Dentin Tersier Yang Terbentuk Pada Gigi Molar Rahang Bawah Atrisi Akibat Menyirih

(1)

DENTIN TERSIER YANG TERBENTUK PADA

GIGI MOLAR RAHANG BAWAH ATRISI

AKIBAT MENYIRIH

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteraan Gigi

Oleh :

RAHMAT SETIADI NABABAN NIM : 080600035

Pembimbing: 1. Yendriwati, drg., M.Kes. 2. Yumi Lindawati, drg., MDSc.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Biologi Oral

Tahun 2015 Rahmat Setiadi Nababan

DENTIN TERSIER YANG TERBENTUK PADA GIGI MOLAR

RAHANG BAWAH YANG ATRISI AKIBAT MENYIRIH

xi + 45 halaman

Dentin tersier adalah jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi terhadap stimulus eksternal yang kuat dalam penggunaan gigi geligi. Atrisi akibat pengunyahan yang cepat dan berlebihan seperti menyirih akan memicu odontoblast-like cell membentuk dentin tersier. Tujuan penelitan ini adalah untuk mengetahui dentin tersier yang terbentuk pada gigi penyirih di setiap puncak pulpa yaitu linguomesial, linguodistal, bukomesial, bukodistal dan fisur, melihat perbedaan distribusi dentin tersier pada atap pulpa di setiap bagian puncak pulpa dan melihat hubungan dentin tersier yang terbentuk dengan usia, lama menyirih dan atrisi gigi.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross-sectional, dengan melakukan observasi pada 11 gigi molar satu atau molar dua rahang bawah untuk melihat dentin tersier yang terbentuk pada gigi penyirih yang mengalami atrisi. Sampel ditanam di dental stone sampai sepertiga akar gigi, dibelah secara vertikal menggunakan diamound bur disc dari arah mahkota gigi sampai ke batas dental stone. Sampel diobservasi dan difoto dibawah Olympus SZX16 microscope yang dilengkapi kamera dan terintegrasi dengan komputer.


(3)

Hasil penelitian diperoleh dentin tersier yang terbentuk ditemukan pada setiap puncak pulpa dari gigi yang mengalami atrisi dengan distribusi pada bagian linguomesial 90%, linguodistal 72,8%, bukomesial 100%, bukodistal 100%, dan fisur 90,9%.

Penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dentin tersier yang terbentuk ditemukan pada 11 sampel gigi molar bawah yang mengalami atrisi akibat menyirih. Dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa dan fisur gigi yang mengalami atrisi lebih banyak ditemukan dibagian bukal serta belum diperoleh hubungan yang signifikan antara dentin tersier yang terbentuk dengan usia penyirih, lama menyirih, dan derajat atrisi (p>0,05).


(4)

DENTIN TERSIER YANG TERBENTUK PADA

GIGI MOLAR RAHANG BAWAH ATRISI

AKIBAT MENYIRIH

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteraan Gigi

Oleh :

RAHMAT SETIADI NABABAN NIM : 080600035

Pembimbing: 1. Yendriwati, drg., M.Kes. 2. Yumi Lindawati, drg., MDSc.

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji

Medan, 24 April 2015

Pembimbing: Tanda tangan

1. Yendriwati, drg., M.Kes ………


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 24 April 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Yendriwati, drg., M.Kes ANGGOTA : 1. Yumi Lindawati, drg,. MDSc


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan kasih-Nya kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dentin Tersier Yang Terbentuk Pada Gigi Molar Rahang Bawah Atrisi Akibat Menyirih” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Yendriwati, drg,. M.Kes dan Yumi Lindawati, drg., MDSc selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Rehulina Ginting, drg,. M.Si Selaku Ketua Departemen Ilmu Biologi Oral dan Lisna Unita, drg., M.Kes., Minasari, drg., MM., Dr. Ameta Primasari, drg., M.Kes., MDSc., selaku dosen di Departemen Ilmu Biologi Oral.

3. Cut Nurliza, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan dukungan moral yang diberikan.

4. Pegawai Departemen Biologi Oral : Ibu Naisah dan Ibu Dani atas bantuan moril yang telah diberikan.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga yang tersayang ayahanda H. RP. Nababan, ibunda tercinta L.Sinambela, saudara penulis Indra Nababan, Iren, Ayu, Frengki, Monika, Niken dan Steven atas segala kasih sayang yang menguatkan dan


(8)

menyemangati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, serta dukungan dan doa yang diberikan selama ini.

Selanjutnya terimakasih juga penulis ucapkan kepada Betaria Pasaribu, Harnaldes Limbong, Lamser Hutasoit, Junaidi, Martin, Indra agung (bempong) dan semua teman seperjuangan stambuk 2008, teman-teman mahasiswa skripsi di BO dan sahabat-sahabat Pelangi Kost atas kebersamaan dan kekeluargaan selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Kedokteran Gigi.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, April 2015 Penulis,

RAHMAT SETIADI NABABAN NIM.: 080600035


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... PERNYATAAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesa ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 4

1.5.2 Manfaat Praktis ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dentin Pulpa Kompleks ... 5

2.2.1 Dentin Primer ... 7

2.1.2 Dentin Sekunder ... 7

2.1.3 Dentin Tersier ... 8

2.1.3.1 Dentin Reaksioner ... 9

2.1.3.2 Dentin Reparatif ... 10 2.2 Menyirih ... 11


(10)

2.3.1 Daun Sirih ... 12

2.3.2 Kapur ... 12

2.3.3 Pinang ... 13

2.3.4 Gambir ... 13

2.4 Frekuensi, Lama Menyirih dan Usia Penyirih ... 13

2.5 Atrisi Gigi ... 14

2.5.1 Derajat Atrisi ... 15

2.5.2 Faktor Penyebab Atrisi Patologis ... 16

2.6 Hubungan Menyirih dengan Atrisi ... 17

2.7 Hubungan Atrisi dengan Dentin Tersier ... 17

2.8 Ciri-ciri Molar 1 dan Molar 2 Rahang bawah ... 19

2.9 Olympus SZX1 Microscope ... 19

2.10 Landasan Teori ... 20

2.11 Kerangka Konsep ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 24

3.2 Tempat dan Waktu ... 24

3.3 Populasi dan Sampel... 24

3.3.1 Populasi ... 24

3.3.2 Sampel ... 24

3.4 Kriteria Pemilihan Sampel ... 24

3.5 Besar Sampel Penelitian ... 25

3.6 Variabel Penelitian ... 25

3.7 Alat dan Bahan Penelitian ... 26

3.8 Defenisi Operasional ... 26

3.9 Prosedur Penelitian ... 27

3.10 Pengolahan Data dan Analisa Data ... 29

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Persentase Distribusi Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa ... 31

4.2 Hubungan Usia Penyirih dengan Dentin Tersier yang Terbentuk pada Puncak Pulpa ... 31

4.3 Hubungan Lama Menyirih dengan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa ... 33

4.4 Hubungan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa Dengan Derajat Atrisi ... 34

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Persentase Distribusi Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa ... 36 5.2 Hubungan Usia Penyirih dengan Dentin Tersier yang


(11)

5.3 Hubungan Lama Menyirih dengan Dentin Tersier yang

Terbentuk Pada Puncak Pulpa ... 39 5.4 Hubungan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak

Pulpa dengan Derajat Atrisi ... 39

BAB VI KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan ... 42 6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Karakteristik sampel... 30 2. Persentase distribusi dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa ... 31 3. Hubungan usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak

pulpa bagian lingual ... 31 4. Hubungan usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak

pulpa bagian bukal ... 32 5. Hubungan lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual ... 33 6. Hubungan lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal ... 33 7. Hubungan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual

dengan derajat atrisi ... 34 8. Perbedaan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur gigi ... 6

2. Dentin primer, dentin sekunder ... ... 7

3. Dentin tersier akibat atrisi (40X)... 11

4. Indeks atrisi gigi ... 16

5. Gigi atrisi ... 17

6. Olympus SZX16 Microscope ... 19

7. Dentin tersier akibat menyirih dengan Microscope Olympus SZX16 pembesaran 1,25x1000 (Dokumentasi) ... 27

8. Gambaran mikroskop dentin tersier pada bukal dan lingual sampel 6 (A=1,25x1000 ;B=3,2X1000) (Dokumentasi) ... 35


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Skema alur pikir 2. Kuesioner

3. Kuesioner pemilihan sampel gigi 4. Ethical Clearence

5. Gambaran mikroskopis dentin tersier dengan Olympus SZX16


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menyirih merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia secara turun temurun yang berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Kebiasaan menyirih dijumpai pada perempuan suku Karo di Sumatera Utara, yang berlangsung sampai saat ini, baik itu merupakan kebiasaan sehari-hari atau untuk acara adat.1

Komposisi menyirih yang umumnya dilakukan terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Ada juga dengan komposisi tambahan lainnya misalnya tembakau, cengkeh, gambir, dan bahan rempah-rempah lain sebagai penambah aroma.1,2

Efek negatif kebiasaan meyirih pada kesehatan rongga mulut dapat dibagi dua, yaitu efek terhadap mukosa mulut dan efek terhadap gigi. Terhadap mukosa mulut, menyirih dapat menyebabkan lesi oral leukoplakia, fibrosis submukosa, karsinoma sel skuamosa, lesi lichenoid, penyakit periodontal, dan kanker rongga mulut. Efek negatif menyirih terhadap gigi dapat menyebabkan atrisi gigi, hipersensitivitas dentin, fraktur akar, nekrose pulpa, terbentuknya kalkulus dan stein pada gigi.3

Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan keausan pada permukaan insisal dan oklusal gigi pada bagian enamel. Kehilangan lapisan enamel dapat menyebabkan terpaparnya lapisan dentin yang mengakibatkan hipersensitivitas dentin.3 Dalam proses menyirih juga terjadi peningkatan frekuensi dan tekanan pengunyahan. Hal ini menyebabkan bertambahnya jumlah gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi, sehingga akan meningkatkan derajat atrisi yang terjadi pada gigi.4

Atrisi gigi merupakan kehilangan substansi atau bagian gigi yang disebabkan oleh kontak antar gigi secara normal maupun tidak normal selama proses pengunyahan.4,5 Derajat atrisi pada penyirih dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu


(16)

tergantung pada konsistensi (kekerasan) komposisi sirih, frekuensi menyirih, dan lama kebisaaan ini dilakukan.3

Penelitian Permana (2013) pada perempuan penyirih Suku Karo di Kecamatan Pancurbatu, semua sampel mengalami atrisi gigi dengan derajat atrisi gigi 1, 2, dan 3 (berdasarkan indeks keausan gigi Smith dan Knight). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya hubungan lama menyirih terhadap derajat atrisi gigi. Semakin lama kebiasaan menyirih dilakukan, permukaan gigi semakin terkikis, derajat atrisi akan terus meningkat sampai mencapai atrisi gigi derajat tiga, dimana sudah melibatkan sepertiga tengah dentin dengan pulpa terbuka.6

Pulpa memiliki sel khusus yaitu odontoblas yang mempertahankan kemampuan pulpa membentuk dentin sepanjang hidup. Sel ini akan memper-tahankan kesehatan pulpa dengan mengganti bagian yang rusak akibat kehilangan lapisan enamel atau dentin yang disebabkan oleh karies atau keausan gigi dengan membentuk jaringan keras yang akan menghambat iritasi mencapai jaringan pulpa yang tersisa.7 Perbaikan dentin terjadi terus menerus oleh sel odontoblas. Odon-toblas membentuk dentin tersier sebagai respon terhadap injuri akibat karies dan atrisi. Dentin tersier terbagi dua berdasarkan odontoblas pembentuknya, yaitu dentin reaksioner dan dentin reparatif.8 Dentin reaksioner dibentuk oleh original odonto-blast yang merupakan reaksi penyembuhan akibat cedera ringan pada permukaan pulpa, sedangkan dentin reparatif dibentuk oleh odontoblast-like-cell yang merupakan reaksi penyembuhan pulpa akibat cedera jaringan yang lebih besar pada pulpa. Keduanya merupakan dentin tersier dan untuk membedakan keduanya perlu mengikuti kronologi injuri yang diterima gigi.9

Pada manusia, rata-rata derajat pembentukan dentin reparatif adalah 2,8 mikron perhari untuk gigi desidui dan 1,5 mikron untuk gigi permanen.10 Adanya pembentukan dentin tersier menyebabkan timbulnya nyeri jarang terjadi pada kasus atrisi. Pembentukan dentin tersier biasanya terjadi pada permukaan pulpa untuk mencegah terpaparnya pulpa akibat cedera pada dentin.4 Dentin tersier terbentuk tepat dibagian yang mendapat respon terhadap injuri yang merusak odontoblas atau


(17)

merusak sel-sel dalam pulpa. Pembentukannya tergantung pada intensitas injuri yang terjadi.11

Dentin-pulpa kompleks sama seperti jaringan tubuh yang lain mengalami perubahan-perubahan seiring dengan bertambahnya usia. Perubahan yang paling jelas adalah penurunan volume ruang pulpa dan saluran akar akibat berlanjutnya pembentukan dentin. Ketika gigi sudah erupsi sempurna, dentin mengalami perubahan baik akibat pertambahan usia ataupun sebagai respon terhadap stimulus yang diterima gigi, seperti karies atau atrisi gigi. Perubahan fisiologis karena pertambahan usia ditandai dengan pembentukan dentin sekunder dan translusen dentin, sedangkan sebagai respon terhadap stimulus luar, ditandai pembentukan dentin tersier.10

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk melihat dentin tersier yang terbentuk pada gigi penyirih yang mengalami atrisi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat lapisan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal (bukomesial dan bukodistal), bagian lingual (linguomesial dan linguodistal), dan fisur ?

2. Apakah terdapat perbedaan distribusi dentin tersier yang terbentuk pada gigi penyirih puncak pulpa bagian bukal (bukomesial dan bukodistal), bagian lingual (linguomesial dan linguodistal), dan fisur ?

3. Apakah terdapat hubungan dentin tersier yang terbentuk terhadap usia, lama menyirih dan atrisi gigi ?

1.3 Hipotesa

1. Terdapat perbedaaan distribusi dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal (bukomesial dan bukodistal), bagian lingual (linguomesial dan linguodistal), dan fisur.


(18)

2. Terdapat hubungan dentin tersier yang terbentuk terhadap usia, lama menyirih dan atrisi gigi.

1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Melihat dentin tersier yang terbentuk pada gigi penyirih di setiap puncak pulpa yaitu linguomesial, linguodistal, bukomesial, bukodistal dan fisur.

2. Melihat perbedaan distribusi dentin tersier pada puncak pulpa bagian bukal (bukomesial dan bukodistal), bagian lingual (linguomesial dan linguodistal), dan fisur.

3. Melihat hubungan dentin tersier yang terbentuk terhadap usia, lama menyirih dan atrisi gigi.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :

1. Sebagai informasi untuk mengetahui dentin tersier yang terbentuk pada gigi atrisi akibat menyirih.

2. Sebagai bahan masukan dalam perkembangan ilmu kedokteran gigi khususnya biologi oral.

3. Sebagai data awal untuk penelitian lanjutan mengenai dentin tersier yang terbentuk akibat atrisi pada gigi penyirih.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan penyuluhan kepada masyarakat bahwa menyirih menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan rongga mulut, terutama efek pada jaringan keras gigi yaitu menyebabkan atrisi gigi.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dentin Pulpa Kompleks

Dentin merupakan pembentuk utama struktur gigi dan meluas hampir keseluruh panjang gigi. Di bagian mahkota, dentin dilapisi enamel, di bagian akar dilapisi oleh sementum.9,12 Dentin merupakan jaringan keras tetapi juga elastis yang tersusun dari tubulus-tubulus kecil tersusun sejajar dalam matriks kolagen. Berdasarkan beratnya dentin terdiri dari 70% kristal hidroksiapatit (anorganik), 20% merupakan zat organik yang tersusun dari kolagen dan substansi dasar mukopolisakarida, 10% air dan berdasarkan volumenya terdiri dari 50% anorganik, 28% organik dan 20% air.12,13

Dentin dibentuk oleh odontoblas, dimulai dari pusat perkembangan di sepanjang Dentino Enamel Junction (DEJ) dan akan menyebar ke dalam dan keluar sehingga membentuk ruang pulpa. Lapisan bagian dalam dentin akan membentuk dinding pulpa. Odontoblas akan membatasi dinding pulpa, dari sini akan berlanjut membentuk dan memperbaiki dentin.13

Odontoblas merupakan sel yang responsibel terhadap pembentukan dentin. Odontoblas berasal dari sel ektomesenkim, berbentuk kolumnar tinggi. Setelah proses dentinogenesis, odontoblas tersusun memanjang mengelilingi pulpa gigi yang akan memulai pertahanan gigi dengan membentuk lapisan dentin yang baru sepanjang hidup. Odontoblast-like cell bisa juga membentuk lapisan dentin reparatif setelah injuri merusak beberapa jaringan.8 Fungsi utama odontoblas yang berada dalam jaringan pulpa gigi adalah membentuk dentin gigi. Original odontoblast terdapat di dalam pulpa sejak masa pembentukan gigi dan merupakan sel khusus yang berdiferensiasi sehingga akan kehilangan kemampuan untuk membelah diri.14

Dentin pulpa kompleks diyakini merupakan sistem yang memiliki kemampuan beradaptasi terhadap stimulus sebagai respon untuk mempertahankan vitalitasnya dimana pertahanannya berfokus pada pembentukan dentin. Ketika


(20)

pembentukan gigi sudah sempurna, pulpa mendukung dentin dengan cara mempertahankan homeostasis dan mekanisme perlindungan dentin. Pulpa juga mampu mengaktifkan kembali proses dentinogenesis untuk mempertahankan diri dari injuri eksternal dan internal.9

Dentin pada mamalia dapat diklasifikasikan menjadi dentin primer, sekunder, dan dentin tersier. Dentin primer disebut juga dentin regular atau tubular dentin, dan dibentuk sebelum gigi erupsi. Dentin sekunder disebut juga dentin regular yang terbentuk seumur hidup. Dentin tersier disebut juga dentin irregular, dan dibentuk disekitar injuri seperti karies atau preparasi kavitas, dan dapat juga dibedakan menjadi dentin reaksioner dan dentin reparatif (Gambar 3).14

Respon terhadap stimuli luar datang dari pulpa gigi tetapi manisfestasinya terhadap struktur dentin adalah pembentukan dentin baru. Pembentukan dentin tersier akan mencegah meluasnya proses karies atau toksin. Meskipun pembentukan dentin sekunder berlangsung seumur hidup, akan tetapi ini bukan merupakan respon terhadap stimuli eksternal, tetapi berkontribusi sebagai fungsi barrier dentin.12


(21)

2.1.1 Dentin Primer

Dentin primer merupakan dentin yang pertama kali terbentuk dari mulai proses pembentukan gigi sampai gigi tersebut erupsi sempurna dan merupakan bagian terbesar dari gigi. Dentin primer dibentuk oleh sel odontoblas mulai dari proses pembentukan gigi sampai setelah penutupan akar sempurna. Lapisan terluar dari dentin primer berbatasan langsung dengan enamel atau dentin primer terletak tepat di bawah enamel. Secara histologis dentin primer memiliki tubulus dentin yang lebih banyak dibanding dentin sekunder.16

Gambar 2. Dentin primer, Dentin sekunder 11

2.1.2 Dentin Sekunder

Dentin sekunder mulai terbentuk setelah gigi erupsi dan berlanjut dengan sangat lambat sepanjang umur gigi dan perlahan-lahan akan memperkecil ruang pulpa seiring bertambahnya umur.13 Strukturnya sangat mirip dengan dentin primer sehingga sulit untuk membedakan keduanya.12 Schour (1988) menjelaskan bahwa terdapat 4 mikron dentin sekunder yang terbentuk setiap hari. Pembentukan dentin sekunder lambat dan perlahan-lahan, meningkat ketika mencapai usia 33-40 tahun. Pada gigi molar, pembentukan dentin terlihat paling banyak di dasar pulpa, berkurang pada daerah atap, dan sedikit di bagian samping.10 Dengan bertambahnya


(22)

usia tinggi ruang pulpa akan menurun dengan signifikan dalam arah oklusal-radikular tetapi tidak bertambah luas dalam arah mesiodistal. Pada gigi anterior, dentin sekunder paling banyak terbentuk di bagian lingual ruang pulpa, sebagai akibat gaya pengunyahan kemudian akan terbentuk di bagian insisal dan puncak pulpa.11

2.1.3 Dentin Tersier

Dentin tersier adalah jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi terhadap stimulus eksternal yang kuat dalam penggunaan gigi geligi. Dentin tersier tidak dibentuk oleh sel odontoblas yang sama dengan dentin primer dan sekunder. Dentin ini dibentuk oleh odontoblast-like cell yang berdiferensiasi dari sel-sel yang ada dalam pulpa. Sel odontoblas banyak terdapat dalam pulpa gigi yang baru erupsi akan tetapi akan berkurang jumlahnya seiring bertambahnya usia. Dentin tersier memiliki struktur yang tidak beraturan dan terlokalisasi pada daerah tubulus dentin yang terpapar.17 Dibandingkan dengan dentin primer, dentin tersier kurang sensitif terhadap suhu, osmotik, dan rangsangan.18

Dentin tersier merupakan dentin irregular yang dibentuk sebagai respon terhadap stimuli abnormal, seperti keausan gigi, preparasi kavitas, material restorasi gigi, dan karies. Dentin tersier sering juga disebut sebagai dentin irregular, dentin iritasi, dentin reparatif, atau dentin pengganti.19

Berdasarkan injuri dan iritasi yang diterima, misalnya prosedur restorasi atau proses karies yang meluas, original odontoblast akan mati. Oleh karena sel ini merupakan sel postmitosis, maka sel original odontoblast tidak bisa beregenerasi. Dalam keadaan seperti ini dentin baru tidak akan terbentuk, sehingga terjadilah proses pembentukan dentin perbaikan oleh sel odontoblas yang baru, disebut

odontoblast-like cell. Pembentukan sel odontoblas baru ini berasal dari populasi stem sel postnatal yang ada pada jaringan pulpa. Sel-sel ini akan bergabung dan menyusun jaringan mineral di bawah lapisan dentin.20 Odontoblast-like cell akan membentuk dentin tersier sesuai dengan tingkat keparahan dan lamanya injuri. Pembentukan lapisan jaringan keras ini akan menambah ketebalan lapisan dentin.20


(23)

Dentin tersier terdiri dari 2 tipe, yaitu yang pertama adalah dentin reaksioner, salah satu tipe dentin tersier yang memiliki struktur yang hampir sama dengan dentin primer dan sekunder. Kedua yaitu dentin reparatif, tersusun dari tubulus yang tidak beraturan atau tidak memiliki tubulus, dan dibentuk dari odontoblast-like cell. Keduanya dibedakan berdasarkan tingkat keparahan injuri.21

2.1.3.1 Dentin Reaksioner

Pembentukan dentin reaksioner dapat dijelaskan sebagai sekresi dentin tersier oleh original odontoblast yang selamat dari injuri yang diterima gigi. Dentin reaksioner akan terlihat pada injuri dengan intensitas sedang, seperti masa prekavitas pada karies enamel dan proses lambat pada lesi dentin.18

Lesi karies dengan proses yang lambat diawali dengan meningkatnya dentin yang termineralisasi. Hipermineralisasi ini terbentuk apabila terjadinya karies pada enamel, sebelum akhirnya akan mengenai dentin. Setelah beberapa lama karies akan mencapai dentin, pelepasan mineral-mineral garam yang mengendap dalam tubulus dentin akan membentuk daerah transparan pada dentin sebagai akibat demineralisasi karies dentin.18

Perubahan histologi yang terjadi pada batas odontoblas-predentin yang berkaitan dengan karies proses lambat relatif sedikit, akan tetapi penigkatan pembentukan dentin reaksioner terlihat jelas. Sebagian besar odontoblas yang selamat hanya bertahan dalam waktu singkat. Jumlah odontoblas yang membentuk dentin reaksioner akan berkurang sehingga tidak mendukung peningkatan pembentukan matriks dentin.18

Dentin reaksioner memiliki tubulus yang berhubungan dengan sekunder dentin, dan ketebalan dentin reaksioner yang terbentuk tergantung pada intensitas dan lamanya injuri yang diterima. Dentin reaksioner memiliki komponen mineral yang mirip dengan dentin primer dan sekunder.8


(24)

2.1.3.2 Dentin Reparatif

Reparatif dentinogenesis merupakan sekresi dentin tersier setelah kematian original odontoblast yang merupakan awal dari injuri. Dentin reparatif akan terbentuk setelah injuri mencapai intensitas yang lebih besar dan memengaruhi rentetan peristiwa biologis yang kompleks, yang melibatkan perekrutan sel progenitor dan diferensiasi serta meningkatkan sekresi sel.18 Matriks dentin reaksioner disekresi oleh

primary post-mitotic odontoblast (yang juga membentuk dentin primer dan sekunder) sebagai respon terhadap stimulus yang adekuat misalnya karies atau prepasrai kapitas. Sebaliknya matriks dentin reparatif dibentuk sebagai reaksi terhadap stimulus oleh generasi baru odontoblast-like cell setelah kehilangan primary post-mitotic odontoblast.8,14

Pulpa memiliki sel khusus yaitu odontoblas yang membentuk dentin seumur hidup. Hal ini bertujuan untuk menjaga kesehatan pulpa dengan mengimbangi kehilangan enamel dan dentin akibat karies atau keausan gigi. Odontoblas membentuk dentin reaksioner dan dentin reparatif sebagai respon terhadap stimulus injuri. Dentin reparatif terbentuk di permukaan pulpa dan hanya terlokalisasi dekat bagian yang terkena iritasi.7

Segera setelah dentin terpapar karena karies atau preparasi gigi, original odontoblast akan rusak. Pada injuri akibat trauma minor terhadap jaringan pulpa gigi, original odontoblast yang tidak rusak akan terangsang membentuk reaksioner dentin. Pada kasus yang lebih parah akibat trauma mekanis pada pulpa, original odontoblast

akan mati. Sel ini akan diganti oleh sel-sel pulpa yang tidak berdiferensiasi.14

Pembentukan dentin reparatif, sebagai salah satu bentuk dentin tersier, disusun tepat di permukaan pulpa dibawah dentin primer dan sekunder serta hanya dibentuk di tempat yang berhubungan langsung dengan iritasi. Ketika keausan gigi sudah melewati lapisan enamel dan menyebabkan dentin terpapar, maka dentin reparatif akan dibentuk di permukaan pulpa tepat dibawah dentin yang telah terpapar. Pembentukan dentin ini bertujuan untuk mencegah pulpa terpapar oleh mineral-mineral asing.19


(25)

Odontoblast-like cell membentuk dentin sesuai dengan tingkat keparahan dan lamanya injuri. Pembentukan jaringan keras ini akan menambah ketebalan lapisan dentin. Dentin yang dibentuk oleh odontoblast-like cell tidak beraturan, amorphous, dan diisi lebih sedikit tubulus dentin daripada dentin primer. Tubulus dentin ini tidak berhubungan langsung dengan tubulus dentin primer, sehingga batasan dentin primer dan dentin reparatif kurang permeabel terhadap benda dari luar. Hal ini juga menyebabkan dentin kurang sensitif terhadap suhu, osmotik dan rangsangan lainnya.20

Gambar 3. Dentin tersier akibat atrisi (40X)22

2.2 Menyirih

Kebiasaan menyirih merupakan kebiasaan yang sangat populer sejak 200 tahun lalu di Cina dan India dan diperkirakan sekitar 200-600 juta jiwa di seluruh dunia melakukan kegiatan menyirih.12 Menyirih telah lama ditemukan di Asia Selatan dan Tenggara, daerah Asia Pasifik, juga ditemukan pada kelompok imigrasi di Afrika, Eropa, dan Amerika Utara. Kebiasaan menyirih merupakan kelompok empat besar bahan psikoaktif di dunia (setelah kafein, alkohol dan nikotin) yang digunakan oleh ratusan juta jiwa di dunia.23 Tradisi ini juga dilakukan oleh berbagai


(26)

suku di Indonesia secara turun temurun yang berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat.1,24 Di Indonesia, menyirih dilakukan dengan mengunyah bahan sirih terlebih dulu, kemudian menggunakan gulungan besar tembakau untuk membersihkan gigi geligi dan membiarkannya di dalam mulut dalam beberapa saat.21 Kebiasaan menyirih dijumpai pada perempuan suku Karo di Sumatera Utara, yang berlangsung sampai saat ini, baik itu merupakan kebiasaan sehari-hari atau untuk acara adat.1

Menyirih adalah kegiatan mengunyah campuran bahan yang umumnya dilakukan dengan campuran daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Komposisi menyirih berbeda di setiap daerah dan setiap suku. Pada suku Karo di Sumatera Utara, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur sirih, gambir, dan pinang.1 Di Papua, khususnya pada masyarakat pesisir pantai, Komposisi menyirih terdiri dari pinang, sirih, dan kapur sirih.25

2.3 Komposisi Menyirih 2.3.1 Daun Sirih

Daun sirih (Piper Betel Linn) adalah tumbuhan merambat Asia tropis yang berhubungan dekat dengan lada. Daun ini banyak digunakan sebagai penyegar mulut dan tumbuh secara ekstensif di India, Sri Lanka, Malaysia, Thailand, Taiwan, dan negara-negara Asia Tenggara. Daunnya dikunyah tersendiri atau bersama dengan bahan lain.26

Daun sirih memiliki rasa pedas dan menghasilkan minyak esensial yang banyak digunakan sebagai obat. Penelitian lain menunjukkan bahwa minyak esensial daun sirih memiliki efek antijamur, antiseptik, dan anthelmintik.27

2.3.2 Kapur

Kapur sirih diperoleh dari berbagai sumber, seperti kerang laut, kerang air tawar, remis, muluska, batu kapur, dan batu karang. Supaya cocok untuk dikunyah, kapur diolah menjadi bubuk (kalsium oksida) dan dicampur dengan air sehingga


(27)

konsistensinya seperti pasta (kalsium hidroksida).28 Kapur sirih memiliki sifat kasar, sehingga akan memperparah derajat atrisi yang terjadi. 29

2.3.3 Pinang

Pinang (Areca Catechu) adalah pohon palem berbatang tunggal dan ramping yang dapat tumbuh sampai 28 m. Pinang dibudi dayakan dari Afrika Timur dan Semenanjung Arab sampai ke Asia Tropis dan di Indonesia sampai ke Pasifik Tengah dan New Guinea. Bijinya dikunyah sebagai stimulan pengunyahan sebesar 5% populasi dunia. Pinang sering digunakan dalam ritual budaya atau sosial, dan dijumpai dalam upacara-upacara kebudayaan Asia dan Pasifik.30 Pinang adalah bahan yang bersifat keras, sehingga dapat memperparah derajat atrisi gigi.29,30

2.3.4 Gambir

Gambir adalah bahan astrigen berwarna coklat kemerahan, yang sering dioleskan pada daun sirih yang digunakan untuk membungkus bahan menyirih. Terdapat dua jenis gambir berdasarkan sumber pohon gambir tersebut diekstrak. Salah satunya dari rebusan dan ekstrak inti kayu Acacia catechu, Wild, yang berasal dari India dan Myanmar, sering disebut sebagai gambir hitam. Kandungan utamanya adalah Catechu-tannic Acid (25-33%), Acacatechin (2-10%), Quercetin, dan Red Catechu. Jenis gambir yang lain diperoleh dari air ekstrak daun dan tunas Uncaria Gambir, yaitu sejenis semak merambat yang berasal dari kepulauan Melayu, sering disebut gambir pucat. Kandungan utamanya adalah catechin (7-31%), catechu-tannic acid (22-50%), quercetin, dan Red Catechu.30

2.4 Frekuensi, Lama Menyirih dan Usia Penyirih

Setelah gigi erupsi dan tumbuh sempurna, perubahan dentin memiliki hubungan yang erat dengan respon terhadap stimulus yang diterima gigi geligi, seperti karies atau atrisi. Seiring perubahan fisiologis usia, dentin sekunder dan dentin transparan akan terlihat jelas.9


(28)

Schonland dan Bradshaw (1969) melakukan survei di India dengan referensi khusus untuk mengetahui kebiasaan mengunyah sirih. 1842 perempuan dari segala usia, 28,7% adalah penyirih, sedangkan dari 1.834 laki-laki, 5,5% adalah penyirih. Persentase penyirih meningkat dengan usia baik pada pria maupun wanita, 71,9% wanita dan 10,3% pria berusia 60 tahun atau lebih adalah penyirih. Meskipun usia rata-rata di mana menyirih dimulai adalah antara usia 20-24 tahun, wanita mulai sedikit lebih awal daripada laki-laki. Dua perlima dari penyirih memulai kebiasaan sebelum usia 20 tahun dan sejumlah lainnya setelah usia 38 tahun. Juga, sebagian besar wanita merupakan penyirih berat (empat kali atau lebih dalam sehari) dan lebih banyak orang yang ringan atau sesekali menyirih (1-6 kali seminggu). Tidak ada perbedaan usia yang signifikan yang dicatat dalam frekuensi menyirih, dan tidak ada perbedaan jenis kelamin yang signifikan dalam durasi rata-rata kebiasaan menyirih.31

Permana B (2013) menjelaskan bahwa derajat atrisi 3 semakin meningkat persentasenya seiring meningkatnya frekuensi menyirih. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi frekuensi menyirih, permukaan oklusal gigi akan semakin terkikis, yang menyebabkan atrisi gigi derajat 1 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 2, dan atrisi gigi derajat 2 meningkat menjadi atrisi gigi derajat 3. Atrisi gigi derajat 3 juga akan meningkat persentasenya seiring dengan meningkatnya lama menyirih. Dari segi umur, derajat atrisi gigi 3 juga meningkat persentasenya seiring dengan bertambahnya usia penyirih.6

2.5 Atrisi Gigi

Atrisi gigi adalah hilangnya struktur gigi akibat kontak antar gigi selama kegiatan menggigit atau mengunyah. Atrisi selalu terjadi pada permukaan gigi yang digunakan dalam pengunyahan tetapi juga bisa terjadi pada bagian proksimal gigi, dimana gigi berkontak dengan gigi sebelahnya. Perubahan yang terjadi akibat atrisi dimulai dari titik kecil dan akan meluas sampai berkurangnya tinggi gigi dan permukaan pengunyahan atau cusp menjadi rata.32 Atrisi merupakan kejadian normal dan berjalan sesuai dengan penuaan. Atrisi terjadi pada masa gigi desidui dan masa


(29)

Dari hasil penelitian Zainab Hanudi (2011) prevalensi keausan gigi yang tertinggi terdapat pada gigi molar dan keausan gigi pada gigi molar rahang bawah lebih tinggi daripada molar rahang atas.33

Atrisi gigi dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu :4 a. Atrisi Fisiologis

Atrisi fisiologis adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis antara gigi dengan gigi dalam pengunyahan normal.

b. Atrisi Patologis

Atrisi patologis adalah atrisi yang terjadi akibat kegiatan oklusi yang tidak normal, mengunyah bahan atau sesuatu yang dapat merusak gigi geligi. Hal ini sering menyebabkan kehilangan lapisan gigi yang luas, sehingga dapat mengganggu fungsi dan nilai estetik gigi.

2.5.1 Derajat Atrisi

Derajat atrisi merupakan indeks yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan atrisi gigi. Indeks yang umumnya digunakan adalah indeks keausan gigi Smith dan Knight. Atrisi gigi dikelompokkan menjadi 5 derajat, yaitu :5

- Derajat 0 = Tidak terjadi atrisi.

- Derajat 1 = Atrisi sebatas pada enamel saja.

- Derajat 2 = Atrisi sampai sepertiga oklusal dengan dentin terbuka (≤1 mm). - Derajat 3 = Atrisi lebih dari sepertiga oklusal dengan dentin terbuka (1-2 mm). - Derajat 4 = Atrisi sampai sepertiga servikal dengan pulpa terbuka (˃2 mm).

Derajat atrisi dipengaruhi oleh diet makanan. Bruxism, mengunyah tembakau, sengaja atau tidak sengaja memasukkan benda abrasif ke dalam mulut dapat memicu terjadinya atrisi gigi. Atrisi meningkat seiring bertambahnya usia, dan dilaporkan bahwa atrisi lebih parah pada laki-laki daripada perempuan.14,20


(30)

2.5.2 Faktor Penyebab Atrisi Patologis

Atrisi patologis disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:4

a. Oklusi abnormal, berhubungan dengan susunan gigi, seperti gigi berjejal atau malposisi gigi. Dalam kasus ini, posisi oklusal yang abnormal akan memicu kontak traumatik yang besar selama proses pengunyahan dimana akan memperparah terjadinya keausan gigi.

b. Prematur ekstraksi, pencabutan beberapa gigi akan meningkatkan tekanan pengunyahan pada masing-masing gigi.

c. Kebiasaan mengunyah abnormal, kebiasaan parafunsional seperti Bruxism

(kebiasaan menggesekkan gigi) dan kebiasaan mengunyah bahan abrasif kronis, seperti tembakau atau mengunyah sirih.

d. Kelainan struktur gigi, keadaan ini memungkinkan gigi lebih mudah terjadi atrisi meskipun digunakan dalam fungsi normal, seperti amelogenesis imperfecta dan dentinogenesis imperfecta. Dalam kondisi ini kekerasan enamel atau dentin lebih rendah dibanding dengan gigi normal, sehingga akibatnya derajat keausan gigi akan lebih gampang terjadi meskipun gigi geligi digunakan dalam pengunyahan normal.


(31)

2.6 Hubungan Menyirih dengan Atrisi

Menyirih memiliki efek negatif terhadap kesehatan gigi dan mulut. Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan kehilangan lapisan permukaan insisal dan oklusal gigi. Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih.3 Dalam proses menyirih akan terjadi peningkatan frekuensi pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi sehingga pengikisan pada permukaan gigi akan semakin banyak. Derajat atrisi dipengaruhi oleh pola diet. Bahan makanan yang kasar dan keras akan memperparah derajat atrisi. 29 Kapur sirih dan pinang yang umumnya dipakai sebagai bahan menyirih merupakan bahan yang bersifat kasar dan keras akan menambah pengikisan permukaan gigi selama proses menyirih.30

Kehilangan lapisan enamel juga menyebabkan lapisan dentin di bawahnya terpapar dan lapisan ini merupakan jaringan yang lebih lembut sehingga derajat atrisi akan meningkat. Terpaparnya dentin akan menyebabkan dentin yang sensitif.3

Gambar 5. gigi atrisi34


(32)

Atrisi merupakan kehilangan struktur gigi selama proses pengunyahan. Hal ini merupakan kejadian normal dan biasanya terjadi akibat pertambahan usia.10 Atrisi pada cusp gigi akan menyebabkan terpaparnya dentin. Atrisi gigi yang parah menyebabkan pembentukan dentin tersier dan ini terjadi pada gigi desidui dan gigi permanen.29,35

Atrisi akibat pengunyahan yang cepat dan berlebihan akan memperparah kehilangan enamel dan dentin. Dentin akan terpapar dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang merupakan gejala klinis akibat tubulus dentin tidak ditutupi lapisan mineral.36

Penuaan dan tingkat keparahan stimuli yang mencapai pulpa gigi sangat bervariasi. Dentin tersier merupakan jaringan yang tersusun sebagai respon terhadap stimuli yang berbeda-beda. Pulpa gigi tidak merespon stimuli luar dengan meningkatkan pembentukan dentin sekunder akan tetapi akan menginduksi

odontoblast-like cell untuk memproduksi dentin tersier.12

Dentin tersier merupakan jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi, terhadap stimuli eksternal dalam penggunaan gigi geligi. Keausan yang lambat selama penggunaan gigi secara normal, akan menstimulasi efek perubahan setelah erupsi pada dentin dengan perubahan mineralisasi. Perubahan ini hanya dapat di pengaruhi perubahan usia yang terlihat disekitar titik keausan. Keausan akibat fungsional yang memulai atrisi minor, umumnya terdapat pada permukaan insisal dan cusp yang mendapat kontak maksimal biasanya dijumpai adanya odontoblas. Beberapa odontoblas akan hilang akibat injuri dan dilokasi ini terjadi peningkatan pembentukan dentin tersier yang merupakan struktur irregular akan tetapi tanpa adanya pembentukan jarak antar dentin. Dentin tersier yang dibentuk memiliki struktur yang berbeda-beda, tergantung jumlah original odontoblast yang tersedia.11

Apabila proteksi dari enamel tidak ada lagi maka gigi akan mengalami hipersensitivitas dentin, selain itu gigi terlihat tidak estetis. Respon endodontik terhadap keausan gigi terdiri dari hipersensitvitas, dentin sklerosis, dead tract dan dentin tersier.37


(33)

2.8 Ciri-ciri Molar 1 dan Molar 2 Rahang Bawah

Ciri-ciri molar 1 dan molar 2 rahang bawah adalah sebagai berikut :38

1. Molar 1 memiliki 5 cusp, 3 pada bagian bukal (bukomesial, bukodistal, dan distal.) dan 2 pada lingual (linguomesial dan linguodistal). Molar 2 memiliki 4 cusp, 2 pada bagian bukal (bukomesial dan bukodistal) dan 2 pada bagian lingual (linguomesial dan linguodistal)

2. Gigi molar 2 rahang bawah lebih kecil daripada gigi molar 2 rahang bawah

3. Molar 1 rahang bawah memiliki 3 kanal pulpa, 2 pada bagian mesial dan, 1 pada bagian distal. Molar 2 rahang bawah memiliki satu kanal pulpa di setiap akar.

2.9 Olympus SZX16 microscope

Olympus SZX16 microscope merupakan jenis mikroskop cahaya yang telah dikembangkan untuk penggunaan jangka panjang dan daya tahan yang besar. 39

Penggunaan mikroskop ini sangat cocok untuk semua aplikasi dan metode kontras yang digunakan dalam pendidikan kesehatan, seperti untuk melihat :39

a. Bagian jaringan yang diwarnai dalam bidang kedokteran.

b. Sel-sel yang tidak diwarnai pada metode kontras dalam bidang kedokteran dan bilogi.

c. Pengamatan dan analisa pembiakan dan bakteri.


(34)

2.10 Landasan Teori

Menyirih adalah kegiatan mengunyah campuran bahan yang umumnya dilakukan dengan campuran daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Komposisi menyirih berbeda di setiap daerah dan setiap suku. Pada suku Karo di Sumatera Utara, komposisi menyirih terdiri atas daun sirih, kapur sirih, gambir, dan pinang.1 Di Papua, khususnya pada masyarakat pesisir pantai, komposisi menyirih terdiri dari pinang, sirih, dan kapur sirih.25

Menyirih memiliki efek negatif terhadap kesehatan gigi dan mulut. Kebiasaan menyirih dapat menyebabkan kehilangan lapisan permukaan insisal dan oklusal gigi. Derajat atrisi sebagai akibat dari kebiasaan menyirih bergantung pada beberapa faktor, yaitu lama menyirih, frekuensi menyirih, komposisi menyirih, dan umur penyirih.3 Dalam proses menyirih akan terjadi peningkatan frekuensi pengunyahan. Meningkatnya frekuensi pengunyahan, menyebabkan meningkatnya jumlah gesekan mekanis yang diterima oleh gigi sehingga pengikisan pada permukaan gigi akan semakin banyak. Derajat atrisi dipengaruhi oleh pola diet. Bahan makanan yang kasar dan keras akan memperparah derajat atrisi. 29

Atrisi merupakan kehilangan struktur gigi selama proses pengunyahan. Hal ini merupakan kejadian normal dan biasanya terjadi akibat pertambahan usia.10 Atrisi pada cusp gigi akan menyebabkan terpaparnya dentin. Atrisi gigi yang parah menyebabkan pembentukan dentin tersier dan ini terjadi pada gigi desidui dan gigi permanen.29,35 Atrisi akibat pengunyahan yang cepat dan berlebihan akan memperparah kehilangan enamel dan dentin. Dentin akan terpapar dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang merupakan gejala klinis akibat tubulus dentin tidak ditutupi lapisan mineral.36

Dentin tersier merupakan jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi, terhadap stimuli eksternal dalam penggunaan gigi geligi. Keausan yang lambat selama penggunaan gigi secara normal, akan menstimulasi efek perubahan setelah erupsi pada dentin dengan perubahan mineralisasi. Perubahan ini hanya dapat di pengaruhi perubahan usia yang terlihat disekitar titik keausan. Keausan akibat


(35)

cusp yang mendapat kontak maksimal biasanya dijumpai adanya odontoblas. Beberapa odontoblas akan hilang akibat injuri dan dilokasi ini terjadi peningkatan pembentukan dentin tersier yang merupakan struktur irregular akan tetapi tanpa adanya pembentukan jarak antar dentin. Dentin tersier yang dibentuk memiliki struktur yang berbeda-beda, tergantung jumlah original odontoblast yang tersedia.11


(36)

Kerangka Teori

Menyirih

Usia Penyirih

Frekuensi Menyirih

Lama Menyirih

Bahan Menyirih

Atrisi Gigi

Derajat 0 Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4

Atrisi Enamel Atrisi Dentin Pulpa Terbuka

Respon Pulpa

Dentin Tersier

Original odontoblast

Odontoblast -like-cells

Dentin Reaksioner

Dentin Reparatif

Fisur Cusp Distal Cusp Mesial

 Daun Sirih  Kapur  Pinang  Gambir


(37)

2.11 Kerangka Konsep

Linguodistal Derajat 1

Menyirih

Usia Menyirih ≥ 20

Tahun

Lama Menyirih ≥ 2

Tahun

Atrisi Gigi Molar Bawah

Derajat 0 Derajat 2 Derajat 3 Derajat 4

Dentin tersier yang terbentuk di Atas permukaan Puncak

Dipotong Secara Vertikal dengan diamound bur disc

Fisur Bukomesial

Dentin Tersier Linguo

mesial

Bukodistal

Olympus SZX16 microscope


(38)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross-sectional, dengan melakukan observasi pada 11 gigi molar satu atau molar dua rahang bawah untuk melihat dentin tersier yang terbentuk pada gigi penyirih yang mengalami atrisi.

3.2 Tempat dan Waktu

Tempat : Laboratorium BBPPTP Medan dan Laboratorium Biologi Oral FKG USU Waktu : Oktober 2014

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah gigi yang sudah dicabut dari penyirih. Sampel penelitian merupakan gigi yang mengalami atrisi akibat menyirih.

3.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian merupakan gigi yang atrisi akibat menyirih yang sudah diekstaksi dan memenuhi kriteria eksklusi dan kriteria inklusi yang sudah ditentukan.

3.4 Kriteria Pemilihan Sampel Kriteria Inklusi dan Eksklusi Kriteria Inklusi:

 Perempuan Suku Karo yang punya kebiasaan menyirih ≥ 2 tahun.

 Usia ≥ 20 tahun


(39)

 Frekuensi menyirih ≥3 kali sehari

 Gigi M1 dan M2 rahang bawah yang atrisi

 Gigi M1 dan M2 rahang bawah yang dicabut dalam keadaan utuh  Karies enamel

Kriteria Ekslusi:  Terdapat tambalan  Gigi yang fraktur

 Gigi dari penderita Bruxism

 Gigi pernah di bleaching

 Gigi dari pasien ortodonti

3.5 Besar Sampel Penelitian

Besar sampel penelitian ini adalah sejumlah 11 gigi molar satu atau molar dua rahang bawah. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan teknik purposive sampling, sampel dikumpulkan selama 4 bulan.

3.6 Variabel Penelitian

Variabel Terkendali  Keterampilan peneliti  Kondisi alat Olympus

SZX16 microscope

Variabel Bebas Gigi M1 dan M2 rahang bawah yang atrisi akibat menyirih yang sudah

diekstraksi

Variabel Terikat

Dentin tersier pada puncak pulpa : *Linguomesial *Linguodistal *Bukomesial *Bukodistal *fisur

Variabel Tidak Terkendali  Diet

 Komposisi menyirih  Kebiasaan menyuntil


(40)

3.7 Alat dan Bahan Penelitian

Alat dan Bahan penelitian yang digunakan, yaitu : 1. Larutan Saline (NaCl 0,9%)

2. Pensil 2B

3. Bais (alat penjepit gigi) 4. Micromotor

5. Diamound bur disc

6. Olympus SZX16 microscope

3.8 Defenisi Operasional

Defenisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, gambir, dan pinang. Kebiasaan ini merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun yang mulanya berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat.

2. Atrisi gigi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan. Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yaitu kapur sirih dan pinang yang bersifat kasar dan keras.

3. Dentin tersier merupakan lapisan dentin yang dibentuk pada batas antara dentin dan pulpa sebagai respon terhadap injuri seperti atrisi dan karies. Pembentukan lapisan ini hanya terjadi pada area di bawah terjadinya iritasi.

4. Daerah pembentukan dentin yang terbentuk ditentukan pada setiap daerah puncak pulpa, baik di bagian lingual (linguomesial dan linguodistal) maupun bagian bukal (bukomesial dan bukodistal) juga diukur di bawah fisur. Penentuan ini berdasarkan atrisi yang lebih jelas terlihat pada cusp gigi. Sesuai teori bahwa dentin tersier terbentuk di bawah injuri yang terjadi, maka lapisan dentin tersier yang terbentuk diobservasi pada cusp gigi yaitu daerah di sekitar cusp gigi.


(41)

Gambar 7. Dentin tersier akibat menyirih dengan Microscope Olympus SZX16 pembesaran 1,25x1000 (Dokumentasi)

5. Bais adalah alat penjepit gigi yang digunakan saat pembelahan gigi agar tangan operator tidak terkena bur.

6. Olympus SZX16 microscope adalah mikroskop modern yang digunakan untuk melihat benda dalam ukuran besar yang dilengkapi kamera dan terintegrasi dengan komputer sehingga memungkinkan untuk melihat pembentukan dentin.

3.9 Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Gigi M1 dan M2 RB yang telah diperoleh direndam dalam larutan saline 0,9% 2. Kemudian gigi dibersihkan dari debris

3. Derajat atrisi dinilai pada setiap gigi

4. Dibuat garis tengah pada permukaan gigi antara bukal dan lingual mengikuti poros gigi

5. Gigi ditanam sampai 1/3 akar dalam dental stone

6. Gigi dijepit di bais

7. Gigi dibelah secara vertikal dengan menggunakan diamound bur disc dari arah mahkota gigi sampai ke batas dental stone mengikuti garis yang sudah dibuat 8. Gigi dipotong pada 1/3 akar (batas dental stone)


(42)

9. Setelah dipotong menjadi dua bagian, gigi diobservasi dengan Olympus SZX16 microscope yang dilengkapi kamera dan terintegrasi dengan komputer

10. Dentin tersier yang terlihat di bawah mikroskop kemudian difoto.

Prosedur Penelitian

Gigi atrisi akibat menyirih yang sudah

diekstraksi

Buat garis tengah pada permukaan gigi antara bukal dan lingual

(mengikuti poros gigi)

Gigi dijepit pada bais

Gigi dibelah secara vertikal dengan menggunakan diamound bur disc

dari arah mahkota gigi sampai ke akar gigi

Bersihkan gigi dari debris Direndam dalam

larutan Saline 0,9 %


(43)

3.10 Pengolahan Data dan Analisa Data

Pengolahan dan analisa data dilakukan sebagai berikut :

1. Membuat persentase distribusi dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal (bukomesial dan bukodistal), bagian lingual (linguomesial dan linguodistal), dan fisur.

2. Hubungan usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa dengan uji Chi-square.

3. Hubungan lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa dengan uji Chi-square.

4. Hubungan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa dengan derajat atrisi gigi dengan uji Fisher’s Exact Test.

Setelah dipotong, gigi diamati di bawah Olympus SZX16 microscope dilengkapi kamera

Dentin tersier yang terlihat di bawah mikroskop di foto


(44)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Hasil penelitian diperoleh dengan melihat dentin tersier yang terbentuk pada 11 sampel gigi molar. Sampel gigi dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian bukal dan lingual, kemudian dentin tersier dilihat dan difoto dengan menggunakan mikroskop

Olympus SZX16 yang terintegrasi dengan komputer.

Tabel 1. Karakteristik sampel

Karakteristik sampel N TOTAL Usia :

11

35-39 3

40-44 5

45-49 3

Lama menyirih :

11

2-6 tahun 3

7-11 tahun 4

12-16 4

Frekuensi menyirih setiap hari :

11

1-2 kali 0

>3 kali 11

Derajat atrisi :

11

Derajat atrisi 1 5

Derajat atrisi 2 6

Tabel 1 menunjukkan bahwa semua sampel gigi diperoleh dari orang yang menyirih setiap hari, menyirih lebih dari 3 kali sehari dan mengalami atrisi.


(45)

4.1. Persentase Distribusi Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa

Tabel 2. Persentase distribusi dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa

Tabel 2 menunjukkan persentase dentin tersier yang terbentuk lebih banyak ditemukan pada bagian bukal (100% bukomesial dan 100% bukodistal) . Paling sedikit ditemukan pada puncak pulpa bagian linguodistal, yaitu 72,8% sampel.

4.2. Hubungan Usia Penyirih dengan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa

Tabel 3. Hubungan usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual

Usia penyirih n

Dentin tersier pada puncak pulpa bagian lingual Linguo

mesial

% p Fisur % P Linguo distal

% p

35-39 3 3 100 0,23

3 100

0,51

1 33,3

0,11

40-44 5 5 100 4 80 5 100

45-49 3 2 66,7 3 100 2 66,7

N 11 10 10 8

Signifikasi p<0,05

Tabel 3 menunjukkan hubungan usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa lingual menggunakan uji Chi-square. Diperoleh nilai

Puncak pulpa n Dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa

Mesial % Fisur % Distal %

Bag. Lingual 11 10 90,9 10 90,9 8 72,8


(46)

p=0,23 pada mesial, p=0,51 pada fisur, p=0,11 pada distal, artinya tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual.

Tabel 4. Hubungan usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal

Usia

penyirih n

Dentin tersier pada puncak pulpa bagian bukal Buko

mesial % p Fisur % P

Buko

distal % p 35-39 3 3 100

α

3 100

0,51

3 100

α

40-44 5 5 100 4 80 5 100

45-49 3 3 100 3 100 3 100

N 11 11 10 11

Signifikasi p<0,05

Tabel 4 menunjukkan hubungan usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bukal menggunakan uji Chi-square. Diperoleh nilai p=0,51 pada fisur yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa fisur bagian bukal. Sedangakan pada bagian bukomesial dan bukodistal tidak bisa dilakukan uji statistik karena hasil keduanya merupakan nilai konstan, artinya pada semua sampel ditemukan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukomesial dan bukodistal.


(47)

4.3. Hubungan Lama Menyirih dengan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa

Tabel 5. Hubungan lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual

Lama menyirih n

Dentin tersier pada puncak pulpa bagian lingual Linguo

mesial % p Fisur % P

Linguo

distal % p

2-6 5 4 80

0,51

4 80

0,51

3 60

0,55

7-11 4 4 100 4 100 3 83

12-16 2 2 100 2 100 2 100

N 11 10 10 8

Signifikasi p<0,05

Tabel 5 menunjukkan hubungan lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual. Hasil uji Chi-square diperoleh nilai p=0,51 pada mesial dan fisur, p=0,55 pada distal yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual.

Tabel 6. Hubungan lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal

Lama menyirih n

Dentin tersier pada puncak pulpa bagian bukal Buko

mesial

% p Fisur % P Buko

distal

% p

2-6 5 5 100

α

4 80

0,51

5 100

α

7-11 4 4 100 4 100 4 100

12-16 2 2 100 2 100 2 100


(48)

Signifikasi p<0,05

Tabel 6 menunjukkan hubungan lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bukal menggunakan uji Chi-square. Diperoleh nilai p=0,51 pada fisur yang artinya tidak ada hubungan yang signifikan (p>0,05) antara lama dengan dentin tersier yang terbentuk pada fisur puncak pulpa. Sedangkan pada bagian mesial dan distal tidak bisa dilakukan uji statistik karena hasil keduanya merupakan nilai konstan, artinya pada semua sampel ditemukan dentin tersier yang terbentuk pada semua puncak pulpa bagian bukomesial dan bukodistal.

4.4. Hubungan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa dengan Derajat Atrisi

Tabel 7. Hubungan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian lingual dengan derajat atrisi

Derajat atrisi n

Dentin tersier pada puncak pulpa bagian lingual Linguo

mesial

% p Fisur % P Disto- lingual

% p

1 5 4 80

0,45

4 80

0,06

3 60

0,54

2 6 6 100 6 100 5 83,3

N 11 10 10 8

Signifikasi p<0,05

Tabel 7 menunjukkan bahwa berdasarkan uji Fisher’s Exact Test diperoleh nilai p = 0,45 pada puncak linguomesial, p = 0,06 pada puncak fisur, p = 0,54 pada puncak linguodistal artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat atrisi dengan dentin tersier yang terbentuk pada setiap puncak pulpa bagian lingual.


(49)

Tabel 8. Perbedaan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal dengan derajat atrisi

Signifikasi p<0,05

Tabel 8 menunjukkan hasil uji Fisher’s Exact Test pada bagian fisur bukal diperoleh nilai p = 0,45 artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara derajat atrisi dengan dentin tersier yang terbentuk pada bagian fisur. Sedangkan pada bagian bukomesial dan bukodistal tidak dapat dilakukan uji secara statistik karena hasil keduanya merupakan nilai konstan, artinya pada semua gigi ditemukan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bukomesial dan bukodistal (100% sampel gigi mengalami pembentukan dentin tersier).

Contoh Gambaran dentin tersier pada mikroskop Olympus SZX16 dapat dilihat pada Gambar 8 dan 9 berikut ini :

Gambar 8. Gambaran mikroskop dentin tersier pada bukal dan lingual sampel (A=1,25x1000 ; B=3,2X1000) (Dokumentasi)

Derajat atrisi n

Dentin tersier pada puncak pulpa bagian bukal

Bukomesial % p Fisur % P Bukodistal % p

1 5 5 100

α

4 80

0,45

5 100

α

2 6 6 100 6 100 6 100

N 11 11 10 11

A

B A

B


(50)

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian cross-sectional, yang dimaksudkan untuk menguji hubungan antara atrisi gigi akibat menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa gigi molar satu dan molar dua rahang bawah. Jumlah sampel adalah sebanyak 11 gigi. Atrisi gigi adalah hilangnya substansi gigi akibat gesekan mekanis yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan. Salah satu faktor yang memengaruhi besar derajat atrisi akibat menyirih adalah usia, lama menyirih dan frekuensi menyirih.3 Pada pemeriksaan atrisi gigi, diperoleh derajat atrisi 1 sebanyak 5 sampel dan derajat atrisi 2 sebanyak 6 sampel.

Dentin tersier secara klinis bisa diobservasi pada permukaan ruang pulpa yang memengaruhi luas ruang pulpa, ruang pulpa di isi dentin tersier sampai ke saluran pulpa. Dentin tersier ini biasanya berwarna kuning gelap (lebih padat dari dentin sekunder). Anatomi ruang pulpa dan saluran akar pada gigi yang mengalami atrisi biasanya akan berubah karena adanya lapisan-lapisan dentin tersier yang terbentuk pada permukaan pulpa sebagai respon terhadap keausan gigi.22

Terdapat beberapa growth factor yang berperan dalam dentinogenesis dentin tersier, salah satunya Transforming Growth Factor beta (TGF-β). TGF-β sangat penting dalam memberi sinyal untuk diferensiasi odontoblas yang terdistribusi secara merata dalam matriks dentin. Dalam proses reactionary dentinogenesis, TGF-β yang ada dalam matriks dentin akan berdifusi ke dalam odontoblas dan sel pulpa yang berada dibawah daerah injuri. TGF-β memberi sinyal untuk menginisiasi aktivitas sekretori sel. Odontobas yang masih berfungsi akan memulai sekresi matriks dentin baru di interfase dentin-pulpa dan terbentuklah dentin tersier yang bersifat

reactionary. Selain itu TGF-β akan menginisiasi secreted protein acidic yang akan menyebabkan migrasi stem cell pulpa ke arah lapisan odontoblastik dalam proses


(51)

untuk menggantikan odontoblas yang telah mati. Sel odontoblas ini akan mulai membentuk dentin tersier bersifat reparatif.18

Penelitian yang dilakukan oleh Liu dkk (2014) mengatakan bahwa permukaan gigi yang hilang merupakan proses yang irreversible seiring dengan bertambahnya usia. Pada proses pengunyahan yang lebih berat seperti yang terjadi pada pengunyahan sirih, hal ini mengakibatkan pengikisan enamel gigi sehingga dentin terbuka dan terjadi hipersensitivitas dentin. Eksternal stimulus seperti atrisi gigi, karies, dan restorasi gigi merupakan pemicu pembentukan dentin tersier. 40

Dentin tersier dibentuk oleh odontoblast-like cell dengan adanya stimulus yang cukup kuat seperti atrisi gigi. Dentin ini merupakan dentin dengan tipe bentuk yang tidak beraturan dan tidak memiliki tubulus dentin.22 Penelitian ini menggunakan

Olympus SZX16 microscope yang hanya dapat mengukur secara dua dimensi. Hal ini yang menjadi penyebab peneliti tidak dapat melakukan pengukuran mengenai ketebalan (kuantitatif) dentin tersier pada setiap puncak pulpa, hanya dilakukan pengukuran secara kualitatif. Pengukuran dentin tersier secara kuantitatif dapat dilakukan pengukuran luas bidang atau volume.

5.1. Persentase Distribusi Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa

Observasi pembentukan dentin tersier dilakukan pada setiap puncak pulpa yaitu pada bagian lingual (linguomesial dan linguodistal), bagian bukal (bukomesial dan bukodistal) dan fisur.

Hasil penelitian menunjukkan distribusi pembentukan dentin tersier lebih besar pada bagian bukal daripada lingual. Pada puncak pulpa bagian bukomesial dan bukodistal ditemukan pada semua sampel (100%). Berbeda pada puncak linguomesial ditemukan 90,9 % dan puncak linguodistal ditemukan 72,8% (Tabel 2). Dengan demikian hipotesa yang menyatakan adanya perbedaaan distribusi dentin tersier yang terbentuk pada puncak pulpa bagian bukal (bukomesial dan bukodistal), bagian lingual (linguomesial dan linguodistal), dan fisur diterima.


(52)

Secara teori, saat proses pengunyahan bukal cusp gigi mandibula akan bertemu dengan palatal cusp gigi maksila, sehingga tekanan pengunyahan itu akan meningkat pada bagian palatal gigi maksila dan bagian bukal gigi mandibula.40 Hal ini yang dapat menyebabkan pembentukan dentin lebih banyak ditemui pada bagian bukal gigi seperti yang didapat pada penelitian ini.

5.2. Hubungan Usia Penyirih dengan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa

Dari hasil penelitian pada bagian bukomesial dan bukodistal dentin teriser yang terbentuk ditemukan 100% pada semua usia (Tabel 4). Bagian linguomesial dentin tersier yang terbentuk ditemukan 100% pada usia 35-39 tahun dan 40-44 tahun. Dentin tersier yang terbentuk pada bagian linguodistal ditemukan 100% pada usia 40-44 tahun (Tabel 3).

Hasil penelitian Permana 2013, menunjukkan bahwa semakin tinggi umur penyirih, atrisi gigi akan semakin meningkat.6 Secara teori setelah gigi erupsi dan tumbuh sempurna, perubahan dentin memiliki hubungan yang erat dengan respon terhadap stimulus yang diterima gigi geligi, seperti karies atau atrisi. Seiring perubahan fisiologis usia, dentin sekunder dan dentin transparan akan terlihat jelas.9 Seyogianya semakin bertambah usia penyirih maka akan semakin banyak dentin sekunder dan dentin tersier yang terbentuk di permukaan pulpa karena injuri yang diterima gigi akan semakin meningkat juga.

Hasil uji Chi-square, usia penyirih dengan dentin tersier yang terbentuk tidak memiliki hubungan yang signifikan (p>0,05). Dengan demikian hipotesa yang menyatakan adanya hubungan dentin tersier yang terbentuk terhadap usia penyirih ditolak. Hal ini disebabkan karena secara teori pertambahan usia kronologis gigi lebih berhubungan dengan pembentukan dentin sekunder karena secara fisiologis pulpa akan merespon injuri eksternal dengan membentuk dentin sekunder. Pembentukan dentin tersier lebih dipengaruhi oleh intensitas injuri yang diterima oleh gigi.13 Untuk mendapatkan hubungan yang lebih akurat, maka diperlukan penelitian lebih lanjut


(53)

5.3. Hubungan Lama Menyirih dengan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa

Hasil penelitian menunjukkan dentin tersier yang terbentuk lebih banyak ditemukan pada bagian bukal daripada lingual. Dentin tersier yang terbentuk ditemukan 100% pada linguomesial dan 100% linguodistal sampel dengan lama menyirih 12-16 tahun (Tabel 5). Sedangkan pada bagian bukal dentin tersier yang terbentuk ditemukan 100% bukomesial dan 100% bukodistal pada semua kategori lama menyirih sampel penelitian (Tabel 6).

Secara teori semakin lama kebiasaan menyirih dilakukan maka akan semakin banyak gesekan mekanis yang diterima oleh gigi akibat kontak yang terjadi antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses menyirih, dengan demikian akan semakin memperparah keausan gigi. Hal ini menyebabkan respon pulpa untuk membentuk dentin baru (dentin sekunder dan dentin tersier) akan semakin besar. Individu dengan tekanan dan frekuensi pengunyahan yang tinggi menyebabkan keausan gigi yang lebih parah.41 Menurut Trivedy dkk 2002 derajat atrisi dipengaruhi oleh kekerasan makanan, frekuensi mengunyah, dan durasi pengunyahan.3

Hasil uji Chi-square menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama menyirih dengan dentin tersier yang terbentuk (p>0,05). Dengan demikian hipotesa yang menyatakan adanya hubungan dentin tersier yang terbentuk terhadap lama menyirih ditolak. Hal ini mungkin disebabkan oleh intensitas dan tekanan pengunyahan pada sampel gigi saat berada dalam rongga mulut tidak diketahui dalam penelitian ini. Begitu juga dengan jumlah dan jenis komposisi sirih yang digunakan yang dapat memengaruhi tekanan pengunyahan yang diterima oleh gigi tidak dapat diketahui pada penelitian ini. Hal ini mungkin disebabkan oleh jumlah sampel yang sangat kecil.

5.4. Hubungan Dentin Tersier yang Terbentuk Pada Puncak Pulpa dengan Derajat Atrisi

Hasil penelitian diperoleh pada bagian bukomesial dan bukodistal, dentin tersier yang terbentuk 100% pada derajat atrisi 2 (Tabel 8). Dentin tersier yang


(54)

terbentuk juga terbentuk 100% pada linguomesial dengan derajat atrisi 2 (Tabel 7). Hal ini sesuai dengan teori bahwa semakin besar derajat atrisi yang terjadi maka respon pulpa akan merespon dengan pembentukan dentin tersier.

Atrisi pada cusp gigi akan menyebabkan terpaparnya dentin. Atrisi gigi yang parah menyebabkan pembentukan dentin tersier dan ini terjadi pada gigi desidui dan gigi permanen.29,35 Proses atrisi dan abrasi gigi pada penyirih terjadi secara

irreversible dan progressive, dimana bila proses atrisi dan abrasi ini terus berlangsung akan terjadi kehilangan substansi enamel sampai kelapisan dentin dan bila tidak ditangani dengan segera akan mencapai lapisan pulpa dan menyebabkan nekrose pulpa.22

Atrisi akibat pengunyahan yang cepat dan berlebihan akan memperparah kehilangan enamel dan dentin. Dentin akan terpapar dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang merupakan gejala klinis akibat tubulus dentin yang tidak ditutupi oleh lapisan mineral.36

Reaksi pulpa terhadap faktor yang tidak normal, intensitas tinggi, frekuensi tinggi, atau respon terhadap injuri yang kuat dan inflamasi pulpa akan membentuk lapisan dentin tersier (dentin reaksioner atau dentin reparatif). Bentuk dan dimensi lapisan dentin tersier berhubungan dengan intensitas dan lamanya injuri yang agresif. Dalam kasus yang sangat agresif, fungsi odontoblas yang rusak akan digantikan oleh

odontoblast-like cells, yang berasal dari diferensiasi sel mesenkim atau sel fibroblast.

odontoblast-like cells inilah yang akan membentuk dentin tersier. Pada injuri yang ringan, odontoblas yang masih tertinggal akan mensintesis dentin reaksioner yang memiliki struktur yang sama dengan dentin primer. 42 Sesuai teori di atas seharusnya semakin besar derajat atrisi gigi yang terjadi maka kemungkinan pembentukan dentin tersier akan semakin meningkat.

Hasil uji Fisher’s Exact Test menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara dentin tersier yang terbentuk dengan derajat atrisi gigi (p>0,05). Dengan demikian hipotesa yang menyatakan adanya hubungan dentin tersier yang derajat atrisi gigi ditolak. Hasil penelitian ini mungkin disebabkan penilaian derajat


(55)

cusp gigi sedangkan dentin tersier terbentuk sesuai dengan injuri yang diterima pada masing-masing puncak pulpa.


(56)

BAB 6

KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil observasi yang dilakukan 11 gigi (molar 1 dan molar 2 rahang bawah) maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Terdapat dentin tersier pada semua sampel gigi tetapi tidak pada setiap puncak pulpa dari gigi yang mengalami atrisi.

2. Distribusi dentin tersier yang terbentuk pada bagian linguomesial 90,9%, linguodistal 72,8%, bukomesial 100%, bukodistal 100%, dan fisur 90,9%.

3. Belum diperoleh hubungan yang signifikan antara dentin tersier yang terbentuk dengan usia penyirih, lama menyirih, dan atrisi gigi.

6.2 Saran

Saran penulis dalam penelitian ini :

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak, sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.

2. Diperlukan penilaian derajat atrisi yang lebih detail pada setiap puncak pulpa. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan alat yang lebih akurat yang bisa

melakukan pengukuran kuantitatif (luas bidang/volume) dalam bentuk tiga dimensi.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasibuan S, Permana G, Aliyah S. Lesi-lesi mukosa mulut yang dihubungkan dengan kebiasaan menyirih di kalangan penduduk Tanah Karo Sumatera Utara. Dentika Dental Journal 2003; 8(2): 67-74.

2. Eraha. Mengunyah sirih positif atau negatif?. http:// peri gigi berbagi .wordpress.com (Juli 9.2012).

3. Trivedy CR, Craig G, dan Warnakulasuriya S. The oral health consequences of chewing areca nut. Addiction Biology 2002;7:115-25.

4. Purkait SK. Regressive alterations of teeth. In: Essential of oral pathology. Jaypee Brothers Publishers, 2005: 306-11.

5. Lopez-Frias FJ, Castellanos-Cosano L, Martin-Gonzales J, Llamas-Carreras MJ, dan Segura-Egea JJ. Clinical measurement of tooth wear: tooth wear indices. J Clin Exp Dent 2012;4(1):48-53.

6. Simanugkalit BP. Hubungan kebiasaan menyirih dan menyuntil dengan derajat atrisi dan abrasi gigi pada perempuan penyirih/penyuntil suku karodi pancur batu. Skripsi. Medan: FKG USU,2013.

7. Yu C, PV Abbott. An overview of dental pulp : its functions and responses to injury. Australian Dental Journal 2007;52:4-16.

8. Chavez VEA, Massa FL. Odontoblast: the cells forming and maintaining dentine. The International Journal of Biochemistry & Cell Biology 2004:1367-73.

9. Simon SRJ, Berdal A, Cooper PR, Lumley PJ, Tomson PL, dan Smith AJ. Dentin-pulp complex regeneration: from lab to clinic. Adv Dent Res 2011:23(3):340-45.

10.Mahajan P, Monga P, Bahungun N, Bajaj N. Principles of management of calcified canals. Indian Journal of Dental Sciences 2013: 3-5

11.Antonio N. Ten Cate’sOral Histology, Development, Structure and Function. Mosby Elsevier., 2003.: 195,203.


(58)

12.Berkovitz BKB, G.R Holland, B.J Moxham. Oral anatomy, histology, and embryology. 4th ed. New York; 2009:129.

13.Bird DL, Robinson DS. Oral embryology and histology. In: Bird DL, Robinson DS. Eds. Modern dental assisting, 10thed. Canada : Elseveier Saunders; 2012:97. 14.Dammaschke T. The formation of reparatif dentine and hohl cells in the dental

pulp. Endo 2010;4(4):255-61

15.Shah P.Tooth sensitivity. http:// http://www.puredentalclinic.com/pu10 .jsp (Maret 4, 2014).

16.Bhaskar SN. Oral histology and embryology. Delhi: Asia Photograph, 1990:101-21.

17.Mjor Ivar A. Dentin permeability: the basis for understanding pulp reactions and adhesive technology. Braz Dent Journal 2009;20:3-16.

18.Haniastuti T, Phides Nuner, Adriana A. Djais. The role of transforming growth factor beta in tertiary dentinogenesis. Majalah Kedokteran Gigi 2008;41:15-20. 19.Pashley D.H and Liewehr R.F. Structure and Function of the Dentin-Pulp

Complex. In: Cohen’s pathways of the pulp, 10th

ed. China: Mosby Elsevier., 2011: 497-503.

20.Bergenholtz G, Horste-Bindsleve P, dan Reit C. Endodontolgy, 2nd ed. United Kingdom. Wiley-Blackwell 2010:11-31.

21.Muromachi K, Kamio N, Matsumoto T, Matsushima K. Role of CTGF/CCN2 in reparatif dentiongenesis in human dental pulp. Journal of Science 2012: 47-54. 22.Consolaro A, Francischone L, Consolaro RB. Attrition: aging of tooth shape,

interdental spacing and its meanings. Dental Press Implantol. 2013:28-38.

23.Gupta PC, Ray CS. Epidemiology of betel quid usage. Annals Academy of Medicine. 2004: 31-6.

24.Tebai Y, Sukartini E, dan Hayati AT. Caries prevalence and dmft-tindex of

papuan’s students with betel chewing habit. Padjajaran J Dent 2009;21: 41-6. 25.Theopilus. Budaya pinang-sirih-kapur dari papua.


(59)

26.Datta A, Ghoshdastidar S, Singh M. Antimicrobial Property of Piper betel Leaf against Clinical Isolates of Bacteria. IJPRS 2011;2:104-9.

27.Maisuthisakul P. Phenolic antioxidants from betel leaf (Piper betel linn.) Extract obtained with different solvents and extraction time. University of the Thai Chamber of Commerce Journal., 2005;1-13.

28.Rooney DF. Betel chewing traditions in South-east Asia. Oxford University press,1993:22-9.

29.Fehrenbach MJ, Phelan JA. Inflamation and repair. In: Phelan JA, Ibsen OAC. eds. Oral pathology for the dental hygienist, 5 th ed. China : Saunders Elsevier., 2009:45.

30.Staples GW, Bevacqua RF. Areca catechu (betel nut palm). SPPIA 2006:1-17. 31.International Agency for Research On Cancer. Betel-quid and areca-nut chewing

and some areca-nut-derived nitrosamines. IARC Monographs 2004;85:81-156. 32.Anonim. Tooth attrition. http://www.apolloniadental.com (Agustus 20.2013). 33.Hanudi Z. Genetic and environmental influences on variation in overbite, overjet

and tooh wear. Dental School Faculty of Health Sciences The University of Adelayde. 2011:24-6

34.http://www.hatamiandentistry.com/galery.html (3 September 2013).

35.Klinge RF. A microradiographic an electron microscopic study of ter-tiary dentin in human deciduous teeth. Acta Odontol Scand 1999; 57:87-92.

36.Bird DL, Robinson DS. Oral pathology. In: Bird DL, Robinson DS. Eds. Modern dental assisting, 10th ed. Canada : Elseveier Saunders., 2012:248-54.

37.Sivasithamparam K, D Harbrow, E Vinczer, WG Young. Endodentic sequelae of dental erosion. Australian Dental Journal 2003;48:(2):97-101.

38.Short MJ. Head, neck and dental anatomy. 3rd ed. Australia: Thomson Delmar Learning 2002; 101-9.

39.Anonim. Olympus szx16 Microscope http://www.olympus.com ( Maret 31, 2006)

40.Berkovitz BKB, G.R Holland, B.J Moxham. Oral anatomy, histology, and embryology. 4th ed. New York; 2009:95-7.


(60)

41.Liu B, Zhang M, Chen Y, Yao Y. Tooth wear in aging people: an investigation of the prevalence and influaential factors of incisal/occlusal tooth wear in northwest china. BMC Oral Health.2014:1-5.

42.Gioroiu C, Vataman M, Aminov L, Salceanu M, Andrian S. Clinical, histological and radiological aspects regarding the influence of some external factors on the pulp-dentin complex.International Journal of Medical Dentistry.2012:280-4.


(61)

Lampiran 1

Skema Alur Pikir

1. Menyirih adalah suatu proses mengunyah campuran bahan yang umumnya terdiri atas daun sirih, kapur, dan pinang. Menyirih merupakan suatu tradisi yang dilakukan oleh berbagai suku di Indonesia secara turun temurun yang berkaitan erat dengan adat kebiasaan masyarakat setempat. Kebiasaan menyirih dijumpai pada perempuan suku Karo di Sumatera Utara, yang berlangsung sampai saat ini, baik itu merupakan kebiasaan sehari-hari atau untuk acara adat. (Hasibuan S, Permana G, Aliyah S (2003)).

2. Efek menyirih dan menyuntil terhadap rongga mulut dapat dibagi dua yaitu terhadap mukosa mulut dan terhadap gigi, terhadap mukosa dapat menyebabkan lesi oral leukoplakia, fibrosis submukosa, karsinoma sel skuamosa, dan penyakit periodontal, sementara terhadap gigi dapat menyebabkan atrisi gigi, abrasi gigi, sensitivitas dentin, fraktur akar, dan stein. (Trivedy CR, Craig G, Warnakulasuriya S(2002)).

3. Atrisi gigi adalah hilangnya substansi gigi akibat adanya kontak antara gigi dengan gigi yang berantagonis dalam proses pengunyahan. ( Bird DL, Robinson DS (2012)).

4. Terjadinya atrisi gigi akibat kebiasaan menyirih terutama dipengaruhi oleh komposisi menyirih yang bersifat kasar dan keras. (Trivedy CR, Craig G, Warnakulasuriya S(2002)).

5. Dentin tersier adalah jaringan yang dibentuk sebagai respon yang terlokalisasi terhadap stimulus eksternal yang kuat dalam penggunaan gigi geligi. Dentin tersier tidak dibentuk oleh sel odontoblas yang sama dengan dentin primer dan saekunder. Dentin ini dibentuk oleh sel odontoblas sekunder (odontoblast-like cell) yang berdiferensiasi dari sel-sel yang ada dalam pulpa. (Mjor Ivar A. (2009)).


(1)

Derajat * Fisur Lingual

Crosstab

Fisur Lingual

Total Tidak ada Ada

Derajat Enamel saja Count 1 4 5

% within Derajat 20.0% 80.0% 100.0%

% of Total 9.1% 36.4% 45.5%

1/3 Oklusal Count 0 6 6

% within Derajat .0% 100.0% 100.0%

% of Total .0% 54.5% 54.5%

Total Count 1 10 11

% within Derajat 9.1% 90.9% 100.0%

% of Total 9.1% 90.9% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square

1.320a 1 .251

Continuity Correctionb

.009 1 .924

Likelihood Ratio

1.698 1 .193

Fisher's Exact Test .455 .455

Linear-by-Linear Association 1.200 1 .273

N of Valid Casesb 11


(2)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square

1.320a 1 .251

Continuity Correctionb

.009 1 .924

Likelihood Ratio

1.698 1 .193

Fisher's Exact Test .455 .455

Linear-by-Linear Association 1.200 1 .273

N of Valid Casesb 11

a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .45. b. Computed only for a 2x2 table

Derajat * Mesial Lingual

Crosstab

Mesial Lingual

Total Ada

Derajat Enamel saja Count 5 5

% within Derajat 100.0% 100.0%

% of Total 45.5% 45.5%

1/3 Oklusal Count 6 6

% within Derajat 100.0% 100.0%

% of Total 54.5% 54.5%

Total Count 11 11

% within Derajat 100.0% 100.0%

% of Total 100.0% 100.0%


(3)

Value

Pearson Chi-Square .a

N of Valid Cases 11

a. No statistics are computed because Mesial Lingual is a constant.

Derajat * Distal Bukal

Crosstab

Distal Bukal

Total Tidak ada Ada

Derajat Enamel saja Count 2 3 5

% within Derajat 40.0% 60.0% 100.0%

% of Total 18.2% 27.3% 45.5%

1/3 Oklusal Count 1 5 6

% within Derajat 16.7% 83.3% 100.0%

% of Total 9.1% 45.5% 54.5%

Total Count 3 8 11

% within Derajat 27.3% 72.7% 100.0%


(4)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided) Pearson Chi-Square

.749a 1 .387

Continuity Correctionb

.034 1 .853

Likelihood Ratio

.754 1 .385

Fisher's Exact Test .545 .424

Linear-by-Linear Association .681 1 .409

N of Valid Casesb 11

a. 4 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.36. b. Computed only for a 2x2 table

Derajat * Fisur Bukal

Crosstab

Fisur Bukal

Total Tidak ada Ada

Derajat Enamel saja Count 3 2 5

% within Derajat 60.0% 40.0% 100.0%

% of Total 27.3% 18.2% 45.5%

1/3 Oklusal Count 0 6 6

% within Derajat .0% 100.0% 100.0%

% of Total .0% 54.5% 54.5%

Total Count 3 8 11

% within Derajat 27.3% 72.7% 100.0%


(5)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 4.950a

1 .026

Continuity Correctionb 2.387 1 .122

Likelihood Ratio 6.161 1 .013

Fisher's Exact Test .061 .061

Linear-by-Linear Association 4.500 1 .034

N of Valid Casesb 11

a. 4 cells (100.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.36. b. Computed only for a 2x2 table

Derajat * Mesial Bukal

Crosstab

Mesial Bukal

Total Tidak ada Ada

Derajat Enamel saja Count 1 4 5

% within Derajat 20.0% 80.0% 100.0%

% of Total 9.1% 36.4% 45.5%

1/3 Oklusal Count 0 6 6

% within Derajat .0% 100.0% 100.0%

% of Total .0% 54.5% 54.5%

Total Count 1 10 11

% within Derajat 9.1% 90.9% 100.0%


(6)

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.320a

1 .251

Continuity Correctionb .009 1 .924

Likelihood Ratio 1.698 1 .193

Fisher's Exact Test .455 .455

Linear-by-Linear Association 1.200 1 .273

N of Valid Casesb

11

a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .45. b. Computed only for a 2x2 table