Jakarta tahun 1973, dan kemudian disempurnakan dalam kongres PGRI ke XVI tahun 1989 di Jakarta. Adapun teks Kode Etik Guru Indonesia yang telah
disempurnakan tersebut dalam Soetjipto dan Kosasi 1994:30 adalah sebagai berikut :
KODE ETIK GURU INDONESIA Guru Indonesia menyadari, bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa, dan Negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setia pada
Undang-Undang Dasar 1945, turut bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Oleh sebab itu, Guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut :
1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia
Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. 2. Guru memiliki dan melaksanakan kujujuran profesional.
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan.
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mngajar.
5. Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggungjawab bersama
terhadap pendidikan. 6. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan
meningkatkan mutu dan martabat profesinya. 7. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekluargaan, dan
kesetiakawanan sosial. 8. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu
organisasi PGRI sebagai sarana penunjang dan pengabdian. 9. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan Pemerintah dalam bidang
pendidikan.
2.3 Konsep Tentang Moralitas 2.3.1 Pengertian Moral
Istilah moral menurut Daroeso 1986:22, berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata „moral‟ yaitu „mos’ sedangkan bentuk jamaknya yaitu „mores’ yang
masing- masing mempunyai arti yang sama yaitu „kebiasaan, adat‟. Dalam arti
adat- istiadat atau kebijaksanaan, kata “moral” mempunyai arti yang sama dengan
kata Yunani “ethos”, yang menurunkan kata etika. Dalam bahasa Arab kata “moral” berarti budi pekerti adalah sama dengan “akhlak”, sedangkan dalam
bahasa Indonesia, kata “moral” dikenal dengan arti “kesusilaan”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesi
a, yang disusun oleh W.J.S Purwadarminta, kata “moral” berarti ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan akhlak, kewajiban, dan
sebagainya. Bila dibandingkan dengan arti kata „etika‟, maka secara etimologis, kata
‟etika‟ sama dengan kata „moral‟ karena kedua kata tersebut sama-sama mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain, kalau arti kata ‟moral‟
sama dengan kata „etika‟, maka rumusan arti kata „moral‟ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu „etika‟ dari bahasa Yunani dan „moral‟ dari bahasa Latin.
Beberapa jenis moral dalam artikel yang di tulis oleh Aridlowi yang berjudul “Pendidikan dan Moralitas” antara lain: 1 moral realism moral
berdasarkan kondisi yang nyata atau realitas, 2 moral luck moral yang dipengaruhi oleh faktor keberuntungan, 3 moral relativitism moral yang
bersifat relatif, 4 moral rational moral berdasarkan penggunaan akal sehat atau prosedur rasional, 5 moral scepticism moral yang menunjukkan sikap ragu-
ragu karena tidak memberikan penilaian berdasarkan pengetahun, dan 6 moral personhood moral yang ditentukan berdasarkan kesadaran, perasaan dan tindakan
pribadi atau merupakan bagian dari moral masyarakat.
Moral masyarakat menyangkut semua yang memerlukan pertimbangan moral dalam hal hak dan kewajiban. Kata moral selalu mengacu pada baik
buruknya manusia sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral
adalah tolak ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas. Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma
moral kita betul-betul dinilai. Itulah sebabnya penilaian moral selalu berbobot. Seseorang dikatakan bermoral, jika orang tersebut bertingkah laku sesuai dengan
norma-norma yang terdapat dalam masyarakat, baik apakah itu norma agama, norma hukum, dan sebagainya.
Pemahaman tentang moral menurut Wila Huky dalam Daroeso 1986:22 dapat dipahami dengan 3 cara yaitu :
1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran, bahwa ia terikat oleh keharusan untuk mencapai yang baik sesuai
dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. 2. Moral sebagai perangkat ide-ide tentang tingkah laku hidup, dengan warna
dasar tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam lingkungan tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku yang baik berdasarkan pandangan hidup atau agama tertentu.
Pada dasarnya anak lahir tanpa suatu bentuk kesadaran. Anak kecil dapat dikatakan belum memiliki peranan moral. Ia belum dapat membedakan mana
yang baik, mana yang buruk, mana yang salah dan mana yang benar. Perasaan moral yang dimiliki kemudian sebenarnya datang dari masyarakat dimulai dari
lingkungan keluarga sampai pada lingkungan yang luas. Perkembangan kesadaran moral adalah bertahap. Tahapan perkembangan moral menurut Nouman J. Bull
dalam Daroeso 1986:29 menyimpulkan bahwa ada 4 tahapan yaitu : 1. Anomi without law
Dengan tahap anomi, anak belum memiliki perasaan moral dan belum ada perasaan untuk menaati peraturan-peraturan.
2. Heteronami law imposed by other Pada tahap ini moralitas terbentuk karena pengaruh luar external morality.
Pada heteronomi ini peraturan dipaksakan oleh orang lain dengan pengawasan, kekuatan atau paksaan, karena itulah peraturan tersebut di atas.
3. Sosionomi law driving from society Tahap sosionomi merupakan suatu kenyataan adanya kerjasama antar individu,
menjadi individu sadar bahwa dirinya merupakan anggota kelompok. 4. Autonomi law driving from self
Tahap autonomi merupakan tahapan perkembangan pertimbangan moral yang paling tinggi. Pembentukan moral dari individu bersumber pada diri individu
sendiri, termasuk di dalamnya pengawasan tingkah laku moral individu tersebut.
Dengan demikian moral atau kesusilaan adalah keseluruhan norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat untuk melaksanakan perbuatan-
perbuatan yang baik dan benar. Perlu diingat dengan baik dan benar menurut seseorang, tidak pasti baik dan benar untuk orang lain. Karena itulah, diperlukan
adanya prinsip-prinsip kesusilaan atau moral yang dapat berlaku umum dan diakui kebaikan dan kebenarannya oleh semua orang. Dengan demikian moral dipakai
untuk memberikan penilaian atau predikat terhadap tingkah laku seseorang.
2.3.2 Pengertian Moralitas
Moralitas menurut Immanuel Kant dalam Suseno 1992:120 adalah hal keyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar penyesuaian dengan aturan dari
luar, baik itu aturan hukum negara, agama atau adat-istiadat. Selanjutnya dikatakan bahwa, kriteria mutu moral seseorang adalah hal kesetiaanya pada
hatinya sendiri. Moralitas merupakan pelaksanaan dari sebuah kewajiban karena hormat terhadap hukum, sedangkan hukum itu sendiri tertulis dalam hati manusia.
Dengan kata lain, moralitas adalah tekad untuk mengikuti apa yang dalam hati disadari sebagai kewajiban mutlak.
Konsep Kant tersebut selanjutnya dikembangkan dan dikritisi oleh Hegel. Hegel mengemukakan bahwa konsep moralitas yang dikemukakan oleh Kant
adalah abstrak karena tidak memperhatikan bahwa manusia dengan otonominya, jadi suara hatinya selalu sudah bergerak dalam ruangan yang ditentukan oleh
struktur-struktur sosial yang mewadahi tuntutan-tuntutan moral juga. Dengan demikian menurut Hegel kebebasan manusia bukan sekedar sikap otonomi batin,
melainkan merupakan hakekat seluruh kerangka sosial di dalam manusia merealisasikan diri. Ini berarti bahwa kebebasan harus terungkap dalam tiga
lembaga yang satu sama lain berhubungan secara dialektis, yaitu a hukum, b moralitas i
ndividu, dan c tatanan sosial moral “Sittlichkeit”. Jadi perbedaan pandangan antara Kant dengan Hegel tentang moral sebenarnya hanya relatif,
yaitu Hegel menganggap bahwa Kant berlebihan dan abstrak. Menurut Hegel apabila kehidupan masyarakat didasarkan pada tatanan normatif yang rasional dan
menghormati kebebasan, seseorang tidak perlu lagi mengeluarkan begitu banyak tenaga batin. Ia dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Ia boleh mengikuti
pandangan serta tatanan moral masyarakat. Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila kesadaran moral seseorang meragukan tatanan
moral sosial itu, maka ia harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya menjadi kewajibannya, ia tidak boleh mengikuti apa yang diharapkan oleh
lingkungannya. Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukan
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk Poespoprodjo 1999:118. Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk Bartens, 2002:7. Moralitas juga berperan sebagai
pengatur dan petunjuk bagi manusia dalam berperilaku agar dapat dikategorikan sebagai manusia yang baik dan dapat menghindari perilaku yang buruk Keraf,
1993: 20. Dengan demikian, manusia dapat dikatakan tidak bermoral jika ia tidak sesuai dengan moralitas yang berlaku.
Kesimpulan dari pengertian moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan tingkah laku baik dan buruk yang dilakukan
oleh seseorang. Jika pengertian moralitas tersebut dikaitkan dengan moralitas seorang guru maka dapat didefinisikan moralitas guru adalah sifat moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan tingkah laku baik dan buruk yang dilakukan oleh seorang guru dalam menjalankan profesinya sebagai seorang
guru.
2.3.3 Norma-Norma Moralitas
Norma menurut Poespoprodjo 1999:133 adalah aturan, standar, ukuran. Norma adalah sesuatu yang sudah pasti dan dapat kita pakai untuk
membandingkan sesuatu yang lain yang kita ragukan hakikatnya, besar-kecilnya, ukurannya, atau kualitasnya. Jadi, norma moralitas adalah aturan, standar, atau
ukuran yang dapat kita gunakan untuk mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Sesuatu perbuatan yang secara positif sesuai ukurannya dapat disebut
moral baik. Apabila secara positif tidak sesuai ukurannya dapat disebut moral buruk, dan disebut secara moral indiferen apabila netral terhadap ukuran tadi.
Poespoprodjo 1999:134 mengemukakan pendapatnya tentang norma, bahwa suatu norma dapat dekat atau terakhir. Untuk mengerti berapa panjangnya
sesuatu, digunakan meteran sebagai alat ukur. Tetapi bagaimana pembuat ukuran meteran menentukan bahwa sekian panjang itu satu meter. Dia mengukur
meterannya dengan ukuran yang resmi dipakai, dan di atas itu tidak terdapat ketentuan lain. Pada umumnya suatu norma dekat adalah suatu norma yang secara
langsung dapat diterapkan pada benda yang harus diukur. Norma tersebut siap dipakai. Norma asli atau norma terakhir adalah alasan terakhir mengapa norma
dekat itu seperti kenyataannya. Secara teoritis hal yang sama dapat dipakai untuk memenuhi fungsi dari kedua norma, yakni norma dekat dan norma terakhir.
Pendapat dari Poespoprodjo tersebut menjelaskan bahwasanya harus terdapat suatu norma moralitas. Tetapi ada beberapa perbuatan yang menurut
hakikatnya baik dan menurut hakikatnya buruk. Maka harus terdapat suatu hal yang bisa digunakan untuk menentukan mengapa yang satu demikian dan yang
lainnya demikian pula. Norma tersebut haruslah norma dekat proximate norm, artinya norma tersebut dapat langsung diterapkan pada perbuatan konkret, satu-
satunya perbuatan yang sesungguhnya ada. Supaya norma dekat ini dapat terjamin kebenarannya atau keabsahannya, harus terdapat norma terakhir ultimate norm
yang memberi jaminan yaitu hakikat Illahi.
2.3.4 Faktor-Faktor Penentu Moralitas
Faktor-faktor penentu moralitas menurut Poespoprodjo 1999:154 dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Perbuatan sendiri Perbuatan sendiri adalah apa yang dikehendaki oleh individu, memandangnya
tidak dalam arti fisis, tetapi dalam arti moral. Manusia telah menunjukan bahwa terdapat perbuatan-perbuatan yang menurut hakikatnya baik atau buruk,
dan menghendakinya akan menjadi baik atau buruk.
2. Motif Motif atau intensi adalah apa yang ingin dicapai oleh pelaku secara pribadi
lewat perbuatan yang menyebabkan perbuatan tersebut menuju arah hakikatnya. Motif, karena dikehendaki dengan sadar, memberi saham pada
moralitas dan perbuatan tersebut, bahkan kadang-kadang memberi jenis moralitas lain.
3. Keadaan Keadaan adalah segala yang terdapat atau terjadi pada suatu peristiwa atau
perbuatan. Sebagian keadaan tidak mempunyai akibat pada moralitas, sebagian lainnya berakibat. Cara yang mudah untuk mendaftar keadaan adalah dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti siapa, di mana, bagaimana, kepada siapa, dengan cara apa dan lain-lain. Jadi, bukan menanyakan apa atau
mengapa, karena
pertanyaan-pertanyaan semacam
itu menanyakan
perbuatannya sendiri dan motifnya. Salah satu faktor yang melandasi akan pentingnya peran moralitas guru
dalam pembelajaran adalah motif. Dengan didasari oleh motif untuk mendidik siswa agar memiliki kecerdasan intelektual dan emosional, maka guru harus bisa
membawa peserta didik untuk bisa mencapai tujuan tersebut. Menurut Tu‟u 2004:79 tinggi rendahnya kecerdasan yang dimiliki oleh siswa sangat
menentukan keberhasilannya mencapai prestasi belajar, termasuk prestasi-prestasi lain sesuai macam-macam kecerdasan yang menonjol yang ada pada diri siswa
tersebut. Kecerdasan atau intelegensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Jika seorang siswa memiliki kecerdasan intelektual dan emosional maka
secara tidak langsung akan mempengaruhi hasil prestasinya. Dalam situasi yang sama, siswa yang mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil
daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah, dengan didampingi oleh beberapa faktor lain yang mempengaruhinya.
Penelitian ini memfokuskan mengenai moralitas guru dalam pembelajaran, dimana guru mempunyai tugas dan peran yang sangat penting dalam pencapaian
prestasi belajar siswa yang optimal. Dari berbagai definisi tentang makna moralitas yang dikemukakan oleh beberapa ahli, dapat diambil kesimpulan bahwa
peran moralitas guru dalam pembelajaran sangat penting. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Thomas Lickona dalam Tilaar 1999:76-80 bahwa beberapa
tugas dan peran guru yang cukup berat dan perlu dilaksanakan dalam mendukung pelaksanaan pendidikan budi pekerti di sekolah yang berkaitan dengan penerapan
moralitas guru di dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah antara lain 1 kemampuan menjadi model sekaligus mentor bagi siswa, 2 kemampuan
menciptakan masyarakat yang bermoral, 3 kemampuan mempraktikan disiplin moral, 4 kemampuan menciptakan situasi demokrasi di dalam kelas, 5
kemampuan mewujudkan nilai-nilai melalui kurikulum, 6 kemampuan menciptakan budaya kerja sama, 7 kemampuan menumbuhkan kesadaran
berkarya, 8 kemampuan mengembangkan refleksi moral, 9 kemampuan mengajarkan resolusi konflik. Tugas dan peran guru inilah yang akan diambil
sebagai indikator variabel moralitas guru dalam penelitian ini.
2.4 Konsep Kreativitas Guru 2.4.1 Pengertian Kreativitas