Analisis Kadar Logam Kobalt (Co) dan Nikel (Ni) Dalam Abu Terbang Hasil Pembakaran Batubara Dari Dua Lokasi dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

(1)

ANALISIS KADAR LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL (Ni)

DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN

BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN

METODE SPEKTROFOTOMETRI

SERAPAN ATOM

SKRIPSI

RICCA JASMINE

070802037

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS KADAR LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL (Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI

DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RICCA JASMINE 070802037

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PERSETUJUAN

Judul : ANALISIS LOGAM KOBALT (Co) DAN NIKEL

(Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL

PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

Kategori : SKRIPSI

Nama : RICCA JASMINE

Nomor Induk Mahasiswa : 070802037

Program Studi : SARJANA (S1) KIMIA

Departemen : KIMIA

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM (FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Disetujui di, Medan, Juli 2011

Komisi Pembimbing:

Pembimbing II

Pembimbing I

Prof. Dr. Harry Agusnar,M.Sc,M.Phill Prof.Dr.Harlem Marpaung NIP. 1953081719830311002 NIP. 194804141974031001

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Kimia FMIPA USU Ketua,

Dr. Rumondang Bulan, MS NIP. 195408301985032001


(4)

PERNYATAAN

ANALISIS LOGAM KOBALT(Co) DAN NIKEL(Ni) DALAM ABU TERBANG HASIL PEMBAKARAN BATUBARA DARI DUA LOKASI DENGAN

METODE SPEKTROFOTOMETRI SERAPAN ATOM

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing- masing disebutkan sumbernya.

Medan, Juli 2011

Ricca Jasmine 070802037


(5)

PENGHARGAAN

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat kasih dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Kadar Logam Kobalt (Co) dan Nikel (Ni) Dalam Abu Terbang Hasil Pembakaran Batubara Dari Dua Lokasi dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapatkan banyak bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga kesulitan yang penulis hadapi dapat teratasi. Dengan kerendahan hati penulis menyampaikan ucapan Terima Kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Harlem Marpaung selaku Pembimbing 1 dan selaku Kepala Laboratorium bidang Kimia Analitik FMIPA USU dan Bapak Prof.Dr.Harry Agusnar,M.Sc,M.Phill selaku Pembimbing 2 yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan saran kepada penulis selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

2. Ketua dan Sekretaris Departemen Kimia FMIPA USU, Ibu Dr. Rumondang Bulan Nst,M.Sc dan Bapak Drs.Albert Pasaribu,M.Sc, dan Bapak Drs.Firman Sebayang, MS selaku dosen wali yang telah membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan di FMIPA USU Medan.

3. Kepada seluruh asisten Laboratorium Kimia Analitik serta kak Tiwi selaku analis Laboratorium Kimia Analitik dan rekan- rekan kuliah stambuk 2007 yang tiodak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan banyak dukungan dan perhatian kepada penulis.

4. Terima Kasih yang teristimewa, untuk Ayah tersayang Drs.Sumandi Widjaja, SE,SH dan Ibu tersayang Mayumi Suhardi untuk doa dan kasihnya, serta saudara- saudara tercinta dan seluruh keluarga.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat dalam rangka member pembelajaran pada penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai kita semua.


(6)

ABSTRAK

Abu terbang dan abu dasar yang dihasilkan dari penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif di berbagai industri mengandung logam-logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Untuk menggunakan abu batubara sebagai bahan dasar pembuatan material lain, konsentrasi dari logam- logam berat dalam abu terbang harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini telah dianalisis konsentrasi logam kobalt dan nikel dari dua lokasi dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ). Abu terbang didestruksi dengan menggunakan campuran dari HF dan HNO3 pekat. Hasil

yang diperoleh kemudian dianalisa dengan instrumen Spektrofotometer Serapan Atom dan kandungan kadar logam diukur dengan menggunakan metode kurva kalibrasi. Dalam penelitian ini diperoleh kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Hasil akhir menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang dari kedua lokasi masih memenuhi standar US Department of Health and Human Services.


(7)

THE ANALYSIS OF COBALT ( Co ) AND NICKEL ( Ni ) IN FLY ASH FROM TWO LOCATION BY USING ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETRIC ( AAS ) METHOD

ABSTRACT

Fly ash and bottom ash from the use of coal as alternative energy for infustries contain heavy metals which could be harmful for environment. To make use of this ash, the concentration of heavy metals should be determined. In this research the concentration of nickel and cobalt from two locations has been analyzed by using Atomic Absorption Spectrophotometric ( AAS ) method. The ash was destructed with the mixture of nitric acid and hydrofluoric acid and the resulting solution was measured with Atomic Absorption Spectrophotometric ( AAS ) by using calibration method. The result shows that the concentration of cobalt and nickel were 0,197 ppm (33,8333mg/kg) and 0,7011 ppm (116,85 mg/kg) from location I whereas 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) and 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg) from location II. The results of analysis show that the content of cobalt and nickel from both location still fit with standard from US Department of Health and Human Services.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

Persetujuan ii

Pernyataan iii

Penghargaan iv

Abstrak v

Abstract vi

Daftar isi vii

Daftar tabel x

Daftar gambar ix

Bab 1. Pendahuluan

1.1.Latar belakang 1

1.2.Permasalahan 3

1.3.Pembatasan Permasalahan 4

1.4.Tujuan Penelitian 4

1.5.Manfaat Penelitian 4

1.6.Lokasi Penelitian 4

1.7.Metodologi Penelitian 4

Bab 2. Tinjauan Pustaka

2.1.Batubara 6

2.1.1. Proses pembentukan batubara 7

2.1.2. Jenis-jenis batubara 8

2.1.3. Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan 9

2.2.Abu terbang 10

2.2.1. Jenis- jenis abu terbang 11

2.2.2. Komposisi kimia dan karakteristik abu terbang 11 2.2.3. Dampak abu terbang terhadap lingkungan 13


(9)

serta analisisnya 14 2.4. Toksinitas logam kobalt dan nikel

2.4.1. Nikel (Ni) 17

2.4.2. Kobalt (Co) 17

2.5. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) 18

2.5.1. Instrumentasi 18

2.5.2. Gangguan 18

2.5.2.1. Gangguan spektral 19

2.5.2.2. Gangguan kimia 19

Bab 3. Metodologi Penelitian 3.1. Alat dan bahan

3.1.1. Alat 20

3.1.2. Bahan 21

3.2. Prosedur penelitian

3.2.1. Sampling 22

3.2.2. Pembuatan larutan standar kobalt 100mg/L 22 3.2.2.1. Pembuatan larutan standar kobalt 10 mg/L 23 3.2.2.2. Pembuatan larutan standar kobalt 1 mg/L 23 3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7

dan 0,9 mg/L 23

3.2.2.4. Pembuatan kurva standar 23

3.2.3. Pembuatan larutan standar nikel 100mg/L 23 3.2.2.1. Pembuatan larutan standar nikel 10 mg/L 24 3.2.2.2. Pembuatan larutan standar nikel 1 mg/L 24 3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar nikel 0,1;0,3;0,5;0,7

dan 0,9 mg/L 24

3.2.2.4. Pembuatan kurva standar 24

3.2.4. Destruksi abu terbang 24

3.3. Bagan penelitan 25

3.3.1. Preparasi sampel 26

3.3.2. Pembuatan larutan seri standar dan kurva kalibrasi kobalt (Co) 27 3.3.3. Pembuatan larutan seri standar dan kurva kalibrasi nikel (Ni) 28


(10)

Bab 4. Hasil dan Pembahasan

4.1. Hasil penelitian 29

4.2. Pengolahan data

4.2.1. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk logam nikel 32

4.2.2. Koefisien korelasi ( Nikel ) 33

4.2.3. Penentuan konsentrasi ( Nikel ) 34

4.2.4. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk logam kobalt 35

4.2.5. Koefisien korelasi ( Kobalt ) 37

4.2.6. Penentuan konsentrasi ( Kobalt ) 37

4.2.7. Penentuan kadar logam kobalt(Co) yang terkandung dalam

abu terbang dalam mg/kg 38

4.2.8. Penentuan kadar logam Nikel (Ni) yang terkandung dalam

abu terbang dalam mg/kg 39

4.3. Pembahasan 39

Bab 5. Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan 42

5.2. Saran 42


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara 7 Tabel 2.2. Komposisi kimia dari abu terbang batubara 11 Tabel 4.3. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran

Konsentrasi ion Nikel 30

Tabel 4.4. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran

Konsentrasi ion kobalt 30

Tabel 4.5. Data absorbansi larutan seri standar nikel 30 Tabel 4.6. Data absorbansi larutan seri standar kobalt 31 Tabel 4.7. Data hasil pengukuran absorbansi kobalt dan nikel pada sampel 32 Tabel 4.8. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk Nikel 32

Tabel 4.9. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square

untuk Kobalt 35

Tabel 4.10. Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang di beberapa Negara 38 Tabel 4.11. Batas kadar logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh

manusia 42


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Skema bagan alat Spektrofotometer Serapan Atom 18 Gambar 4.2. Kurva kalibrasi larutan seri standar nikel 31 Gambar 4.3. Kurva kalibrasi larutan seri standar kobalt 32 Gambar 4.4. Konsentrasi logam nikel dalam sampel 36 Gambar 4.5. Konsentrasi logam kobalt dalam sampel 39


(13)

ABSTRAK

Abu terbang dan abu dasar yang dihasilkan dari penggunaan batubara sebagai sumber energi alternatif di berbagai industri mengandung logam-logam berat yang berbahaya bagi lingkungan. Untuk menggunakan abu batubara sebagai bahan dasar pembuatan material lain, konsentrasi dari logam- logam berat dalam abu terbang harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini telah dianalisis konsentrasi logam kobalt dan nikel dari dua lokasi dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ). Abu terbang didestruksi dengan menggunakan campuran dari HF dan HNO3 pekat. Hasil

yang diperoleh kemudian dianalisa dengan instrumen Spektrofotometer Serapan Atom dan kandungan kadar logam diukur dengan menggunakan metode kurva kalibrasi. Dalam penelitian ini diperoleh kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Hasil akhir menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang dari kedua lokasi masih memenuhi standar US Department of Health and Human Services.


(14)

THE ANALYSIS OF COBALT ( Co ) AND NICKEL ( Ni ) IN FLY ASH FROM TWO LOCATION BY USING ATOMIC ABSORPTION

SPECTROPHOTOMETRIC ( AAS ) METHOD

ABSTRACT

Fly ash and bottom ash from the use of coal as alternative energy for infustries contain heavy metals which could be harmful for environment. To make use of this ash, the concentration of heavy metals should be determined. In this research the concentration of nickel and cobalt from two locations has been analyzed by using Atomic Absorption Spectrophotometric ( AAS ) method. The ash was destructed with the mixture of nitric acid and hydrofluoric acid and the resulting solution was measured with Atomic Absorption Spectrophotometric ( AAS ) by using calibration method. The result shows that the concentration of cobalt and nickel were 0,197 ppm (33,8333mg/kg) and 0,7011 ppm (116,85 mg/kg) from location I whereas 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) and 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg) from location II. The results of analysis show that the content of cobalt and nickel from both location still fit with standard from US Department of Health and Human Services.


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Badan lingkungan hidup (BLH) Sumatera Utara berupaya mencari solusi untuk mengatasi limbah abu yang dihasilkan dari 40 perusahaan di Kawasan Industri Medan ( KIM) (Harian Analisa,23 Agustus 2010). Penggunaan batubara untuk tiap industri sekitar 200 ton per hari, dan bila diakumulasikan di kawasan KIM industri yang menggunakan batubara bisa mencapai 8000 ton per hari, atau sekitar 240 ribu ton per bulan. Apabila limbah dalam jumlah yang besar ini tidak diantisipasi dan hanya ditumpuk di areal perusahaan masing-masing, abu yang dihasilkan akan menumpuk dan memakan banyak tempat sehingga harus dipikirkan pemanfaatannya (misalnya sebagai bahan pembuatan batako) . Abu batubara yang dihasilkan akan menjadi penyebab limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ( B-3) yang dapat merusak kesehatan manusia. PP No 85 tahun 1999 menyatakan bahwa abu terbang dan abu dasar yang dihasilkan dari hasil pembakaran batubara termasuk dalam jenis limbah B-3 yang pemanfaatannya harus mendapat izin pemanfaatan dari Kementerian Lingkungan Hidup ( Analisa , 23 Agustus 2010).

Abu terbang hasil pembakaran batubara umumnya disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubara, dan akhirnya dibuang di landfill( tempat pembuangan ). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan masalah bagi kesehatan dan lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan ( Munir, 2008).


(16)

Abu terbang batubara mengandung logam berat Al, Ca, Fe, K, Mg, Mn, Na, P, Si, As, Ba, Cr, Hg, Mo, Ni, Co, Pb, Se, V, Zn, dan Cu ( Shapiro, 1975 ; Brown, W. ) Untuk menggunakan abu terbang sebagai bahan dasar pembuatan material lain konsentrasi logam- logam berat harus diketahui terlebih dahulu. Dalam penelitian ini ditentukan kadar logam kobalt dan nikel yang merupakan logam yang terkandung dalam abu terbang dan termasuk dalam kategori Bahan Beracun dan Berbahaya.

Logam berat yang terkandung dalam abu terbang batubara diantaranya adalah logam nikel dan kobalt. Menurut US Department of Health and Human Services, batas kadar logam nikel dalam tanah, air, dan tubuh manusia adalah 4-80ppm; 0,3-1,0 ppm dan 0,02 mg/kg/hari; dan 1-20 ppm; 0,5-10 ppm dan 0,7-2,0 mg/kg/hari, dan untuk logam kobalt adalah 1-20 ppm; 0,5-10ppm; dan 0,7-2,0 mg/kg/hari (US Department of Health and Human Services,2005).

Kobalt dikenal sebagai perangsang pembentukan sel darah merah yang baik. Ion kobalt +2 dalam kobalt klorida diketahui dapat meningkatkan produksi sel darah merah. Kobalt dalam bentuk Vitamin B12 juga mendukung proses metabolisme dan pembentukan sel darah merah. Tetapi apabila kandungan kobalt yang diserap dalam tubuh berlebih maka akan menyebabkan serangan jantung, asma, gangguan pernafasan dan kanker paru-paru. Kelebihan kobalt dalam tanah juga akan menyebabkan terbentuknya co-carbonat yang stabil dan hidroksida yang tidak bisa diabsorpsi oleh hewan dan tumbuhan (Perez-Espinosa,2004).

Nikel diketahui memiliki peranan penting dalam biologis mikroorganisme dan tumbuhan. Hal ini dibuktikan bahwa dalam urease(enzim yang berperan dalam hidrolisis urea) mengandung nikel. Tetapi apabila kandungan nikel yang diserap dalam tubuh berlebih akan menyebabkan gangguan pernafasan,asma,sakit perut,kidney (kadar protein berlebih dalam urin), kanker, dan gangguan kehamilan. Gangguan dari efek logam nikel yang paling sering adalah alergi. Kira-kira 10-20% dari populasi menunjukkan reaksi alergi terhadap nikel. Dari beberapa orang yang mengalami alergi menunjukkan adanya gangguan pada kulit di sekitar kulit yang terkena logam nikel. Gangguan yang lebih berbahaya terhadap logam nikel adalah


(17)

bronchitis kronik gangguan fungsi paru-paru dan kanker hati ( US Department of

Health and Human Services,2005)

Dalam penelitian ini abu terbang batubara dikumpulkan dengan menggunakan

Electrostatic Precipitator (ESP). Sampel diambil secara purposif. Analisis logam

kobalt dan nikel dalam abu terbang dilakukan dengan melebur terbang pada suhu 600oC, dan kemudian didestruksi dengan menggunakan campuran asam HF dan HNO3 sebanyak masing- masing 2mL dan 5mL. Hasil yang diperoleh kemudian

dipanaskan pada suhu 80oC dan diaduk selama 20 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan pada labu takar 50mL, dan kadar logam kobalt dan nikel ditentukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA) (Sushil,2005).

1.2. Permasalahan

Sesuai dengan pernyataan Badan Lingkungan Hidup yang telah diuraikan diatas, bahwa logam berat yang terkandung dalam abu terbang yang dihasilkan dari pembakaran batubara, mengandung limbah B-3 dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Karena besarnya jumlah abu terbang yang dihasilkan oleh industri maka abu terbang ini harus dimanfaatkan dan kadar logam-logam berat yang terkandung dalam abu terbang perlu dianalisa. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dihitung kadar logam berat kobalt dan nikel dalam abu terbang batubara dari dua lokasi dengan metode Spektrofotometer Serapan Atom (SSA).


(18)

1.3. Pembatasan Permasalahan

1. Penelitian ini dibatasi pada penentuan kadar logam kobalt dan Nikel dari sampel abu terbang

2. Sampel abu terbang yang digunakan berasal dari dua lokasi yang berbeda 3. Penentuan kadar logam kobalt dan Nikel dengan menggunakan alat

Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) dengan λspesifik 232nm untuk logam

Nikel, dan 240,7nm untuk logam kobalt.

1.4. Tujuan Penelitian

Untuk menentukan perbedaan kadar logam kobalt dan nikel yang terkandung pada abu terbang hasil pembakaran batu bara dari dua lokasi.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi kadar logam berat kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang hasil pembakaran batubara.

1.6. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Universitas Sumatera Utara, fakultas MIPA, Medan.

1.7. Metodologi Penelitian

Abu terbang batubara dikumpulkan dengan Electrostatic Precipitator (ESP). Pengambilan sampel dilakukan secara purposif dari dua lokasi, lalu abu terbang diayak terlebih dahulu dengan ayakan 100 Mesh dan kemudian peleburan dimulai dengan meletakkan sampel dalam oven pada suhu 600oC selama 1 jam ( Lindahl,C. 1998).


(19)

Hasil leburan abu terbang tersebut didestruksi dengan pelarut HF dan HNO3

dan kemudian dipanaskan sambil diaduk pada suhu 80oC selama 20 menit. Hasil destruksi tersebut kemudian disaring, dan filtrat yang diperoleh kemudian diencerkan dengan akuades pada labu takar 50mL. Hasil yang diperoleh kemudian dianalisa dengan instrumen Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) pada

λ

spesifik 232

nm untuk nikel, dan 240,7 nm untuk kobalt. Kandungan kadar logam diukur dengan menggunakan metode kurva kalibrasi (Sushil,S.2005).


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Batubara

Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur, dan senyawa- senyawa mineral ( Kent.A.J,1993). Batubara digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Pada pembakaran batubara, terutama pada batubara yang mengandung kadar sulfur yang tinggi, menghasilkan polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat menyebabkan terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat pembakaran berdampak negatif pada lingkungan (Achmad.R,2004).

Sampai pada abad ke 20, para ahli kimia hanya mengetahui sedikit tentang komposisi dan struktur molekul dari beragam jenis batubara, dan hingga 1920, mereka masih meyakini bahwa komposisi batubara terutama didominasi oleh karbon yang dicampur dengan hidrogen, dan dengan beberapa impurities(zat pengotor). Dua metode analisis dan pemisahan batubara yang mereka gunakan, diantaranya adalah destilasi destruktif dan ekstraksi pelarut menunjukkan bahwa batubara hanya mengandung karbon, dan konsentrasi hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur yang lebih sedikit. Adanya kandungan senyawa anorganik seperti aluminium dan silikon oksida akan menghasilkan abu pada hasil pembakaran batubara. Proses destilasi akan menghasilkan tar, air, dan gas. Hidrogen merupakan komponen utama dari gas yang dihasilkan, walaupun amonia, gas karbon monoksida dan dioksida, benzen dan beberapa uap gas hidrokarbon juga terbentuk.


(21)

2.1.1. Proses pembentukan batubara

Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah dan terjaga pada tekanan yang tinggi dan pemanasan dalam jangka waktu yang lama. Tanaman mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman dan pepohonan tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu di dalam tanah akan terjadi perubahan kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari molekul selulosa tersebut (Zumdahl,1997).

Para pakar geologis meyakini bahwa proses pengendapan batubara di dalam tanah terbentuk sekitar 250-300 juta tahun yang lalu, ketika sebagian besar bumi masih dilapisi oleh hutan dan pepohonan yang lebat. Pohon dan tanaman tersebut akan mengalami proses regenerasi dimana bagian dari tanaman yang berguguran akan tertimbun dalam lapisan tanah, dan proses ini akan mengakibatkan penurunan kadar oksigen dan hidrogen secara bertahap pada molekul selulosa tersebut

Selama degradasi dari tanaman yang telah mati, dekomposisi dari protein, pati, dan selulosa lebih cepat daripada dari bahan kayu. Pada berbagai tingkat, dan dengan berbagai kondisi iklim yang berbeda, konstituen dari tanaman akan terdekomposisi dalam kondisi aerob membentuk karbon dioksida, air, dan ammonia. Proses ini disebut “humifikasi” dan akan membentuk gambut. Gambut ini kemudian tertutup oleh lapisan sedimen, tanpa adanya udara, dan karenanya tahap kedua dari proses pembentukan batubara terjadi dalam kondisi anaerob. Pada tahap kedua, proses gabungan antara temperatur, tekanan, dan waktu akan mengubah lapisan gambut menjadi brown coal ( lignit), dan kemudian sub-bituminus, dan kemudian membentuk

antrasit. Jenis-jenis batubara ini umumnya disebut dengan batubara hitam ( black coals).

Dalam kondisi yang paling basah ( lembab) akan dihasilkan batubara dengan mutu yang paling rendah, batubara coklat ( lignit). Pada temperatur dan tekanan yang lebih tinggi dan dengan waktu yang cukup, akan membentuk batubara subbituminus, dan bahkan membentuk antrasit (www.powerworks.com.au/chemistry/pdf).


(22)

2.1.2. Jenis-jenis batubara

Batubara dapat digolongkan menjadi 4 jenis tergantung dari umur dan lokasi pengambilan batubara, yakni lignit, subbituminous, bituminous, dan antrasit, dimana masing- masing jenis batubara tersebut secara berurutan memiliki perbandingan C : O dan C : H yang lebih tinggi. Antrasit merupakan batubara yang paling bernilai tinggi, dan lignit, yang paling bernilai rendah.

1. Lignit ; disebut juga brown-coal, merupakan tingkatan batubara yang paling

rendah, dan umumnya digunakan sebagai bahan bakar untuk pembangkit listrik.

2. Subbituminous ; umum digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga uap.

Subbituminous juga merupakan sumber bahan baku yang penting dalam pembuatan hidrokarbon aromatis dalam industri kimia sintetis.

3. Bituminous ; mineral padat, berwarna hitam dan kadang coklat tua, sering

digunakan dalam pembangkit listrik tenaga uap.

4. Antrasit ; merupakan jenis batubara yang memiliki kandungan paling tinggi

dengan struktur yang lebih keras serta permukaan yang lebih kilau dan sering digunakan keperluan rumah tangga dan industri.

Tabel 2.1. Komposisi elemen dari berbagai tipe batubara Komposisi Elemen dari Beberapa tipe Batubara

Persentase Massa

Jenis Batubara %C %H %O %H2O % Volatile matter

Lignit 60-75 5-6 20-30 50-70 45-55

Subbituminous 75-80 5-6 15-20 25-30 40-45

Bituminous 80-90 4-5 10-15 5-10 20-40

Antrasit 90-95 2-3 2-3 2-5 5-7


(23)

2.1.3. Dampak penggunaan batubara terhadap lingkungan

Batubara merupakan bahan bakar utama untuk menghasilkan tenaga listrik, karena biayanya yang relatif murah dan mudah didapatkan karena produknya yang berlimpah. Di lain pihak, pembakaran batubara dapat menyebabkan emisi logam seperti As, Hg, Cd, dan Pb. Besar kecilnya kandungan logam juga berbeda- beda dan bergantung pada asal produksinya. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa batubara lignit ( asal kayu ) dan batubara subbituminus ( asal batuan ) kurang mengandung logam- logam tersebut daripada batubara bituminous ( mineral asli ).

Selama proses pembakaran, bagian batubara yang mudah menguap akan berbentuk gas di dalam boiler dan mengumpul dalam partikel aerosol. Suhu pembakaran dalam boiler merupakan salah satu parameter yang penting dalam memengaruhi jumlah logam yang terbebaskan. Makin tinggi suhu dalam boiler, makin banyak logam yang terbebaskan. Sistem filter juga dipergunakan dalam mengurangi emisi logam ke udara, yaitu dengan menggunakan electrostatic precipitator ( ESP ) dan scrubber basah yang dipasang pada buangan asap pembangkitlistrik tenaga batubara ( Darmono, 2001).

Sulfur oksida ( SOx) dan nitrogen oksida ( NOx) hasil pembakaran batubara

dan bahan bakar fosil lainnya yang terdapat di udara akan bereaksi dengan molekul – molekul uap di atmosfir membentuk asam sulfat ( H2SO4) dan asam nitrat ( HNO3)

yang selanjutnya akan turun ke permukaan bumi bersama – sama dengan air hujan, yang dikenal dengan hujan asam. Hujan asam dapat mengakibatkan rusaknya bangunan dan berkaratnya benda- benda yang terbuat dari logam, selain itu hujan asam juga dapat menyebabkan kerusakan lingkungan terutama pengasaman (

acidification ) danau dan sungai, pH dibawah 4.5 tidak memungkinkan bagi ikan

untuk hidup. Asam di air akan menghambat produksi enzim dari larva ikan untuk keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam beracun seperti aluminium di danau. Aluminium akan menyebabkan produksi lender yang berlebihan pada insang sehingga ikan sulit bernafas (Achmad,2004).


(24)

Pembakaran batubara akan menghasilkan abu terbang ( fly ash ) dan abu dasar ( bottom ash ). Jumlah abu terbang yang dihasilkan lebih banyak ( 80% dari total sisa abu pembakaran batubara), butiran abu terbang jauh lebih kecil ( 200 Mesh) dan lebih berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalori sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar ( Munir.M,2008).

2.2. Abu terbang

Abu terbang merupakan salah satu residu (limbah batubara) yang dihasilkan dalam pembakaran batu bara. Abu terbang terdiri dari partikel halus yang terbang, dan jumlahnya meningkat dengan bertambahnya gas buangan. Abu tidak terbang disebut dengan abu dasar. Dalam industri, abu terbang biasanya mengacu pada abu yang dihasilkan selama proses pembakaran batu bara. Abu terbang umumnya dihasilkan dari cerobong hasil pembakaran batubara pada pabrik pembangkit listrik. Abu terbang bersama- sama dengan abu dasar akan dihasilkan dalam tungku pembakaran batubara, yang dikenal sebagai abu hasil pembakaran batubara. Komponen abu terbang sangat bervariasi, dengan komponen utama silikon dioksida ( SiO2 ) ( baik amorf maupun

kristal), dan kalsium oksida ( CaO ).

Abu terbang hasil pembakaran batubara mumnya dilepaskan ke atmosfir tanpa adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh karena itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian pencemaran terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam. Di Amerika, abu terbang umumnya disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubara, dan akhirnya dibuang di

landfill( tempat pembuangan ). Penumpukan abu terbang batubara ini menimbulkan

masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu dilakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan ( Munir, 2008).


(25)

2.2.1.Jenis- jenis abu terbang

Menurut American Society for Testing and Materials ( ASTM ) C618, pembagian abu terbang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abu terbang kelas C dan abu terbang kelas F. Abu terbang kelas F didapatkan dari pembakaran batubara antrasit dan bituminous, sedangkan abu terbang kelas C didapatkan dari pembakaran batubara lignit dan subbituminus ( ASTM C618).

Pembakaran dari batubara antrasit dan bituminous yang lebih kuat dan lebih tua akan menghasilkan abu terbang kelas F. Abu terbang jenis ini mengandung kurang dari 10% kapur ( CaO ). Abu terbang kelas F membutuhkan agen penyemenan (

cementing agent ), seperti misalnya semen Portland, kapur, dan dengan adanya air

untuk bereaksi dan menghasilkan senyawa semen.

Pembakaran dari batubara lignit dan subbituminus yang lebih muda akan menghasilkan abu terbang kelas C, yang memiliki sifat penyemenan sendiri (

self-cementing ), yang dengan penambahan air, abu terbang kelas C akan mengeras dan

semakin kuat. Abu terbang kelas C mengandung lebih dari 20% CaO(http://en.wikipedia.org/wiki/Fly_ash).

2.2.2. Komposisi kimia dan karakteristik abu terbang

Ukuran dan bentuk karakteristik dari partikel abu terbang sangat bergantung pada tempat asal dan kesamaan dari batubara, derajat penghancuran sebelum dibakar, pembakaran yang merata dan sistem padat, berlubang atau bola. Pembakaran batubara dapat menghasilkan abu terbang dengan berbagai macam warna, hal ini sangat bergantung pada suhu di dalam tungku pada saat pembakaran. Proses pembakaran ini memiliki peranan paling penting terhadap mutu abu terbang yang dihasilkan. Abu terbang akan berwarna kehitam-hitaman apabila suhu pada saat pembakaran kurang dari 1000oC (pembakaran tidak sempurna ) dan akan berwarna abu-abu apabila pembakaran tersebut dilakukan pada suhu 1000oC ( pembakaran sempurna). Perbedaan ini disebabkan adanya kandungan karbon yang belum terbakar .


(26)

Tabel 2.2. Komposisi kimia dari batubara dan abu terbang hasil pembakaran batubara U n su r Ma k ro ( % )

Unsur Batubara Abu terbang

Unsur Batubara Abu terbang

Al 1,65 15,0 C 73,2 4,3

Ca 0,14 1,2 Fe 0,51 4,7

K 0,17 1,5 Mg 0,08 0,7

N 1,6 0,3 Na 0,04 0,4

P 0,01 0,10 S 0,7 0,1

Si 2,82 25,7 Ti 0,08 0,8

U ns ur r eni k ( m g /kg )

As 3,7 34 B 43 163

Ba 158 1438 Cd 0,10 0,9

Co 5,8 52 Cr 14,4 131

Cu 16,6 151 Ga 2,0 18

Hg 0,16 0,23 La 7,6 69

Mn 46 415 Mo 3,0 27

Ni 11 98 Pb 8,5 77

Rb 9,2 84 Se 2,2 13

Sr 107 971 Th 2,9 26

U 1,5 13 V 29 262

Y - - Zn 24 218


(27)

2.2.3. Dampak abu terbang terhadap lingkungan

Sisa hasil pembakaran batubara menghasilkan abu terbang dan abu dasar. Persentase abu yang dihasilkan adalah abu terbang (80-90%) dan abu dasar (10-20%). Butiran abu terbang jauh lebih kecil daripada abu dasar, sehingga lebih berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih mempunyai nilai kalori, sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999, abu batubara diklasifikasikan sebagai limbah B-3 sehingga penanganannya harus memenuhi kaidah-kaidah tersebut. Penanganan yang direkomendasikan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah nomor 85 tahun 1999 adalah solidifikasi dimana dengan proses tersebut limbah B-3 dalam abu batubara dapat menjadi stabil dan dapat dimanfaatkan sebagai produk yang aman bagi kesehatan dan lingkungan.

Pemanfaatan limbah B-3 adalah kegiatan penggunaan kembali (reuse), daur ulang (recycle), dan perolehan kembali ( recovery) yang bertujuan untuk mengubah limbah B-3 menjadi produk yang dapat digunakan dan harus aman terhadap lingkungan.

Reuse adalah penggunaan kembali limbah B-3 dengan tujuan yang sama tanpa

melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal.

Recycle adalah proses mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat,

melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, atau secara termal untuk menghasilkan produk yang sama ataupun produk yang berbeda

Recovery adalah perolehan kembali komponen- komponen yang bermanfaat

secara fisika, kimia, biologi, ataupun secara termal

Limbah bahan berbahaya dan Beracun (B-3) adalah setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun karena sifat, konsentrasi, dan jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya, Penghasil limbah B-3 tidak boleh membuang limbah B-3 yang dihasilkan


(28)

tersebut secara langsung ke media lingkungan tanpa pengelolaan terlebih dahulu, dan juga tidak boleh melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi racun dan zat berbahaya B-3, karena pada hakekatnya pengenceran tidak mengurangi beban pencemaran yang ada, dan tetap sama dengan sebelum dilakukan pengenceran. Pengenceran tidak akan menghilangkan sifat berbahaya dan beracunnya limbah B-3 tersebut.

Proses pengolahan limbah B-3 dapat sengan cara fisika dan kimia, insenerasi, dan solidifikasi/ stabilisasi. Proses pengolahan secara fisika dan kimia dimaksudkan untuk mengurangi sifat racun dalam limbah B-3 menjadi tidak berbahaya lagi. Proses pengolahan secara insenerasi dimaksudkan untuk menghancurkan limbah B-3 dengan cara pemanasan pada suhu yang tinggi untuk dijadikan senyawa yang mempunyai sifat tidak mengandung B-3 lagi. Proses solidifikasi/ stabilisasi pada prinsipnya adalah mengubah sifat fisika dan kimia limbah dengan cara menambahkan bahan mengikat (

cement) untuk membentuk senyawa dengan struktur yang kompak, agar pergerakan

limbah B-3 terbatasi, daya larut diperkecil sehingga daya racunnya berkurang sebelum limbah B-3 tersebut dimanfaatkan kembali. ( Munir, 2008)

2.3. Elemen mayor,minor, dan elemen renik dalam abu terbang serta analisisnya

Unsur mayor dalam batubara adalah Al, Si, K, Na, Ca, Mg, Fe, P dan Ti.(Haraldsson,2004). Oksida mayor yang terdapat pada abu terbang adalah SiO2,

Al2O3, CaO, dan Fe2O (Bingol.D,2004). Elemen renik yang terkandung dalam abu

terbang adalah As, Ba, Cr, Hg, Mo, Ni, Pb, Se, V dan Cu( Brown W) dan elemen minor yang terdapat dalam abu terbang adalah Cd, Co, Mn, Sb, dan Zn(Haraldsson,2004).

Analisis unsur makro membutuhkan analisis residu abu pada temperatur tinggi, sama seperti penentuan unsur utama dalam batu- batuan silikat. Berdasarkan penelitian yang telah ada, penentuan kadar elemen dalam abu batubara dapat dilakukan dengan cara membakar sampel, dan kemudian ditambahkan litium tetraborat yang diikuti dengan metode analisis dengan Spektrofotometri Serapan Atom


(29)

Na, K, P, dan S. Penggunaan metode pembakaran campuran telah dibahas sebelumnya, penggunaan litium metaborat untuk abu terbang dengan kadar silika yang tinggi, dan pencampuran dengan litium tetraborat apabila abu terbang mengandung oksida besi yang tinggi.

Metode spektrofotometri serapan atom adalah metode yang paling umum digunakan dalam analisa abu terbang, tetapi hanya dapat menentukan satu elemen dalam setiap penentuan. Penentuan multi-elemen menggunakan Inductively coupled

plasma- atomic emission spectrometry ( ICP-AES) telah dibahas, sehingga untuk

analisis semua elemen- elemen yang terkandung dalam abu terbang batubara dilakukan dalam waktu yang lebih singkat dibanding metode SSA (Lindahl, 1998).

Penentuan elemen renik dalam abu terbang hanya dapat ditentukan apabila elemen renik yang terkandung tidak mengalami penguapan selama proses pengabuan. Pembakaran untuk penentuan elemen ini dapat dilakukan pada suhu 500oC, untuk penentuan kadar Be, Cu, Cr, Mn, Ni, V, Pb, dan Zn dengan spektrofotometri serapan atom. Walaupun dengan metode SSA nyala dapat diperoleh hasil yang memuaskan untuk penentuan kadar elemen- elemen yang telah disebutkan diatas, tetapi banyak abu batubara yang mengandung kadar Pb dan V dengan jumlah yang lebih rendah sehingga kuantisasinya menjadi susah dan tidak akurat. Metode alternatif lain untuk penentuan elemen renik dalam abu terbang digunakan ICP-OES, dengan tingkat ketelitian yang tinggi, dan waktu yang diperlukan untuk analisa dengan ICP-AES lebih singkat, sehingga dapat menghemat waktu analisa ( Lindahl,1998).

Apabila komponen anorganik yang terkandung dalam batubara tidak menguap selama proses pengabuan, maka penentuan kadar elemen dalam abu terbang dengan cara diatas dapat dilakukan. Tetapi untuk beberapa elemen seperti Na, Sn dan Cd akan menguap selama proses pengabuan. Oleh karena itu, digunakan metode wet ashing ( pengabuan basah ), dengan menggunakan campuran dari asam perklorat ( HClO4) dan

asam pekat lainnya untuk melarutkan, wet ashing akan mengurangi menguapnya komponen renik, mayor, dan minor, tetapi pada umumnya laboratorium untuk analisis batubara menghindari penggunaan perklorat, karena asam perklorat merupakan bahan yang amat berbahaya. Penggunaan dari campuran nitrat-asam perklorat dan bom


(30)

oksigen dalam analisis batubara akan mengeliminasi hilangnya kuantisasi elemen akibat adanya penguapan dari preparasi sampel ( Lindahl,1998).

Penentuan Alumina dan Silika dapat ditentukan dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom, dan digunakan pelarut HF3-H3BO3 untuk mencegah

adanya gangguan dari komponen mayor lainnya. Campuran dari HF3-H3BO3 juga

meningkatkan sinyal absorpsi silika yang relatif pada sistem udara. Metode ini menunjukkan ketelitian dan keakuratannya untuk senyawa batu-batuan ( Brecque, 1979).

Penentuan elemen mayor dan minor, dapat dilakukan dengan cara destruksi basah dalam kondisi tertutup dengan variasi pelarut dari HNO3, H2O2, HF, HCl, dan

HClO4 yang dipanaskan dengan microwave, dengan atau tanpa netralisasi dengan

H3BO3. Destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF diikuti dengan netralisasi dengan H3BO3

untuk penentuan elemen mayor, dan destruksi dengan HNO3/ H2O2/ HF untuk

penentuan elemen minor ( Haraldsson, 2004).

Metode penetuan kadar Cr, Pb, Zn, Co, Ni, dan Mn dapat diketahui dengan menggunakan metode Spektrofotometri Serapan Atom. Sampel abu terbang kering ( 0.3 g) dicampurkan dengan 5mL HNO3 dan 2ml HF, yang kemudian dilebur pada

suhu 180oC. Hasil leburan kemudian disaring, dan filtrat yang diperoleh diencerkan dalam labu takar 50mL, yang kemudian dianalisis dengan SSA untuk mengetahui kandungan kadar logam dalam abu terbang (Sushil,S. 2005)

Analisa elemen yang terkandung pada abu terbang umumnya dipersiapkan dengan menggunakan metode destruksi dengan asam kuat. Untuk sampel anorganik, batu-batuan, hasil tambang, tanah, dan mineral umumnya menggunakan asam kuat dan campuran beberapa asam yang paling sesuai dengan jenis logam yang ingin dianalisa. Campuran sampel dengan asam nitrat, perklorat, dan HF didihkan hingga kering dan terbentuk butiran- butiran putih, didinginkan, dan kemudian diencerkan. Untuk kelarutan yang lebih tinggi, campuran asam kuat dan agen pengoksidasi /HF dapat digunakan. Asam sulfat dengan hidrogen peroksida merupakan salah satu


(31)

SSA dapat digunakan untuk penentuan logam Cd, Co, Cr, Cu, Mn, Ni, Pb, V, dan Zn secara kuantitatif. Destruksi dengan menggunakan asam nitrat dan akuaregia dan pemanasan dalam microwave menghasilkan kelarutan yang kurang sempurna dari sampel. Tingkat kelarutan yang tinggi dan lebih baik dihasilkan ketika sejumlah kecil HF ditambahkan pada sampel. (Marco,A.2007)

2.4. Toksinitas logam Kobalt dan Nikel

2.4.1. Nikel ( Ni )

Nikel adalah logam berwarna putih perak dengan berat atom 58.71 g/mol dan berat jenis 8.5. Nikel sebagai bahan paduan logam banyak digunakan di berbagai industri logam, berbagai macam baja, serta electroplating( pelapisan permukaan).

Pencemaran Ni di udara berasal dari pembakaran batubara, pembakaran BBM, industri pemurnian logam Ni, serta limbah dari incinerator. Pembuangan limbah yang mengandung Ni mengakibatkan pencemaran Ni pada tanah, air, dan tanaman. Total Ni dalam tanah bisa mencapai 5-500 ppm, sedangkan kadar Ni pada air tanah mencapai 0.005-0.05 ppm dan kadar Ni pada tumbuhan tidak lebih dari 1 ppm.

Logam nikel dan senyawa nikel merupakan bahan karsinogenik. Ni-subsulfida dapat mengakibatkan kanker paru-paru, kanker rongga hidung, dan kanker pita suara, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Nikel merupakan bahan karsinogenik, terutama bagi pekerja di industri pemurnian nikel. The Environmental Protection Agency ( EPA ) menetapkan debu nikel murni dan nikel subsulfida sebagai bahan karsinogen.

2.4.2. Kobalt ( Co )

Kobalt merupakan logam berwarna abu- abu perak dan memiliki berat molekul 58.93 g/mol. Kobalt dan senyawanya terdapat di dalam melalui sumber alam dan aktivitas manusia. Kobalt secara alami terdapat di bebatuan, tanah, air, tanaman, dan hewan.


(32)

Sumber alami Co di lingkungan adalah tanah, debu, air laut, lava gunung berapi, dan kebakaran hutan. Co bisa berasal dari limbah pembakaran minyak, pembakaran batubara, sisa pembakaran kenderaan bermotor, pesawat, serta limbah dari indusri logam keras.

Pada manusia, kadar Co normal dalam urin adalah sebesar 98 µg/L, sedangkan kadar Co normal dalam darah 0,18 µg/L. Logam Co bisa mengakibatkan iritasi serta dermatitis bagi pekerja di lingkungan industri logam keras, industri karet, industri kaca, dan industri plastik. Debu Co bisa menyebabkan penyakit mirip asma dengan gejala batuk, nafas pendek, sulit bernafas, penurunan fungsi paru-paru yang bahkan bisa mengakibatkan kematian. Co dapat mengakibatkan gangguan jantung akibat paparan kronis yang biasanya dialami oleh para pekerja dalam industri yang menggunakan bahan baku Co. Para pekerja yang menghirup udara dengan kadar Co 0,038 mg/m3 (100.000 kali lipat lebih besar daripada batas kadar aman Co di udara) dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru.

Berdasarkan hasil penelitian pada hewan uji menetapkan bahwa Co bersifat karsinogenik. The International Agency Reasearch on Cancer ( IARC) menetapkan bahwa Co bersifat karsinogenik (Widowati.W,2008).

2.5. Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

Jika suatu larutan yang mengandung suatu garam logam ( atau senyawa logam ) diaspirasikan ke dalam suatu nyala maka akan terbentuk uap yang mengandung atom- atom bebas logam yang berada pada keadaan dasar. Beberapa atom logam dalam gas ini dapat dieksitasi ke tingkatan energi yang lebih tinggi dengan menyerap radiasi yang karakteristik dari logam tersebut. Atom-atom dalam keadaan dasar ini mampu menyerap energi cahaya yang panjang gelombang resonansinya spesifik untuknya, yang pada umumnya adalah panjang gelombang radiasi yang akan dipancarkan atom- atom itu bila tereksitasi dari keadaan dasar. Jadi jika cahaya dengan panjang gelombang resonansi itu dilewatkan nyala yang mengandung atom- atom bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya penyerapan


(33)

berbanding lurus dengan banyaknya atom keadaan dasar yang berada dalam nyala. Inilah asas yang mendasari Spektroskopi Serapan Atom (SSA) ( Vogel, 1994).

2.5.1. Instrumentasi

Gambar 2.1. menunjukkan dalam bentuk bagan komponen- komponen dari sebuah spektrofotometer absorpsi atom dasar.

Gambar 2.1. Skema bagan alat Spektrofotometer Serapan Atom

Untuk spektroskopi nyala suatu persyaratan penting adalah bahwa nyala yang dipakai hendaknya menghasilkan temperatur lebih dari 2000 K ( Vogel, 1984). Dengan sistem pengabut-pembakar, tabung kapiler akan menarik sampel dari dalam suatu wadah dan memecahkannya menjadi tetes-tetes halus ( aerosol ). Temperatur yang dapat dicapai bergantung pada gas yang digunakan; nilai kira-kira antara lain adalah gas batubara-udara 1800oC, gas alam-udara 1700oC, asetilena-udara 2200oC, asetilena-dinitrogen oksida, 3000oC ( Underwood, 2002).

Dalam SSA, fungsi monokromator adalah untuk memisahkan radiasi resonansi dari semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi.

2.5.2. Gangguan

Absorpsi atom jelas sekali bebasnya dari gangguan. Perangkat tingkat- tingkat energi elektronik untuk sebuah atom adalah spesifik untuk unsur itu. Ini berarti tidak ada dua unsur yang memperagakan garis-garis resonansi yang sama panjang gelombangnya (Underwood, 2002).

Lampu katoda berongga

Ato misa

si

Monokromato Detektor

Pembacaan Sampel


(34)

2.5.2.1. Gangguan spektral

Gangguan spektral terjadi karena tumpang tindih antara frekuensi-frekuensi garis resonansi yang terpilih dengan garis-garis yang dipancarkan oleh unsur lain. Hal ini timbul karena dalam prakteknya suatu garis yang terpilih memang mempunyai lebar pita yang terhingga.

Dengan metode emisi nyala, gangguan spektral lebih mungkin terjadi apabila emisi garis unsur yang akan ditetapkan itu dan emisi garis yang disebabkan zat-zat pengganggu berdekatan panjang gelombangnya. Hal ini menyebabkan kurangnya kepekaan dan jeleknya ketelitian analisis.

2.5.2.2. Gangguan kimia

1. Adanya pembentukan senyawa stabil ; menyebabkan tidak sempurnanya disosiasi zat yang akan dianalisis di dalam nyala, yang tak dapat berdisosiasi menjadi atom-atom penyusunnya.

2. Pengionan atom gas berkeadaan dasar dalam nyala; akan mengurangi intensitas emisi garis spektral atom dalam spektroskopi emisi nyala. Temperatur tinggi asetilena-udara atau asetilena-dinitrogen oksida dapat mengakibatkan pengionan dari unsur-unsur seperti logam alkali dan kalsium, strontium, maupun barium ( Vogel,1984).

3. Efek- efek matriks; disosiasi menjadi atom-atom pada suatu temperatur tertentu bergantung sekali pada komposisi keseluruhan dari sampel.Misalnya suatu larutan kalsium klorida dikabutkan dan dilarutkan partikel-partikel halus CaCl2 padat akan berdisosiasi menghasilkan atom Ca dengan lebih mudah

daripada Ca3(PO4)2 ( Underwood,2002).

4. Absorpsi molekular; misalnya dalam suatu nyala asetilena-udara natrium klorida berkonsentrasi tinggi akan menyerap radiasi berpanjang gelombang sekitar 231,9 nm yang merupakan panjang gelombang garis resonansi zink, sehingga NaCl akan menyebabkan gangguan dalam penetapan zink dalam kondisi ini ( Vogel, 1984).


(35)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1.Alat dan bahan

3.1.1. Alat

Nama Alat Spesifikasi Merek

Spektrofotometer Serapan Atom

AA-6300 Shimadzu

Alat-alat gelas - Pyrex

Neraca analitis Presisi 0.0001 g Mettler Toredo

Hotplate stirrer - Fisons

Oven 600oC Fisher

Termometer 360oC Fisher

Kertas saring No.42 Whatman

Botol akuades - -

Plastik dan karet - -

Cawan krusibel - -


(36)

3.2.2. Bahan

Nama Bahan Spesifikasi Merek

HF - E.Merck

HNO3 p.a.65% E.Merck

Akuades - -

Abu terbang - -

Larutan Induk logam Kobalt (Co)

p.a. 1000mg/L E.Merck

Larutan Induk logam Nikel (Ni)

p.a. 1000mg/L E.Merck

3.2. Prosedur penelitian

3.2.1. Sampling

Abu terbang dari dua lokasi dikumpulkan dengan menggunakan Electrostatic

Precipitator (ESP). Jarak antara cerobong dengan tumpukan abu terbang adalah 14 m.

Sampel diambil secara purposif lalu diayak dengan ayakan 100Mesh. Selanjutnya hasil ayakan tersebut dilebur dalam oven pada suhu 600oC selama 1 jam( Lindahl,1998).

3.2.2. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 100mg/L

Sebanyak 10mL larutan induk kobalt 1000mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan


(37)

3.2.2.1. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 10mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar kobalt 100mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.2.2. Pembuatan Larutan Standar Kobalt 1mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar kobalt 10mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.2.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L

Sebanyak 5;15;25;35;dan 45 mL larutan standar kobalt 1mg/L dimasukkan ke dalam 4 buah labu takar 50mL kemudian diencekan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.2.4. Pembuatan Kurva Standar

Larutan seri standar kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L diukur absorbansinya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada λspesifik 240,7nm dan perlakuan

diulangi sebanyak 3 kali.

3.2.3. Pembuatan Larutan Standar Nikel 100mg/L

Sebanyak 10mL larutan induk Nikel 1000mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan


(38)

3.2.3.1. Pembuatan Larutan Standar Nikel 10mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar nikel 100mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.3.2. Pembuatan Larutan Standar Nikel 1mg/L

Sebanyak 10mL larutan standar Nikel10mg/L dimasukkan ke dalam labu takar 100mL lalu diencerkan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan

3.2.3.3. Pembuatan Larutan Seri Standar Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L

Sebanyak 5;15;25;35;dan 45 mL larutan standar Nikel1mg/L dimasukkan ke dalam 4 buah labu takar 50mL kemudian diencekan dengan akuades sampai garis tanda dan dihomogenkan.

3.2.3.4. Pembuatan Kurva Standar

Larutan seri standar Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7;dan 0,9 mg/L diukur absorbansinya dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom pada λspesifik 232nm dan perlakuan

diulangi sebanyak 3 kali.

3.2.4. Destruksi abu terbang

Abu terbang yang telah dilebur kemudian ditimbang sebanyak 0.3 g, dan didestruksi dengan campuran pelarut HF dan HNO3 masing- masing sebanyak 2mL dan 5mL

sambil dipanaskan dan diaduk pada suhu 80oCselama 20 menit. Hasil destruksi dari abu terbang kemudian disaring, filtrat yang diperoleh diencerkan dalam labu takar 50mL, dan dianalisis kadar logamnya dengan menggunakan instrumen Spektrofotometer Serapan Atom ( SSA) (Sushil,S.2005)


(39)

3.3. Bagan penelitian

Sampling

Analisis dengan SSA Pelarutan sampel

Pembuatan larutan standar untuk kurva kalibrasi


(40)

3.3.1. Preparasi sampel

Diayak dengan ayakan 100 Mesh

Dilebur dalam oven pada suhu 600oC selama 1 jam dan didiamkan hingga suhu kamar

Didestruksi dengan campuran pelarut HF dan HNO3masing-masing

sebanyak 2 mL dan 5mL Dipanaskan sambil diaduk pada suhu 80oC selama 20 menit

Disaring

Diencerkan dalam labu takar 50mL

Diukur kadar logamnya dengan menggunakan instrumen SSA pada

λspesifik 232nm untuk logam Nikel, dan 240,7nm untuk logam kobalt

Sampel abu terbang

Hasil

filtrat residu


(41)

3.3.2. Pembuatan Larutan seri standar dan kurva kalibrasi Kobalt (Co)

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 5;15;25;35;dan 45mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL

Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada

λ

spesifik 240,7 nm

Larutan standar kobalt 1000mg/L

Larutan standar kobalt 100mg/L

Larutan standar kobalt 1mg/L

Larutan standar seri kobalt 0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 mg/L

Hasil


(42)

3.3.3. Pembuatan Larutan seri standar dan kurva kalibrasi Nikel(Ni)

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 10mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Dipipet sebanyak 5;15;25;35;dan 45mL dan dimasukkan dalam labu takar 100mL

Diencerkan hingga garis tanda dan dihomogenkan

Diukur absorbansinya dengan Spektrofotometer Serapan Atom pada

λ

spesifik 232 nm

Larutan standar Nikel 100mg/L

Larutan standar Nikel 1mg/L

Larutan standar seri Nikel 0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 mg/L

Hasil

Larutan standar Nikel 10mg/L Larutan standar Nikel 1000mg/L


(43)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Analisis logam dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA ) dilakukan dengan kondisi seperti pada tabel 4.3 dan tabel 4.4 dibawah ini.

Tabel 4.3 Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran Konsentrasi ion Nikel

No Parameter Ion Nikel

1 2 3 4 5 6

Panjang gelombang (nm) Tipe nyala

Kecepatan aliran gas pembakar (L/min) Kecepatan aliran udara (L/min)

Lebar celah (nm) Ketinggian tungku (mm)

232,0 Udara-C2H2

1,6 15,0

0,2 7

Tabel 4.4. Kondisi alat SSA Merek Shimadzu tipe AA-6300 pada pengukuran konsentrasi ion Kobalt ( Co )

No Parameter Ion Kobalt

1 2 3 4 5 6

Panjang gelombang (nm) Tipe nyala

Kecepatan aliran gas pembakar (L/min) Kecepatan aliran udara (L/min)

Lebar celah (mm) Ketinggian tungku (mm)

240,7 Udara-C2H2

1,6 15,0

0,2 7


(44)

Pembuatan kurva larutan standar dilakukan dengan mengukur absorbansi dari seri larutan standar dengan variasi konsentrasi 0,0;0,1;0,3;0,5;0,7; dan 0,9 ppm yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4.5 dan Gambar 4.2 untuk logam nikel dan pada Tabel 4.6 dan Gambar 4.3 untuk logam kobalt.

Tabel 4.5.Data Absorbansi larutan seri standar Nikel

Gambar 4.2. Kurva kalibrasi larutan seri standar Nikel

y = 0.097x - 0.003 R² = 0.995

-0,01 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,1

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

A b so rb a n si Konsentrasi (ppm)

Konsentrasi Larutan Seri Standar

Logam Ni (ppm)

Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Ni (ppm)

Linear (Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Ni (ppm))

Konsentrasi (ppm) Absorbansi Rata-rata

0,0000 0,0019

0,1000 0,0063

0,3000 0,0221

0,5000 0,0428

0,7000 0,0686


(45)

Tabel 4.6. Data absorbansi larutan seri standar kobalt

Gambar 4.3. Kurva kalibrasi larutan seri standar kobalt

Dengan kondisi peralatan Spektrofotometer Serapan Atom ( SSA) seperti pada Tabel 4.3 untuk logam nikel dan Tabel 4.4 untuk logam kobalt diukur absorbansi sampel dari lokasi I dan lokasi II dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.7 dibawah.

y = 0.039x - 0.000 R² = 0.997

0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

A b so rb a n si Konsentrasi (ppm)

Konsentrasi Larutan Seri Standar

Logam Co(mg/L)

Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Co (ppm)

Linear (Konsentrasi Larutan Seri Standar Logam Co (ppm))

Konsentrasi (ppm) Absorbansi Rata-rata

0,0000 0,0012

0,1000 0,0028

0,3000 0,0117

0,5000 0,0199

0,7000 0,0275


(46)

Tabel 4.7. Data hasil pengukuran absorbansi kobalt dan nikel pada sampel

4.2 Pengolahan Data

Berdasarkan kurva kalibrasi yang diperoleh dari Gambar 4.2 untuk logam nikel dan Gambar 4.3 untuk logam kobalt maka dapat dihitung persamaan regresi dan koefisien korelasi untuk masing- masing logam.

4.2.1 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square untuk Logam Nikel

Hasil pengukuran absorbansi larutan seri standar Nikel pada tabel 4.4 diplotkan terhadap konsentrasi sehingga dihasilkan kurva kalibrasi berupa garis linear. Persamaan garis regresi kurva kalibrasi dapat diturunkan dengan metode Least Square dengan data pada tabel 4.8.

Logam Lokasi I Lokasi II

A1 A2 A3 Ā A1 A2 A3 Ā

Co 0,0076 0,0063 0,0080 0,0073 0,0077 0,0068 0,0078 0,0074 Ni 0,0649 0,0672 0,0655 0,0659 0,0518 0,0507 0,0514 0,0513


(47)

Tabel 4.8. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square untuk logam nikel

No Xi Yi (Xi – X) (Yi – Y) (Xi – X)2 (Yi – Y)2 (Xi-X)(Yi-Y) 1 0,0000 0,0019 -0,4166 -0,036 0,1735 1,296 x 10-3 0,015

2 0,1000 0,0063 -0,3166 -0,0316 0,1002 9,9856x10-4 0,0100 3 0,3000 0,0221 -0,1166 -0,0158 0,0136 2,4964x10-4 1,8420x10-3 4 0,5000 0,0428 0,0834 4,9000x10-3 6,950x10-3 2,4010x10-5 4,0866x10-4 5 0,7000 0,0686 0,2834 0,0307 0,0803 9,4249x10-4 8,7000x10-3 6 0,9000 0,0861 0,4834 0,0482 0,2337 2,3232x10-3 0,0233

Σ 2,5 0,2278 4x10-4 4x10-4 0,6082 5,8309x10-3 0,0592

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :

dimana :

a = slope b = intersept

Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metode least square sebagai berikut :

Dengan mensubstitusikan harga-harga yang terdapat pada tabel 4.7. pada persamaan diatas maka diperoleh harga :


(48)

Maka diperoleh persamaan garis :

-3

4.2.2 Koefisien Korelasi ( Nikel )

Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Maka koefisien korelasi untuk nikel adalah :

4.2.3. Penentuan konsentrasi ( Nikel)

Konsentrasi dari logam Nikel ( Ni ) dalam sampel dihitung dari kurva kalibrasi dengan cara memplotkan absorbansi rata-rata logam nikel dalam sampel terhadap konsentrasi. Kadar nikel dalam sampel ditunjukkan pada gambar 4.4.


(49)

Gambar 4.4. Konsentrasi logam Nikel dalam sampel

Jadi berdasarkan metode kurva kalibrasi ini diperoleh kadar logam nikel dalam abu terbang lokasi I sebesar 0,7011 ppm dan pada lokasi II sebesar 0,5594 ppm.

4.2.4 Penurunan Persamaan Garis Regresi dengan Metode Least Square untuk Logam Kobalt

Hasil pengukuran absorbansi larutan seri standar logam Kobalt pada tabel 4.6 diplotkan terhadap konsentrasi sehingga diperoleh kurva kalibrasi berupa garis linear. Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi ini dapat diturunkan dengan metode Least Square dengan hasil pada tabel 4.9.

(0.7011,0.0659)

(0.5594,0.0513)

y = 0.097x - 0.003 R² = 0.995

-0,01 0 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 0,1

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

A b so rb a n si Konsentrasi (ppm)

Konsentrasi logam Nikel dalam sampel

(ppm)

konsentrasi logam Ni dalam abu terbang 1 konsentrasi logam Ni dalam abu terbang 2


(50)

Tabel 4.9. Penurunan persamaan garis regresi dengan metode Least Square untuk logam kobalt

No Xi Yi (Xi - X) (Yi – Y) (Xi – X)2 (Yi – Y)2 (Xi-X)(Yi-Y) 1 0,0000 0,0012 -0,4166 -0,0150 0,1735 2,2500x10-4 6,25x10-3 2 0,1000 0,0028 -0,3166 -0,0134 0,1002 1,7956x10-4 4,2424x10-3 3 0,3000 0,0117 -0,1166 -4,5x10-3 0,0136 2,025x10-5 5,247x10-4 4 0,5000 0,0199 0,0834 3,7x10-3 6,95x10-3 1,369x10-5 3,0858x10-4 5 0,7000 0,0275 0,2834 0,0113 0,0803 1,2769x10-4 3,2024x10-3 6 0,9000 0,0343 0,4834 0,0181 0,2337 3,2761x10-4 8,75x10-3

Σ 2,5 0,0974 4x10-4 0,0002 0,6082 8,9380x10-4 0,0233

Persamaan garis regresi untuk kurva kalibrasi dapat diturunkan dari persamaan garis :

Selanjutnya harga slope dapat ditentukan dengan menggunakan metode Least Square sebagai berikut :

Dengan mensubstitusikan harga-harga yang tercantum pada tabel 4.13 pada persamaan diatas maka diperoleh :


(51)

Maka diperoleh persamaan garis :

4.2.5 Koefisien Korelasi (Kobalt)

Koefisien korelasi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :

Maka koefisien korelasi untuk Kalsium adalah :

4.2.6. Penentuan konsentrasi (Kobalt)

Konsentrasi dari logam Kobalt ( Co ) dalam sampel dihitung dari kurva kalibrasi dengan cara memplotkan absorbansi rata-rata logam kobalt dalam sampel terhadap konsentrasi. Kadar kobalt dalam sampel ditunjukkan pada gambar 4.5.


(52)

Gambar 4.5. Konsentrasi logam Kobalt dalam sampel

Jadi berdasarkan metode kurva kalibrasi ini diperoleh kadar logam kobalt dalam abu terbang dari lokasi I sebesar 0,197 ppm dan dari lokasi II sebesar 0,1995 ppm.

4.2.7. Penentuan kadar logam kobalt (Co) yang terkandung dalam abu terbang dalam mg/kg

Pengukuran kadar logam kobalt (Co) dalam abu terbang dari lokasi I dan lokasi II :

Kadar logam Co dari lokasi 1 = x 106 mg/kg

= x 106 mg/kg

= 32,8333 mg/kg

Kadar logam Co dari lokasi 2 = x 106 mg/kg

= x 106 mg/kg

= 33,25 mg/kg

(0.1970,0.0073) (0.1995,0.0074)

y = 0.039x - 0.000 R² = 0.999

0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025 0,03 0,035 0,04

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1

A b so rb a n si Konsentrasi (ppm)

Konsentrasi logam Kobalt dalam sampel

(ppm)

Konsentrasi Logam Kobalt pada Abu Terbang 1 Konsentrasi Logam Kobalt pada Abu Terbang 2


(53)

4.2.8. Penentuan kadar logam Nikel (Ni) yang terkandung dalam abu terbang dalam

mg/kg

Pengukuran kadar logam Nikel (Ni) dalam abu terbang dari lokasi I dan lokasi II :

Kadar logam Ni dari lokasi 1 = x 106 mg/kg

= x 106 mg/kg

= 116,85 mg/kg

Kadar logam Ni dari lokasi 2 = x 106 mg/kg

= x 106 mg/kg

= 93,2333 mg/kg

4.3. Pembahasan

Telah dilakukan analisis logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari dua lokasi. Pada kedua lokasi ini, batubara digunakan untuk memanaskan boiler dalam menghasilkan listrik. Abu terbang batubara dikumpulkan dengan Electrostatic

Precipitator (ESP). Jarak antara cerobong dengan tumpukan abu terbang adalah 14 m.

Abu terbang yang diperoleh dari cerobong ditampung dalam suatu tempat sehingga menjadi gundukan yang akan terbang apabila tertiup angin. Karena abu terbang ini berukuran kecil maka ia dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan karena dapat terhirup dan masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau kulit (Widowati.W,2008)

Sampel diambil dari gundukan abu terbang secara purposif, lalu dipisahkan dengan ayakan 100 Mesh dan dilebur pada suhu 600oC untuk membebaskan logam dan oksidanya(Vogel,1985). Suhu yang digunakan 600oC adalah menurut penelitian terdahulu ( Lindahl,1998). Hasil leburan kemudian didestruksi dengan campuran HF dan HNO3 pekat dengan perbandingan 2mL : 5mL, lalu pelarutan sampel dimulai


(54)

dengan pengadukan dan pemanasan pada suhu 80oC selama 20 menit ( Sushil.S,2005). Pelarut HF digunakan untuk melarutkan silika, sehingga logam- logam renik lainnya akan bebas, yang kemudian akan dilarutkan dengan pelarut HNO3 (Bingol.D,2004).

Setelah proses pelarutan, hasil yang diperoleh kemudian disaring dengan kertas saring whatman no.42 dan diencerkan dalam labu takar 50mL. Konsentrasi kobalt dan nikel diperoleh dengan mengaspirasikan larutan sampel ke instrument Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan λspesifik 232 nm untuk logam nikel dan

240,7nm untuk logam kobalt. Kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Hasil ini diperoleh dari kurva kalibrasi yang dibuat dari seri larutan standar 0,0;0,1;0,3;0,5;0,7 dan 0,9 ppm yang memberikan suatu garis yang linier dengan persamaan garis y = 0.0973x ± 0.0026 dan koefisien korelasi 0.9949 untuk logam nikel dan persamaan garis y = 0.0383x ± 0.0003 dan koefisien korelasi 0.9995 untuk logam kobalt.

Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari beberapa Negara dapat dilihat pada tabel 4.10. dibawah.

Tabel 4.10.Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang di beberapa Negara

Unsur Spanyol Greece UK China India Orrisa,India

Co 29,2 ND ND ND 23,6 16,88

Ni 87,9 ND ND ND 150 56,50

*ND = NOT DETECTED (dalam mg/kg) ( Sushil.S,2005) Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar logam kobalt dan nikel pada beberapa Negara tidak terdeteksi. Dalam penelitian ini diperoleh kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Batas standar untuk logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia menurut US Department of Health and Human Services dapat dilihat pada tabel 4.11.


(55)

Tabel 4.11. Batas kadar logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia

Unsur Tanah (ppm) Air (ppm) Tubuh

manusia(mg/kg/hari)

Ni 4-80 0,3-10 0,02

Co 1-20 0,5-10 0,7-2,0

(US Department of Health and Human Services,2005)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air, tanah, dan manusia. Penanggulangan abu terbang yang dilakukan pada kedua lokasi masih belum dilakukan, abu ini hanya ditumpukkan dan kemudian dibawa ke suatu tempat untuk diproses lebih lanjut.

Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel dalam abu batubara ini jauh lebih rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi kesehatan maka bilamana abu batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan tidak memberi dampak terhadap lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau dampak pemakaiannya terhadap lingkungan.


(56)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Kadar logam Nikel dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,7011 ppm(116,85 mg/kg) dan dari lokasi II adalah 0,5594 ppm(93,2333 mg/kg). 2. Kadar logam Kobalt dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm

(33,8333 mg/kg) dan dari lokasi II adalah0,1995 ppm (33,23 mg/kg).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air, tanah, dan manusia yang dapat dilihat pada tabel 4.11. Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel dalam abu batubara ini jauh lebih rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi kesehatan maka bilamana abu batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan tidak memberi dampak terhadap lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau dampak pemakaiannya terhadap lingkungan.

5.2. Saran

Perlu dilakukan analisa lebih lanjut terhadap residu yang terbentuk pada proses destruksi abu terbang untuk mengetahui apakah residu tersebut masih mengandung logam kobalt dan nikel.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad,R.2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Bingol,D.2004. Determination of trace elements in fly ash samples by FAAS after

applying different digestion procedure. Talanta: Elsevier.

Brecque,J.1979. Decomposition and Determination of Aluminium and Silicon in

Venezuelan laterities by Atomic Absorption Spectroscopy. USA: Elsevier.

Brown,W. Methods for Sampling and Inorganic Analysis of Coal. U.S. Geological Survey Buletin 1823.

Davidson,D.T.1961. Soil Stabilization with Lime Fly Ash. Ames, Lowa: lowa state University of Science and Technology.

Haraldsson,C.2004.Solid Biofuels- Determination of Major and Minor Elements. Reports On deliverable III.2 D4 of the EU funded BioNorm project ( ENK6-CT-2001-00556), in preparation.

Harian Analisa. 23 Agustus 2010.

Kent,A.J.1993. Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry. 9th edition. USA: Springer.

Khopkar,S.M.2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-press.

Lindahl,C.1998.The Applicability of Standard Test Methods to the Analysis of Coal

Samples for Coal Research. Cass Avenue : Argonne.

Marco,A.2007.Trends in Sample Preparation. New York:Nova Science Publisher,Inc. Mitra,S.2003.Sample Preparation Technical in Analytical Chemistry. New York: John

Willey and Sons.

Munir,M. 2008. Pemanfaatan Abu Batubara ( Fly Ash) untuk Hollow Block yang

Bermutu dan Aman bagi Lingkungan. Tesis. Semarang: Universitas

Diponegoro.

Paul,A.1993. Determination of Majors in Geological Samples by ICP-OES. USA : Agilent Technologies, Inc.


(58)

SNI 6989.18:2009.Uji Nikel secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.

SNI 6989.68:2009.Uji Kobalt secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.

Sushil,S.2005. Analysis of Fly Ash Heavy Metal Content and Disposal in Three

Thermal Power Plants in India. India:Teri School of Advanced Studies.

Tripathi,S.M. 2003. Trace Elements and Their Mobility in Coal Ash/Fly Ash from

Indian Power Plants in View of its Disposal and Bulk Use in Agriculture.

India: Poland Institute for scientific and Industrial Research. Underwood.2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.

US Department of Health and Human Services,2005. Toxicological Profile for Nickel. Public Health Services, Agency for Toxic Substance and Disease Registry

Vogel.1989. Textbook of Quantitative Chemical Analysis. Fifth edition. London:English Languange Book Society/ Longman.

Vogel.1984. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Widowati,W.2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Andi.


(1)

4.2.8. Penentuan kadar logam Nikel (Ni) yang terkandung dalam abu terbang dalam

mg/kg

Pengukuran kadar logam Nikel (Ni) dalam abu terbang dari lokasi I dan lokasi II :

Kadar logam Ni dari lokasi 1 =

x 10

6

mg/kg

=

x 10

6

mg/kg = 116,85 mg/kg

Kadar logam Ni dari lokasi 2 =

x 10

6

mg/kg

=

x 10

6

mg/kg = 93,2333 mg/kg

4.3. Pembahasan

Telah dilakukan analisis logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari dua lokasi. Pada kedua lokasi ini, batubara digunakan untuk memanaskan boiler dalam menghasilkan listrik. Abu terbang batubara dikumpulkan dengan Electrostatic Precipitator (ESP). Jarak antara cerobong dengan tumpukan abu terbang adalah 14 m. Abu terbang yang diperoleh dari cerobong ditampung dalam suatu tempat sehingga menjadi gundukan yang akan terbang apabila tertiup angin. Karena abu terbang ini berukuran kecil maka ia dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan karena dapat terhirup dan masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan atau kulit (Widowati.W,2008)

Sampel diambil dari gundukan abu terbang secara purposif, lalu dipisahkan dengan ayakan 100 Mesh dan dilebur pada suhu 600oC untuk membebaskan logam dan oksidanya(Vogel,1985). Suhu yang digunakan 600oC adalah menurut penelitian terdahulu ( Lindahl,1998). Hasil leburan kemudian didestruksi dengan campuran HF dan HNO3 pekat dengan perbandingan 2mL : 5mL, lalu pelarutan sampel dimulai


(2)

dengan pengadukan dan pemanasan pada suhu 80oC selama 20 menit ( Sushil.S,2005). Pelarut HF digunakan untuk melarutkan silika, sehingga logam- logam renik lainnya akan bebas, yang kemudian akan dilarutkan dengan pelarut HNO3 (Bingol.D,2004).

Setelah proses pelarutan, hasil yang diperoleh kemudian disaring dengan kertas saring whatman no.42 dan diencerkan dalam labu takar 50mL. Konsentrasi kobalt dan nikel diperoleh dengan mengaspirasikan larutan sampel ke instrument Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan λspesifik 232 nm untuk logam nikel dan

240,7nm untuk logam kobalt. Kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Hasil ini diperoleh dari kurva kalibrasi yang dibuat dari seri larutan standar 0,0;0,1;0,3;0,5;0,7 dan 0,9 ppm yang memberikan suatu garis yang linier dengan persamaan garis y = 0.0973x ± 0.0026 dan koefisien korelasi 0.9949 untuk logam nikel dan persamaan garis y = 0.0383x ± 0.0003 dan koefisien korelasi 0.9995 untuk logam kobalt.

Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang dari beberapa Negara dapat dilihat pada tabel 4.10. dibawah.

Tabel 4.10.Kadar logam kobalt dan nikel dalam abu terbang di beberapa Negara Unsur Spanyol Greece UK China India Orrisa,India

Co 29,2 ND ND ND 23,6 16,88

Ni 87,9 ND ND ND 150 56,50

*ND = NOT DETECTED (dalam mg/kg) ( Sushil.S,2005) Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kadar logam kobalt dan nikel pada beberapa Negara tidak terdeteksi. Dalam penelitian ini diperoleh kadar kobalt dan nikel dalam abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm (33,8333mg/kg) dan0,7011 ppm (116,85 mg/kg); dan untuk lokasi II diperoleh kadar kobalt dan nikel sebesar 0,1995 ppm (33,25 mg/kg) dan 0,5594 ppm (93,2333 mg/kg). Batas standar untuk logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia menurut US Department of Health and Human Services dapat dilihat pada tabel 4.11.


(3)

Tabel 4.11. Batas kadar logam kobalt dan nikel dalam tanah, air dan tubuh manusia

Unsur Tanah (ppm) Air (ppm) Tubuh

manusia(mg/kg/hari)

Ni 4-80 0,3-10 0,02

Co 1-20 0,5-10 0,7-2,0

(US Department of Health and Human Services,2005)

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air, tanah, dan manusia. Penanggulangan abu terbang yang dilakukan pada kedua lokasi masih belum dilakukan, abu ini hanya ditumpukkan dan kemudian dibawa ke suatu tempat untuk diproses lebih lanjut.

Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel dalam abu batubara ini jauh lebih rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi kesehatan maka bilamana abu batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan tidak memberi dampak terhadap lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau dampak pemakaiannya terhadap lingkungan.


(4)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Kadar logam Nikel dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,7011 ppm(116,85 mg/kg) dan dari lokasi II adalah 0,5594 ppm(93,2333 mg/kg). 2. Kadar logam Kobalt dalam sampel abu terbang dari lokasi I adalah 0,197 ppm

(33,8333 mg/kg) dan dari lokasi II adalah0,1995 ppm (33,23 mg/kg).

Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kadar kobalt dan nikel yang terkandung dalam abu terbang masih jauh lebih rendah daripada batas aman untuk air, tanah, dan manusia yang dapat dilihat pada tabel 4.11. Oleh karena kadar logam kobalt dan nikel dalam abu batubara ini jauh lebih rendah daripada batas aman (threshold limit) bagi kesehatan maka bilamana abu batubara ini digunakan untuk bahan bangunan akan tidak memberi dampak terhadap lingkungan apabila ditinjau dari kadar kobalt dan nikelnya. Tetapi perlu terus dipantau dampak pemakaiannya terhadap lingkungan.

5.2. Saran

Perlu dilakukan analisa lebih lanjut terhadap residu yang terbentuk pada proses destruksi abu terbang untuk mengetahui apakah residu tersebut masih mengandung logam kobalt dan nikel.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad,R.2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Bingol,D.2004. Determination of trace elements in fly ash samples by FAAS after applying different digestion procedure. Talanta: Elsevier.

Brecque,J.1979. Decomposition and Determination of Aluminium and Silicon in Venezuelan laterities by Atomic Absorption Spectroscopy. USA: Elsevier. Brown,W. Methods for Sampling and Inorganic Analysis of Coal. U.S. Geological Survey Buletin 1823.

Davidson,D.T.1961. Soil Stabilization with Lime Fly Ash. Ames, Lowa: lowa state University of Science and Technology.

Haraldsson,C.2004.Solid Biofuels- Determination of Major and Minor Elements. Reports On deliverable III.2 D4 of the EU funded BioNorm project ( ENK6-CT-2001-00556), in preparation.

Harian Analisa. 23 Agustus 2010.

Kent,A.J.1993. Riegel’s Handbook of Industrial Chemistry. 9th edition. USA: Springer.

Khopkar,S.M.2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-press.

Lindahl,C.1998.The Applicability of Standard Test Methods to the Analysis of Coal Samples for Coal Research. Cass Avenue : Argonne.

Marco,A.2007.Trends in Sample Preparation. New York:Nova Science Publisher,Inc. Mitra,S.2003.Sample Preparation Technical in Analytical Chemistry. New York: John

Willey and Sons.

Munir,M. 2008. Pemanfaatan Abu Batubara ( Fly Ash) untuk Hollow Block yang Bermutu dan Aman bagi Lingkungan. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.

Paul,A.1993. Determination of Majors in Geological Samples by ICP-OES. USA : Agilent Technologies, Inc.


(6)

SNI 6989.18:2009.Uji Nikel secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.

SNI 6989.68:2009.Uji Kobalt secara Spektrofotometri Serapan Atom. Badan Nasional Indonesia.

Sushil,S.2005. Analysis of Fly Ash Heavy Metal Content and Disposal in Three Thermal Power Plants in India. India:Teri School of Advanced Studies. Tripathi,S.M. 2003. Trace Elements and Their Mobility in Coal Ash/Fly Ash from

Indian Power Plants in View of its Disposal and Bulk Use in Agriculture. India: Poland Institute for scientific and Industrial Research.

Underwood.2002. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Keenam.

US Department of Health and Human Services,2005. Toxicological Profile for Nickel. Public Health Services, Agency for Toxic Substance and Disease Registry

Vogel.1989. Textbook of Quantitative Chemical Analysis. Fifth edition. London:English Languange Book Society/ Longman.

Vogel.1984. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Widowati,W.2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Andi.


Dokumen yang terkait

Penetapan Kadar Cu Pada Makanan Cokelat Secara Spektrofotometri Serapan Atom

3 123 42

Penetapan Kadar Kalsium Secara Spektrofotometri Serapan Atom dan Fosfor Secara Spektrofotometri Sinar Tampak pada Ikan Teri (Stolephorus spp.)

25 151 105

Analisis Kadar Unsur Besi (Fe), Nikel (Ni) Dan Magnesium (Mg) Pada Air Muara Sungai Asahan Di Tanjung Balai Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

6 87 62

Analisis Kadar Kemurnian Gliserin Dengan Metode Natrium Meta Periodat Dan Kadar Unsur Besi ( Fe ) Dan Zinkum ( Zn ) Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (AAS)

28 154 58

Pengaruh Penambahan Arang Aktif Tempurung Kelapa Dan Arang Aktif Batubara Terhadap Logam Besi (Fe) Dan Nikel (Ni) Pada Air Sumur Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom

3 69 68

Analisis Logam Berat Cadmium (Cd), Cuprum (Cu), Cromium (Cr), Ferrum (Fe), Nikel (Ni), Zinkum (Zn) Pada Sedimen Muara Sungai Asahan Di Tanjung Balai Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

5 89 98

Penentuan Kadar Logam Cadmium(Cd), Tembaga (Cu), Crom (Cr), Besi (Fe), Nikel (Ni), dan Zinkum (Zn) dari beberapa Jenis Kerang Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom ( SSA)

5 52 92

Penentuan Kadar Logam Kadmium Cd ) Dan Logam Zinkum ( Zn ) Dalam Black Liquor Pada Industri Pulp Proses Kraft Dari Toba Pulp Lestari Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom ( Ssa)

4 71 53

Analisis Kadar Unsur Nikel (Ni), Kadmium (Cd) Dan Magnesium (Mg) Dalam Air Minum Kemasan Dengan Metode Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

5 65 81

Penggunaan Membran Kitosan Untuk Menurunkan Kadar Logam Krom (Cr) Dan Nikel (Ni) Dalam Limbah Cair Industri Pelapisan Logam

1 44 85