Perbandingan Kelembagaan Pemilihan Umum 2004 Di Indonesia Dengan Kelembagaan Pilihan Raya 2004 Di Malaysia.

(1)

PERBANDINGAN KELEMBAGAAN PEMILIHAN

UMUM 2004 DI INDONESIA DENGAN

KELEMBAGAAN PILIHAN RAYA 2004 DI MALAYSIA

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dari Departemen Ilmu Administrasi Negara

D I S U S U N O L E H:

IRA ZULAIKA INVERARY SIREGAR

NIM. 020903002

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:

“Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilu yang teratur dan sungguh-sungguh yang diselenggarakan bagi seluruh anggota masyarakat dan dilaksanakan melalui pemungutan suara yang rahasia atau prosedur pemungutan suara serupa lainnya.”

Salah satu agenda rutin bagi negara yang mengklaim dirinya adalah Negara demokrasi ialah menyelenggarakan Pemilihan Umum. Pemilihan umum dilaksanakan untuk memilih wakil-wakil rakyat dengan tujuan agar wakil-wakil rakyat tersebut dapat menyalurkan atau mengaspirasikan suara rakyat. Suatu pemilihan umum yang terlaksana dengan aman, tepat waktu dan tingginya tingkat keikutsertaan (partisipasi) masyarakat dalam memberikan suara merupakan suatu keberhasilan dalam pemilu.

Dalam Pemilu yang Bebas dan Adil: Hukum Internasional dan Prakteknya, Profesor Goodwin-Gill menyatakan bahwa:

“Pengalaman dan praktek kenegaraan mutakhir memastikan pentingnya pengawasan proses pemilu… [dan] pelembagaan tanggung jawab penerapannya oleh pejabat-pejabat pemilu yang tidak memihak…”

“Pelembagaan yang efektif dari hak-hak dasar pemilu dan politik mewajibkan negara untuk…

- membentuk sistem pemilu yang tepat,


(3)

membentuk sebuah mekanisme manajemen pemilihan legislatif yang netral dan/atau berimbang yang efektif.”

Penjelasan diatas mengisyaratkan perlunya suatu Negara untuk membentuk suatu manajemen pemilihan umum, karena keberhasilan suatu pemilihan umum sangat di tentukan oleh kematangan penyelenggaranya.

Adanya penyelenggara pemilihan umum dimaksudkan agar proses pemilu itu sendiri berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan yang diinginkan.

Bagi orang-orang atau organisasi yang memang terjun untuk mengamati pemilihan umum di berbagai Negara, suatu pemilihan umum harus di cermati tidak hanya bagian luarnya saja, tetapi bagian dalam (depth consideration) dari pemilu itu yaitu manajemen pemilihan umum. Dan setiap Negara mempunyai penyelenggara pemilu. Sebagai Negara serumpun dan sama-sama menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahannya, Indonesia dan Malaysia masing-masing mempunyai lembaga yang menyelenggarakan pemilihan umum. Di Indonesia penyelenggara pemilihan umum ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU), sedangkan penyelenggara pemilihan umum di Malaysia ialah Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR).

Pemilihan Umum di Indonesia dan Pilihan Raya di Malaysia merupakan momen penting bagi kedua Negara untuk mengetahui arah dan tujuan Negara itu selanjutnya. Karena itu di butuhkan suatu penyelenggara pemilu yang memiliki

manajemen dan administrasi yang baik. KPU dan SPR adalah institusi/lembaga

yang diwujudkan oleh undang-undang untuk menjalankan pengurusan pemilihan umum (election management and administration).

Secara umum, pemilihan umum di Indonesia pada tahun 2004 dapat dikatakan berhasil pelaksanaanya. Hal tersebut dinyatakan oleh para pengamat


(4)

pemilu baik dalam maupun luar negeri. Namun tidak berarti kinerja KPU dalam Pemilu 2004 sama berhasilnya dengan pemilu itu sendiri. Misi pemantauan pemilihan umum Uni Eropa di Indonesia 2004 menilai bahwa Pemilu 2004 mengalami kemajuan dibandingkan Pemilu 1999 maupun yang sebelumnya, terutama dalam hal kampanye partai-partai politik, yang tahun ini berjalan relatif damai. Pemantau juga menilai KPU berhasil mempertahankan sikap netralnya terhadap partai-partai politik. Ini akibat perubahan susunan anggota komisi itu pada 1999. Namun demikian KPU dinilai masih kurang berhasil dalam hal mempersiapkan pemilu, terutama dalam hal pengadaan dan distribusi logistik. Proses pengadaan logistik itu terlalu terpusat dan kurang direncanakan dengan baik. Akibatnya tenggat waktu pengiriman alat kelengkapan pemilu sebagaimana diamanatkan Undang-Undang gagal terpenuhi.

NORDEM juga menyampaikan hal yang hampir senada dengan menyebutkan bahwa walaupun secara umum KPU Pemilu 2004 dapat menyelesaikan tugas dengan cukup baik dalam waktu yang relatif singkat KPU juga dikritik karena dinilai terlalu tersentralisasi dan kurang memiliki perencanaan yang efektif.

Banyaknya rancangan peraturan untuk pemilihan umum presidensial yang belum di selesaikan menunjukkan manajemen yang buruk di lembaga penyelenggara pemilihan umum itu. Tumpukan rancangan pengaturan yang belum di tetapkan mencerminkan adanya ketidakjelasan pembagian kerja antar anggota KPU.1

1


(5)

Sistem Pilihan Raya yang diamalkan di Malaysia tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Pilihan raya di Malaysia di selenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen (Dewan Rakyat) dan Dewan Undangan Negeri.

Dalam Pilihan Raya 2004 kemarin, secara keseluruhan berjalan lancar tanpa gejolak yang berarti. SPR bisa dinilai cukup berhasil menyediakan kertas suara, mendistribusikannya ke 13 negara bagian dengan persiapan yang kurang dari tiga minggu saja, sejak PM Abdullah Badawi membubarkan Parlemen pada 3 Maret 2006. SPR juga mempersiapkan kompleks pemungutan suara, yang umumnya berupa bangunan sekolah serta gedung pertemuan.

Tetapi tidak sedikit kekurangan yang terjadi, SPR baik di pusat maupun di berbagai negara bagian sebenarnya masih sibuk menghitung suara, padahal pemilu sudah sehari lewat. Kesalahan lainnya terletak pada cetakan kertas suara yang menyebabkan dampak negatif kepada pemilih. Sebagai contoh pemilih dibingungkan dengan kertas suara yang tertera dengan nama kandidat dari Partai Islam se-Malaysia (PAS) Idris Ahmad tetapi logo yang menyertainya adalah gambar Partai Keadilan. Ini adalah kesalahan teknis yang cukup besar karena akan berdampak negatif kepada pemilih. Selain itu pemilih di beberapa distrik kebingungan untuk memberikan suara karena nama-nama mereka tidak terdaftar di daftar pemilih SPR. Itu terjadi karena menjelang pemilu ada perubahan format kertas suara. Hal ini menyebabkan SPR dianggap tidak professional, bahkan pimpinan SPR diminta untuk mengundurkan diri2.

2


(6)

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa elemen penting dalam pengurusan suatu pemilihan umum yang bebas dan adil seperti yang ada di Indonesia dan Malaysia adalah sebuah lembaga penyelenggara pemilu. Kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga penyelenggara pemilu dengan kebebasan yang luas untuk menyelenggarakan segala fungsinya akan mencerminkan tahap integritas pemilu demokratis yang dijalankan. Seluruh legitimasi dan akseptabilitas setiap pemilu akan tergantung banyak faktor, namun integritas lembaga penyelenggara pemilu merupakan salah satu faktor terpenting. Masyarakat akan mengukur legitimasi sebuah pemilu berdasarkan integritas aktual administrasi dan integritas yang tampak dari proses pemilu itu sendiri. Karena itu, para calon, partai-partai politik, dan para pengamat pemilu akan memberikan perhatian seksama pada cara administarsi pemilu menjalankan tugasnya3.

KPU dan SPR secara organisasional memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penulis berkeinginan untuk membandingkan kedua lembaga pemilihan umum di kedua negara ini. Bagaimana aspek organisasional KPU dan SPR, yaitu struktur organisasi dan keanggotaan kedua lembaga tersebut. Karena aspek-aspek tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja mereka dalam menyelenggarakan tugas besarnya. Sebagai pembatasan masalah, pembahasan hanya dilakukan pada KPU dan SPR tingkat pusat. Dengan latar belakang demikian, maka penyusun tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Perbandingan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di Indonesia dan Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia”.

3


(7)

B. Perumusan Masalah

Untuk dapat memudahkan penelitian, sehingga nantinya penelitian dapat lebih terarah dalam pelaksanaannya, maka terlebih dahulu permasalahan harus dirumuskan. Berdasarkan pada latar belakang masalah, penyusun merumuskan permasalahan penelitian ini adalah: “Bagaimana Perbandingan Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di Indonesia dengan Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia?”

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu:

1. Menjelaskan tentang keorganisasian pada KPU Dan SPR, seperti struktur

organisasi dan keanggotaan tingkat pusat pada penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004 di Indonesia dan penyelenggaraan Pilihan Raya 2004 di Malaysia.

2. Menjelaskan dan menyimpulkan persamaan-persamaan dan

perbedaan-perbedaan yang ada.

D. Manfaat Penelitian

Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan atau pertimbangan kepada

lembaga terkait mengenai manajemen dan administrasi pemilu.

2. Sebagai referensi baru dalam literature kepustakaan bagi semua kalangan


(8)

E. Kerangka Teori

Teori adalah serangkaian asumsi, konsep dan konstruksi, defenisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara

merumuskan hubungan antar konsep4.

Berikut akan dikemukakan beberapa teori yang digunakan dalam tulisan ini.

E.1. Perbandingan

Secara sederhana, perbandingan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi persamaan dan/ atau perbedaan antara dua gejala tertentu atau lebih5.

Dapat disimpulkan bahwa perbandingan merupakan kegiatan pengidentifikasian persamaan dan/atau perbedaan antara dua objek atau lebih.

E.2 Kelembagaan

E.2.1 Pengertian Kelembagaan

Secara umum kelembagaan merupakan sesuatu yang melembaga yang didalamnya terdapat struktur organisasi, visi dan misi lembaga itu, tujuan, peraturan, keanggotaan dan lain sebagainya yang terkait dengan organisasi.

E.2.2. Struktur Organisasi Suatu Kelembagaan

“ Structure is the relationship of the various functions or activities in

an organization.”

4

Singarimbun, 1995:37

5


(9)

(Struktur adalah hubungan antara macam-macam fungsi atau aktivitas di dalam organisasi.)6

E.2.2.1 Pengertian Struktur Organisasi Menurut Robert Y. Durant

“Organization structure: the scheme of relationship and duties of persons employed

by the organization, particularly those discharging managerial fuctions.”

(Struktur organisasi: bagan hubungan dan tugas-tugas dari orang-orang yang digunakan oleh organisasi terutama sekali pelaksanaan fungsi-fungsi manajerial.)

Sedangkan menurut Dalton E. McFarland:

“By organization structure we mean the pattern a network of relationships between the various positions and the position-holders.”

(Dengan struktur organisasi kami artikan pola jaringan hubungan antara bermacam-macam jabatan dan para pemegang jabatan.)

Struktur organisasi terdiri dari empat elemen, yaitu:

1. Penyerahan tugas-tugas dan tanggung jawab yang menjelaskan pekerjaan

dari setiap individu dan unit.

2. Pengelompokkan posisi individu ke dalam unit dan selanjutnya

pengelompokkan unit menjadi suatu departemen ataupun unit yang lebih besar yang pada akhirnya membentuk hirarki organisasi.

3. Beragam mekanisme yang dibutuhkan untuk memfasilitasi koordinasi

vertikal, seperti jumlah individu yang memberikan laporan kepada setiap posisi kepemimpinan dan derajat delegasi kewenangan.

6


(10)

4. Beragam mekanisme yang dibutuhkan untuk menciptakan koordinasi horizontal, seperti tim-tim interdepartemen.

Struktur organisasi akan memberikan informasi mengenai:

1. Tipe organisasi, artinya struktur organisasi akan memberikan informasi

tentang tipe organisasi yang dipergunakan, apakah line organization, lone and staff organization atau functional organization.

2. Departemen organisasi, artinya struktur organisasi akan memberikan

informasi mengenai dasar departemenisasi, apa berdasarkan fungsi-fungsi manajemen, wilayah, produksi dan sebagainya.

3. Kedudukan, artinya struktur organisasi memberikan informasi mengenai

apakah seseorang termasuk kelompok manajerial atau pegawai operasional.

4. Jenis wewenang, artinya struktur organisasi memberikan informasi tentang

wewenang yang dimiliki seseorang, apakah line authority, staff authority atau functional authority.

5. Rentang kendali, artinya struktur organisasi memberikan informasi

mengenai jumlah karyawan dalam setiap bagian.

6. Manajer dan bawahan, artinya struktur organisasi memberikan informasi

tentang garis perintah dan tanggung jawab, siapa atasan dan siapa bawahan.

7. Tingkatan manajer, artinya struktur organisasi memberikan informasi

tentang top manager, middle manager, dan lower manager.

8. Bidang pekerjaan, artinya setiap kotak dalam struktur organisasi

memberikan informasi mengenai tugas-tugas dan pekerjaan-pekerjaan serta tanggung jawab yang dilakukan dan diemban dalam bagian tersebut.


(11)

9. Tingkatan manajemen, artinya sebuah bagan tidak hanya menunjukkan manajer dan bawahan secara perorangan, tetapi juga hirarki manajemen secara keseluruhan. Semua pegawai yang melapor kepada orang yang sama berada pada tingkat manajemen yang sama, tidak jadi soal dimana mereka ditempatkan dalam organsiasi.

10.Pimpinan organisasi, artinya struktur organisasi memberikan informasi

tentang apakah organisasi memiliki pimpinan tunggal, pimpinan kolektif atau presidium7.

Antara struktur organsiasi dan pola kewenangan terdapat hubungan erat, bahkan para ahli mengasumsikan hubungan kewenangan adalah sama dengan struktur organisasi. Namun demikian, pola kewenangan merupakan salah satu bagian dari keseluruhan struktur.

Struktur kewenangan menciptakan sebuah dasar penyerahan tugas bagi beragam elemen dalam organisasi dan untuk mengembangkan mekanisme pengawasan agar dapat memastikan tugas-tugas tersebut dilakukan berdasarkan perencanaan. Selain itu, struktur juga berhubungan dengan penyerahan tanggung jawab dan akuntabilitas kepada beragam unit organisasi. Nilai design struktur suatu organisasi dipengaruhi oleh empat faktor yaitu tujuan-tujuan organisasi, ukuran organisasi, teknologi dan lingkungannya. Keempat faktor ini mempengaruhi suatu struktur organisasi berdasarkan kebutuhan, misalnya organisasi skala besar memiliki kebutuhan-kebutuhan berbeda dengan organisasi skala kecil dalam pembentukan unit-unit organisasi. Karena adanya perubahan dari faktor-aktor

7

Drs. H. Malayu S. P. Hasibuan, Organisasi dan Motivasi, Dasar Peningkatan Produktivitas, Penerbit Bumi Aksara, 1996, halaman 34-35


(12)

tersebut, kebutuhan untuk reorganisasi struktural pun menjadi sebuah kebutuhan bagi sebuah organisasi.

E.2.2.2. Bagan Organisasi

Menurut James A. Stoner/R. Edward Freeman, kebanyakan struktur-struktur keorganisasian terlampau kompleks untuk dijelaskan secara verbal. Guna menunjukkan struktur suatu organisasi, para manajer biasanya menyusun sebuah bagan organisasi (organization chart), yang menyajikan fungsi-fungsi, departemen-departemen, atau posisi-posisi yang ada dalam organisasi tersebut, dan bagaimana mereka berhubungan. Unit –unit terpisah dari organisasi yang bersangkutan biasanya digambarkan dalam bentuk kotak-kotak yang dihubungkan satu sama lain dengan bantuan garis-garis yang menunjukkan rantai komando dan saluran-salauran komunikasi resmi.

Ada keuntungan maupun kerugian yang berhubungan dengan bagan-bagan organisasi, dan persoalan ini sudah sejak lama menjadi ajang perdebatan antara sejumlah penulis manajemen8.

Salah satu keuntungan bagan organisasi adalah bahwa para karyawan dan pihak lain dapat memperoleh suatu gambaran tentang bagaimana kiranya organisasi yang bersangkutan terstruktur. Posisi para manajer, pihak bawahan dan tanggung jawab mereka digambarkan olehnya. Disamping itu dapat dikatakan bahwa apabila seseorang perlu menangani problem tertentu, maka bagan yang ada menunjukkan dimana orang tersebut dapat diketemukan.

8


(13)

Akhirnya dapat dikatakan pula bahwa proses penyusunan bagan organsiasi memungkinkan para manajer melacak kekurangan-kekurangan dan kelemahan-kelemahan keorganisasian seperti misalnya sumber konflik potensial, atau bidang-bidang di mana terdapat adanya duplikasi yang tidak perlu.

Kerugian utama bagan-bagan adalah bahwa banyak hal yang tersembunyikan atau tidak terlihat disana. Mereka misalnya tidak menunjukkan siapa saja misalnya memiliki tanggung jawab dan otoritas lebih besar pada setiap tingkat manajerial.

Begitu pula tidak terlihat pada bagan-bagan demikian, hubungan-hubungan informal yang bersangkutan dan saluran-saluran komunikasi, tanpa apa organsiasi yang bersangkutan tidak dapat berfungsi secara efektif.

Jadi, secara singkat, ketidaksempurnaan bagan organsiasi terletak pada kesederhanaannya dan kurangnya pencantuman aspek penting struktur lainnya.

E.2.2.3. Diferensiasi Aktivitas Organisasi

Diferensiasi diartikan sebagai suatu segmentasi sistem organisasi menjadi beberapa subsistem, yang masing-masing memiliki ciri tertentu9.

Dalam organisasi, diferensiasi berlangsung dalam dua arah, secara vertikal yang diwakili oleh hirarki organisasi dan secara horizontal yang disebut departemenisasi10.

Diferensiasi vertikal menciptakan struktur kepemimpinan, sementara

diferensiasi horizontal akan membentuk dasar departemenisasi. Bersama-sama, keduanya membentuk struktur organisasi secara formal.

9

Paul R. Lawrance dan Jay W. Lorsch, 1967;3-4

10


(14)

1. Diferensiasi Vertikal: Hirarki

Diferensiasi vertikal menghasilkan hirarki dan jumlah level dalam

organisasi. Walaupun setiap organisasi berbeda dalam hal banyaknya pembagian secara vertikal dan besarnya pembagian tersebut, setiap organisasi menunjukkan karakteristik ini. Dalam organisasi yang lebih formal, seperti organisasi militer, spesialisasi secara vertikal dibentuk melalui defenisi peran dari setiap posisi secara spesifik, dan pasti ada perbedaan status yang signifikan di antara level-level yang terbentuk.

Dalam organisasi formal, hirarki seperti ini akan menciptakan struktur dasar komunikasi dan kewenangan yang disebut rantai komando.

Posisi secara vertikal sering membentuk kewenangan dan pengaruh, hak istimewa, status dan penghargaan yang dapat dinikmati oleh orang yang mendudukinya. Diferensiasi secara vertikal ini juga berpengaruh terhadap terbentuknya piramida organisasional. Karena setiap atasan membawahi lebih dari satu orang, maka piramida organisasi cenderung membesar ke bawah.

2. Diferensiasi Horizontal: Departemenisasi

Dalam organisasi yang kompleks, spesialisasi aktivitas secara horizontal merupakan suatu hal yang penting dikarenakan kebutuhan untuk menjalankan fungsi tertentu secara efektif dan efisien.

Tiga dasar departemenisasi yang utama adalah berdasarkan fungsi, produk dan lokasi.


(15)

a. Departemenisasi berdasarkan fungsi terjadi bila aktivitas-aktivitas organisasi dibagi ke dalam fungsi-fungsi utama yang akan dijalankan. Penyusunan seperti ini memiliki keuntungan spesialisasi dan kosentrasi aktivitas yang serupa ke dalam satu unit bagian. Ini merupakan cara departemenisasi yang paling lazim digunakan.

b. Departemenisasi berdasarkan produk terutama sangat penting bagi

organisasi yang besar dan kompleks. Bentuk ini semakin banyak diadopsi dengan adanya kecenderungan ke arah diversifikasi secara heterogen.

c. Dasar departemenisasi yang ketiga adalah lokasi. Setiap aktivitas

organsiasi yang dijalankan dalam area geografis tertentu disatukan dalam satu unit. Cara ini terutama diadopsi oleh organisasi multinasional11.

E.2.3. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum

Manajemen pemilihan umum memerlukan suatu institusi atau badan/lembaga yang bertanggung jawab atas aktivitas pemilu. Lembaga seperti ini mempunyai berbagai ukuran dan bentuk yang meliputi “Komisi Pemilihan Umum”, “Departemen Pemilihan Umum”, “Unit Pemilihan” atau “ Jawatan Pemilihan Umum”. Istilah Electoral Management Body (EMB) atau Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum (LPP) telah menjadi sebuah nama yang mengacu kepada badan atau lembaga yang bertanggung jawab untuk pemilu. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai satu-satunya

11


(16)

tujuan dan menurut hukum bertanggung jawab untuk memanage beberapa atau semua unsur-unsur yang penting untuk mengadakan pemilu dan mewujudkan instrument demokrasi secara langsung.

E.2.3.1. Tiga Model dari Manajemen Pemilu

Ada tiga model dari manajemen pemilu, ketiga model yaitu :

- The Independent Model of Electoral Management

The Independent Model of electoral management exists in those countries where elections are organized and managed by an EMB which is institutionally independent and autonomous from the executive branch of government, and which has and manages its own budget. Under the Independent Model, an EMB is not accountable to a government ministry or department. It may be accountable to the legislature, the judiciary, or the head of state. EMBs under the Independent Model may enjoy varying degrees of financial autonomy and accountability, as well as varying levels of performance accountability. They are composed of members who are outside the executive while in EMB office. Many new and emerging democracies have chosen the Independent Model of electoral management. Examples of EMBs under the Independent Model include Armenia, Australia, Bosnia and Herzegovina, Burkina Faso, Canada, Costa Rica, Estonia, Georgia, India, Indonesia, Malaysia, Liberia, Mauritius, Nigeria, Poland, South Africa, Thailand and Uruguay.

Model ini terdapat di dalam Negara-negara yang proses pemilihan umumnya diorganisir oleh suatu lembaga penyelenggara pemilu yang secara istitusional independent (mandiri), tidak terikat kepada badan eksekutif, mempunyai dan mengatur anggaran sendiri. Suatu lembaga pemilu di bawah model ini tidak dipertanggungjawabkan kepada suatu departemen ataupun pemerintah. Tetapi dipertanggungjawabkan kepada badan legsitalif, yudikatif atau kepala pemerintahan lokal.

- The Governmental Model of Electoral Management

The Governmental Model of electoral management exists in those countries where elections are organized and managed by the executive branch through a ministry (such as the Ministry of the Interior) and/or through local authorities. Where EMBs under the Governmental Model exist at national level, they are led by a minister or civil servant and are answerable to a Cabinet minister. With very few exceptions they have no ‘members’. Their budget falls within a government ministry and/or under local authorities. Countries whose EMBs fall into this model include Denmark, New Zealand, Singapore, Switzerland, Tunisia, the UK (for elections but not referendums) and the United States. In Sweden, Switzerland, the UK and the United States, elections are implemented by local authorities. In Sweden and Switzerland the central EMB assumes a policy coordinating role.


(17)

Model ini terdapat dalam Negara-negara yang pemilunya diorganisir dan diatur oleh badan eksekutif melalui suatu kementrian dan/atau melalui otoritas lokal. Lembaga penyelenggara pemilu di bawah Governmental Model ada pada tingkatan nasional, mereka dipimpin oleh seorang menteri atau pegawai sipil dan dapat dipertanggungjawabkan kepada menteri. Dengan sangat sedikit pengecualian mereka tidak mempunyai ‘ anggota’. Anggaran mereka di jatuhkan pada pemerintah dan/atau di bawah otoritas lokal.

- The Mixed Model of Electoral Management

In the Mixed Model of electoral management, there are usually two component EMBs, and dual structures exist: a policy, monitoring or supervisory EMB that is independent of the executive branch of government (like an EMB under the Independent Model) and an implementation EMB located within a department of state and/or local government (like an EMB under the Governmental Model). Under the Mixed Model, elections are organized by the component governmental EMB, with some level of oversight provided by the component independent EMB. The Mixed Model is used in France, Japan, Spain and many former French colonies, especially in West Africa, for example Mali, Senegal and Togo.

Di model ini, terdapat dua komponen dari lembaga penyelenggara pemilu itu ,dan memiliki struktur rangkap : sebuah kebijakan, monitoring atau pengawasan yang tidak terikat pada badan eksekutif dari pemerintah(seperti LPP Independent Model) dan sebuah implementasi LPP yang terletak di dalam sebuah departemen dan/atau pemerintah lokal (seperti LPP Govermental Model). Di dalam Mixed Model, pemilihan diorganisir oleh komponen LPP di bidang Govermental Model, dengan level tertentu dari kesalahan yang disajikan oleh komponen LPP Independent Model12.

12


(18)

Tabel 1 Karakteristik dari ketiga model manajemen pemilu Aspect of the Model and the Component EMB(s) Independent Model Governmental Model Mixed Model Independent Component Governmental Component Independent EMB(s) Governmental EMB(s) Component Independent EMB Component Governmental EMB Institutional arrangement Is institutionally independent from the executive branch of government

Is located within or under the direction of a department of state and/ or local government

Is institutionally independent from the executive branch of government

Is located within or under the direction of a department of state and/ or local government Implementation Exercises full responsibility for implementation Implementation is subject to executive branch of

government direction

Has autonomy to monitor or supervise, and in some cases set policy for, implementation

Implementation is subject to executive branch of

government direction, and monitoring or supervision and in some cases policy setting by independent component

Formal accountability

Does not report to executive branch of government but with very few exceptions is formally accountable to the legislature, judiciary or head of state

Fully accountable to executive branch of government

Does not report to executive branch of government and is formally accountable to the legislature, the judiciary, or the head of state

Fully accountable to executive branch of government

Powers

Has powers to develop the electoral regulatory framework independently under the law*

Powers are limited to implementation

Often has powers to develop electoral regulatory framework independently under the law. Monitors or supervises those who implement elections

Powers are limited to implementation

Composition

Is composed of members who are outside the executive branch while in EMB office

Is led by a minister or public servant. With very few exceptions has no ‘members’, only a secretariat

Is composed of members who are outside the executive branch while in EMB office

Is led by a minister or public servant. Has no ‘members‘, only secretariat

Term of Office

Offers security of tenure, but not necessarily fixed term of office

Usually no members, therefore N/A. Secretariat staff are civil servants whose tenure is not secured

Offers security of tenure, but not necessarily fixed term of office

Term of office is not secured

Budget

Has and manages its own budget independently of day-to-day governmental control

Budget is a component of a government ministry’s budget or local authority budget

Has a separately allocated budget

Budget is a component of a government ministry’s budget or local authority budget

N/A = Not applicable


(19)

Lembaga Penyelenggara Pemilu Yang Permanen Dan Yang Temporer

Dalam menetukan apakah suatu lembaga penyelenggara pemilu permanent atau temporer, beban kerja sepanjang siklus pemilu perlu dipertimbangkan, dan biaya untuk memelihara lembaga yang permanen harus dibandingkan dengan waktu dan biaya yang diperlukan untuk membentuk suatu lembaga yang baru untuk setiap pemilu. Di situasi dimana pemilu dilaksanakan secara teratur, suatu LPP yang permanen dapat dipertimbangkan untuk dibentuk.

E.2.3.2. Prinsip Etika Yang Membentuk Dasar Administrasi Pemilu

Terlepas dari model apa yang digunakan, setiap lembaga penyelenggara pemilihan umum harus mematuhi prinsip etika dasar bagi administrasi pemilu. International IDEA mengemukakan lima prinsip etika untuk menjamin integritas yang tampak maupun yang aktual dari proses pemilihan, administrasi pemilu harus menaati prinsip-prinsip etika dasar yang berikut ini:

1. Prinsip Etika 1: Administrasi Pemilu Harus Menunjukkan Rasa Hormat Pada Hukum.

Keberhasilan suatu pemilu tergantung sejauh mana ia diakui sah dan mengikat para peserta dalam proses politik. Pernyataan keputusan politik penting dalam suatu bentuk legal yang jelas memberikan tingkat kepastian yang diperlukan bagi pengembangan pemahaman bersama, oleh semua peserta dalam proses, mengenai bagaimana penerapannya. Jika administrasi pemilu tidak menaati hukum, dan menerapkannya secara patut dan menjelaskan secara jelas alasan-alasan legal keputusannya, pemahaman bersama para peserta bisa terpengaruh, dan dukungan bagi proses pemilu bisa melemah.


(20)

Karena itu, sebuah administrasi pemilu harus:

- menaati hukum yang berlaku di suatu Negara.

- menjamin, sesuai dengan kerangka legal negara itu, bahwa hukum yang

berkaitan dengan pemilu sepenuhnya diterapkan secara tidak memihak dan adil.

- menjamin, sesuai dengan kerangka legal negara itu, bahwa setiap partai,

calon, pemilik suara, dan peserta lain di dalam proses pemilu diperlakukan secara adil dan jujur, dengan mempertimbangkan semua kondisi yang berlaku.

2. Prinsip Etika 2: Administarsi pemilu harus nonpartisan dan netral

Agar suatu pemilu berhasil, semua peserta dalam proses itu harus bisa percaya bahwa administrasi pemilu menjalankan tugasnya dengan cara netral secara politis. Jika orang-orang yang mengelola pemilu dianggap memiliki komitmen terhadap hasil tertentu, kredibilitas mereka akan sangat terpengaruh sehingga sukar mengembalikan kepercayaan terhadap proses itu.

Administrasi pemilu harus melaksanakan semua tugasnya dengan cara yang nonpartisan dan netral secara politis. Kadang-kadang, suatu negara menjadikan orang-orang sebagai administrator pemilu karena mereka mewakili suatu partai atau kecenderungan politik tertentu. Dalam kasus ini, meski mereka dipilih karena afiliasi politik mereka, mereka tetap harus melaksanakan tugas dengan cara yang nonpartisan dan netral secara politis. Administrator pemilu harus:


(21)

- Bertindak dengan cara yang netral dan tidak bias mengenai semua hal yang berkaitan dengan partai politik, calon, pemilik suara, atau anggota pers dan media.

- Tidak melakukan hal-hal yang bisa menunjukkan atau dilihat sebagai

dukungan partisan bagi calon, partai politik, aktor politik, atau kecenderungan politik tertentu.

- Selalu bertindak dengan cara yang tepat, memberikan pertimbangan yang

masuk akal, dan secara pribadi bertindak dengan benar.

- Menjelaskan semua persoalan yang bisa menimbulkan konflik kepentingan

dengan kewajiban-kewajiban mereka sebagai administrator pemilu.

- Tidak menerima hadiah atau imbalan apa pun dari partai politik, organisasi, atau orang yang terlibat dalam proses pemilu.

- Menolak semua pengaruh buruk, dan, kecuali diizinkan oleh hukum atau

kebiasaan, menolak menerima pengarahan berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas mereka.

- Tidak berpartisipasi dalam semua tindakan tak sah, termasuk kegiatan

pribadi apa pun, yang bisa menimbulkan konflik kepentingan yang nyata atau sekadar anggapan dengan kewajiban-kewajiban mereka sebagai administrator pemilu.

- Tidak berpartisipasi dalam semua kegiatan, termasuk tindakan pribadi, yang

dapat menimbulkan simpati terhadap salah satu calon, partai politik, aktor politik, atau kecenderungan politik.

- Tidak memberikan pandangan mengenai suatu hal yang bisa menjadi


(22)

- Tidak berkomunikasi dengan pemilik suara mengenai hal-hal yang bersifat partisan.

- Tidak mengenakan, membawa, atau memperlihatkan simbol atau warna

yang jelas-jelas memihak salah satu partai.

3. Prinsip Etika 3: Administrasi pemilu harus transparan

Agar suatu pemilu berhasil, peserta dalam proses itu harus bisa menerima keputusan administrasi pemilu. Para peserta berkemungkinan besar bisa menerima keputusan itu jika mereka bisa dengan mudah berpuas diri bahwa keputusan itu ditetapkan dengan tepat. Agar itu terjadi, mereka harus punya akses ke informasi yang menjadi dasar pembuatan keputusan.

Tentu saja, setiap pemilu akan menghasilkan data dalam jumlah besar, pangkalan data raksasa, dan banyak dokumen. Umumnya, tidaklah praktis memberikan akses, atau salinan, semua data kepada setiap orang yang menginginkannya.

Namun, administrator pemilu harus bersiap-siap untuk:

- Menjelaskan keputusan mereka

- Menyediakan informasi yang menjadi dasar setiap keputusan tanpa batasan.

- Menata akses yang efektif dan masuk akal terhadap dokumen dan informasi

yang relevan, menurut kerangka undang-undang pemilu dan kebebasan informasi di negara yang bersangkutan.

Selain itu, administrator dan administrasi pemilu harus:

- Menjamin bahwa agen setiap partai politik atau calon dapat secara penuh


(23)

- Berkonsultasi dengan para peserta proses pemilu secara teratur, dan berkaitan dengan pengambilan keputusan tertentu, bila kondisi memerlukannya.

- Memberikan penjelasan, sebagai jawaban atas pertanyaan yang beralasan,

terhadap keputusan yang dibuat sebagai bagian dari proses pemilu, atau keputusan yang dibuat sebagai bagian dari kerja seharihari administrasi pemilu.

- Membentuk sistem yang memungkinkan pihak-pihak nyang berminat untuk

mendapatkan akses, dalam waktu sesingkat-singkatnya, terhadap semua informasi, dokumen, dan pangkalan data yang digunakan dalam proses pemilu, atau digunakan dalam kerja seharihari administrasi pemilu.

- Membuka semua kelemahan dalam administrasi suatu pemilu jika

ditemukan.

4. Prinsip Etika 4: Administrasi pemilu harus akurat

Berkaitan dengan diskusi dalam Prinsip Etika 3 bahwa, agar keputusan administrator pemilu bisa memuaskan semua peserta, informasi yang menjadi dasar keputusan haruslah tepat dan dapat dibuktikan. Informasi yang tidak akurat atau tindak andal bias melemahkan keyakinan terhadap administrator dan kompetensinya. Administrator dan administrasi pemilu harus menjalankan semua tugasnya dengan dasar standar akurasi informasi dan obyektivitas analisis yang tinggi. Secara khusus, mereka harus:

- Menjamin bahwa informasi dikumpulkan, dirangkai, dan dipublikasikan


(24)

- Melakukan semua yang perlu, sesuai kerangka hukum negara yang bersangkutan, untuk menjamin bahwa semua informasi yang mereka rangkai, gunakan, dan terbitkan memiliki dasar faktual yang kuat.

5. Prinsip Etika 5: Administrasi pemilu harus dirancang untuk melayani para pemilik suara

Administrator dan administrasi pemilu harus berusaha untuk menyediakan bagi semua pemilik suara layanan terbaiknya untuk memungkinkan semua pemilik suara menggunakan hak dengan sesedikit mungkin ketidaknyamanan, sesuai dengan keadaan dan kerangka hukum negara yang bersangkutan. Secara khusus, mereka harus:

- Sebisa mungkin memudahkan para pemilik suara untuk berpartisipasi dalam

proses pemilu.

- Menjamin bahwa para pemilik suara cukup memahami proses pemilu.

- Melakukan apa saja yang mungkin untuk menyediakan cara memberikan

suara bagi orang-orang dengan kebutuhan khusus, seperti tunatetra, tunadaksa, tuna-aksara, atau mereka yang tinggal di wilayah terisolasi13.

Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Multi-Partai

Di kebanyakan negara, khususnya yang sudah mengalami transisi yang sulit dari aturan otoriter ke demokrasi multi partai lebih memilih keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu yang multi-partai. Keanggotaan LPP yang multi-partai terdiri

13

Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum : Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu Seri Buku Panduan International IDEA, 2002


(25)

dari gabungan calon-calon perwakilan partai politik. Kerangka hukum memperbolehkan partai politik untuk menunjuk calon-calon mereka untuk diwakilkan di dalam badan penyelenggara pemilu tersebut.

Pemilihan seperti ini sering menyiratkan bahwa para anggota LPP yang terdiri dari perwakilan parta-partai peserta pemilu, untuk bekerja sebagai wakil dari partai politiknya dan memanage proses pemilu atau memastikan bahwa partai mereka terlindungi dalam pencalonan. Walaupun dari luar mereka terlihat sebagai partisan, pada dasarnya mereka diharuskan untuk tidak mengambil keuntungan dari posisi mereka, sehingga suautu badan penyelenggara pemilu dapat dipandang sebagai lembaga yang dapat dipercaya dan netral oleh masyarakat.

Anggota LPP yang multi-partai menjabat setelah ditetapkan dan tidak dapat dipecat atau diberhentikan kecuali ada penyebabnya, seperti adanya pelanggaran atas tugas-tugas mereka. Di beberapa Negara, para calon wakil dari partai politik bagi suatu LPP adalah orang-orang yang dianggap istimewa yang mampu dan sangat diperlukan dalam menjaga kenetralan dan memiliki profesionalitas kerja yang tinggi. Dengan begitu mereka tidak bertindak sebagai wakil partai politik mereka dengan tujuan keuntungan bagi partai mereka itu.

Di sisi lain, suatu lembaga penyelenggara pemilu yang multi partai dapat mengancam atau menyebabkan kepincangan dalam pengambilan keputusan, terutama situasi dimana kehadiran para politikus tersebut dapat mengikis kerahasiaan diberbagai hal seperti keamanan surat suara. Lembaga penyelenggara pemilu yang multi-partai juga menghasilkan ketidakpuasan, terutama diantara partai minoritas atau partai yang tidak memiliki wakil di dalam lembaga penyelenggara pemilu tersebut.


(26)

Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Non-Partai

Lembaga penyelenggara pemilu yang Non-Partai atau expert-based (berdasarkan ahli) memiliki kerangka hukum yang menetapkan keanggotaan individu-individu di suatu lembaga penyelenggara pemilu berdasarkan profesionalitas mereka. Anggota LPP ini dicalonkan oleh masyarakat sipil atau juga partai politik, tetapi hal ini tidak menyiratkan bahwa mereka diarahkan oleh partai tersebut.

Kualifikasi untuk menjadi anggota lembaga penyelenggara pemilu yang non partai ini meliputi kenetralan, batasan usia, profesionalitas dan pengetahuan mengenai pemilu. Para calon anggota sering merupakan public figure yang dikenal dengan kenetralan politis dan memiliki keahlian di bidang hukum, administrasi pemerintahan, ilmu politik atau media. Keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu seperti ini terdapat di Negara Australia, Bangladesh, Canada, Costa Rica, India, Indonesia, Poland, Thailand dan Ukraina. Hukum di Negara-negara tersebut menetapkan bahwa para anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut sebelumnya tidak pernah aktif dalam partai politik dan bukan anggota suatu parpol ketika menjadi anggota suatu LPP.

Lembaga Penyelenggara Pemilu dengan Kedua Model Keanggotaan

Beberapa kerangka hukum pemilu menetapkan bahwa suatu lembaga penyelenggara pemilu harus mempunyai anggota yang terdiri dari gabungan perwakilan partai politik dan anggota non-partai, seperti hakim, akademis, atau perwakilan tokoh masyarakat. Contohnya di Côte d’Ivoire, anggota lembaga penyelenggara pemilu dipilih dari partai politik, masyarakat sipil dan orang


(27)

pemerintahan. Keuntungan dari keduanya dapat dikombinasikan, yaitu menghasilkan lembaga yang adil yang mempunyai perwakilan partai politik didalamnya dan ketransparanan dari para tokoh masyarakat dalam mengoperasikan lembaga penyelenggara pemilu itu.

Seperti lembaga penyelenggara pemilu yang multi partai, model kombinasi ini dapat membuat pengambilan keputusan menjadi sulit, contohnya di Indonesia pada tahun 1999, Indonesia memiliki lembaga penyelenggara pemilu seperti ini dan tidak dapat mengesahkan hasil pemilu dikarenakan para anggota yang mewakili beberapa partai minoritas menolak untuk mengesahkan hasil pemilu kecuali jika partai mereka dialokasikan14.

Keanggotaan Lembaga Penyelenggara Pemilu yang Full-time atau

Part-time

Apakah keanggotaan lembaga penyelenggara pemilu lebih sesuai untuk posisi full-time atau part-time, akan tergantung pada keadaan pemilu dan administratifnya. Dalam lembaga penyelenggara pemilu yang permanen, beban kerja ada sepanjang siklus pemilu itu dan menuntut anggotanya menjadi anggota yang full-time dan harus siap sedia untuk konsultasi atau membuat keputusan yang cepat. Anggota lembaga penyelenggara pemilu yang full-time mungkin merupakan pilihan yang tepat bagi suatu situasi aktivitas pemilu yang selalu berulang.

Dalam lembaga penyelenggara pemilu yang temporer, keanggotaan yang full-time boleh jadi sesuai, apabila terdapat keraguan tentang tingkat kenetralan dan kemampuan dari staff sekretariat lembaga penyelenggara pemilu itu. Beberapa

14


(28)

kerangka hukum pemilu suatu Negara membuat keanggotaan yang full time, seperti di Indonesia.

Di sisi lain, bagi Negara-negara dimana waktu pemilu telah ditetapkan dan para anggota dibatasi tanggung jawabnya dalam suatu pemilu, sebaiknya mempunyai anggota yang part-time. Pengaturan ini digunakan di Negara-negara seperti Armenia dan Kamboja. Keuntungan dari memiliki anggota yang full-time harus selalu ditimbang dari biaya jasa mereka, dimana mereka juga harus digaji selama bertahun-tahun sebelum pemilu selanjutnya dilaksanakan15.

Jumlah Anggota Lembaga Penyelenggara Pemilu

Secara umum kerangka hukum pemilu harus menetapkan banyaknya anggota suatu lembaga penyelenggara pemilu. Banyaknya anggota dari suatu lembaga penyelenggara pemilu sangat bervariasi diseluruh dunia dan tidak dipengaruhi oleh ukuran besar-kecilnya suatu Negara. Memiliki anggota yang banyak boleh menyediakan penyajian yang lebih luas, sedangkan jumlah yang sedikit dapat memudahkan pengambilan keputusan dan diskusi.

Anggota lembaga penyelenggara pemilu yang multi-partai cenderung untuk memiliki banyak anggota, hal tersebut dilakukan agar dapat menunjukan suatu kenetralan dari minat politis, sedangkan badan penyelenggara pemilu yang terdiri dari para ahli atau non partai, cenderung untuk mempunyai lebih sedikit anggota16.

15

Electoral Management Design, The International IDEA Handbook , 2006, hal 90

16


(29)

Masa Kerja Anggota Lembaga Penyelenggara Pemilu

Dalam lembaga penyelenggara pemilu yang permanen, anggota memiliki masa kerja yang jelas. Di Malaysia, anggota LPP memiliki masa kerja yang tidak ditentukan, maksudnya sekali diangkat anggota dapat terus menjabat sampai mencapai umur yang ditentukan untuk mengundurkan diri, kecuali jika mereka dipindahkan atau berhenti.

Keuntungan dari membatasi masa kerja anggota adalah bahwa lembaga penyelenggara pemilu dapat terus memiliki gagasan-gagasan baru dari para anggota baru. Bagaimanapun pada sisi lain, praktek seperti itu dapat mengikis pengalamaan kelembagaan, terutama jika anggota hanya menjabat dalam sekali pemilu saja. Sehingga ketika anggota baru mulai bertugas, lembaga penyelenggara pemilu harus mulai dari awal lagi dikarenakan orang-orang baru tersebut belum berpengalaman duduk di LPP. Banyak undang-undang pemilu diberbagai Negara menetapkan batasan waktu/ periode untuk anggota lembaga penyelenggara pemilu, Afrika Selatan membatasi anggotanya untuk bertugas hanya dalam dua periode pemilu saja17.

Perekrutan dan Pengangkatan Anggota Lembaga Penyelenggara

Pemilu

Proses untuk menetapkan anggota lembaga penyelenggara pemilu secara umum digambarkan dalam undang-undang pemilu, dan metode perekrutan dan pengangkatan digambarkan di kerangka hukum pemilu. Pengangkatan formal dapat

17


(30)

dilakukan oleh kepala pemerintah, badan hukum, lembaga eksekutif, partai politik dan juga dapat secara konsultatif atau sepihak.

Perekrutan dan pengangkatan dapat dilakukan dengan pencalonan tertutup atau melalui iklan yang terbuka, meliputi beberapa test pribadi atau umum. Proses perekrutan yang terbuka sangat cocok untuk lembaga penyelenggara pemilu yang terdiri dari para ahli (non-partisan) dibanding dengan lembaga penyelenggara pemilu yang anggotanya secara keseluruhan dicalonkan oleh partai-partai politik.

- Pencalonan Melalui Kepala Pemerintah dan Konfirmasi oleh Legislatif

Di beberapa Negara, proses penetapan anggota lembaga penyelenggara pemilu non partai dilakukan oleh kepala pemerintah, yang mencalonkan beberapa kandidat untuk disetujui lembaga legislatif. Pembagian kekuasaan dalam pengangkatan anggota lembaga penyelenggara pemilu antara lembaga eksekutif dan legislatif memberikan keseimbangan dalam prosedur pengangkatan, hal ini dapat meningkatkan kualitas dari proses tersebut. Jika hanya salah satu lembaga pemerintah, khususnya eksekutif, yang mempunyai hak untuk mengangkat anggota, bahayanya ialah bahwa orang-orang yang diangkat dengan cara seperti itu sekalipun mereka orang-orang berintegritas, mungkin dapat dirasa oleh public (khususnya oleh partai oposisi) sebagai pion menetapkan kekuasaan. Sekalipun jika kekuasaan untuk pengangkatan anggota lembaga penyelenggara pemilu terbagi di antara eksekutif dan legislatif, perjanjian ini akan terbelenggu jika partai yang sama menguasai kedua lembaga. Dalam hal ini persayaratan dari dua pertiga mayoritas di legislatif untuk menyetujui pengangkatan anggota bisa menjadi perbaikan yang bermanfaat.


(31)

- Pengangkatan Secara Sepihak Anggota Oleh Salah Satu Lembaga Pemerintah Apabila anggota lembaga penyelenggara pemilu diangkat secara sepihak, contohnya oleh kepala pemerintah, persetujuan lain tidak diperlukan dan mungkin tidak ada konsultasi atau nasehat yang diterima dari lembaga lain, seperti legislatif, partai politik atau masyarakat sipil, sebelum pengangkatan anggota dilakukan. Jika kepala pemerintah tetap melakukan konsultasi atau meminta pendapat, hal tersebut hanyalah sesuatu yang bersifat informal.

Di Negara-negara seperti India, Malaysia dan Senegal, kepala pemerintah mengangkat para anggota LPP secara sepihak. Pengangkatan secara sepihak ini dilakukan oleh eksekutif. Hal ini banyak dikritik oleh para analis, yang berargumen bahwa hal tersebut bisa mendorong terjadinya pengangkatan anggota yang merupakan simpatisan parpol atau pemerintah, bukannya orang-orang yang netral18.

Kualifikasi Pengangkatan Anggota

Kualifikasi yang diperlukan dalam pengangkatan anggota lembaga penyelenggara pemilu secara terperinci dimuat dalam undang-undang pemilu suatu Negara, yang secara umum tergantung pada apakah anggota lembaga penyelenggara pemilu tersebut terdiri dari wakil partai atau non-partisan.

Untuk lembaga penyelenggara pemilu yang multipartai, hal tersebut secara umum dilakukan oleh partai politik untuk menggunakan kriteria mereka sendiri dalam memilih wakil mereka, seperti hirarki senioritas di partai tersebut, keanggotaan partai atau kulaifikasi professional. Untuk lembaga penyelenggara

18


(32)

pemilu yang non-partai, undang-undang pemilu dapat menggambarkan kualifikasi pribadi yang luas bagi para anggota, seperti di Indonesia dan Mexico, hukum dapat bersandar pada perilaku dan fungsi yang diharapkan dari anggota untuk menggambarkan kualitas anggota yang akan diangkat. Hal tersebut adalah wajar untuk mengharapkan anggota untuk memiliki kriteria dari kemapuan professional dan kenetralan politis. Di beberapa Negara kecakapan professional meliputi pengalaman dan pelatihan di bidang hukum. Khususnya bagi ketua, yang dalam banyak Negara harus merupakan seorang hakim (di Slovenia) atau pernah menjabat sebagai hakim (Australia). Di Rusia, anggota lembaga penyelenggara pemilu harus mempunyai pendidikan hukum ditingkat universitas, sedangkan di Thailand dan Lithuania, anggota LPP sedikitnya harus seorang sarjana.

Persyaratan formal lain bagi anggota suatu LPP secara umum meliputi kewarganegaraan dan usia. Di Sierra Leone dan Thailand, orang yang bukan warganegara tidak dapat dipilih atau dicalonkan untuk menjadi anggota. Di Mexico, anggota sedikitnya harus berusia 25 tahun.

Undang-undang pemilu dibeberapa Negara mengidentifikasikan orang-orang yang tidak boleh diangkat sebagai anggota. Untuk lembaga penyelenggara pemilu di bawah Independent Model dan komponen Independent Model dibawah Mixed Model, meliputi ketidakcocokan dari posisi, sebagai contoh anggota tidak boleh merupakan anggota dari suatu partai politik atau secara bersamaan memegang suatu jabatan dari pemerintahan. Penghalang lain bagi keanggotaan ialah salah satunya dalam hal kualifikasi kesehatan, yang bagi beberapa pihak merupakan suatu diskirminasi yang tersembunyi19.

19


(33)

E.3. Pemilihan Umum 2004 di Indonesia

Pemilihan Umum (pemilu) legislatif di Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004 merupakan pemilu terbesar di dunia dan paling rumit yang pernah diselenggarakan dalam satu hari, dan pemilu presiden yang dilakukan dalam dua putaran pada tanggal 5 Juli dan 20 September merupakan pemilihan presiden secara langsung yang baru pertama kali dilakukan dalam sejarah Indonesia.

Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada Pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden (sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden). Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah, seperti Pemilu 1999. Pada Pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah. Hal yang berbeda juga terlihat dengan dibentuknya lembaga baru, yaitu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPD), yang memungkinkan kandidat perseorangan, di samping partai politik, untuk menjadi peserta Pemilihan Umum 2004.

Pemilihan umum 2004 diselenggarakan dengan landasan hukum sebagai berikut:

1. Undang-undang Dasar yang disahkan tahun 1945 dan diubah empat kali

antara tahun 1999 dan 2002.

2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.


(34)

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

5. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi.

(Kerangka Hukum untuk pemilu 2004 di Indonesia20.

Pemilihan Umum 2004 ini diikuti oleh 24 partai politik, 448.705 kandidat dan menelan biaya sebanyak Rp. 4,45 triliun yang terdiri atas APBN sebesar Rp. 3.85 triliun dan dana APBD sebesar Rp. 600 miliar. Ditambah 32,367 juta dollar AS. Penyelenggara Pemilu adalah KPU yang terdiri dai 11 anggota independen dan non partisan.

Pemilihan Umum 2004 di bagi maksimal tiga tahap (minimal dua tahap) :

1. Tahap pertama (atau "Pemilu legislatif") adalah Pemilu untuk memilih partai politik (untuk persyaratan Pemilu presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap pertama ini telah dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004.

2. Tahap kedua (atau "Pemilu presiden putaran pertama") adalah untuk

memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden secara langsung. Tahap kedua ini telah dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004.

3. Tahap ketiga (atau "Pemilu presiden putaran kedua") adalah babak terakhir yang dilaksanakan hanya apabila pada tahap kedua belum ada pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen (Bila keadaannya demikian, dua pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak akan diikutsertakan pada Pemilu presiden putaran kedua. Akan tetapi, bila pada Pemilu presiden putaran pertama sudah ada pasangan calon yang

20


(35)

mendapatkan suara lebih dari 50 persen, pasangan calon tersebut akan langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden). Tahap ketiga ini telah dilaksanakan pada tanggal 20 September 2004.

Pemilu legislatif adalah tahap pertama dari rangkaian tahapan Pemilu 2004. Pemilu legislatif ini diikuti 24 partai politik, dan telah dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pemilu ini bertujuan untuk memilih partai politik (sebagai persyaratan Pemilu Presiden) dan anggotanya untuk dicalonkan menjadi anggota DPR, DPRD, dan DPD. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu pada Pemilu presiden putaran pertama.

Pemilu legislatif pada Pemilu 2004 ini diikuti 24 partai politik, yaitu:

- Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

- Partai Buruh Sosial Demokrat

- Partai Bulan Bintang

- Partai Merdeka

- Partai Persatuan Pembangunan

- Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

- Partai Perhimpunan Indonesia Baru

- Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

- Partai Demokrat

- Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

- Partai Penegak Demokrasi Indonesia

- Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia


(36)

- Partai Karya Peduli Bangsa

- Partai Kebangkitan Bangsa

- Partai Keadilan Sejahtera

- Partai Bintang Reformasi

- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

- Partai Damai Sejahtera

- Partai Golongan Karya

- Partai Patriot Pancasila - Partai Sarikat Indonesia

- Partai Persatuan Daerah


(37)

Hasil Pemilu legislatif pada Pemilu 2004 adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Hasil perolehan suara masing-masing partai politik Nomor

Urut

Nama partai politik Jumlah suara Persen Jumlah kursi

1 PNI Marhaenisme 923.159 0,81% 1 2. Partai buruh sosial democrat 636.397 0,56% 0

3. Partai Bulan Bintang 2.970.487 2,62% 11

4. Partai Merdeka 842.541 0,74% 0

5. Partai Persatuan Pembangunan

9.248.764 8,15% 58

6. Partai Persatuan Demokrasi

Kebangsaan 1.313.654 1,16% 5

7. Partai Perhimpunan

Indonesia Baru 672.952 0,59% 0 8. Partai Nasional Banteng

Kemerdekaan 1.230.455 1,08% 1

9. Partai Demokrat 8.455.225 7,45% 57 10. Partai Keadilan dan

Persatuan Indonesia 1.424.240 1,26% 1

11. Partai Penegak Demokrasi

Indonesia 855.811 0,75% 1

12. Partai Persatuan Nahdlatul

Ummah Indonesia 895.610 0,79% 0

13. Partai Amanat Nasional 7.303.324 6,44% 52

14. Partai Karya Peduli Bangsa 2.399.290 2,11% 2

15. Partai Kebangkitan

Bangsa (*) 11.989.564 10,57% 52

16. Partai Keadilan Sejahtera 8.325.020 7,34% 45

17. Partai Bintang Reformasi 2.764.998 2,44% 13

18. Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53% 109

19. Partai Damai Sejahtera 2.414.254 2,13% 12

20. Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58% 128

21. Partai Patriot Pancasila 1.073.139 0,95% 0 22. Partai Sarikat Indonesia 679.296 0,60% 0 23. Partai Persatuan Daerah 657.916 0,58% 0 24. Partai Pelopor 878.932 0,77% 2

Jumlah


(38)

Setelah Pemilu legislatif selesai, partai yang memiliki suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya untuk maju ke Pemilu presiden putaran pertama. Apabila dalam Pemilu ini ternyata ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka pasangan calon itu langsung diangkat menjadi presiden dan wakil presiden. Selebihnya, Pemilu presiden putaran kedua akan diselenggarakan dengan dua pasangan calon dengan suara terbanyak. Pemilu presiden putaran pertama 2004 ini diikuti oleh 5 pasangan calon presiden dan wakil presiden, dan telah diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004. Hasil pemilu ini sendiri telah diumumkan pada tanggal 26 Juli 2004, dengan hasil masih perlu diadakan pemilu presiden putaran kedua karena belum adanya pasangan calon yang mendapatkan suara paling tidak 50 persen.

Hasil Pemilu presiden putaran pertama telah selesai dihitung dan telah diumumkan oleh KPU pada tanggal 26 Juli 2004. Berikut ini adalah hasil perhitungannya :

Tabel 3 Nomor urut

Nama pasangan calon presiden dan calon wakil presiden

Jumlah suara Persentase

1. H. Wiranto, SH. Ir. H. Salahuddin Wahid

26.286.788 22,15% 2. Hj. Megawati Soekarnoputri

KH. Ahmad Hasyim Muzadi

31.569.104 26,61%

3. Prof. Dr. HM. Amien Rais Dr. Ir. H. Siswono Yudohusodo

17.392.931 14,66% 4. H. Susilo Bambang Yudhoyono

Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla

39.838.184 33,57%

5. Dr. H. Hamzah Haz H. Agum Gumelar, M.Sc.

3.569.861 3,01% Jumlah

suara sah


(39)

Sesuai hasil Pemilu presiden putaran pertama di atas, yaitu belum ada pasangan calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka diadakanlah Pemilu presiden putaran kedua 2004. Pasangan-pasangan calon yang mengikuti Pemilu presiden putaran kedua 2004 ini adalah dua pasangan calon dengan yang memperoleh suara terbanyak pada pada Pemilu presiden putaran pertama 2004 yang lalu. Pemilu ini diadakan pada tanggal 20 September 2004.

Ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (yang memperoleh suara terbanyak pada Pemilu presiden putaran pertama) yang dicalonkan di Pemilu presiden putaran kedua 2004, yaitu :

- Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (dicalonkan

oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan)

- H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla

(dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia).

Hasil Pemilu presiden putaran kedua telah selesai dihitung dan telah diumumkan oleh KPU pada tanggal 4 Oktober 2004 melalui Keputusan KPU nomor 98/SK/KPU/2004. Berikut ini adalah hasil perhitungannya :

Tabel 4 Tabel hasil perolehan suara masing-masing pasangan calon Nomor Urut

Nama Pasangan Calon Presiden

dan Calon Wakil Presiden Jumlah Suara Persentase

2. Hj. Megawati Soekarnoputri KH. Ahmad Hasyim Muzadi

44.990.704 39,38% 4. H. Susilo Bambang Yudhoyono

Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla

69.266.350 60,62% JUMLAH

SUARA SAH

114.257.054 100,00%

Sesuai dengan hasil pemilu presiden putaran kedua di atas, maka pasangan calon pemenang Pemilu, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, akan


(40)

menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Pelantikannya sendiri telah diadakan pada tanggal 20 Oktober 2004 oleh MPR, dalam acara pelantikan yang - untuk pertama kalinya - dihadiri pemimpin-pemimpin negara sahabat, yaitu: PM Australia John Howard, PM Singapura Lee Hsien Loong, PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi, PM Timor Timur Mari Alkatiri, dan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah serta 5 utusan-utusan negara lainnya. Dalam sebuah langkah yang kontroversial, presiden sebelumnya, Megawati Soekarnoputri menolak menghadiri acara pelantikan tersebut. Pada malam hari yang sama, sekitar pukul 23.50 WIB, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan anggota kabinet yang baru, yaitu Kabinet Indonesia Bersatu21.

E.4. Pilihan Raya Umum 2004 di Malaysia

Sejak tahun 1957, Malaysia menetapkan sistem politik banyak partai

(multy-party) dimana partai politik yang memperoleh suara terbanyak di Parlemen (Dewan

Rakyat) dan Dewan Undangan Negeri bisa ikut merumuskan kebijakan atau undang-undang Kerajaan Persekutuan atau Negeri. Sistem yang digunakan di Malaysia berasaskan 'First-Past-The-Post-System'. Ini berarti calon-calon yang memperoleh suara terbanyak akan dinyatakan sebagai pemenang di bagian pilihan raya yang ada.

Untuk memudahkan pelaksanaan Pilihan Raya, beberapa undang-undang dan peraturan telah dibuat untuk memastikan prosedur pilihan raya dilaksanakan dengan

21


(41)

benar. Undang-undang dan peraturan-peraturan-peraturan yang dibuat adalah seperti berikut:

- Perlembagaan Persekutuan

- Perlembagaan Negeri

- Akta Pilihan Raya, 1958 (Akta 19)

- Akta Kesalahan Pilihan Raya, 1954 (Akta 5)

- Peraturan-peraturan (Penjalanan Pilihan Raya) Pilihan Raya, 1981

- Peraturan-peraturan (Pendaftaran Pemilih) Pilihan Raya, 2002

- Peraturan-peraturan (Mengundi Melalui Pos) Pilihan Raya, 2003

Semua undang-undang dan peraturan-peraturan ini berkaitan secara langsung dengan proses pilihan raya. Walau bagaimanapun terdapat juga beberapa undang-undang yang meskipun tidak mempunyai kaitan secara langsung dengan proses pilihan raya, tetapi memiliki peranan dalam kelancaran pelaksanaan pilihan raya. Itu termasuk Akta Polis 1962; Akta Hasutan 1970; Akta Rahsia Rasmi 1972; dan Akta Keselamatan Dalam Negeri, 1960.

Sedangkan dalam pelaksanaan Pilihan Raya 2004 telah melibatkan beberapa undang-undang dan peraturan-peraturan pilihan raya yang baru yang diperkenalkan untuk pertama kali dalam pilihan raya 2004 kemarin. Undang undang dan peraturan tersebut adalah :

- Akta Kesalahan Pilihan Raya 1954 (Seksyen 4A, 14 (1), 14(1A), 19(1),

24A(1), 24A(2), 24B(3), 24B(4), 24B(7), 24B(8), 24B(9), 26(1)(b),


(42)

- Peraturan-Peraturan Pilihan Raya (Penjalanan Pilihan Raya) 1981 (Peraturan 4(4)(c), 4(4)(d), 4(8), 5(1), 6(2), 6(5)dan 7(2), 7(4), 9(1), 11(2)(e),

11(7)(8)(9), 11(10), 12(2), 14(A), 15(3), 18(2A), 18(2B), 18(3), 22, 25(1A), 25D(5B), 25F)

Dalam sistem pilihan raya yang diamalkan di Malaysia, seorang calon dipilih untuk mewakili penduduk-penduduk di dalam bagian pilihan raya di Parlemen (Pilihan Raya Umum) dan Dewan Undangan Negeri (Pilihan Raya Negeri). Hingga kini terdapat 219 kursi Dewan Rakyat (Parlemen) dan 567 kursi Dewan Undangan Negeri.

Pada 2 Maret 2004, Parlemen Malaysia dan semua Dewan Undangan Negeri (kecuali Sarawak) dibubarkan oleh Yang di-Pertuan Agong atas nasehat Perdana Menteri. Pengecualian Sarawak disebabkan pilihan raya negerinya yang terakhir telah diadakan pada tahun 2001 dan karena itu, pilihan raya yang berikutnya tidak cukup waktu hingga 2006. Pilihan Raya Umum Malaysia 2004 diadakan sembilan bulan lebih awal dari keperluan yang ditetapkan oleh Perlembagaan Malaysia.

Perlembagaan Malaysia memerlukan Parlemen untuk memperoleh mandat yang baru setiap lima tahun, dan diadakan dalam waktu 60 hari sesudah parlemen dibubarkan. Oleh karena itu, kerajaan Malaysia mempunyai masa hingga akhir November 2004 untuk mengadakan pilihan raya umumnya. Pilihan Raya Umum Malaysia 2004 telah dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2004 yang menetapkan Barisan Nasional (BN) yang diketuai Perdana Menteri Dato’ Seri Abdullah Ahmad Badawi sebagai partai dengan suara terbanyak.

Penyelenggara Pilihan Raya 2004 juga tidak berubah sejak 1957, yaitu Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) yang bebas daripada Badan Eksekutif, untuk


(43)

memelihara, menyelia, dan mengekalkan proses demokrasi di Malaysia melalui pilihan raya yang bebas dan adil. SPR terdiri dari tujuh anggota, yaitu seorang Ketua, seorang wakil ketua, serta lima orang anggota yang dilantik oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong setelah berunding dengan Majlis Raja-Raja.

Untuk menjalankan fungsinya serta melaksanakan keputusan-keputusan nya, maka sebuah Urus Setia (Sekretariat) di bentuk. Urus Setia ini, yang diketuai oleh seorang Setiausaha (Sekretaris) yang merupakan Ketua Pegawai Pentadbir, mempunyai 14 kantor di setiap negeri di Malaysia, dengan masing-masing diketuai oleh seorang Pengarah Pilihan Raya Negeri. Anggota-anggota kantor pilihan raya negeri, bersama-sama dengan Ketua Pegawai Pentadbir, dilantik dari Perkhidmatan Awam Malaysia.

Dalam Pilihan Raya 2004 ini diikuti sebanyak 17 partai dan satu calon bebas. 14 partai tergabung dalam Barisan Nasional (BN) dan 2 partai tergabung dalam Barisan Alternatif. Dan menelan biaya 35 Juta Dollar AS.

Partai-partai tersebut yaitu:

- Barisan Nasional

1. Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (United Malays National

Organization, UMNO)

2. Persatuan China Malaysia (Malaysian Chinese Association, MCA)

3. Kongres India Se-Malaysia (Malaysian Indian Congress, MIC)

4. Parti Gerakan Rakyat Malaysia (Malaysian People's Movement Party,


(44)

5. Parti Pesaka Bumiputera Bersatu (United Traditional Bumiputera Party, PBB)

6. Parti Rakyat Bersatu Sarawak (Sarawak United People's Party, SUPP)

7. Parti Rakyat Bersatu Sarawak (Sarawak United People's Party, SUPP)

8. Parti Demokratik Progresif Sarawak (Sarawak Progressive Democratic

Party, SAPP)

9. Parti Bersatu Sabah (United Sabah Party, PBS)

10.Pertubuhan Pasok Momogun Kadazandusun Bersatu (United

Pasokmomogun Kadazandusun Murut Organisation, UPKO)

11.Parti Maju Sabah (Sabah Progressive Party, SAPP)

12.Parti Bersatu Rakyat Sabah (United Sabah People's Party)

13.Parti Progresif Penduduk Malaysia (People's Progressive Party, PPP) 14.Parti Liberal Demokratik (Liberal Democratic Party, LDP)

- Barisan Alternatif

1. Parti Islam SeMalaysia (Islamic Party of Malaysia, PAS) 2. Parti Keadilan Rakyat (People's Justice Party, PKR)

- Parti Tindakan Demokratik (Democratic Action Party, DAP)

- Non-Partisan

Barisan Nasional mendapat suara sebanyak 63,9 persen, tetapi dapat lebih tinggi lagi apabila semua kursi dipertandingkan. Laporan dalam media Malaysia pada 23 Maret 2004 menunjukkan BN memenangkan 198 kursi parlemen, sedangkan partai oposisi hanya mendapat 20 kursi dengan satu calon bebas. Ini merupakan perolehan suara terbanyak bagi BN sejak tahun 1978.


(45)

Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu (UMNO), partai utama dalam Barisan Nasional memenangkan 109 kursi, menunjukkan kenaikan sebanyak 32 kursi di banding pilihan raya sebelumnya. Partai-partai sekutu UMNO juga memperoleh kenaikan jumlah kursi, dengan persatuan Cina Malaysia (MCA) memenangkan 31 kursi, naik 2 kursi di banding pilihan raya sebelumnya, dan Kongres India Se-Malaysia (MIC) memenangkan 9 kursi, naik 2 kursi juga.

Partai Islam Se-Malaysia (PAS) hanya dapat mempertahankan tujuh

daripada 27 kursinya. PAS bertanding berdasarkan manifesto yang berjanji terbentuknya sebuah Negara Islam. Datuk Seri Abdul Hadi Awang, ketua oposisi PAS, gagal untuk mempertahankan kursi parlemennya.

Partai oposisi lainnya yaitu Partai Keadilan, gagal untuk mempertahankan empat dari lima kursinya. Sesudah penghitungan ulangi sebanyak lima kali, ketua partai Datin Deri Wan Azizah Wan Ismail (isteri mantan wakil perdana menteri Datuk seri Anwar Ibrahim), mempertahankan kursinya dengan mayoritas sebanyak 590 suara.

Partai Tindakan Demokratik (DAP), partai oposisi ketiga yang jatuh dalam Pilihan Raya 1999, memperbaiki prestasinya dengan pemilihan kembali ketua Lim Kiat Siang serta wakilnya Karpal Singh. DAP memenangi 12 kursi dan memperoleh kembali kepemimpinan oposisi yang resmi dalam parlemen Negara daripada PAS.


(46)

Tabel 5Keputusan Pilihanraya 21 Maret 2004 Dewan Rakyat Partai Jumlah suara Persen Jumlah Kursi +/- National Front (Barisan Nasional): 4,420,452 63.9 198 +51

United Malays National Organization

(Pertubuhan Kebangsaan Melayu Bersatu, UMNO) 2,483,249

35.9 109 +38 Malaysian Chinese Association (Persatuan

China Malaysia, MCA)

1,074,230 15.5 31 +2 Malaysian Indian Congress (Kongres India

Se-Malaysia, MIC)

221,546 3.2 9 +2 Malaysian People's Movement Party (Parti

Gerakan Rakyat Malaysia, Gerakan)

257,763 3.7 10 +4 United Traditional Bumiputera Party (Parti

Pesaka Bumiputera Bersatu, PBB)

383,664 5.5 11 +55 Sarawak United People's Party (Parti Rakyat

Bersatu Sarawak, SUPP)

6

Sarawak United People's Party (Parti Rakyat Bersatu Sarawak, SUPP)

6 Sarawak Progressive Democratic Party (Parti

Demokratik Progresif Sarawak, SAPP)

4 United Sabah Party (Parti Bersatu Sabah, PBS) 4 United Pasokmomogun Kadazandusun Murut

Organisation (Pertubuhan Pasok Momogun Kadazandusun Bersatu, UPKO)

4

Sabah Progressive Party (Parti Maju Sabah, SAPP)

2 United Sabah People's Party (Parti Bersatu

Rakyat Sabah)

1 People's Progressive Party (Parti Progresif

Penduduk Malaysia, PPP)

1 Liberal Democratic Party (Parti Liberal

Demokratik, LDP)

-

Democratic Action Party (Parti Tindakan Demokratik, DAP)

687,340 9.9 12 +2 Alternative Front (Barisan Alternatif) coalition: 1,668,998 24.1 8 -24

Islamic Party of Malaysia (Parti Islam SeMalaysia, PAS)

1,051,480 15.2 7 -20 People's Justice Party (Parti Keadilan Rakyat,

PKR)

617,518 8.9 1 -4

Non partisans (and others) 139,438 2.1 1 -2

Jumlah Suara Sah 6,916,138 100,00 219 +26 Sumber: The Star, Kuala Lumpur

Pilihan Raya untuk Dewan Undangan Negeri bagi semua negeri kecuali Sarawak juga diadakan pada 22 Maret 2004. Barisan Nasional menang dengan mayoritas suara terbanyak di semua negeri kecuali Kelantan. Walaupun terdapat laporan-laporan awal yang berbeda, PAS dapat mempertahankan kuasanya di negeri Kelantan dengan mayoritas yang kecil sebanyak 3 kursi, yaitu 24 kursi PAS


(47)

berbanding 21 kursi Barisan Nasional. Barisan Nasional memperoleh kembali kekuasanya di negeri Terengganu yang dikalahkan oleh PAS pada tahun 1999. Datuk Seri Abdul Hadi Awang, ketua oposisi PAS, berhasil mempertahankan kursi di negerinya.

E.5. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 Indonesia

Satu tahun setelah penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4/2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang independen dan nonpartisan. KPU di tingkat adalah badan penyelenggaraan pemilihan umum yang independent dan non partisan yang berkedudukan di Ibukota Negara. Keanggotaan KPU terdiri atas 11 orang yang diangkat dengan keputusan Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPU didukung oleh Sekretariat Jenderal KPU.

E.6. Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 Malaysia

Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia ialah Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR). Dibentuk pada tanggal 4 September 1957, berdasarkan Perkara 114 dalam Perlembagaan Negara untuk mengadakan pilihan raya bagi Dewan Rakyat dan Dewan Undangan Negeri di Malaysia. Dengan dasar yang bebas daripada Badan Eksekutif dan untuk memelihara, menyelia, dan


(48)

mengekalkan proses demokrasi di negara ini melalui pilihan raya yang bebas dan adil.

SPR terdiri dari tujuh anggota, yaitu seorang Ketua, seorang wakil ketua, serta lima orang anggota yang dilantik oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong setelah berunding dengan Majlis Raja-Raja. Untuk menjalankan fungsinya serta melaksanakan keputusan-keputusan nya, maka sebuah Urus Setia (Sekretariat) di bentuk. Urus Setia ini, yang diketuai oleh seorang Sekretaris yang merupakan Ketua Pegawai Pentadbir, mempunyai 14 cabang di setiap negeri di Malaysia, dengan masing-masing diketuai oleh seorang Pengarah Pilihan Raya Negeri. Anggota-anggota cabang pilihan raya negeri, bersama-sama dengan Ketua Pegawai Pentadbir, dilantik oleh Perkhidmatan Awam Malaysia.

F. Defenisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Berikut beberapa konsep serta defenisinya yang digunakan alam penelitian ini, yaitu:

1. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum

Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai satu-satunya tujuan dan menurut hukum bertanggung jawab untuk memanage beberapa atau semua unsur-unsur yang penting untuk mengadakan pemilu dan mewujudkan instrument demokrasi secara langsung.


(49)

2. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di Indonesia

Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyelenggarakan pemilihan umum 2004 yang berkedudukan di Jakarta yang di Bantu oleh Sekretariat Jenderal Komisi Pemilihan Umum. KPU pada Pemilu 2004 memiliki 9 orang anggota (pada awalnya KPU beranggotakan 11 orang, namun pada tahun 2003 dua orang anggota mengundurkan diri).

3. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di Malaysia

Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia adalah Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) yang menyelenggarakan Pilihan Raya sejak Pilihan Raya pertama pada tahun 1957. Berkedudukan di Putrajaya yang di bantu oleh Urus Setia (Sekretariat). SPR memiliki tujuh orang anggota.

G. Defenisi Operasional

Defenisi Operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel penelitian (Nawawi : 113).

1. Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum 2004 di Indonesia dengan

indikator :

a. Struktur organisasi KPU dan Sekretariat Jenderal KPU pada Pemilu

2004


(50)

2. Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 di Malaysia, dengan indikator :

a. Struktur Organisasi SPR dan Sekretariat Jenderal SPR pada Pilihan

Raya Umum 2004

b. Keanggotaan SPR dan Sekretariat Jenderal SPR pada Pilihan Raya

Umum 2004

H. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional dan sistematika penulisan.

BAB II : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data dan metode analisa data.

BAB III : KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM 2004 DI INDONESIA

Bab ini berisikan tentang gambaran keanggotaan, struktur organisasi kelembagaan penyelenggara pemilihan umum 2004 di Indonesia yang terdiri dari KPU dan Sekeretariat Jenderal KPU.


(51)

BAB IV : KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PILIHAN RAYA

2004 DI MALAYSIA

Bab ini berisikan tentang gambaran keanggotaan, struktur organisasi kelembagaan penyelenggara pilihan raya 2004 di Malaysia yang terdiri dari SPR dan Urus Setia SPR.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan penyajian data yang telah diperoleh, lalu kemudian di analisis secara mendalam dengan menggunakan teknik analisa data yang telah di tentukan.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penyusun setelah melihat dan mencermati hasil penelitian.


(52)

BAB II

METODOLOGI PENELITIAN

A. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan penelitian komparatif yang bersifat membandingkan variable yang lebih dari satu. Hal membanding-bandingkan variable tersebut kemudian diikuti dengan pemberian interpretasi secukupnya sehingga dapat ditarik sutu kesimpulan.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di lakukan di dua Negara pada era yang sama, yaitu di Indonesia dan Malaysia.

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

1. Teknik pengumpulan data sekunder, dengan mengumpulkan informasi

sebanyak mungkin yang berkaitan dengan judul dan permasalahan penelitian dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, laporan, situs dunia maya dan bentuk literature lainnya yang terkait.

2. Dokumen-doukumen penting pemerintah berupa ketetapan yang


(53)

D. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa data deskriptif kualitatif, yaitu dengan melakukan analisa atas masalah yang ada sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang objek yang akan diteliti dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.


(54)

BAB III

KELEMBAGAAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

2004 INDONESIA

Bab ini terbagi dalam empat bagian. Bagian pertama mengulas tentang sejarah pembentukan KPU. Bagian kedua membahas Lingkup Organisasi Komisi Pemilihan Umum 2004 Indonesia. Sedangkan bagian ketiga membahas keanggotaan KPU Pusat berikut Sekretariat Jenderalnya. Pada bagian keempat dibahas tentang Struktur Organisasi pada tingkat pusat.

A. Sejarah Pembentukan

Badan penyelenggara pemilihan umum di Indonesia adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Landasan hukum di Indonesia mengenai administrasi pemilu terdapat di dalam Pasal 22 E ayat (5) Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan oleh sebuah badan penyelenggara pemilu yang permanen dan mandiri, dan memiliki wewenang untuk menentukan dan menggambarkan prerogatif lembaga ini guna menerapkan undang-undang yang berlaku. Dan pada pemilu 2004 terdapat di dalam Bab IV Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif yang menetapkan sifat, tugas dan wewenang badan penyelenggara pemilu, mulai dari tingkat pusat, propinsi maupun dibawahnya. Selain itu terdapat juga dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden, yang secara langsung merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 dalam menguraikan tugas badan penyelenggara pemilu dalam kaitannya dengan pemilihan presiden.


(55)

KPU seharusnya terdiri dari 11 anggota (dua anggota mengundurkan diri pada bulan April 2003) dengan hak suara yang sama, termasuk Ketua dan Wakil Ketua. Badan terdahulu yang menyelenggarakan Pemilu Legislatif tahun 1999, juga bernama KPU, terdiri dari lima wakil pemerintah dan satu wakil dari masing-masing 48 partai yang ikut serta dalam pemilu tersebut (keseluruhan berjumlah 53 wakil). Pada pemilu legislative 1999 publik melihat jelas bagaimana sangat kuatnya unsur kepentingan mewarnai kegiatan pemilihan umum, hal ini disebabkan karena mayoritas anggota KPU adalah perwakilan parpol dan sebagian lain adalah wakil pemerintah, sehingga menyebabkan seringnya pembahasan keputusan-keputusan KPU harus menghadapi situasi deadlock. Kenyataan ini tentu tidaklah menggembirakan, khususnya dilihat dari sudut pengembangan citra dan perkembangan KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu. Atas dasar pemikiran bahwa, KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu seharusnya bebas dari tekanan kepentingan-kepentingan, serta kuatnya tuntutan dari banyak pihak bahwa lembaga penyelenggara Pemilu harus bersih dari intervensi partai politik dan pemerintah. Karena itu satu tahun setelah penyelenggaraan pemilihan umum tahun 1999, pemerintah bersama DPR mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pokok isi dari UU No. 4/2000 adalah adanya perubahan penting, yaitu bahwa penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2004 dilaksanakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang memiliki sebanyak-banyaknya 11 orang anggota yang terdiri dari orang-orang independen dan nonpartisan.22

22


(56)

Terbitnya undang-undang nomor 4 tahun 2000 pada tanggal 7 Juni 2000 tersebut bertujuan untuk memperbaiki ketentuan-ketentuan tentang KPU seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999.

Sifat independen dan nonpartisan KPU saat ini tercermin dari proses seleksi calon anggota KPU. Dari semua calon anggota KPU yang diajukan presiden kepada DPR untuk mendapat persetujuan, tidak satu pun yang berasal dari partai politik. Pada umumnya para calon berasal dari kalangan perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Persyaratan untuk menjadi anggota KPU secara lebih rinci adalah sebagai berikut :

a. Warga negara Republik Indonesia;

b. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; c. Mempunyai integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;

d. Mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya

demokrasi dan keadilan;

e. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan

proses pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki kemampuan kepemimpinan;

f. Berhak memilih dan dipilih;

g. Berdomisili dalam wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan

KTP;

h. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan

menyeluruh dari rumah sakit;


(1)

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa data pada Bab V, terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara Kelembagaan Penyelenggara Pemilihan Umum Indonesia 2004 dengan Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 Malaysia, baik dalam hal keanggotaan dan struktur organisasi. Berikut kesimpulan persamaan dan perbedaan dari analisa data tersebut.

A.1 Persamaan antara Kelembagaan Penyelengara Pemilihan Umum 2004 Indonesia (KPU) dengan Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 Malaysia (KPU)

1. Model kedua lembaga penyelenggara pemilu yaitu KPU dan SPR sama-sama Independen dan bersifat permanent. Pertanggungjawaban juga diberikan kepada lembag legislative dan kepala Negara masing-masing Negara.

2. KPU dan SPR sama-sama memiliki alat kelengkapan dan anggota-anggotanya juga masuk kedalam divisi/unit-unit yang terdapat dalam alat kelengkapan tersebut.

3. Status keanggotaan anggota-anggota KPU dan SPR sama-sama temporer, bersifat full-time dan non partisan. Dan para anggotanya juga dibatasi masa kerjanya.


(2)

SPR bersatus pegawai negeri. Dan sekretaris dan wakilnya dipilih oleh KPU dan SPR sendiri.

A.2. Perbedaan Antara Kelembagaan Penyelengara Pemilihan Umum 2004 Indonesia (KPU) dengan Kelembagaan Penyelenggara Pilihan Raya 2004 Malaysia (KPU)

1. Proses perekrutan anggota SPR dan KPU berbeda, anggota KPU dilantik oleh Presiden setelah diuji kelayakan dan kepatutan oleh DPR, pemilihan ketua KPU juga dilakukan oleh para 11 anggota KPU yang telah terpilih. Sedangkan perekrutan anggota SPR dilakukan secara sepihak yaitu dipilih oleh Yang diPertuan Agong sesudah berunding dengan Majlis Raja-Raja. 2. Jumlah anggota KPU terdiri dari 11 orang dan anggota SPR berjumlah 7

orang.

3. Masa kerja anggota KPU selama 5 tahun, sedangkan masa kerja anggota SPR dibatasi hingga anggota tersebut berusia 65 tahun.

4. Komposisi keanggotaan Sekretariat Jenderal kedua lembaga berbeda, Sekretariat Jenderal KPU terdiri dari seorang sekretaris jenderal, wakil sekretaris jenderal dan kepala-kepala divisi, sedangkan Sekretariat Jenderal SPR terdiri dari seorang sekretaris jenderal dan dua orang wakil sekretaris jenderal.

5. Biro-biro yang terdapat dalam Sekretariat Jenderal KPU ialah 10 biro, sedangkan SPR hanya memiliki 3 biro.


(3)

B. Saran

Penyusun memberikan beberapa saran sebagai berikut :

1. Sifat independent KPU dan SPR tetap dipertahankan, maskudnya KPU dan SPR sebagai lembaga penyelenggara pemilu dalam menjalankan tugasnya tidak terpengaruh oleh pihak-pihak lain yang dapat menggangu jalannya suatu pemilihan umum. Hal tersebut juga harus sejalan dengan model keanggotaan kedua lembaga yang bersifat non-partisan, hal ini dimaksudkan agar para anggota dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal tanpa mementingkan kepentingan partainya apabila anggota-anggota tersebut dipilih dari wakil-wakil partai politik yang ikut dalam pemilihan umum. Selain itu dengan model anggota yang non partisan, maka suatu lembaga penyelenggara pemilihan umum dapat menerima kepercayaan awam, karena mereka duduk dalam jabatan tersebut tidak mewakili suatu partai.

2. Seperti SPR jumlah anggota lembaga penyelenggara pemilihan umum tidak perlu banyak, karena ini akan menyebabkan terbukanya peluang untuk terjadi penyimpangan atau ketidaksamaan visi antara sesama anggota.

3. Proses perekrutan yang dilakukan KPU sebaiknya tetap dipertahankan, karena sebelumnya calon-calon anggota tersebut menjalani berbagai tahapan seperti fit and proper test. Dengan begitu masyarakat dapat mepercayai anggota-anggota tersebut untuk menjabat di dalam KPU karena telah dibuktikan oleh kemampuan mereka dengan menjalani fit and proper test. Apabila perekrutan anggota dilakukan secara sepihak, seperti SPR, maka dapat terjadi masalah dan menimbulkan kecurigaan pada masyarakat


(4)

mengenai kualitas atau kejujuran para anggota apabila terjadi suatu hal yang dianggap masyarakat sebagai suatu kejanggalan dalam pemilu.

4. Pembagian kerja dalam Sekretariat Jenderal sebaiknya dipersempit, hal ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam mengkoordinasi kerja serta dapat menghemat biaya operasional.

5. Lembaga penyelenggara pemilihan umum hendaknya agar lebih terbuka dalam memberikan informasi yang diperlukan masyarakat, seperti KPU.

Demikianlah keseluruhan hasil perbandingan yang dapat disajikan. Penyusun mengharapkan agar saran-saran diatas dapat diperhatikan bagi kedua lembaga penyelenggara pemilihan umum.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bartol, Kathryn M. Dan David C. Martin., Management, Irwin/Mc Graw Hill, Amerika Serikat, 1998.

Electoral Management Design, The International IDEA Handbook , 2006 Electoral System Design, The New International IDEA Handbook, 2005 Harris, Petter dan Ben Reilly,Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah

Pilihan untuk Negosiator, Seri Buku Pegangan International IDEA, 2000 Heri, Zulfan. Suara Reformasi Dari Negeri Jiran, Unri, Pekanbaru, 2001 Kast, Fremont E. Organisasi dan Manajemen, Bumi Aksara, Jakarta, 1994 Mahfud, Mohd. MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Penerbit Gama Media, Yogyakarta, 1999

Mashudi, SH. MH. Pengertian-Pengertian Mendasar Tentang Kedudukan Hukum Pemilihan Umum Di Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1993

Melcher, Arlyn J. Struktur dan Proses Organsiasi, Rineka Cipta, Jakarta, 1994 Purnomowati, Reni Dwi. Implementasi Sistem Bikameral Dalam Parlemen Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2005

Saragih, Bintan R. Lembaga Perwakilan dan Pemilu di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988

Singarimbun, Masri. Metodologi Penelitian Survay, LP3ES, Jakarta, 1995 Soekanto, Soerjono. Perbandingan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1979 Standar-standar Internasional untuk Pemilihan Umum : Pedoman Peninjauan Kembali Kerangka Hukum Pemilu Seri Buku Panduan International IDEA, 2002


(6)

Sutarto. Dasar-Dasar Organisasi, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002 Eaton, Joseph W. Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional (dari

konsep ke aplikasi), UI Press, Jakarta, 1986

Tangkilisan, Hessel Nogi S. Implementasi Kebijakan Publik : Transformasi

Pemikiran George Edwards, Lukman Offset dan YPAPI, Yogyakarta,

2003

Teo Hardjito, Dydiet. Teori Organisasi Dan Teknik Pengorganisasian, Raja Grafindo, Jakarta, 1995

Thoha, Miftah. Perilaku Organsiasi, Rajawali, Jakarta, 1986

Widjaja, AW. Kelembagaan dan Organisasi (Pengantar O dan M), Bina Aksara, Jakarta, 1988

http://www.aceproject.org http://www.idea.int/ http://www.ifes.org/ http://www.iri.org/ http://ms.wikipedia.org http://www.dpr.go.id

https://www.kompas.com/kompas-cetak/0403/27/Fokus/932238.htm http://www.parlimen.gov.my/

http://www.cetro.or.id http://www.id.euneom.org http://www.kpu.co.id http://www.presiden.co.id http://www.spr.gov.my http://www.transparasi.or.id http://www.pilihanraya.com.my/