Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

dilakukan antara lain Pemeriksaan Jentik Berkala PJB dan Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN DBD. Pola penyebaran kejadian DBD yang telah diketahui melalui analisis spasial dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan KLB DBD dengan cara melakukan penyelidikan yang mengarah pada sumber yang ditemukan Davis et al,2014. Informasi mengenai pola penyebaran kejadian DBD sebenarnya juga dapat digunakan untuk menyusun strategi intervensi program kesehatan Aziz et al, 2012. Pola penyakit DBD yang berkelompok di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan sebenarnya dapat mempermudah petugas Puskesmas untuk melakukan intervensi program kesehatan dibanding pola menyebar. Analisis spasial lebih lanjut seperti perbandingan wilayah secara lebih luas ke depannya sangatlah dibutuhkan, sehingga dapat mengetahui wilayah mana yang lebih berkelompok pola penyebaran DBD di bandingkan wilayah lain. Oleh karena itu diperlukan analisis tentang perbandingan pola penyebaran antar wilayah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dan wilayah kerja Puskesmas lainnya yang berada di Kecamatan Rawalumbu Kota Bekasi.

6.2.2 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

Penyakit DBD merupakan penyakit yang dapat ditularkan oleh nyamuk ke manusia WHO, 2004. Penyakit DBD dapat diderita oleh setiap orang. Kecenderungan kejadian DBD berdasarkan jenis kelamin hampir sama Kemenkes RI, 2010. Penyakit DBD dapat diderita oleh siapa saja baik muda maupun tua, anak anak atau orang dewasa, laki-laki juga wanita. Akan tetapi selama satu dekade terakhir, penyakit DBD cenderung mengalami kenaikan proporsi pada kelompok umur dewasa di bandingkan usia 5-14 tahun Kemenkes RI, 2014. Beberapa hasil penelitian lain menyatakan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dan kelompok umur dengan kejadian DBD sebagaimana penelitian oleh Dardjito et al 2008 menyatakan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian DBD dengan OR sebesar 4,896. Sedangkan berdasarkan penelitian oleh Subagia et al 2012 di Denpasar, diketahui bahwa laki-laki berpotensi terkena kejadian DBD dibanding perempuan dengan OR sebesar 1,878. Laki-laki memiliki risiko lebih besar dibandingkan perempuan karena laki-laki lebih banyak beraktifitas. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Dardjito et al 2008 di Kabupaten Banyumas, diketahui bahwa kelompok umur 12 tahun memiliki risiko lebih tinggi kejadian DBD dibandingkan kelompok umur lainnya dengan nilai OR sebesar 19,056. Sedangkan penelitian oleh Daud 2005, proporsi kejadian DBD paling banyak di Kota Palu sebesar 46,6 berada pada kelompok umur 15 tahun sebagai kelompok umur anak usia sekolah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa penyakit DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dapat diderita oleh laki-laki maupun perempuan tabel 5.5. Pada tahun 2011-2012 penyakit DBD paling banyak diderita oleh perempuan, sedangkan pada tahun 2013 penyakit DBD paling banyak diderita oleh laki-laki. Diketahui bahwa jumlah kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berdasarkan kelompok umur selalu mengalami perubahan dari tahun 2011-2013 tabel 5.5. Jumlah kejadian DBD paling banyak tidak selalu diikuti oleh angka Incidence Rate IR DBD paling tinggi. Hal ini dikarenakan angka IR DBD dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang ada di setiap wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Pada tahun 2011-2012 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan paling banyak berada pada kelompok umur 5-14 tahun yang merupakan kelompok umur anak usia sekolah. Anak usia sekolah dapat tertular DBD baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Pada pagi hari anak sekolah beraktifitas di lingkungan sekolah, sedangkan pada sore hari mereka berada di rumah. Pola ini sesuai dengan kebiasaan nyamuk penular DBD menggigit manusia. Diketahui juga bahwa pola penyebaran DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan memiliki pola berkelompok. Hal tersebut dapat menandakan bahwa adanya penularan DBD yang bersumber pada satu wilayah seperti sekolah. Di samping itu, berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan terdapat fasilitas pendidikan mulai dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Oleh karena itu dibutuhkan analisis lebih lanjut seperti distance index untuk membuktika adanya korelasi penularan DBD dengan tempat potensi sumber penular DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Tindakan penanggulangan DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan sebenarnya dapat dilakukan secara efektif melalui kegiatan pencegahan kepada anak usia sekolah. Hal tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan kader jumantik cilik atau kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN DBD di lingkungan sekolah. Namun demikian, diketahui bahwa kegiatan tersebut belum dilakukan di sekolah-sekolah yang berada pada wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Pada tahun 2013 telah terjadi perubahan yakni IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan paling banyak diderita oleh kelompok umur 15-24 tahun. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi diketahui bahwa kejadian DBD di Kota Bekasi tahun 2013 paling banyak diderita oleh laki-laki dan kelompok umur di atas 15 tahun. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan di Puskesmas Pengasinan Kota Bekasi. Kejadian DBD pada kelompok umur dewasa dapat diakibatkan karena aktivitas luar dan perilaku mobilisasi. Oleh karena itu dibutuhkan analisis lebih lanjut tentang aktivitas dan perilaku mobilisasi penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Pada tahun 2013 juga diketahui adanya perubahan peningkatan IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan yakni pada kelompok umur 0-4 tahun atau usia balita. Hal ini dapat memungkinkan adanya penularan setempat dikarenakan usia balita tidak melakukan kegiatan mobilisasi seperti anak usia sekolah atau dewasa. Sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap penularan kejadian DBD di Puskesmas Pengasinan. 6.2.3 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Kepadatan Penduduk dan Kepadatan Jentik Vektor Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang dapat ditangani dengan manajemen penyakit berbasis wilayah Achmadi, 2005. Penanganan penyakit DBD yang berbasis wilayah dapat ditinjau dari segi lingkungan sosial seperti arus urbanisasi penduduk yang dapat menimbulkan kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk di suatu wilayah bisa berdampak pada penyebaran penyakit DBD Daud, 2005. Penyakit DBD ditularkan melalui vektor nyamuk yang mempunyai daya terbang hingga jarak 100 meter WHO, 2003. Oleh karena itu, wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi menandakan risiko penularan melalui nyamuk harus diwaspadai, karena kemampuan daya terbang nyamuk yang cukup dekat. Kepadatan penduduk dapat mempengaruhi kejadian DBD sebagaimana penelitian oleh Daud 2005 dengan sampel berjumlah 545 kejadian DBD dari 12 Kelurahan di Kecamatan Palu Selatan, menunjukkan hasil bahwa adanya hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD p = 0,0049. Penelitian oleh Astuti 2009 dengan sampel berjumlah 1571 kejadian DBD dari 11 Kelurahan di Kecamatan Tambora menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD p =0,002, r=0,516. Penelitian oleh Hairani 2009 dengan sampel berjumlah 2133 kejadian DBD dari 13 Kelurahan di Kecamatan Cimanggis Depok didapatkan hasil bahwa ada hubungan antara kepadatan penduduk dengan kejadian DBD p=0,026, r=0,309. Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa pada tahun 2012-2013 IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan mengalami peningkatan, akan tetapi kepadatan penduduk mengalami penurunan tabel 5.6. Peningkatan IR DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dipengaruhi oleh jumlah kasus DBD yang meningkat dan jumlah penduduk yang semakin menurun. Jika dilihat berdasarkan Kelurahan, selama tahun 2011-2013 kejadian DBD paling banyak terjadi di Kelurahan Pengasinan. Banyaknya kejadian DBD yang berada di Kelurahan Pengasinan selama tahun 2011-2013 berkaitan dengan jumlah kejadian DBD yang setiap tahun cenderung lebih tinggi dibandingkan Kelurahan Sepanjang jaya. Jumlah DBD di Kelurahan Sepanjang Jaya yang lebih rendah dibandingkan Pengasinan berkaitan dengan jumlah penduduk di Kelurahan Sepanjang jaya yang memang lebih rendah dibandingkan Kelurahan Pengasinan. Di samping itu, wilayah Kelurahan Sepanjang Jaya didominasi dengan wilayah perumahan dengan status sosial lebih tinggi sehingga ada kemungkinan penderita DBD berobat ke Rumah Sakit di luar Kota Bekasi dan tidak tercatat di Dinas Kesehatan Kota Bekasi maupun Puskesmas Pengasinan. Penurunan tingkat kepadatan penduduk di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan selama tahun 2011-2013 terjadi karena penduduk di Kelurahan Pengasinan dan Sepanjang Jaya mengalami mutasi penduduk keluar dengan jumlah lebih besar daripada pendatang. Adapun peningkatan kejadian DBD dapat terjadi dikarenakan oleh hal lain seperti penanganan masalah DBD yang belum efektif dari tahun ke tahun, sehingga kepadatan penduduk menurun namun jumlah kejadian DBD justru meningkat. Penyebaran penyakit DBD tidak hanya dipengaruhi oleh kepadatan penduduk melainkan juga dapat dipengaruhi oleh kepadatan jentik vektor penular DBD. DBD dapat ditularkan oleh vektor jenis tertentu, seperti Aedes Aegypti WHO, 2003. Keberadaan vektor penular DBD dapat diidentifikasi dari kepadatan jentik vektor, karena siklus perkembangan nyamuk penular DBD tidak membutuhkan waktu yang lama. Jentik vektor DBD dapat ditemukan pada tempat yang berpotensi untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes Aegypti seperti genangan air pada pekarangan rumah dan tempat penampungan air, kaleng-kaleng bekas, tatakan pot dan lain sebagainya. Penanggulangan DBD sebenarnya dapat dilakukan melalui pengendalian vektor dengan mengidentifikasi keberadaan jentik vektor. Sebagaimana penelitian yang telah dilakukan oleh Erliyanti 2008 di Kota Metro diketahui bahwa keberadaan jentik vektor memiliki hubungan dengan kejadian DBD p=0,000, OR=9,796, CI=4,304-22,299. Kepadatan jentik vektor di suatu wilayah dapat dilihat dari rata-rata nilai ABJ yang dihasilkan melalui kegiatan PJB. PJB oleh petugas Puskesmas. Kepadatan jentik vektor yang tinggi ditandai oleh nilai ABJ yang rendah yakni 95 . Sedangkan kepadatan jentik vektor yang rendah ditandai oleh nilai ABJ yang tinggi yakni 95 Kemenkes RI, 2011. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa secara deskriptif menunjukan bahwa kejadian DBD terjadi pada wilayah dengan kepadatan vektor tinggi tabel 5.6. Pada tahun 2011-2013 IR DBD dan nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2012-2013 nilai ABJ di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan sudah di atas 95 . IR DBD paling tinggi dapat terjadi pada wilayah dengan ABJ paling rendah tabel 5.6. Penelitian spasial yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pola penyebaran DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan berpola mengelompok dari tahun 2011-2013. Pola penyebaran yang mengelompok merupakan indikator bahwa ada konsentrasi habitat vektor, sehingga berpotensi terjadi penularan setempat Boewono et Al, 2012. Angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan masih tinggi walaupun kepadatan jentik vektor rendah, itu dapat terjadi karena beberapa hal seperti pelaksanaan PJB dalam mengidentifikasi kepadatan jentik vektor. PJB yang selama ini dilakukan oleh petugas Puskesmas tidak dilakukan pada seluruh rumah atau tempat-tempat umum yang memiliki kejadian DBD paling tinggi dan bisa saja jentik yang ditemukan bukan merupakan jentik vektor penular DBD. Melalui pemanfaatan informasi dari hasil analisis spasial kejadian DBD, Puskesmas Pengasinan dan pihak Kelurahan diharapkan dapat mengaktifkan kembali peran Kelompok Kerja Operasional Pokjanal DBD melalui kegiatan kader jumantik di setiap RW yang ada, khususnya wilayah dengan kejadian DBD paling banyak. Hal tersebut dapat membantu petugas untuk melaksanakan kegiatan PJB, sehingga data PJB yang ditemukan dapat mewakili seluruh wilayah yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menganalisis lebih lanjut antara kemampuan daya terbang vektor melalui pengamatan terhadap tempat perindukan vektor. DBD dengan kejadian DBD yang terjadi. Analisis tersebut dapat dilakukan dengan analisis distance index. Analisis distance index dapat mengukur jarak kejadian DBD dengan tempat perindukan vektor. Analisis distance index diharapkan dapat memberikan informasi adanya hubungan antara pola penyebaran DBD yang berkelompok dengan kemampuan daya terbang vektor DBD. Pada penelitian ini tidak dilakukan analisis tersebut dikarenakan penelitian ini berfokus pada pola penyebaran kejadian DBD bukan kejadian DBD terhadap habitat vektor. 6.2.5 Distribusi Frekuensi Kejadian DBD Berdasarkan Penyelidikan Epidemiologi DBD dan Fogging Fokus Penyelidikan epidemiologi DBD merupakan kegiatan pencarian penderita tersangka atau DBD lainnya dari penderita yang telah terlaporkan sebelumnya. Penyelidikan epidemiologi DBD dilakukan langsung oleh petugas Puskesmas dengan mengunjungi rumah penderita DBD. Penemuan penderita DBD melalui penyelidikan epidemiologi dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB DBD Kemenkes RI, 2011a. Tujuan dilakukan penyelidikan epidemiologi ialah untuk menentukan jenis tindakan apa yang harus dilakukan dan luasnya cakupan wilayah untuk dilakukan kegiatan pemberantasan DBD Haryanti, 2010. Pelaksanaan penyelidikan epidemiologi DBD juga berkaitan dengan pelaksanaan fogging fokus DBD. Fogging fokus merupakan cara untuk pemberantasan nyamuk dewasa dengan melakukan pengasapan insektisida. Fogging fokus dilakukan apabila diketahui terdapat kasus DBD positif dari hasil penyelidikan epidemiologi DBD Kemenkes RI, 2011a. Pelaksanaan fogging memiliki hubungan dengan kejadian DBD di suatu wilayah, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh lain oleh Hairani 2009 di Kecamatan Cimanggis Kota Depok p=0,045. Sebagaimana hasil penelitian yang diperoleh, diketahui bahwa pada tahun 2011-2013 penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus mengalami peningkatan. Jika dilihat berdasarkan wilayah kelurahan, diketahui bahwa dari tahun 2011-2013 jumlah penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling banyak dilakukan pada wilayah dengan jumlah kasus DBD paling tinggi yaitu Kelurahan Pengasinan tabel 5.7. Kejadian DBD paling tinggi dapat terjadi pada wilayah dengan penyelidikan epidemiologi DBD dan fogging fokus paling banyak dapat berkaitan dengan adanya ketersediaan anggaran dalam program penanggulangan DBD di Puskesmas Pengasinan. Ketersediaan anggaran dapat diprioritaskan ke dalam program penanggulangan DBD melalui penyelidikan epidemiologi jika kasus yang ditemukan tinggi, hal tersebut dilakukan sebagai langkah upaya penanggulangan DBD. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan peneliti, diketahui bahwa pelaksanaan penyelidikan epidemiologi di lapangan sebenarnya memiliki hambatan. Semua kejadian DBD paling banyak terdata karena datang ke Rumah Sakit, sedangkan Rumah Sakit sering mengalami keterlambatan pelaporan ke pihak Dinas Kesehatan. Keterlambatan pelaporan dari Rumah Sakit ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi mengakibatkan keterlambatan penerimaan informasi kejadian DBD ke Puskesmas Pengasinan. Penyelidikan epidemiologi sering dilakukan ketika penderita telah sembuh, sehingga kejadian DBD yang ditemukan tidak banyak. Hal tersebut dikarenakan pemberian informasi kejadian DBD yang berasal dari Rumah Sakit oleh Dinas Kesehatan Kota Bekasi ke Puskesmas Pengasinan masih dilakukan secara manual, sehingga Puskesmas Pengasinan mengalami keterlambatan informasi tentang kejadian DBD. Oleh karena itu dibutuhkan peralatan atau sistem tambahan untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara penambahan fasilitas faksimili di setiap Puskesmas, email atau layanan sms center agar informasi dapat langsung diterima dari Rumah Sakit ke Puskesmas Pengasinan. Melalui analisis spasial dapat diketahui pola penyebaran DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan yakni berpola berkelompok dari tahun 2011-2013. Dengan memanfaatkan informasi tersebut, Puskesmas Pengasinan juga diharapkan dapat membangun komunikasi dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan aksi tanggap kejadian DBD yang bersumber dari masyarakat, sehingga tidak perlu menunggu waktu lama tentang informasi kejadian DBD dari Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Puskesmas juga diharapkan dapat melakukan pencarian penderita dan pencatatan kejadian DBD melalui surveilans aktif di wilayah kerja Puskesmas. Jika surveilans secara aktif dilakukan maka pelaksanaan penyelidikan epidemiologi DBD diharapkan juga dapat berjalan secara efektif karena banyak kejadian yang ditemukan secara cepat. Pelaksanaan fogging fokus juga mengalami hambatan. Fogging fokus selama ini dilakukan dengan mengacu ada atau tidaknya kejadian DBD yang terjadi di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan. Kegiatan fogging fokus bisa dilakukan apabila ada laporan dari masyarakat terkait kejadian DBD di wilayahnya, kemudian ditindak lanjuti oleh petugas Puskesmas Pengasinan ke Dinas Kesehatan Kota Bekasi. Selama ini fogging hanya dilaksanakan dalam satu siklus saja karena keterbatasan anggaran, padahal seharusnya penyemprotan dilakukan dalam 2 siklus Depkes RI, 2008. Penyemprotan kedua dilakukan selang 1 minggu setelah penyemprotan pertama. Penyemprotan dengan satu siklus mungkin hanya membunuh nyamuk dewasa saja, tetapi tidak untuk jentik yang bisa berkembang beberapa minggu kemudian menjadi nyamuk dewasa kembali. Oleh karena itu, berdasarkan hasil uji statistik didapatkan hasil tidak ada hubungan antara fogging fokus dengan kejadian DBD. Melalui analisis spasial dapat diketahui pola penyebaran DBD di wilayah kerja Puskesmas Pengasinan dari tahun 2011-2013 yaitu memiliki pola penyebaran berkelompok. Pola penyebaran berkelompok dapat menjadi tanda adanya fokus sumber penularan pada wilayah tertentu. Dengan memanfaatkan informasi tersebut, maka pelaksanaan fogging fokus yang hanya satu siklus diharapkan tetap dapat dilakukan secara efektif, yakni dengan cara melakukan penyemprotan di wilayah yang memiliki penyebaran paling berkelompok dan mengambil titik tengah di antara semua kejadian yang ada. Penelitian selanjutnya dibutuhkan untuk menghitung mean center atau titik tengah dari lokasi kasus-kasus DBD dan membandingkan kasus DBD di setiap RW yang ada. Dalam penelitian ini tidak dilakukan hal tersebut karena penelitian ini hanya berfokus untuk mengidentifkasi pola dan luas penyebaran kejadian DBD. 81 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan