sangat berat. Dia sempat dirawat di rumah sakit jiwa selama tiga setengah tahun karena kehilangan putra sulungnya. Bapak koko nama disamarkan berkata, demikian kutipannya: Universitas Sumatera Utara “Saya sangat trauma kehilangan putra sulung saya.Putra saya diseret dan dikeroyok saat melakukan perlawanan.Padahal putra sulung saya hanya ingin melindungi saya, istri dan anak bungsu saya.Kami mendengar dia berteriak dan saya berlari untuk menolongnya. Namum apa yang bisa saya perbuat saat itu, saya sudah menemukan dia tergeletak dan tidak bergerak sama sekali. Karena kejadian itu juga saya mengonsumsi obat penenang selama 6 tahun”. Dari keterangan Bapak Koko nama disamarkan, dia beserta istri dan anak bungsunya mulai menutup diri dan tidak mau berinteraksi dengan warga pribumi saat itu. Walaupun kejadian tersebut sudah berlalu, trauma yang dialami Bapak Koko beserta keluarga masih terbawa sampai sekarang.Munculnya sifat individual mereka tercermin dari tempat tinggal mereka, dimana penduduknya kebanyakan etnis Tionghoa.Dia juga menyekolahkan anak bungsunya di sekolah etnis Tionghoa. 5.3 Peneliti Dengan Informan Sumber: Dokumentasi Pribadi Fakta menunjukkan bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah orang-orang yang telah menderita secara fisik dan psikis karena hal- Universitas Sumatera Utara hal berikut, yaitu kerugian fisik dan material rumah dan toko dirusak, dibakar dan dijarah, meninggal dunia saat terjadi kerusuhan karena berbagai sebab terbakar, tertembak, teraniaya, dibunuh dan sasaran tindak kekerasan seksual Noviani, 2014:58. Keterangan dari seorang informan yang penulis temui, dia juga sangat merasakan dampak dari kerusuhan tersebut.Dia memiliki toko elektronik yang diajarah oleh masyarakat dan karyawannya sendiri.Saat itu timbul rasa tidak percaya dan kecewa yang sangat besar, terutama terhadap karyawannya.Dia mengaku bahwa dia mulai menutup diri.Namun, jiwa dagangnya tidak padam hanya karena kejadian itu.Pada masa Presiden Habibie, dia mulai membuka toko elektroniknya lagi.Walaupun dia telah membuka toko elektroniknya, rasa trauma karena kerusuhan tersebut masih membayanginya. Dia mengatakan bahwa sebelum kerusuhan Mei 1998, biasanya dia membuka toko jam delapan pagi sampai dengan jam lima sore. Namun setelah kejadian itu, dia hanya membuka toko selama tiga sampai empat jam yaitu mulai dari jam sembilan pagi sampai jam satu siang. Dia berkata, berikut kutipannya: “Saya hanya membuka toko 2-3 hari perminggu dalam kurun waktu 3-4 jam saja. Saya takut kalau kerusuhan itu terulang lagi. Saat ada masyarakat pribumi yang masuk ke toko, saya sangat takut dan was-was. Saya langsung mengambil pisau silet sebagai pertahan diri jika mereka membuat kerusuhan”. Menurut Bapak Alex nama disamarkan menuturkan bahwa ayahnya mengalami gangguan jiwa akibat kerusuhan Mei 1998. Kakak tertuanya meninggal karena dikeroyok olah masyarakat yang menjarah rumahnya.Karena kejadian tersebut meninggalkan luka yang sangat besar bagi keluarganya.Bapak Alex mulai menjauhi masyarakat pribumi dan hanya berteman dengan sesama etnis Tionghoa saja.Bapak Alex mengatakan dia merasa dendam dan Universitas Sumatera Utara menyalahkan masyarakat pribumi karena telah membunuh kakak tertuanya. Tidak hanya itu, Bapak Alex beserta keluarga mulai aktif berbahasa Hokkian agar masyarakat pribumi tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. karena menurut dia, masyarakat pribumi selalu ingin tahu urusan mereka. Bapak Alex mengatakan hal tersebut terbawa sampai sekarang dan menjadi kebiasaan mereka. Ibu Chang mengatakan, pasca kerusuhan itu dia dan orangtuanya pindah ke Berastagi karena pada saat itu Berastagi tidak tersentuh oleh kerusuhan Mei 1998.Mereka Menetap di Berastagi selama 1 tahun sebelum akhirnya mereka kembali ke Medan.Setelah mereka kembali ke Medan, Ibu Chang dan orangtuanya menetap di daerah Medan Denai sampai sekarang.Namun tempat tinggal Mereka kebanyakan etnis Tionghoa dan sangat jarang masyarakat pribumi.Mereka juga memagari rumah mereka sebagai antisipasi.Walaupun kerusuhan Mei 1998 sudah berlalu, Ibu Chang masih sering menangis jika teringat kejadian tersebut.Ibu Chang menuturkan, walaupun sekarang etnis Tionghoa sudah berbaur dengan masyarakat pribumi, tidak menghilangkan ketakutannya terhadap masyarakat pribumi.Ibu Chang hanya terbuka terhadap masyarakat pribumi yang sudah lama dia kenal baik. Sama halnya dengan seorang informan yang bernama Bapak Ahok. Dia berkata, demikian kutipannya: “Saya sudah tidak percaya dengan masyarakat pribumi saat itu.Saya beserta istri dan anak saya mengurung diri dirumah.Kami takut keluar, karena saat itu sangat rusuh sekali.Kami tidak bisa mempercayai siapapun selain sesama kami yang sama-sama menjadi korban.Apa salah kami saat itu, apakah kami salah kalau perekonomian kami lebih baik. Kami tidak peduli siapa yang mengkudeta dan siapa yang dikudeta saat itu.Kami hanya menjalani hidup kami.Kenapa kami yang dijadikan tumbal reformasi, bukankan kami juga warga Negara Indonesia”. Universitas Sumatera Utara Bapak Ahok menuturkan karena kejadian itu dia dan keluarganya menjadi tertutup.Sikapnya berubah terhadap masyarakat pribumi.Bapak Ahok mengatakan dia tidak mau berbicara dengan masyarakat pribumi saat itu dikarenakan rasa takut.Menurutnya perubahan sikap sangat terlihat dari putrinya.Putrinya tidak mau bergaul dengan masyarakat pribumi terutama laki-laki.Masyarakat sekitar menjulukinya angkuh dan sombong, padahal menurutnya, dia tidak mau berbicara dengan masyarakat pribumi karena rasa trauma dan rasa takut yang sangat besar. Seorang informan yang merupakan teman penulis bernama Silvia menuturkan bahwa mengalami perubahan yang drastis.Ketidakpercayaannya terhadap masyarakat pribumi muncul ketika nenek dan sepupunya menceritakan pengalaman mereka saat kerusuhan Mei 1998.Walaupun dia tidak mengalami kejadian tersebut, dia mengaku dapat merasakan kesedihan dan penderitaan nenek dan sepupunya.Dimana saat kerusuhan, rumah neneknya di jarah dan adik dari sepupunya meninggal dunia karena diperkosa secara bergilir. Dia berkata, demikian kutipannya: “Jujur saya merasa tidak adil.Walaupun saya tidak mengalaminya, sebagai perempuan, saya juga dapat merasakan kesedihan nenek dan sepupu saya.Terutama sepupu saya yang adiknya meninggal karena diperkosa.Kenapa perempuan etnis Tionghoa menjadi korban kebejatan masyarakat pribumi.Saya rasa perempuan etnis Tionghoa tidak ada hubungannya dengan krisis moneter atau dengan masalah reformasi Indonesia.Apakah tidak ada lagi rasa kemanusiaan saat itu. Adik dari sepupu saya diperkosa dan dibunuh tepat di depan keluarganya dan meninggalkan kesedihan yang sangat dalam. Akibat dari kerusuhan tersebut, sepupu saya dan keluarganya pindah ke luar negeri dan enggan untuk kembali ke Indonesia.Saya sangat menyayangkan kejadian tersebut.” Silvia mengatakan bahwa karena kerusuhan tersebut, dia selalu berpikir negatif terhadap masyarakat pribumi.Bersikap individu dan tidak mau berteman dengan warga setempat.Saat duduk di bangku SMP, dia tidak mau berbaur dengan Universitas Sumatera Utara masyarakat pribumi.Dia cenderung tertutup dan pendiam.Hal tersebut di rasakan oleh penulis sendiri, karena penulis satu sekolah bahkan satu kelas dengannya. Tidak hanya Silvia yang mengalami perubahan, Ibu Diana juga merasakan hal yang sama. Walaupun dia tidak mengalami kerusuhan itu, dia mengalami perubahan yang signifikan terhadap masyarakat pribumi, dia menjauh dan menghindari masyarakat pribumi.Dari kesaksiannya dia dapat merasakan ketakutan yang dirasakan oleh kakak iparnya, sebelum pada akhirnya dia dapat menerima hal tersebut.Bermula dari kakak iparnya yang menceritakan pengalamannya kepada Ibu Diana.Toko ayah kakak iparnya di jarah dan dilempari batu.Kakak iparnya ditarik oleh sekelompok pria dan mengikatnya.Pada saat itu sekelompok pria tersebut bermaksud untuk melecehkan kakak iparnya, namun tidak berhasil karena kakak iparnya di selamatkan oleh ayahnya.Kejadian tersebut tidak hanya meninggalkan luka fisik, namun juga meninggalkan trauma. Ibu Diana berkata, demikian kutipannya: “Saya dapat merasakan kesedihan kakak ipar saya.Dia bercerita sambil menangis.Harta dan toko ayahnya lenyap.Ditambah dia terluka karena diseret dan diikat oleh sekelompok pria.Hal tersebut tidak hanya terjadi pada kakak ipar saya.Kakak ipar saya juga mengatakan bahwa putri tentangganya diperkosa sampai meninggal.Padahal putri tetangga kakak ipar saya masih kelas 6 SD. Saya beranggapan bahwa masyarakat pribumi saat itu sangat kejam dan mulai menjauhi mereka.Saya takut dan benci juga.Setiap saya melihat masyarakat pribumi, terutama laki-laki, saya langsung teringat cerita kakak ipar saya.Tapi namanya kita hidup, tidak mungkin saya terus bersikap seperti ini. Karena saya tinggal di Negara Indonesia ini , saya harus berbaur, karena saya juga perlu mereka. Untuk melupakan hal tersebut mungkin susah bagi saya, tapi hidup selalu harus belajar. Saya terus belajar untuk menerima dan melupakan kejadian diskriminatif terhadapa etnis Saya”. Dampak kerusuhan Mei 1998 bagi perubahan nilai budaya etnis tionghoa terhadap masyarakat pribumi di Medan sangat dirasakan hingga saat ini.Mereka menutup diri, tidak mau berbaur dengan masyarakat pribumi, bersikap individu, Universitas Sumatera Utara kebanyakan dari mereka hanya berbaur dengan sesama etnis Tionghoa saja.Perubahan tersebut terjadi karena mereka masih mengingatnya dan menjadikannya peristiwa kelam yang tidak terlupakan seumur hidup. Perasaan curiga, takut, trauma dan khawatir membayangi masyarakat etnis Tionghoa yang kemudian membentuk sikap acuh yang terkesan sombong, tidak mau bergaul, hanya bergaul dengan sesama etnis Tionghoa dan bersikap eksklusif yang kemudian menciptakan jarak yang sangat besar antar masyarakat pribumi dan etnis Tionghoa. Universitas Sumatera Utara BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan