Landasan Hukum Pengangkutan Udara

7. Memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara 8. Meningkatkan ketahanan nasional, dan 9. Mempererat hubungan antar bangsa

2. Landasan Hukum Pengangkutan Udara

Peraturan-peraturan yang menjadi dasar-dasar hukum pengangkutan udara di Indonesia ialah: 20 a. Undang-undang Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan yang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, kemudian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. b. Ordonansi 1. Luchtverkeersverordening S. 1936 - 425, yang mengatur lalu lintas udara, misalnya: mengenai penerangan, tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang harus dipergunakan dalam penerbangan dan lain-lain. 2. Verordening Toezicht Lucthtvaart S.1936 - 426, yang merupakan peraturan pengawasan atas penerbangan dan mengatur antara lain pengawasan atas personil penerbangan, selanjutnya pemeriksaan 20 H. M. N Purwosutjipto,Op. Cit., hal. 90. sebab-sebab kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di wilayah Indonesia dan lain-lain. 3. Luchtvaartquarantine Ordonnantie S. 1939 - 149, jo S.1939 - 150 yang mengatur persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pencegahan disebarkannya penyakit menular oleh penumpang- penumpang pesawat terbang. 4. Luchtvervoerordonnantie S. 1939 –100, Ordonansi Pengangkutan udara, yang mengatur pengangkutan penumpang, bagasi, dan pengangkutan barang serta pertanggung jawab pengangkutan udara. Pada Ordonansi ini negara-negara di dunia tunduk secara global umum, termasuk Indonesia kecuali jika telah ada peraturan khusus yang dibuat oleh masing-masing negara. c. Peraturan Pemerintah 1. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yang diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2000. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang Kebandarudaraan. d. Perjanjian-Perjanjian Internasional dan Perjanjian Khusus 1. Perjanjian Warsawa 1929 Perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933.Perjanjian ini sangat erat hubungannya dengan “Luchtvervoerordonnantie” S. 1939– 100. Bunyi konsiderans “Luchtvervoerordonnantie” sebagai berikut : “Dat Hij, in aansluiting aan het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het internasional luchtvervoer S. 1933 - 344 voorzieningen willende treffen inzake het binnenlandsch luchtvervoer, zoveel mogelijk overeenkomstig de bij de wet van 10 September 1936 Ned. S. 1936 - 523 voor Nederland vestgestelde voorschriften; enz.” Bahwa dia dengan menghubungkan perjanjian Warsawa tanggal 12 Oktober 1929, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933, yang mempersatukan beberapa ketentuan mengenai pengangkutan udara internasional S. 1933 - 344, hendak mengatur tentang pengangkutan udara nasional yang sedapat mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dengan undang-undang Nederland tanggal 10 September 1936 Ned. S. 1936 - 523. Pasal 1, “Lechtvervoerordonnantie” S. 1939 - 100 berbunyi: “De bepalingen van deze ordonnantie vinden toepassing, voozoveel niet ingevolgen het op 12 October 1929 te Waarschau gesloten en op 29 September 1933 voor Indonesia in werking getreden verdrag tot het brengen van eenheid in enige bepalingen inzake het interrnationale luchtvevoer S. 1933 - 344, hierna te noemen “het vengrdrag”, een andere voorzieningen geldt” Ketentuan-ketentuan dari ordonansi ini berlaku, bila perjanjian tanggal 12 Oktober 1929 di Warsawa, yang berlaku di Indonesia mulai tanggal 29 September 1933 untuk mempersatukan ketentuan-ketentuan mengenal pengangkutan udara internasional S. 1933 - 344 selanjutnya disebut “Perjanjian”, tidak menetapkan ketentuan lain. 21 2. Perjanjian Roma 1933 Perjanjian Roma tanggal 29 Mei 1933, tentang “Convention on Damage caused by Foreign Aircraft to Third Parties on The Surface”. Perjanjian ini mengatur tentang tanggung jawab pengangkut udara mengenai kerusakankerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di muka bumi. Perjanjian ini diperbaharui pada tahun 1952. 3. Perjanjian internasional khusus pengangkutan, International Air Transport Association IATA. Sebagai suatu organisasi internasional, dalam mana tergabung sebagian besar pengangkutan-pengangkutan udara di seluruh dunia, mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota- anggotanya. IATA telah menyetujui “General Condition of Carriage” syarat-syarat umum pengangkutan, baik untuk penumpang, bagasi maupun untuk barang, berdasarkan ketentuan- ketentuan perjanjian Warsawa. Syarat-syarat umum pengangkutan ini bertujuan untuk mengadakan keseragaman dalam syarat-syarat pengangkutan bagi para anggotanya, berlaku bagi para anggotanya, berlaku bagi pengangkutan udara internasional yang diselenggarakan oleh pengangkut udara anggota IATA. Selain 21 H. M. N Purwosutjipto, Op. Cit., hal. 91. daripada itu, setiap pengangkut udara mempunyai pula syarat-syarat khusus sendiri yang didasarkan pada “General Condition of Carriage” dari IATA. Syarat khusus itu selalu dapat diminta dan dilihat oleh setiap orang yang akan membeli tiket atau akan mengangkut barangnya dengan pesawat terbang dari pengangkut udara yang bersangkutan. Syarat-syarat khusus ini perlu diketahui dahulu oleh calon penumpang atau pengirim barang, sebab dalam tiket penumpang itu selalu disebutkan bahwa pengangkutan udara dengan tiket itu tunduk pada syarat-syarat khusus pengangkutan dan Ordonansi Pengangkutan Udara di Indonesia.

B. Pihak-pihak yang Terkait dalam Pengangkutan Udara