31
dunia, mengangkat dan mendeklarasikan isu ini dengan memahami bahwa krisis lingkungan merupakan bagian dari penatalayanan gereja.
33
Dalam usaha itu, maka kita akan diarahkan pada beberapa hal penting dan mendasar, antara lain sebagai berikut:
2.5.1 Teologi Penciptaan
Upaya pendasaran teologi terhadap lingkungan hidup mengalami perjalanan yang panjang. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat dari
para teolog. Beberapa teolog memandang Kejadian 1:26-28 sebagai dasar teologi dari hubungan manusia dan lingkungan hidupnya. Tetapi terhadap teks ini ada
beberapa catatan penting yang harus diperhatikan supaya teks ini tidak dijadikan sebagai dasar untuk upaya pengrusakan lingkungan hidup secara tidak
bertanggung jawab. Pertama, kata ‘berkuasa’ harus dimengerti berdasarkan konteks terdekat Kejadian 1. Artinya kata ini harus dipahami dalam kaitan dengan
konsep tentang berkat ayat 28a dan tentang pembagian antara manusia dan binatang tanpa adanya saling membunuh. Kata berkuasa raddah disini tidak
boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan atau perlakuan keras dan kasar, melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut
sesuai pula dengan Raja-Gembala Timur Tengah Kuno yang memang bertugas mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam damai dan sejahtera.
34
33
Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection Santa Barbara California: Praeger, 2010, 15-16.
34
Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada Lingkungan. Kanisius. 2008:Yogyakarta, 33.
32
Demikian pula dengan kata “menaklukkan”
kabbas
tidak boleh dimengerti secara negatif tetapi harus dimengerti secara positif mengolah dan
mengerjakan. Jika Kejadian 1 dimengerti seperti ini maka kejadian 1 tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan tindak eksploitasi alam secara tidak
bertanggung jawab. Manusia berdasarkan Kejadian 1 harus lebih dilihat sebagai wakil Allah, wazir atau kalifah yang bertanggung jawab atas bumi dan segala
makhluknya.
35
Tetapi penafsiran seperti ini mendapat protes dari beberapa teolog. Mereka melihat bahwa gambaran tentang manusia sebagai pengurus alam semesta
serta penghuninya dianggap timpang. Ide tentang Raja-Timur Tengah Kuno yang sering dipakai untuk mendasarkan interpretasi menurut para ahli sebenarnya
ambigu. Memang ada sisi pemeliharaan tetapi ada pula sisi despotismekeseweng- wenangan. Karena itu, ayat 28 memiliki makna ganda: Manusia di satu pihak
memang pelindung, tetapi juga memiliki sifat agresif-menguasai; di satu pihak pemelihara tetapi juga harus senantiasa siap membendung kekacauan. Allah
Pencipta sendiri memang menjaga keharmonisan alam, tetapi itu juga harus terjadi dengan membendung berbagai bahaya
khaos
, gelap gulita yang mengancam kosmos. Penafsiran kedua mendasarkan pendapat mereka pada
kenyataan geografis, keadaan hidup yang keras di wilayah Kanaan. Lingkungan hidup di Palestina adalah lingkungan hidup yang keras. Orang-orang harus
berjuang melawan kekeringan, binatang liar dan lain-lain.
36
35
Ibid., 34
36
Ibid., 34
33
Lebih lanjut, Jurgen Moltmann menyampaikan kritik terhadap upaya penafsiran ulang Kejadian 1 karena menurutnya masih terlalu antroposentris.
Memang sudah ditegaskan bahwa tugas manusia adalah memelihara dan bukan merusak alam. Tetapi pusat perhatian tetap diberikan kepada manusia. Dunia
dilihat sebagai milik manusia. Karena itu, Moltmann menegaskan bahwa mahkota karya penciptaan sebenarnya bukan manusia melainkan sabat yaitu kegembiraan
Allah atas segala karya ciptaan-Nya sendiri yang baik.
37
Dalam perspektif hubungan antara sains dan iman serta teologi, Moltmann menegaskan bahwa teologi penciptaan perlu memandang dunia
sungguh sebagai ciptaan Allah. Hanya dengan demikian ciri antroposentris pandangan kristiani tentang realitas dapat direlatifkan. Konsep tersebut memuat 4
unsur berikut: 1 Sebagai ciptaan dunia ini bukan sesuatu yang ilahi dan karena itu tidak perlu disembah. Di lain pihak dunia juga bukan sesuatu yang jahat pada
dirinya sendiri, sehingga tidak perlu ditakuti; 2 Bila dunia dipahami sebagai ciptaan maka relasi dikotomis subjek-objek dalam sains dapat diatasi. Baik
realitas yang merupakan objek sains maupun manusia dengan subjektivitasnya adalah ciptaan Allah. Akal budi dan kehendak manusia juga bersifat kontingen
dan karena itu tidak boleh dimutlakkan; 3 Menurut iman Kristen Allah adalah pencipta surga dan bumi, segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Realitas yang diketahui manusia melalui sains tidaklah mutlak melainkan hanyalah sebagian saja dari realitas. Bahkan, manusia sendiri sebagai subjek sains
hanyalah bagian dari ciptaan yang kelihatan. Penegasan bahwa dunia adalah ciptaan Allah menolak klaim saintisme tentang keluasan makna realitas; 4 Dasar
37
Ibid., 35
34
biblis yang diusulkan Moltmann untuk paham dunia sebagai ciptaan adalah Roma 8:19-21.
Teks ini lebih dekat dengan keprihatinan yang hidup dalam masyarakat kontemporer, masyarakat yang mengalami dunianya dengan penuh kekhawatiran
tetapi sekaligus dengan harapan. “Karena seluruh makhluk telah ditakhlukkan kepada kesia-siaan.. tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga
akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemuliaan anak-anak
Allah”. Berdasarkan pemahaman ini dan kritiknya terhadap pandangan antroposentris, Moltman menekankan Sabat sebagai akhir dan puncak dari
penciptaan bukan penciptaan manusia.
38
Pemikiran Moltman ini didukung oleh pendapat Robert P. Borrong yang mengatakan bahwa Kita perlu memelihara
lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk
menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Juga sebagai tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan
Allah melalui pengorbanan Yesus Kristus. Maka memelihara lingkungan tidak lain dari ibadah kita kepada Allah.
39
Lebih lanjut Fred Van Dyke dalam bukunya
Beetwen Earth and Heaven
mengemukakan bahwa kita perlu memahami kembali lingkungan sebagai anugerah penciptaan atau
creation
dari Allah kepada manusia sebagai bagian dari tradisi sejarah kekristenan yang harus diketahui dan dimaknai kembali. Karena
38
Ibid., 36
39
Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman; Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 1998.
35
sejarah tradisi tentang penciptaan tersebut merupakan landasan dasar kita dalam memahami makna dan
value
atau nilai-nilai yang mengarahkan orang percaya untuk dapat bertanggungjawab dengan alam ciptaan Allah. Karena tanpa sejarah
dari tradisi-tradisi kekristenan ini, orang percaya tidak akan tahu di mana posisinya sekarang berada dalam membahas tentang masalah masalah
lingkungan.
40
Fred Van Dyke mencoba menghubungankan antara apa yang dipercayai dalam iman Kristen lewat tradisi-tradisi yang ada dan memandang lingkungan
sebagai penatalayanan, yang mana etika ini merupakan bagian dari pengajaran gereja, baik teologinya, sejarah dan praktik kehidupan orang percaya di masa lalu
dan terhadap keprihatinannya saat ini sebagai bentuk penatalayanan gereja yang mewujudkan misi Allah di dunia lewat lingkungan yang berbicara melalui
komunitas gereja itu sendiri terhadap dunia.
41
Oleh karenanya penekanan yang pertama terkait dengan
intrinsic value
atau nilai dari dalam diri terhadap bahaya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim yang berkaitan dengan aktivitas
manusia.
42
Lebih lanjut secara teologis, penekananya ada pada apa yang Allah ciptakan menurut kesaksian dalam kitab Kejadian, bahwa apa yang diciptakan
Allah di bumi ini sebagai sesuatu yang baik adanya. Hal ini kemudian, menjadi dasar etis untuk membangun nilai-nilai kesadaran dari dalam diri setiap orang
40
Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection Santa Barbara California: Praeger, 2010, Vii-Viii.
41
Ibid., 20-23.
42
Ibid., 2.
36
percaya sebagai salah satu pemahaman etika terkait dengan lingkungan,
43
dalam posisi penciptaan oleh Allah sebagai nilai intrinsiknya atau
intrinsic value
. Hal ini bukan menyangkut apa yang Allah rasakan tetapi menurut Dyke lebih kepada
kualitas yang diciptakan oleh Allah itu sendiri dalam kitab Kejadian sehingga memperkuatnya. Selain itu, hal tersebut juga menurutnya kata manusia adalah
gambaran Allah “
image
” merujuk atau merepresentasikan pada makna royal yang mana menjadi semacam perintah agar manusia bertindak sesuai dengan kehendak
Allah sehingga teks tersebut menyatakan bahwa Allah membuat manusia menjadi wakil dari dirinya untuk ciptaan non-manusia dan akan bertindak melalui mereka
untuk mencapai tujuan yang Allah maksudkan.
44
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, gereja sebenarnya mempunyai sejarah yang panjang terkait dengan lingkungan, dimulai dari
Perjanjian Lama-Perjanjian Baru yang telah dimaknai oleh orang-orang Kristen lewat komunitas gereja yang mana hal ini dibangun dari dalam diri setiap anggota
orang percaya. Sehingga lewat iman dan prakteknya dapat bertindak secara etis untuk memenuhi maksud dari apa yang Allah ciptakan di dalam dunia bagi
manusia dan seluruh alam ciptaan demi kemulian nama-Nya dalam rangka melaksanakan tugas dan tanggungjawab penatalayanan gereja secara holistik.
2.5.2 Peranan Kitab Suci dalam Ekologi