PT. Garuda Indonesia Persero, Tbk., melakukan Sosialisasi kepada agen- agen melalui Garuda Indonesia GA Info, contohnya perubahan closing
time yang tadinya 2 jam menjadi 4 jam guna mengantisipasi kebijakan tersebut.
Meminta operator di lini dua untuk penambahan kendaraanangkutan dari lini dua ke lini satu dan meminta operator yang ada pada lini dua
mengangkut barang ke lini satu tidak lebih dari 1 jam.
B. Saran
1. Dalam pelaksanaan penerapan dan pelaksanaan pengamanan kargo dan
pos yang diangkut melalui pesawat udara, PT. Garuda Indonesia telah melaksanakannya dengan baik, saya menyarankan agar hal tersebut dapat
selalu dipertahankan demi terciptanya kenyamanan pengangkutan udara.
2. PT. Garuda Indonesia terus selalu mengutamakan para pengguna jasa
pengangkutan baik pengangkutan barang ataupun penumpang.
3. PT. Garuda Indonesia seterusnya dapat selalu memberikan info-infoterkait
penerbangannya.
4. Dalam membuat regulasi seharusnya pemerintah lebih mampu
mensosialisasikan kebijakan yang ada kepada pihak-pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut agar semua regulasi tersebut dapat berjalan
dengan baik.
5. Pemerintah lebih bisa dengan tegas memberikan sanksi-sanksi bagi
pelanggaran terkait pelaksanaan peraturan yang ada.
6. Sebelum membuat peraturan seharusnya pemerintah dapat berfikir secara
matang terhadap kebijakan yang akan diberlakukan agar kebijakan tersebut tidak merugikan ataupun menguntungkan salah satu atau sebagian
pihak yang terkait dengan kebijakan tersebut.
15
BAB II PENGANGKUTAN UDARA MENURUT UNDANG-UNDANG
NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN
A. Pengartian dan Landasan Hukum Pengangkutan Udara
1. Pengertian Pengangkutan Udara
Istilah “Pengangkutan” berasal dari kata “angkut” yang berarti “mengangkut atau membawa”, sedangkan istilah “pengangkutan” dapat diartikan
sebagai “pembawaan barang-barang atau orang-orang penumpang.
10
Pengertian pengangkutan
adalah perjanjian
timbal-balik antara
pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang danatau orang dari suatu tempat ke
tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.
11
Pengangkutan dalam arti luas dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan M. N Nasution menyatakan
pengangkutan adalah hal yang membuat sebuah bangsa menjadi besar dan makmur, yakni tanah yang subur, kerja keras, dan kelancaran pengangkutan orang
dan barang dari satu bagian negara ke bagian bagian lainnya.
12
10
Hasim Purba, Op. Cit, hal. 3.
11
H. M. N Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3 Hukum Pengangkutan, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 2.
12
M. N. Nasution, Manajemen Transportasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2008, hal. 3.
Dalam hal ini unsur-unsur pengangkutan ialah sebagai berikut :
13
a. Ada sesuatu yang diangkut
b. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya, dan
c. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.
Proses pengangkutan itu merupakan gerak dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan di mana angkutan itu diakhiri.
Pengangkutan juga dapat diartikan dalam arti sempit yang meliputi kegiatan membawa penumpang atau barang dari stasiunterminalpelabuhanbandara
tempat pemberangkatan ke stasiunterminalpelabuhanbandara tujuan. Untuk menentukan pengangkutan itu dalam arti luas atau arti sempit bergantung pada
perjanjian pengangkutan yang dibuat oleh pihak-pihak, bahkan kebiasaan masyarakat.
14
Fungsi Pengangkutan ialah memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan
nilai merupakan tujuan dari pengangkutan, yang berarti bila daya guna dan nilai di tempat baru itu tidak naik, maka pengangkutan tidak perlu diadakan, sebab
merupakan suatu perbuatan yang merugikan bagi si pedagang. Fungsi pengangkutan yang demikian itu tidak hanya berlaku di dunia perdagangan saja,
13
Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta, 2006, hal. 178.
14
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 4.
tetapi juga berlaku di bidang pemerintahan, politik, sosial, pendidikan, hankam dan lain-lainnya.
15
Subjek hukum pengangkutan terdiri dari : a.
Pihak-pihak dalam perjanjian pengangkutan b.
Pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan Objek hukum pengangkutan terdiri dari :
a. Alat pengangkut
b. Muatan yang diangkut
c. Biaya pengangkutan
d. Dokumen pengangkutan
Adapun tujuan dari pengangkutan ialah untuk tiba di tempat tujuan dengan selamat dan meningkatkan nilai guna bagi penumpang ataupun barang yang
diangkut. Tiba di tempat tujuan artinya proses pemindahan dari satu tempat ke tempat ke tempat tujuan berlangsung tanpa hambatan dan kemacetan, sesuai
dengan waktu yang direncanakan. Dengan selamat artinya penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang mengakibatkan luka, sakit, atau
meninggal dunia.Jika yang diangkut itu barang, selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan, atau kemusnahan.
16
Adapun jenis-jenis pengangkutan sesuai dengan alat angkut yang ada sesuai dengan wilayah pengangkutannya, Ridwan Khairandy mengklasifikasikan
macam-macam moda pengangkutan sebagai berikut:
17
15
H. M. N Purwosutjipto,Op. Cit., hal. 1-2.
16
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hal. 15.
17
Ridwan Khairandy, Op. Cit., hal. 179.
a. Pengangkutan Darat :
1. Pengangkutan melalui jalan raya
2. Pengangkutan dengan kereta api
b. Pengangkutan Laut
c. Pengangkutan Udara
Sedangkan Hasim Purba membedakan jenis-jenis pengangkutan itu sebagai berikut:
18
a. Pengangkutan di darat, yang terdiri dari:
1. Pengangkutan dengan kendaraan bermotor
2. Pengangkutan dengan kereta api
3. Pengangkutan dengan tenaga hewan
b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari:
1. Pengangkutan di laut
2. Pengangkutan di sungai dan danau
3. Pengangkutan penyeberangan
c. Pengangkutan udara.
Pengertian angkutan udara atau pengangkutan udara itu sendiri telah diuraikan pada ketentuan umum Undang-Undang No.1 Tahun 2009 Tentang
Penerbangan yang berbunyi: “Setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut
penumpang, kargo, danatau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara.
” Pengangkutan udara ialah pengangkutan yang diangkut dengan pesawat
udara, pesawat udara adalah setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer
18
Hasim Purba, Loc. Cit, hal. 9.
karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan.
Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri.
Kegiatan angkutan udara terbagi dua, angkutan udara niaga dan angkutan udara bukan niaga, tujuan khusus pengangkutan udara dengan pesawat udara
niaga ialah:
19
1. Mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat,
aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktik persaingan usaha yang tidak sehat
2. Memperlancar arus perpindahan orang danatau barang melalui udara dengan
mengutamakan dan melindungi pengangkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional
3. Membina jiwa kedirgantaraan
4. Menjunjung kedaulatan Negara
5. Menciptakan daya saing dengan pengembangan teknologi dan industri
pengangkutan udara nasional 6.
Menunjang, menggerakan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional
19
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 22.
7. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan
Wawasan Nusantara 8.
Meningkatkan ketahanan nasional, dan 9.
Mempererat hubungan antar bangsa
2. Landasan Hukum Pengangkutan Udara
Peraturan-peraturan yang menjadi dasar-dasar hukum pengangkutan udara di Indonesia ialah:
20
a. Undang-undang
Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan, kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
tentang Penerbangan. b.
Ordonansi 1.
Luchtverkeersverordening S. 1936 - 425, yang mengatur lalu lintas udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan
isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain.
2. Verordening Toezicht Lucthtvaart S.1936 - 426, yang merupakan
peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personil penerbangan, selanjutnya pemeriksaan
20
H. M. N Purwosutjipto,Op. Cit., hal. 90.
sebab-sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di wilayah Indonesia dan lain-lain.
3. Luchtvaartquarantine Ordonnantie S. 1939 - 149, jo S.1939 - 150
yang mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang-
penumpang pesawat terbang. 4.
Luchtvervoerordonnantie S. 1939 –100, Ordonansi Pengangkutan
udara, yang mengatur pengangkutan penumpang, bagasi, dan pengangkutan barang serta pertanggung jawab pengangkutan
udara. Pada Ordonansi ini negara-negara di dunia tunduk secara global umum, termasuk Indonesia kecuali jika telah ada
peraturan khusus yang dibuat oleh masing-masing negara. c.
Peraturan Pemerintah 1.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun
2000. 2.
Peraturan Pemerintah
Nomor 71
Tahun 1996
tentang Kebandarudaraan.
d. Perjanjian-Perjanjian Internasional dan Perjanjian Khusus
1. Perjanjian Warsawa 1929
Perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.Perjanjian ini sangat
erat hubungannya dengan “Luchtvervoerordonnantie” S. 1939–
100. Bunyi konsiderans “Luchtvervoerordonnantie” sebagai
berikut : “Dat Hij, in aansluiting aan het op 12 October 1929 te
Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige
bepalingen inzake het internasional luchtvervoer S. 1933 - 344 voorzieningen willende treffen inzake het binnenlandsch
luchtvervoer, zoveel mogelijk overeenkomstig de bij de wet van 10 September 1936 Ned. S. 1936 - 523 voor Nederland vestgestelde
voorschriften; enz.” Bahwa dia dengan menghubungkan perjanjian Warsawa tanggal
12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933, yang mempersatukan beberapa ketentuan
mengenai pengangkutan udara internasional S. 1933 - 344, hendak mengatur tentang pengangkutan udara nasional yang
sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dengan undang-undang Nederland tanggal 10 September 1936 Ned. S.
1936 - 523. Pasal 1, “Lechtvervoerordonnantie” S. 1939 - 100
berbunyi: “De bepalingen van deze ordonnantie vinden toepassing,
voozoveel niet ingevolgen het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking
getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het interrnationale luchtvevoer S. 1933 - 344, hierna te
noemen “het vengrdrag”, een andere voorzieningen geldt” Ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini berlaku, bila perjanjian
tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933 untuk mempersatukan
ketentuan-ketentuan mengenal pengangkutan udara internasional
S. 1933 - 344 selanjutnya disebut “Perjanjian”, tidak menetapkan
ketentuan lain.
21
2. Perjanjian Roma 1933
Perjanjian Roma tanggal 29 Mei 1933, tentang “Convention on Damage caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The
Surface”. Perjanjian ini mengatur tentang tanggung jawab pengangkut udara mengenai kerusakankerugian yang ditimbulkan
pada pihak ketiga di muka bumi. Perjanjian ini diperbaharui pada tahun 1952.
3. Perjanjian internasional khusus pengangkutan, International Air
Transport Association IATA. Sebagai suatu organisasi internasional, dalam mana tergabung
sebagian besar pengangkutan-pengangkutan udara di seluruh dunia, mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-
anggotanya. IATA telah menyetujui “General Condition of
Carriage” syarat-syarat umum pengangkutan, baik untuk penumpang, bagasi maupun untuk barang, berdasarkan ketentuan-
ketentuan perjanjian Warsawa. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat
pengangkutan bagi para anggotanya, berlaku bagi para anggotanya, berlaku
bagi pengangkutan
udara internasional
yang diselenggarakan oleh pengangkut udara anggota IATA. Selain
21
H. M. N Purwosutjipto, Op. Cit., hal. 91.
daripada itu, setiap pengangkut udara mempunyai pula syarat-syarat khusus sendiri yang didasarkan pada “General Condition of
Carriage” dari IATA. Syarat khusus itu selalu dapat diminta dan dilihat oleh setiap orang yang akan membeli tiket atau akan
mengangkut barangnya dengan pesawat terbang dari pengangkut udara yang bersangkutan. Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui
dahulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab dalam tiket penumpang itu selalu disebutkan bahwa pengangkutan udara
dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan Ordonansi Pengangkutan Udara di Indonesia.
B. Pihak-pihak yang Terkait dalam Pengangkutan Udara
Dalam sistem angkutan udara ada beberapa pihak yang terkait dalam penyelenggaraan pengangkutan yaitu:
a. Pengangkut
Secara umum, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD Indonesia tidak dijumpai defenisi pengangkut, kecuali dalam pengangkutan laut.
22
Pengangkut adalah barang siapa yang baik dengan persetujuan charter menurut waktu time charter atau charter menurut perjalanan baik dengan suatu
persetujuan lain mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang seluruhnya maupun sebagian melalui pengangkutan. Pengangkut menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 adalah suatu badan usaha angkutan udara
22
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 54.
niaga yang pemegang izin kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang ini, danatau badan usaha selain badan usaha angkutan udara
niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. b.
Pengirim Pengirim tidak didefinisikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang, pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan selain itu dia juga memberikan muatan. Pengangkut mengikatkan diri untuk mengangkut
muatan yang diserahkan kepadanya, selanjutnya menyerahkan kepada orang yang ditunjuk sebagai penerima dan menjaga keselamatan barang muatan itu. Dalam
sistem angkutan udara dengan multimoda transportasi pihak-pihak dalam pengangkutan yang dikemukakan Sinta Uli terdiri dari beberapa pihak yaitu:
23
1. Pengirim Barang
Pengirim barang dalam sistem angkutan bisa saja bukan pemilik barang, tetapi pihak yang diberikan kuasa untuk melakukan pengiriman barang.
Seperti dalam sistem MTO biasanya pengirim barang adalah forwarding yang memegang BL FIATA yang oleh karena tidak mempunyai sistem
angkutan udara sendiri, maka pengangkut tersebut disubkontrakkan kepada perusahaan angkutan udara. Jadi dalam sistem MTO pihak
pengirim barang bukanlah pemilik barang tetapi perusahaan forwarding yang memberikan kuasa berdasarkan BL FIATA mensubkontrakkan
kepada perusahaan angkutan udara.
23
Sinta Uli, Pengangkutan Suatu Tinjauan Hukum Multimoda Transport, Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara, USU Press, Medan, 2006, hal. 87.
2. Pengangkut
Pihak pengangkut dalam angkutan udara adalah perusahaan angkutan udara yang diberikan kuasa oleh pengirim untuk melakukan pengangkutan
barang ke suatu tujuan tertentu.
C.
Dokumen-dokumen dalam Pengangkutan Udara
Dokumen pengangkutan udara dengan pesawat udara terdiri atas tiket penumpang, tiket bagasi, dan surat muatan udara. Tiket penumpang dan tiket
bagasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, tetapi undang-undang ini tidak memuat perincian keterangan isi dokumen.
24
Pengangkutan udara dengan pesawat udara diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 150 mencantumkan bahwa dokumen
pengangkutan udara terdiri dari tiket penumpang pesawat udar, pas masuk pesawat
udara boarding
pass, tanda
pengenal bagasi
baggage identificationclaim tag dan surat muatan udara airway bill
1. Tiket Penumpang Pesawat Udara
Pengertian tiket menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 ialah dokumen berbentuk cetak, melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya, yang
merupakan salah satu bukti adanya perjanjian angkutan udara antara penumpang dan pengangkut, dan hak penumpang untuk menggunakan pesawat udara atau
diangkut dengan pesawat udara.
24
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hal. 135.
Pengangkut wajib menyerahkan tiket kepada penumpang perseorangan atau penumpang kolektif. Tiket Penumpang sebagaimana dimaksud dalam pasal 151
ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 paling sedikit memuat : a.
Nomor, tempat, dan tanggal penerbitan b.
Nama penumpang dan nama pengangkut c.
Tempat, tanggal, waktu pemberangkatan, dan tujuan pendaratan d.
Nomor penerbangan e.
Tempat pendaratan yang direncanakan antara tempat pemberangkatan dan tempat tujuan, apabila ada dan
f. Pernyataan bahwa pengangkut tunduk pada ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Menurut ketentuan OPU Indonesia, tiket penumpang diterbitkan tidak atas nama niet op naam sebab dalam ketentuan tersebut tidak ada ketentuan
mencantumkan nama penumpang. Pasal itu hanya memuat butir-butir berikut ini:
25
a. Tempat dan tanggal penerbitan
b. Bandara pemberangkatan dan tujuan
c. Pendaratan yang direncanakan di tempat antara bandara pemberangkatan dan
tujuan mengingat hak pengangkut udara untuk mengajukan syarat bahwa dia bila perlu dapat mengadakan perubahan dalam pendaratan
d. Nama dan alamat pengangkut udara
e. Pemberitahuan bahwa pengangkutan udara tunduk pada ketentuan mengenai
tanggung jawab yang diatur oleh ordonansi ini atau Perjanjian Warsawa Pasal 5 ayat 1 OPU Indonesia.
Dalam praktik perjanjian pengangkutan udara, nama penumpang justru harus dicantumkan dalam tiket penumpang. Tiket penumpang harus diterbitkan
25
Abdulkadir Muhammad, Loc. Cit., hal. 135.
“atas nama” on name. Pencantuman nama penumpang perlu karena dia adalah pihak dalam perjanjian dan untuk kepastian dalam pengangkutan udara.
26
Tiket tidak perlu dinyatakan merupakan perjanjian pengangkutan udara namun tetap
tiket itu merupakan tanda bukti adanya perjanjian pengangkutan udara, dan perjanjian pengangkutan udara itu tetap bersifat konsensuil.
27
2. Pas Masuk Pesawat Udara Boarding Pass
Pengangkut harus menyerahkan pas masuk pesawat udara, pas masuk pesawat udara pada pasal 152 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 paling
sedikit memuat: a.
Nama penumpang b.
Rute penerbangan c.
Nomor penerbangan d.
Tanggal dan jam keberangkatan e.
Nomor tempat duduk f.
Pintu masuk ke ruang tunggu menuju pesawat udara boarding gate dan g.
Waktu masuk pesawat udara boarding time. 3.
Tanda Pengenal Bagasi baggage identificationclaim tag Pasal 153 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, mewajibkan
menyerahkan tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada pasal 150 huruf c kepada penumpang. Tanda pengenal bagasi sebagaimana dimaksud pada Pasal
153 ayat 1 paling sedikit memuat: a.
Nomor tanda pengenal bagasi b.
Kode tempat keberangkatan dan tempat tujuan c.
Berat bagasi
26
Ibid, 135-136.
27
H.M.N Purwosutjipto, Op. Cit., hal. 96.
Tiket Bagasi merupakan tanda bukti penitipan barang, yang nanti bila penumpang turun dari pesawat terbang, barang bagasi itu akan diminta kembali.
Dipandang dari sudut perjanjian pengangkutan, maka perjanjian penitipan bagasi ini merupakan “accessoire verbintenis.” Jadi, tiket bagasi itu hubungannya erat
sekali dengan perjanjian pengangkutan, meskipun begitu dengan tidak adanya tiket bagasi, suatu kesalahan di dalamnya atau hilangnya tiket bagasi itu tidak
mempengaruhi adanya atau berlakunya perjanjian pengangkutan udara, yang tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam OPU Pasal 6 ayat 5 OPU, akan tetapi
bila pengangkut udara menerima bagasi untuk diangkut tanpa memberikan suatu tiket bagasi, maka dia tidak berhak untuk mempergunakan ketentuan-ketentuan
OPU, yang meniadakan atau membatasi tanggung jawab. Dari ketentuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk kepentingan
sendiri, pengangkutan udara harus memberikan tiket bagasi kepada penumpang, sebab kalau tidak, dia sendiri akan rugi bila barang bagasi hilang atau rusak.
28
4. Surat Muatan Udara Airway bill
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang dimaksud Surat Muatan Udara Airway bill adalah dokumen berbentuk cetak,
melalui proses elektronik, atau bentuk lainnya yang merupakan salah satu bukti adanya perjanjian pengangkutan udara antara pengirim kargo dan pengangkut,
dan hak penerima kargo untuk mengambil kargo. Surat muatan udara dibuat dalam rangkap tiga oleh pengirim, bagian pertama untuk perusahaan penerbangan
yang ditandatangani oleh pengirim, bagian kedua untuk penerima barang yang
28
H. M. N Purwosutjipto, Op. Cit, hal. 96-97.
ditandatangani oleh perusahaan penerbangan dengan pengirim barang dan bagian ketiga untuk pengirim yang ditandatangani oleh perusahaan penerbangan pada
saat barang diserahkan oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Tanda tangan tersebut dapat dilakukan dengan stempel atau tanda tangan asli.
Bilamana diminta oleh pengirim, perusahaan penerbangan membuat surat muatan udara Airway Bill, perusahaan penerbangan dianggap bekerja untuk dan
atas nama pengirim kecuali secara tegas terbukti sebaliknya.
29
Menurut Pasal 10 OPU, surat muatan udara harus berisi:
30
1. Tempat dan tanggal surat muatan udara itu dibuat
2. Tempat pemberangkatan dan tempat tujuan
3. Pendaratan-pendaratan yang direncanakan dengan mengikat hak pengangkut
udara untuk merubah rencana itu bila perlu 4.
Nama dan alamat pengangkut pertama 5.
Nama dan alamat pengirim 6.
Nama dan alamat penerima 7.
Macam barang 8.
Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa atau nomor barang- barang
9. Berat, jumlah, besar atau ukuran barang-barang
10. Keadaan luar barang-barang dan pembungkusannya
11. Uang angkutan udara, tanggal dan tempat pembayaran, dan orang-orang
yang harus membayar 12.
Jika pengiriman dilakukan dengan jaminan pembayaran, harga barang- barang dan jumlah biaya-biaya
13. Jumlah nilai barang-barang
14. Dalam rangkap berapa surat muatan udara dibuat
15. Surat-surat yang diserahkan kepada pengangkut untuk menyertai barang-barang
16. Lamanya pengangkutan udara dan petunjuk ringkas tentang rute yang
ditempuh 17.
Pemberitahuan bahwa pengangkutan ini tunduk pada ketentuan-ketentuan tanggung jawab yang diatur dalam OPU atau perjanjian Warsawa.
29
K. Martono, Amad Sudiro, Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun 2009,Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal. 268-269.
30
H.M.N Purwosutjipto, Op.Cit., hal. 98-99.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa surat muatan udara ini isinya lebih lengkap daripada tiket penumpang atau tiket bagasi, tetapi
kedudukan hukumnya sama saja dengan tiket penumpang atau tiket bagasi.
31
Pada OPU surat muatan udara ialah apabila seorang akan mengirim barang menggunakan pesawat udara sedangkan dia sendiri tidak turut pergi maka
pengirim barang itu memberikan surat muatan kepada pengangkut udara. Sebaliknya pengirim berhak minta kepada pengangkut untuk menerima surat
muatan udara tersebut. Dokumen yang diperlukan dalam pengiriman barangkargo ada dua yaitu:
1. SMU Surat Muatan Udara khusus untuk penerbangan domestik.
Surat muatan udara sebagaimana dimaksud pada Pasal 155 ayat 2 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009, paling sedikit memuat:
a. Tanggal dan tempat surat muatan udara di buat
b. Tempat pemberangkatan dan tujuan
c. Nama dan alamat pengangkut pertama
d. Nama dan alamat pengirim kargo
e. Nama dan alamat penerima kargo
f. Jumlah, cara pembungkusan, tanda-tanda istimewa, atau nomor kargo
yang ada g.
Jumlah, berat, ukuran, atau besarnya kargo h.
Jenis atau macam kargo yang dikirim, dan i.
Pernyataan bahwa pengangkutan kargo ini tunduk pada ketentuan dalam undang-undang ini.
Angkutan kargo juga diatur dalam Pasal 4 Konvensi Montreal 1999, Menurut pasal tersebut, perusahaan penerbangan harus menyerahkan surat muatan
udara Airway Bill kepada pengirim barang. Surat muatan udara dapat diganti dengan sarana apapun untuk penyerahan, apabila digunakan sarana lain dari surat
31
Ibid
muatan udara perusahaan penerbangan harus menyerahkan kepada pengirim pada saat penyerahan barang oleh pengirim kepada perusahaan penerbangan. Surat
muatan udara tersebut berisikan antara lain indikasi bandar udara keberangkatan dan bandar udara tujuan, apabila bandar udara keberangkatan dan bandar udara
tujuan berada dalam satu wilayah negara anggota konvensi Montreal 1999, harus ada satu atau lebih pendaratan antara intermediate lending di negara lain
walaupun bukan negara anggota konvensi Montreal 1999. 2.
AWB Airway Bill khusus untuk penerbangan internasional Dokumen yang digunakan dalam pengangkutan kargo udara dikenal
dengan airway bill atau surat kargo udara yang harus berisi 18 elemen sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Konvensi Warsawa 1929. Pengadilan
menetapkan yang terpenting adalah Pasal 8c karena itu yang akan menentukan apakah suatu pengangkutan itu tunduk pada konvensi atau tidak.
Fungsi surat kargo udara adalah untuk dapat diterapkannya Konvensi. Hal ini merupakan kompromi dari dua kehendak yaitu kehendak pertama berpendapat
bahwa untuk melindungi para pihak dalam pengangkutan harus dengan surat kargo udara dan kehendak kedua berpendapat bahwa untuk melindungi
kepentingan para pihak diserahkan kepada para pihak sendiri yaitu dengan cara pengirim membuat surat kargo dan ditandatangani oleh pengangkut.
Maksud Konvensi menyerahkan pembuatan atau pengisian surat kargo udara kepada pengirim agar terjamin akuratnya karena pengirim dianggap paling
mengetahui tentang kargo yang dikirimnya. Oleh karena itu, ketidakakuratan surat kargo udara menjadi tanggung jawab pengirim. Dalam hal surat kargo udara
dibuat oleh pengangkut atau agennya jika terjadi kesalahan atau keterangan yang berbeda maka tanggung jawab pengangkut akan lebih besar karena segala
keterangan dianggap benar. Surat kargo udara merupakan bukti adanya kontrak, penyerahan kargo, dan penerimaan persyaratan perjanjian, juga merupakan
instruksi kepada pengangkut dimana dan kepada siapa kargo diserahkan dan siapa yang akan membayar.
Dalam praktiknya surat kargo udara sudah distandarisasikan sehingga para pihak hampir tidak mungkin membicarakan persyaratan kontrak. Dengan
demikian, kontrak itu menjadi kontrak baku standart contract. Namun, surat kargo udara bukan merupakan syarat mutlak adanya kontrak pengangkutan, hanya
sebagai alat pembuktian adanya kontrak. Bagi pengangkut, menerbitkan surat kargo udara bukan merupakan kewajiban tetapi merupakan hak, namun secara
sepintas hak ini mempunyai konsekuensi yang merugikan pengangkut dan bukannya merugikan pengirim.
D. Perjanjian Pengangkutan Udara