Penemuan Penderita TB Paru Pengobatan TB Paru

14 Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 – 6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh imunitas seluler. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman Tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dormant tidur. Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Infeksi Tuberkulosis paska primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari Tuberkulosis paskaprimer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi fleura Depkes RI, 2002; Crofton, dkk, 2002.

1.6. Penemuan Penderita TB Paru

Penemuan penderita tuberkulosis dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita. Cara ini Universitas Sumatera Utara 15 biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotive Case Finding. Selain itu, semua kontak penderita TB Paru BTA positif dengan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Seorang petugas kesehatan diharapkan manemukan tersangka penderita sedini mungkin, mengingat tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang dapat mengakibatkan kematian. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu pagi sewaktu SPS Depkes RI, 2002.

1.7. Pengobatan TB Paru

Riwayat pengobatan TB Paru telah dimulai sebelum Robert Koch menemukan basil Tuberkulosis pada tahun 1882 dengan didirikan sanatorium- sanatorium di berbagai tempat, masa ini dikenal sebagai battle against symptom. Sanatorium-sanatorium tersebut didirikan untuk tempat merawat pasien yang diduga menderita TB Paru agar tidak menularkan kuman TB Paru pada orang disekitarnya. Setelah itu berkembang pula upaya pembedahan yang dikenal dengan masa battle against cavity. Pada tahun 1990-an barulah ditemukan Streptomisin, Isoniasid INH, Pyrazinamid, Etambutol dan Rifampisin, yang dikenal dengan era battle against TB bacily Aditama, 2002. Dasar pengobatannya terdiri dari dua fase, yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Pada fase intensif obat diminum setiap hari dengan pengawasan langsung, sedangkan fase lanjutan obat diminum seminggu tiga kali, kecuali untuk anak, OAT diminum setiap hari. Prinsip pengobatannya, yaitu dengan Universitas Sumatera Utara 16 menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis yang tepat selama enam – delapan bulan. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket kombipak, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan kontinuitas pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket kombipak terdiri dari Isoniasid H, Rifampisin R, Pirazinamid Z, Etambutol E dan Streptomisin S. Satu paket kombipak kategori I berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZE untuk tahap intensif, 54 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam satu dos besar. Satu paket kombipak kategori II berisi 156 blister harian yang terdiri dari 90 blister HRZE untuk tahap intensif , dan 66 blister HRE untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam satu dos besar. Sedangkan satu paket kombipak kategori III berisi 114 blister harian yang terdiri dari 60 blister HRZ untuk tahap intensif, dan 54 blister HR untuk tahap lanjutan, masing-masing dikemas dalam dos kecil dan disatukan dalam dos besar Depkes RI, 2002. Universitas Sumatera Utara 17 Paduan Obat Anti Tuberkulosis OAT Obat yang dipakai dalam program pemberantasan TB Paru sesuai dengan rekomendasi WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari tiga kategori, setiap kategori terdiri dari dua fase pemberian yaitu fase awal intensif dan fase lanjutan. Obat yang biasa digunakan yaitu dengan dosis Kombipak, yang tersedia untuk penderita dengan berat badan 33 – 50 kg. Untuk penderita dengan berat badan selain 33 – 50 kg, dosisnya supaya disesuaikan. Paduan OAT tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1. Paduan OAT Kategori I, II, dan III Kategori Rumus Indikasi Tahap Intensif Tahap Lanjutan I 2HRZE H3R3 -Penderita baru BTA positif -Penderita baru TB Paru BTA negatif roentgen positif yang “sakit berat” -Penderita TB Paru ekstra berat. Waktu 2 bulan, frekuensi 1 kali menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat. Waktu 4 bulan, frekuensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat. II 2HRZES HRZE 5H3R3 -Penderita kambuh relaps -Penderita gagal penderita denagan pengobatan setelah lalai. -Selama 2 bulan pertama frekuensi 1 kali sehari, jumlah 60 kali menelan obat. -Satu bulan berikutnya selama 1 bulan, 1 kali sehari, jumlah 30 kali menelan obat. Selama 5 bulan, 3kali seminggu, jumlah total 66 kali menelan obat. Universitas Sumatera Utara 18 Lanjutan Tabel 2.1. Paduan OAT Kategori I, II, dan III III 2HRZ 4H3R3 -Penderita baru BTA negatif dan roentgen positif sakit ringan. -Penderita ekstra paru ringan yaitu: TB kelenjar limfe limfadenitis, Pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang, sendi dan kelenjar adrenal Waktu 2 bulan, frekuensi 1 kali sehari menelan obat, jumlah 60 kali menelan obat. Waktu 4 bulan seminggu 3 kali menelan obat, jumlah 54 kali menelan obat. Panduan Sisipan HRZE Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan HRZE setiap hari selama 1 bulan Depkes RI, 2002. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai: sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah Transfer Out, default lalai Drop Out dan gagal, dapat dilihat pada tabel berikut: Universitas Sumatera Utara 19 Tabel 2.2. Hasil Pengobatan TB Paru dan Tindak Lanjutnya Kondisi Uraian Tindak Lanjut Sembuh Bila penderita menyelesaikan pengobatan secara lengkap, minimal pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif pada akhir pengobatan AP danatau sebulan sebelum AP dan, pada 1 pemeriksaan follow up sebelumnya. Diharapkan datang bila gejala muncul kembali. Pengobatan lengkap Penderita yang telah menyelesakan pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut. Diharap datang bila gejala muncul kembali Meninggal Penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab apapun Pindah Penderita yang berobat ke kabupatenkota lain. Penderita yang berobat ke kabupatenkota lain. Default Drop Out Penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. Dilacak, periksa ulang dahak: -BTA + → ganti kategori 2. -BTA - → lanjutkan sisa kategori 1. Universitas Sumatera Utara 20 Lanjutan Tabel 2.2. Hasil Pengobatan TB Paru dan Tindak Lanjutnya Gagal Pada pengobatan dengan kategori 1: hasil BTA tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum AP atau pada AP Kategori 1 ganti menjadi kategori 2. Pada pengobatan dengan kategori 1: hasil BTA tetap positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum AP atau pada AP Kategori 1 ganti menjadi kategori 2. Pada pengobatan dengan kategori 3: hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke 2 menjadi positif. Kategori 3 ganti menjadi kategori 2. Tatalaksana Penderita yang Berobat Tidak Teratur Seorang penderita kadang-kadang berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai. Hal ini terjadi karena penderita belum memahami bahwa obat harus ditelan seluruhnya dalam waktu yang telah ditetapkan. Petugas kesehatan harus mengusahakan agar penderita yang putus berobat tersebut kembali ke unit pelayanan kesehatan UPK. Pengobatan yang diberikan tergantung pada tipe penderita, lamanya pengobatan sebelumnya, lamanya putus berobat dan bagaimana hasil pemeriksaan dahak sewaktu dia kembali berobat Depkes RI, 2002. Universitas Sumatera Utara 21

2. Program Penanggulangan TB Paru