27 fair
dari persaingan klaim moralnya. Pemahaman ini lebih lanjut di bahas dalam posisi sebagai objek moral pada bab selanjutnya.
2.4.2 Agen Moral dan Moral sebagai Subjek
Perbedaan antara etika
human-centered
dan
life centered
yang diklarifikasi oleh fokus perhatian mereka pada konsep agen moral dan moral sebagai subjek. Kedua jenis
pemahaman ini setuju tentang ide agen moral dan perhatian mereka terhadap moral sebagai subjek di alam yang isunya dibahas terkait
virtue
atau tindakan bermoral atau tidak bermoral sebagai tugas dan tanggunjawab. Namun perlu digaris bawahi bahwa terdapat kelas dari
moral agen dan kehendak bebas manusia. Ada dua alasan mengapa hal ini perlu untuk dipahami, yakni: Pertama, tidak semua manusia adalah agen moral; Kedua, di sana terdapat
keberadaan agen moral yang bukan dari manusia. Contohnya
homo sapiens
kita belum dapat mengklarifikasi tanggung jawab terhadap alam. Di alam ini bukan hanya manusia yang
mengembangkan pola kehidupannya dalam kelompok sosial mereka dan bertanggungjawab mengikutinya, tetapi makhluk hidup lain juga, seperti: lumba-lumba, gaja, dan primata
lainnya juga hidup dalam kelompok sosial.
27
Artinya bahwa agen moral ini mempunyai standart etik masing-masing dan berlaku di alam melalui karakter baik atau buruk dan alasan-
alasannya masing-masing. Di sisi yang lain, pada waktu yang sama berbeda dengan moral subjek, manusia adalah
agen moralnya dan juga subjek moral.
28
Di dalam peran sebagai agen moral mereka dapat memperlakukan orang lain secara benar atau salah. Sedangkan di dalam peran moral sebagai
27
Ibid., 14.
28
Ibid., 16.
28
subjek mereka dapat diperlakukan secara benar atau salah oleh orang lain. Oleh karena itu, seseorang dapat menjadi kedua-duanya baik agen moral maupun subjek moral. Lebih lanjut
Taylor menentukan subjek moral sebagai sesuatu yang dapat dilakukan dengan benar atau salah dan kepada siapa agen moral dapat memiliki tugas dan tanggung jawab tersebut.
Keberadaan moral subjek oleh karenanya dapat membawa kerugian atau keuntungan sebagai fakta tentang moral subjek bahwa selalu dimungkinkan agar agen moral dapat membawa
suatu sudut pandang moral sebagai subjek dan membuat justifikasi dari sudut pandang tersebut tentang bagaimana seharusnya subjek moral itu diperlakukan. Standart tersebut
mengimplikasikan pendorong justifikasi tersebut atau kehendak bebas dari subjek tidak hanya dari satu orang yang menjustifikasinya. Lebih lanjut batasan terkait dengan yang
bukan moral subjek adalah seperti pada sungai dan proses eksistem dari ikan dan sungai sebagai
aquatic organism
. Di sini menunjukkan bahwa hal ini masih merupakan kasus agen moral untuk memperlakukannya sebagai subjek moral. Selain itu, terdapat fakta juga bahwa
objek yang mati di alam ini dapat dimodifikasi bahkan musnah atau diawetkan oleh agen moral sebagai pertimbangan etika yang bermanfaat, Karena perlakuan terhadap objek yang
mati ini memengaruhi kehendak bebas dari subjek moralnya.
29
Pokok pemikiran lainnya yang ditekankan juga dalam tulisan ini adalah bahwa dibutuhkan upaya untuk membuat suatu justifikasi moral intuitif. Yang mana intuisi kita
memang bisa benar atau salah, namun dalam hal ini berdasarkan pengalaman intuisi kita merasa bahwa membunuh hewan atau tidak itu adalah tindakan yang salah namun intuisi ini
harus masuk akal. Karena hewan dan tumbuhan tidak dapat merasakan apa yang kita rasakan. Oleh karena itu etika
life-centered
menegaskan bahwa setiap mahkluk hidup adalah subjek
29
Paul W. Taylor, Respect For Nature A Theory of Environmental Ethics. Princeton University Press. 1986:New Jersey, 16-17.
29
moral.
30
Sangat penting untuk memahami hal ini karena moral intuisi kita menghargai bagaimana mahkluk hidup dari alam harus diperlakukan berdasarkan aspek psikologis yang
tergantung pada dasar sikap-sikap kita terhadap alam. Hal ini perlu dimaknai pada konteks masa kanak-kanak. Apa sikap yang pada awalnya diberikan kepada kita dalam kehidupan
terhadap hewan dan tumbuhan, diterima dan direfleksikan lewat kelompok sosial kita. Namun demikian pada konteks tertentu intuisi tidak dapat dipakai sepenuhnya dalam
memahami etika lingkungan hidup. Oleh karena itu, perlu ditentukan juga pertimbangan benar salahnya. Alasannya karena sebagai contoh terdapat perbedaan kultur atau budaya
yang mana ketika kita berburu burung atau singa untuk diambil bulunya dan dengan penuh percaya diri kita mengatakan itu tidak salah untuk dilakukan. Jadi kita tidak dapat
menggunakan intuitif untuk secara keseluruhan menolak atau membenarkan sikap kita terhadap etika lingkungan hidup. Karena lebih lanjut intuisi tidak dapat digunakan secara
rasional objektif dan menyeluruh untuk teori dari etika lingkungan hidup.
31
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa etika lingkungan perlu dipahami dari berbagai segi, baik secara antroposentris maupun biosentris, baik secara rasional maupun
menggunakan intuisi. Hal ini dilihat sebagai alasan dan pertimbangan sikap dalam pratik kita secara etis terhadap lingkungan dengan mempertimbangkan sebaik-baiknya mengenai batasan-
batasan tertentu sampai di mana hal itu dapat digunakan dengan baik. Sehingga sebagai klaim pertimbangan moral dalam perdebatan maupun dalam prakteknya serta upaya menjaga dan
merawat lingkungan secara tepat dan berkesinambungan menjadi bagian dari mahkluk hidup yang tinggal di alam. Karena itu, untuk mendasari pertimbangan etis atau pun teologi sosial yang
30
Ibid., 22.
31
Ibid., 23.
30
dibangun gereja maka sangat penting untuk melihat kembali dasar teologi lingkungan yang dimiliki dan dijalan oleh gereja.
2.5 Teologi Lingkungan Hidup