Nilai-nilai ketatanegaraan islami dalam pelaksanaan pemilu di Malaysia : Studi analisis kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) dalam pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia

(1)

SKRIPSI

NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAMI DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA

(Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia)

OLEH:

ABDUL HADI BIN RIPIN

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1429 H / 2008 M

NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAMI DALAM PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA

(Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia)


(2)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh :

ABDUL HADI BIN RIPIN NIM : 106045203750

Di Bawah Bimbingan Pembimbing

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

KOSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1429 H / 2008 M

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang puja dan puji syukur seraya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya, dan atas semua yang telah dianugerahkan-Nya kepada penulis. Shalawat dan salam semoga


(3)

senatiasa dilimpahkan kepada pembawa risalah Allah, Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang telah memberikan dorongan serta motivasi kepada penulis.

Penulis bangga akan hasil penulisan skripsi ini walaupun masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini sebagai manusia kita tak luput dari kesalahan, kesempurnaan dan kebenaran hanyalah milik Allah SWT oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan sekali masukan baik itu sifatnya saran maupun kritik selama itu dapat membangun dan terus memotivasi penulis agar menyempurnakan dan memperbaiki kesalahan tersebut.

Namun demikian penulis sangat bersyukur sekali kepada Allah SWT dengan izin dan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan dan merampungkan skripsi dalam rangka menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Siyasah Syar’iyyah (Ketatanegaraan Islam ) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, karena dengan bantuan dan dukungan merekalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih secara khusus yang sebesar-besarnya kepada :

1. Pihak Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kami untuk menimba ilmu

2. Kepada Negara Indonesia yang telah memberikan kami izin untuk mencari dan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat untuk kami.

3. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum dan juga pembimbing penulis yang dengan arahan beliau pula sehingga penulis dapat memahami dengan mudah apa yang akan dikerjakan.


(4)

6. Ayahanda Ariffin Abu Bakar yang telah mendidik dan membimbing penulis, Ibunda Sukma Awang dan Ibunda Romlah yang telah kembali kerahmatullah semoga rohnya dicucuri rahmat.

7. Dato Haji Mustafa Ali yang telah memberi dokongan dan bantuan diucapkan berbanyak terima kasih.

8. Warga Kudqi yang telah memberikan tempat belajar terutama Dato Tuan Guru Haji Harun Taib, Rektor Ust. Mahmood Sulaiman, Ust Soud Said, Ust. Nik Mohd Nor, YB. Ust. Mohd Nor Hamzah, Ust. Rizki Ilyas, Ustadzah Zaitun, Ustadzah Nabilah, Ustadzah Yazidah, Ust. Kamaruzaman, Ust. Shahari Zulkirnain, Ust. Asmadi dan seluruh Ustad dan Ustadzah juga pelajar Kudqi yang tidak dapat penulis sebutkan disini.

9. Kepada keluarga di Malaysia yang telah memberikan dorongan dan motivasi terutama untuk istri tercinta (Suhaizan), dan anak-anakku yang memberikan inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini (A’zim, Hannan, Ardini, Irdina) dan kakak dan adikku tercinta (Azizah&Yusuf, Zaitun&Harun, Zaleha&M.Khoiruddin, Amir&Dalina, Puspawati&Fazali, Adik Na&Fauzi, Jihaduddin& Na). saudara-saudaraku yang lain Suryana & Nasir, Arffan&Sitti, Safawi & Su, Jamal & Liza, M. Zin Uda & Na, Mahmud & Mah, Ust. Zailani & K. Mah, Ust. Abd. Wahid, Romli Abbas, M.Nor & Ni.. 10.Teman-teman satu perjuangan baik itu teman-teman Malaysia, yang ada dalam satu atap

untuk perjuangan (Harun, Faisal, Baihaqi, Khairil, Amir, Mustofa, Mawardi, Ikram), serta teman Malaysia yang di Aspa dan Aspi ( Baha, Siti Hajar, Nur Masyitah, Hajar Harun, Salwa, Anisah, Hazrin, N. Syazwani, Halimah dll) atupun kawan-kawan Indonesia yang telah membantu untuk memahami dan sharing lebih dalam mengenai ketatanegaraan Islam (Zamroni, Sidiq, Lukman, Taufiq, Dinnur, dan Oyok yang membantu kami dalam menerjemahkan bahasa Indonesia serta yang lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu).


(5)

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT memberikan balasan yang lebih baik dari semua yang telah mereka berikan dan lakukan untuk penulis khususnya dan kepada semua pihak pada umumnya. Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pembaca sekalian. Dan semoga Allah menjadikan penulisan skripsi ini sebagai suatu amalan yang baik di sisi-Nya. Ciputat, 13 April 2008 M

6 Rabiulakhir 1429 H


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI ...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Metode Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan... 14

BAB II NILAI-NILAI KETATANEGARAAN ISLAM DALAM PELAKSANAAN PEMILU A. Pelaksanaan Pengangkatan Pimpinan dalam Ketatanegaraan Islam 16 B. Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan kepala Negara 25 1. Nilai Musyawarah ... 27

2. Nilai Keadilan... 32

3. Nilai Persamaan... 35

C. Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam ... 38


(7)

2. Ahlul Halli Wal Aqdi ... 42 3. Putera Mahkota... 45 D. Pelaksanaan Pemilu dalam Pandangan Ulama Kontemporer... 48

BAB III PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA OLEH SURUHANJAYA PILIHAN RAYA

A. Sistem Pemilihan Umum di Malaysia. ... 61 B. Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Oleh Suruhanjaya Pilihan Raya. 68 C. Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia ... 85 D. Konsep Kebebasan dan Kebersihan Pelaksanaan Pemilu di Malaysia 93

BAB IV ANALISIS KETATANEGARAAN ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN PEMILU DI MALAYSIA

A. Beberapa Hal Kesesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan Ketatanegaraan Islam. ... 98

B. Beberapa Hal Ketidaksesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan Ketatanegaraan Islam. ... 102

C. Analisis Ketetanegaraan Islam Terhadap Pengangkatan Kepala Negara 104

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 109 B. Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menggariskan bahwa dalam umat harus ada pemimpin yang menjadi pengganti dan penerus fungsi kenabian untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama,

memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan Negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya

kemaslahatan umat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera.1 Mengenai arti pentingnya seorang pemimpin diutarakan juga oleh Ibn Khaldun di dalam Muqaddimah, “ kedudukan pemimpin timbul dari keharusan hidup bergaul bagi manusia, dan didasarkan kepada penaklukkan dan paksaan, yang merupakan pernyataan sifat murka dan sifat-sifat kebinatangan.2

Sistem pemerintahan demokrasi berbeda dengan sistem pemerintahan diktator. Ia berbeda dari segi cara untuk mendapatkan kekuasaan pemerintahan. Bagi sistem

pemerintahan demokrasi, kekuasaan ini ditentukan melalui pemilihan umum (pemilu). Melalui pemilihan umum ini, rakyat diberi hak untuk memilih pemimpin mereka sendiri. Ini berarti pemerintahan yang bercorak demokrasi ialah pemerintahan yang mendapat mandat dan persetujuan rakyat untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sebaliknya pemerintahan yang bercorak diktator tidak membenarkan pemilu diadakan3. Asas kekuasaannya adalah bertumpu kepada kekuatan raja yang absolut, rakyat tidak diberi hak untuk memilih, rakyat juga tidak

1

Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, cet. V, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 14

2

Ibn Khaldun, Muqaddimah, Penterjemah Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus; 2008), cet. VII, h.232.

3

Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, cet. III, (Ampang/Hulu Kelang Selangor Darul Ehsan: Dawama Sdn.Bhd, 2006), h. 169


(9)

dibenarkan untuk menegur atau mengkritik tindak tanduk raja. Jika rakyat membantah perintah dan larangannya, mereka akan dipenjarakan dan mungkin dibunuh. Oleh sebab itu orang-orang yang mempunyai kekuasaan memerintah selalu dikawal rapi oleh angkatan bersenjata (pasukan khusus), yang menyebabkan mereka terasing daripada rakyat. Dengan demikian tidak mengherankan jika terjadi pemberontakan untuk menjatuhkan kerajaan yang otoriter itu.4

Pemerintahan yang demokrasi bergantung pada pemilu untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan menjalankan pemerintahan, maka sangatlah penting pemilu

dijalankan dengan adil. Karena pemilu yang dilaksanakan itu tidak adil, terdapat kecurangan misalnya, sehingga hasil dari pemilihan umum itu tidak sesuai dengan kehendak rakyat, dapat mengakibatkan timbulnya pertikaian dan perbuatan-perbuatan anarkis yang pada akhirnya dapat menimbulkan kerugian materi bahkan jiwa dalam suatu negara.5

Untuk itu, agar pemilu dapat dilaksanakan dengan baik, yang bersih dan bebas jujur dan adil haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:6

1. Pemilu itu haruslah dilaksanakan oleh suatu badan yang independen, jujur dan dipercayai oleh rakyat.

2. Haruslah ada Undang-undang tentang pemilu yang mengatur tentang pelaksanaannya, agar terhindar dari kecurangan-kecurangan.

3. Segala permasalahan pemilu haruslah diselesaikan dengan segera oleh mahkamah khusus. Dengan melihat pernyataan diatas maka kita akan memahami bahwa setiap negara dimanapun yang bercorak demokrasi di dalamnya pasti akan dilaksanakan suatu pemilu, begitu pun dengan Negara Malaysia. Malaysia merupakan negara yang menganut sistem

4

Ibid, h. 170 5

Ibid, h. 171 6


(10)

monarki konstitusional dan demokrasi berparlemen. Dalam pemilu, Malaysia menganut sistem pemilu berdasarkan tiga prinsip utama, yaitu:7

1. Berdasarkan suara terbanyak mengikuti kaedah First Past The Post System yang mana calon yang menang adalah calon yang memperoleh suara terbanyak, walaupun hanya mendapat kelebihan satu suara melebihi calon lawannya yang lain.

2. Berdasarkan pemilihan seorang perwakilan mengikuti bagian pemilu sama dengan bagian pemilu parlimen atau bagian pemilu Negeri (Single Member Territorial Representation). 3. Berdasarkan sistem penyertaan berbagai partai politik dan pihak yang layak untuk

berkompetisi dalam suatu pemilihan umum (Multi Party Electoral System).

Untuk melaksanakan pemilu, dalam pasal 113 Perlembagaan (konstitusi) Malaysia telah memberi wewenang kepada pemerintah untuk membuat sebuah suruhanjaya

(lembaga/badan) yang dinamakan Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR)8. Tugas pokok lembaga ini adalah untuk memastikan rakyat Malaysia berpeluang untuk memilih wakil-wakil mereka dalam membentuk pemerintahan dan memelihara hak ini melalui pemilu yang bebas dan adil. Suruhanjaya atau lembaga ini dipimpin oleh seorang ketua dan tiga orang anggota.

Dalam sistem pemilu Malaysia, setiap negara bagian dibagi menjadi beberapa wilayah pemilu yang diwakili oleh seorang atau beberapa orang wakil rakyat. Tiap satu kawasan pemilu hanya diwakili oleh seorang wakil rakyat saja.9 Jadi jumlah wilayah pemilu Dewan Rakyat adalah sama banyak dengan bilangan anggota Dewan Rakyat, begitu juga jumlah wilayah pemilu bagi Dewan Undangan Negeri adalah sama banyak dengan jumlah anggota Dewan Undangan Negeri. 10

7

Suruhanjaya Pilihan Raya Malaysia (SPR), 50 Tahun Demokrasi dan Pilihan Raya di Malaysia, (Kuala Lumpur: Percetakan Nasional Malaysia Berhad, 2007), h. 7

8

Istilah Suruhanjaya Pilihan Raya (SPR) sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Indonesia dan Pemilihan Umum dalam bahasa Malaysia disebut Pilihan Raya.

9

Undang-Undang Malaysia, Perlembagaan Persekutuan, Perkara (pasal) 116 (2) 10


(11)

Dewan Negeri, tergantung pada jumlah anggota Dewan Negeri sebagaimana yang telah ditetapkan oleh perlembagaan (UUD) negeri masing-masing. Walau bagaimanapun, jumlah wilayah pemilu bagi setiap negara bagian mestilah sekurang-kurangnya sama banyak atau dua kali lipat dengan jumlah wilayah pemilu Dewan Rakyat yang ditetapkan kepada negara bagian itu, mengikuti Perlembagaan jumlah anggota Dewan Negeri di tiap-tiap negara bagian adalah: Johor (40), Kedah (36), Kelantan (43), Melaka (25), Negeri Sembilan (32), Pahang (38), Pulau Pinang (33), Perak (52), Perlis (15), Selangor (48), Terengganu (32), Sabah (48), Sarawak (56).11

Dalam pemilu di Malaysia setiap pemilih ditentukan dalam undang-undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan pasal 119 disebutkan syarat-syarat pemilih seperti Warga Negara Malaysia, berumur 21 tahun pada saat dilaksanakan pemilihan raya, kemudian merupakan penduduk asli dari negara bagian. Dalam penelitian ini masalah yang diangkat adalah mengenai problematika pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia seperti, daftar pemilih yang tidak/bukan penduduk asli atau mastautin kemudian dimanakah fungsi utama SPR yang bertugas untuk menyelenggarakan pelaksanaan pemilihan raya Malaysia secara adil?, maka selayaknyalah SPR harus memperbaiki citra mereka, dengan melihat tatacara dan praktek pemilihan kepala negara berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam

ketatanegaraan Islam.

Di kalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan

pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Para penganut aliran ini pada umumnya berpendirian bahwa :12

11

Tun Mohd Salleh Abas, Prinsip Perlembagaan dan Pemerintahan di Malaysia, h. 172 12

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), edisi kelima, hal. 1


(12)

1. Islam adalah suatu agama yang serba lengkap. Di dalamnya terdapat pula antara lain sistem ketatanegaraan atau politik, oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan meniru sistem ketatanegaraan barat.

2. Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar Muhammad dan oleh empat Al-Khulafa al-Rasyidin.

3. Menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam agama Islam terdapat sistem ketatanegaraan.

Terlepas dari pernyataan diatas kita sebenarnya akan melihat bahwa proses ketatanegaraan itu sifatnya kompleks dan fleksibel, sebetulnya Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana mempraktekan ketatanegaraan secara Islami. Dalam sejarah ketatanegaraan Islam mengenai proses pengangkatan kepala negara (khalifah) kita dapat melihat bahwa Islam sudah mempraktekan pemilihan secara demokratis hal ini ditandai dengan pemilihan khalifah yang ketiga dalam Islam yaitu Khalifah Utsman bin Affan, dalam proses penunjukannya sampai pengangkatannya melalui proses yang sangat demokratis.

Dalam pengalihan (kekuasaan Umar kepada Utsman dibentuk suatu badan yang beranggotakan enam orang dengan diketuai oleh Abdurrahman bin Auf disini kita akan melihat sejauh mana proses keadilan yang berlangsung dalam pelaksanaannya.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu yang

diselenggarakan SPR di Malaysia yang dalam pelaksanaannya terdapat beberapa

permasalahan dan problematika sehingga penulis angkat menjadi judul skripsi: “Nilai-Nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia” (Studi Analisis Kinerja Suruhanjaya Pilihan Raya dalam Pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia).


(13)

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian dan penulisan skripsi adalah penting dengan adanya suatu pembatasan masalah yang bertujuan agar penelitian menjadi tearah dan fokus terhadap permasalahan yang akan diteliti. Kemudian pertanyaan penelitian haruslah dapat dirumuskan untuk “mempersempit” ruang lingkup penelitian, dengan begitu pertanyaan penelitian menjadikan penelitian lebih fokus dan terarah. Berdasarkan paparan dalam latar belakang diatas, maka pokok permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah mengenai penyelenggaraan pelaksanaan pemilihan umum. 2. Perumusan Masalah

Dari penjelasan diatas maka dapat dirumuskan permasalahan “Bagaimana peranan SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) dalam pelaksanaan Pemilihan Umum di Malaysia dengan memperhatikan nilai-nilai ketatanegaraan Islam?”, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Bagaimana kinerja pelaksanaan pemilu Malaysia oleh SPR?.

2) Bagaimana konsep pemilihan atau pengangkatan pimpinan dalam ketatanegaraan Islam?.

3) Bagaimana Nilai-nilai ketatanegaraan Islam dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Malaysia oleh SPR?.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada beberapa tujuan yang ingin dicapai diantaranya:

1. Memberikan gambaran dan informasi mengenai SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) 2. Menjelaskan pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia

3. Untuk mengetahui peranan SPR dalam menerapkan nilai-nilai ketatanegaraan Islam. Adapun dari segi manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kajian keilmuan mengenai ketatanegaraan Islam.


(14)

3. Menambah wawasan bagi para akademik dan pembaca mengenai pelaksanaan pemilu di Malaysia dan ketatanegaraan Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Beberapa penelitian dengan pokok bahasan mengenai pelaksanaan pemilihan umum di Malaysia 2005 serta pemilihan kepala negara yang didasarkan kepada rasa keadilan.. Pembahasan bersumber dari skripsi terdahulu, buku, selain itu ada beberapa jurnal dan laporan tahunan yang berkaitan secara spesifik dan khusus bersinggungan dengan bahasan penelitian. Berikut ini merupakan paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian tersebut.

Skripsi Pitri Anita, “Siyasah Dauliyah Pada Masa Khulafaur Rasyidun, 2004. Pada bab IV skripsi ini ada pembahasan yang mengkaji praktek siyasah dauliyah pada masa Khulafaur Rasyidun, dimulai dari Khalifah Abu Bakr As-Sidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib di dalamnya memuat penerapan nilai-nilai ketatanegaraan Islam yang mereka praktekkan sepertni nilai keadilan, nilai musyawarah, nilai keadilan, dll.

Skripsi Mohammad Adnin bin Yahya, “Konsep Negara Islam di Malaysia (menurut UMNO dan PAS), 2006. Skripsi ini membahas mengenai penerapan nilai-nilai Islam yang ada di Malaysia mulai dari sudut pandang yang berkuasa (UMNO) maupun dari pihak pembangkang (PAS).

Karya Tun Mohd Salleh Abas tentang “Pilihan Raya Malaysia” di tulis dalam buku yang berjudul “Prinsip Perlembangaan dan Pemerintahan di Malaysia”, buku ini membahas permasalahan tentang pentingnya diadakan pemilihan umum untuk melangsungkan

kehidupan yang berdemokrasi. Mengenai pemilihan umum di Malaysia ini, Beliau berusaha menjelaskan kenapa perlunya diadakan pemilu, mengenai daftar pemilih, kebebasan dan kebersihan pemilu dijalankan.


(15)

Buku Laporan Tahunan SPR (Suruhanjaya Pilihan Raya) tahun 2005 “Misi, Objektif, Moto dan Dasar kualiti”. Buku laporan ini membahas mengenai badan pelaksanaan pemilu di Malaysia, dimana lembaga ini bertugas dalam menjalankan pemilihan umum yang bebas dan adil.

Karya Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, tentang “Prinsip-prinsip Amali Dalam Negara Islam ”, di tulis dalam salah satu bab pada bukunya yang berjudul “Sistem

Pemerintahan Negara Islam”. Pokok masalah yang dibicarakan adalah prinsip keadilan dalam prinsip-prinsip dasar pada negara islam.

Karya Munawir Sjadzali, tentang “Proses Pengangkatan Empat Khulafa Al-Rasyidin” Pada buku yang berjudul “Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran)”. Yang menjelaskan proses pengangkatan kepala negara (khalifah), dalam pelaksanaannya Islam mengajarkan beberapa metode pengangkatan kepala negara, namun demikian tidak terlepas dari konsep keadilan itu sendiri.

Karya Dr. Yusuf Qardhawi tentang “Islam dan Demokrasi” di dalam bukunya yang berjudul “Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 2”. Menjelaskan bahwa menurut Islam peraturan seperti pemilihan umum atau pemungutan suara hal itu merupakan pemberian saksi terhadap kelayakan si calon, oleh sebab itu pemberian suara haruslah memenuhi syarat sebagaimana halnya saksi, yaitu adil dan baik perilakunya sehingga diridhai orang banyak.

Karya Imam Al-Mawardi tentang “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam” di dalam bukunya yang berjudul “Ahkamul Shulthan”, buku ini berisi kajian tentang hukum tata Negara dan kepemimpinan agama, yang menjelaskan tentang

pengangkatan kepala Negara.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan 1. Jenis Penelitian


(16)

Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Recearch), yaitu penelitian yang kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan

menelusuri berbagai literatur, karena memang pada dasarnya sumber data yang hendak digali lebih terfokus pada studi pustaka. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriftif. Deskriptif disini dimaksudkan dengan membuat deskripsi secara sistematis dengan melihat dan menganalisis data-data secara kualitatif.

2. Objek Penelitian

Dalam penelitian ini objek yang terkait adalah Kerajaan/Negara Malaysia. Ini sangat menarik karena dalam pelaksanaan pemilu 2005 di Malaysia terdapat problematika yang signifikan, untuk itu perlulah kiranya penulis menentukan lokasi penelitian di tempat tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dan faktual, teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumenter/bahan tertulis. Yakni dengan mencari bahan-bahan yang terkait serta mempunyai relevansi dengan penelitian. Sehingga data yang diperoleh dapat dibedakan menjadi data primer dan data sekunder.

Sumber data primer yaitu buku-buku atau literatur yang membahas tentang pemilu di Malaysia dan yang membahas tentang ketatanegaraan Islam. Sedangkan sumber data sekunder adalah literatur-literatur yang ada kaitannya ada relevansinya dengan penelitian ini.


(17)

Dalam melakukan analisis terhadap data-data yang sudah terhimpun, digunakan teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan komparatif, yaitu analisis perbandingan antara pelaksanaan pemilu di Malaysia dengan nilai-nilai ketatanegaraan Islam.

Dalam teknik penulisan ini, penulis menggunakan “Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memperoleh gambaran yang utuh serta menyeluruh, penelitian skripsi ini di tulis dengan menggunakan sistematika pembahasan sebagai berikut : BAB I Berupa pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II Membahas Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam Pelaksanaan Pemilu yang meliputi Pelaksanaan Pengangkatan Pimpinan dalam Ketatanegaraan Islam, Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam (Nilai-nilai musyawarah, Nilai-nilai keadilan, Nilai-nilai persamaan, nilai Kejujuran) dalam pengangkatan kepala negara, Konsep dan Teori

Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam, Pandangan Ulama Kontemporer dalam Pelaksanaan Pemilu.

BAB III Tentang Pelaksanaan Pemilu di Malaysia meliputi Sistem Pemilihan Umum di Malaysia, Pelaksanaan Pemilu di Malaysia Oleh Suruhanjaya Pilihan Raya, Problematika Dalam Pelaksanaan Pemilu di Malaysia, Konsep kebebasan dan kebersihan pelaksanaan pemilu di Malaysia.

BAB IV Berisi Analisis Ketatanegaraan Islam terhadap Pelaksanaan Pemilu di Malaysia meliputi Beberapa Hal Kesesuaian Pelaksanaan Pemilu di Malaysia dengan Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam, Beberapa Hal Ketidaksesuaian Pelaksanaan Pemilu Malaysia dengan Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam.


(18)

BAB II

PELAKSANAAN PENGANGKATAN PIMPINAN DALAM KETATANEGARAAN ISLAM

A. Sejarah Pelaksanaan Pemilu Dalam Ketatanegaraan Islam

Penyelenggaraan negara menurut tuntutan Islam mirip dengan penyelenggaraan shalat jama’ah di mana ada peimimpin negara sebagai imam, rakyat sebagai ma’mum, warga masyarakat sebagai jama’ah, konstitusi dan peraturan perundang-undangan sebagai tata cara dan bacaan shalat, tujuan negara sebagai terlihat dari tujuan shalat, antara lain mencegah perbuatan keji dan mungkar, dan lain-lain.13 Shalat jama’ah juga mengenal koreksi terhadap imam dan penggantian imam mirip seperti yang dilakukan terhadap kepemimpinan negara dalam sistem modern. Pemilihan pemimpin atau penyelenggaraan negara juga mirip dengan pemilihan pemimpin (imam) shalat yang dilihat melalui prioritas (1) kefasihan bacaan, (2) kedalaman ilmu, (3) ketaqwaan dan (4) senioritas.

Sebagai agama yang paripurna, Islam tidak hanya mengatur dimensi hubungan antara manusia dengan khaliknya, tetapi juga antara sesama manusia. Selama 23 tahun karir kenabian Muhammad saw, kedua dimensi ini berhasil dilaksanakannya dengan baik. Pada masa 13 tahun pertama, Nabi Muhammad menyampaikan dakwahnya kepada masyarakat Mekah dengan penekanan pada aspek akidah dan ibadah. Namun hal ini tidak berarti bahwa aspek sosial diabaikan sama sekali pada periode Mekah ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan pada masa ini justru banyak berbicara tentang kecaman terhadap ketidakadilan, praktik-praktik bisnis yang curang, penindasan oleh kelompok elit ekonomi dan politik terhadap kelompok yang lemah dan berbagai ketimpangan sosial lainnya.14

13

Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, (Jakarta : Khairul Bayan, 2005), cet. I, h. 56 14

Muhalammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), cet. I, h. 31


(19)

Mengenai pengangkatan kepala negara, Islam lebih memperkenalkannya pada awal pemerintahan Islam saat dipegang oleh para Khulafaur Rasyidun, hal ini dikarenakan Muhammad tidak diangkat melalui suksesi melainkan melalui pesan-pesan yang disampaikannya dalam Al-Qur’an itupun sebagai realisasi dari dakwahnya sebagai seorang Nabi. Jadi kepemimpinan Nabi Muhammad sebagai kepala negara Madinah menyatu dengan tugas-tugas kerasulannya. Karena itu, beliau hanya bertanggung jawab sepenunya kepada Allah.15

Persoalan pertama yang muncul setelah Nabi Muhammad SAW. wafat (632 M /10 H) adalah suksesi. Semasa hidupnya, Nabi Muhammad SAW. memang tidak pernah menunjuk siapa yang akan menggantikan kepemimpinannya kelak. Beliau juga tidak memberi petunjuk tentang cara pengangkatan penggantinya (khilafah). Ketiadaan petunjuk ini menimbulkan permasalahan di kalangan umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW. wafat, sehingga hampir membawa perpecahan antara kaum muhajirin dan anshar. Bahkan jenazah beliau sendiri ‘terlantar’ oleh seputar pembicaraan khilafah ini.

Pengangkatan Khalifah (Kepala Negara)

Hampir semua ahli sejarah Islam sepakat bahwa persoalan pertama yang muncul dalam sejarah umat Islam adalah masalah politik atau persoalan imamah, yakni masalah penggantian Nabi Muhammad SAW selaku kepala Negara.16

Dalam Islam penetapan Khilafah pada saat adanya Kekhilafahan melibatkan tiga unsur. Pertama: Mahkamah Mazhalim, yakni lembaga dalam Kekhilafahan Islam yang salah satu kewenangannya adalah mengevaluasi dan menetapkan perlu tidaknya penggantian Khilafah. Kedua: Majelis Umat, yakni lembaga perwakilan rakyat yang para anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Salah satu wewenangnya adalah membatasi jumlah calon khilafah. Ketiga: rakyat sebagai pemilik kekuasaan.

15

Ibid. h. 44 16

Ridwan HR, Fiqih Poliik (Gagasan, Harapan dan Kenyataan), Yogyakarta: FH UII Press, 2007, cet. Pertama, h.243.


(20)

Secara ringkas, prinsip umum pergantian khilafah dalam Islam dicontohkan dalam praktik para Sahabat yang berbentuk Ijma Sahabat. Prinsip-prinsip tersebut adalah:17

1. Kekuasaan ada di tangan umat.

2. Bai’at merupakan hak seluruh kaum Muslim sekaligus merupakan fardhu kifayah. Rakyat harus diberi kesempatan untuk menunaikan hak mereka. Apakah mereka menggunakan haknya itu atau tidak, itu terserah mereka.

3. Syariah tidak menyaratkan jumlah tertentu dalam baiat in'iqâd. Yang penting berjamaah dan dengan itu kaum Muslim ridha. Keridhaan kaum Muslim itu dapat ditunjukkan oleh diamnya mereka, ketaatan mereka, atau dengan indikasi apapun. Hanya saja, berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik dilakukan seoptimal mungkin.

4. Tidak sempurna pengangkatan kepala negara (Khilafah) kecuali jika dilakukan oleh sekelompok orang yang hasil pengangkatannya itu diridhai oleh mayoritas kaum Muslim.

Adapun langkah-langkahnya adalah:18

1. Penetapan kapan Khilafah harus diganti. Islam tidak menetapkan masa jabatan seorang khilafah. Khilafah kehilangan hak Kekhilafahan jika melanggar syarat-syarat utama sebagai seorang khilafah (Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, dan adil) atau meninggal dunia. Pelanggaran terhadap syarat-syarat ini diputuskan dalam sidang Mahkamah Mazhalim. Jika Mahkamah Mazhalim memutuskan Khilafah saatnya diganti maka dikeluarkanlah keputusan tersebut dan diumumkan kepada publik.

2. Berdasarkan keputusan tersebut, pada saat Khilafah masih hidup, dilakukanlah penjaringan bakal calon khilafah. Hal ini didasarkan pada Ijma Sahabat. Pada saat Abu Bakar dalam keadaan sakit, kaum Muslim menentukan siapa bakal pengganti beliau. Terpilihlah Umar. Akan tetapi, Umar baru dipandang sebagai khilafah setelah dibaiat oleh

17.

www.perisaidakwaha.com di akses pada tanggal 5 Februari 2008. 18


(21)

kaum Muslim paska kematian Abu Bakar. Demikian pula halnya saat terpilihnya Utsman bin Affan menggantikan Umar bin al-Khaththab.

Adapun jika Khilafah meninggal tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu, dan penjaringan dilakukan setelah meninggal Khilafah, maka ditunjuk seorang amir yang mengurusi urusan masyarakat sebagai amir sementara (amir mu'aqqah) hingga dibai’atnya khilafah pengganti. Ketetapan dan teknis praktis menyangkut hal ini perlu ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak.19

Tatacara penjaringan calon khilafah bersifat teknis yang bisa bervariasi. Pada masa Abu Bakar, calon dijaring melalui wakil dari kaum Anshar dan Muhajirin. Lalu saat menentukan penggantinya, khilafah Abu Bakar yang saat itu merasa sakit keras mengumpulkan beberapa Sahabat besar seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, Said bin Zaid, dan Usaid bin Hudhair untuk bermusyawarah secara rahasia. Mereka melihat calon khilafah adalah Umar dan Ali. Setelah itu, kedua calon diumumkan kepada seluruh masyarakat. Lalu masyarakat menyetujui Umar sebagai pengganti. Barulah setelah Abu Bakar wafat, para Sahabat membai’at Umar. Lain lagi kondisinya pada saat penggantian Umar. Saat beliau sakit parah, beliau meminta beberapa orang yang disebut Rasul sebagai ahli surga (Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Said bin Abi Waqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, kecuali Abdullah bin Umar, putranya). Setelah Umar wafat, mereka, selain Abu Thalhah, bermusyawarah. Abdurrahman bin Auf keliling meminta pendapat publik. Jatuhlah pilihan kepada Utsman dan Ali. Di masjid mayoritas masyarakat memilih Utsman. Beliaupun dibaiat sebagai khilafah. Pada saat pengangkatan Ali paska kematian Utsman, yang ada hanya satu calon. Mayoritas Sahabat dan kaum Muslim membaiat beliau di masjid. Lalu seluruh kaum Muslim lainnya menaatinya.

Jadi, merujuk pada Ijma Sahabat tersebut, pihak yang menetapkan bakal calon dan calon itu bisa perwakilan yang mewakili kaum Muslim (Majelis Umat) atau kaum

19 Ibid


(22)

Muslim secara umum (lewat sekumpulan orang-orang, partai, atau organisasi). Teknis mana yang akan digunakan kelak, bergantung pada hasil ijtihad para ahli ketatanegaraan Islam kelak. Yang jelas, itu hanyalah teknis, yang boleh dipilih sesuai dengan keperluan dan sesuai realitas.

3. Tetapkan siapa di antara mereka yang akan dibaiat menjadi khilafah. Cara yang dicontohkan para Sahabat bermacam-macam, seperti disinggung di atas. Langkah teknis mana yang akan diambil, sama saja. Satu hal yang penting disadari adalah prinsip "berbagai upaya untuk mengetahui pendapat publik harus dilakukan seoptimal mungkin", misalnya melalui Pemilihan Umum Khilafah untuk mengetahui pilihan umat.

4. Setelah diketahui ada calon khilafah yang mendapatkan suara mayoritas, maka dilakukan baiat terhadapnya oleh wakil kaum Muslim. Wakil kaum Muslim tersebut bisa perwakilan dari tokoh-tokoh masyarakat, perwakilan organisasi, atau Majelis Umat. Pada masa Khulafaur Rasyidin, baiat dilakukan oleh sebagian Sahabat. Ungkapan baiat tidak ditentukan. Yang penting harus mencakup pengamalan al-Quran dan Sunnah Rasulullah oleh Khilafah serta ketaatan dalam keadaan sulit maupun mudah, lapang maupun sempit, dari pihak pemberi bai’at. Setelah terjadinya bai’at in'iqâd berarti khilafah baru telah terpilih.

5. Lakukan bai’at thâ'ah. Pada masa Abu Bakar dan Umar, penegasan bagi kaum Muslim untuk menaati Khilafah dilakukan dengan pidato kenegaraan. Lalu, para Sahabat yang tidak sempat melakukan baiat in'iqâd menunjukkan ketatannya kepada Khilafah terpilih. Saat sekarang, baiat thâ'ah dapat dilakukan baik lisan maupun tertulis, atau cukup dengan menunjukkan sikap ketaatan, dan lain-lain.

Tampak, hal di atas masih memiliki alternatif. Pada masa khilafah berdiri kelak, mekanisme teknis perlu ijtihad dan penetapan oleh ahli ketatanegaraan Islam. Di antara langkah teknis yang dapat ditempuh adalah:20

20


(23)

1. Mahkamah mazhalim menetapkan kapan penggantian khilafah, baik karena khilafah memang layak diganti sesuai dengan hukum syara atau karena meninggal. Bila karena khilafah meninggal maka Majelis Umat menetapkan seorang Amir Sementara, sebut saja Mu'awin Tafwidl (Pembantu Khilafah) yang ditetapkan untuk itu.

2. Berdasarkan keputusan Mahkamah Mazhalim, Majelis Umat dari kalangan Muslim menjaring bakal calon khilafah. Pencalonan dapat berasal dari partai, ormas, dan lain lain. Bisa saja dibentuk tim yang menangani hal ini. Lalu, berdasarkan syarat-syarat khilafah baik syarat mutlak (syurûth in'iqâd) maupun syarat keutamaan (syurûth afdhaliyah), Majelis Umat membatasi jumlah calon khilafah.

3. Untuk mengetahui kehendak publik, dilakukan Pemilu untuk memilih Khilafah.

4. Setelah Pemilu selesai akan diperoleh calon yang mendapatkan suara terbanyak. Berikutnya:

a) Jika Khilafah yang sedang memimpin uzur atau tidak dapat menjalankan fungsinya, maka secara resmi Mahkamah Mazhalim menghentikan Khilafah tersebut. Keputusan tersebut dikeluarkan paling cepat dua hari sebelum pembaiatan khilafah baru. Waktu tersebut adalah waktu toleransi maksimal bagi tidak adanya khilafah pengganti. Lalu, khilafah terpilih dibai’at.

b) Jika Khilafah sedang sakit keras, calon khilafah tidak dibaiat dulu. Tunggu sampai meninggal. Mahkamah Mazhalim dan atau Khilafah mengumumkan ke publik bahwa orang yang mendapat suara mayoritas itu adalah calon penggantinya. Tinggal membaiat. Jika keadaan sakit kerasnya itu menyebabkan ia tidak dapat menjalankan fungsi Kekhilafahan maka Mahkamah Mazhalim menetapkan kapan kelayakan penggantian Kekhilafahan dengan pembaiatan.

c) Jika Khilafah sudah meninggal dunia, Mahkamah Mazhalim mengeluarkan keputusan penghentian amir sementara. Sesaat sesudah itu, dilakukanlah baiat in'iqâd untuk khilafah baru.


(24)

5. Majelis Umat melakukan baiat in'iqâd terhadap calon khilafah, yang ditunjukkan dengan adanya proses ijâb dan qabûl.

6. Khilafah baru sudah terpilih.

7. Keesokan harinya dilakukan semacam pidato kenegaraan dari khilafah baru untuk mengenalkan bahwa dia adalah khilafah yang wajib ditaati.

8. Berikutnya, Khilafah dapat menerima ucapan baiat thâ'ah dari masyarakat, baik lisan maupun tulisan. Rakyat yang tidak bisa secara langsung melakukannya, bisa menunjukkannya dalam sikap dan perilaku berupa ketaatan dan ketundukan kepada Khilafah tersebut.

B. Nilai-nilai Ketatanegaraan Islam dalam pengangkatan Kepala Negara

Apa yang ada di dalam al-Qur’an dan sunnah dari hukum-hukum konstitusional dan etika-etika politik dianggap sesuatu yang wajib diikuti dalam pemerintahan Islam (negara Islam). Hal itu mempunyai pengaruh besar dalam membentuk gambaran Islam untuk sebuah negara, tugas-tugasnya dan ciri khas sistem hukum di dalamnya, juga spesialisasi kewenangan yang berada di dalamnya.

Prinsip-prinsip konstitusional ini dianggap seperti hak-hak Allah dalam bidang politik, karena sejauh mana hal itu dianggap sebagai hak umat Islam untuk menuntut para penguasa agar menghormati prinsip-prinsip konstitusional atau etika-etika politik ini, dan agar bersedia turun dari jabatan politik mereka dalam pemerintahan, sejauh itu pula hal tersebut menjadi kewajiban atas umat Islam dengan kapasitasnya sebagai kelompok dan kewajiban atas setiap orang yang mampu dengan kapasitasnya sebagai individu, untuk memegang erat prinsip-prinsip ini dan mengajak orang lain untuk memegangnya serta mencari penyelesaian padanya.21

Jika kita tidak menemukan kesepakatan antara ulama syariat tentang prinsip-prinsip ini, sebabnya bukan pada perbedaan seputar prinsip-prinsip itu saja, artinya sekitar apakah

21


(25)

Islam membawa atau tidak membawa asas itu. Namun, sebab adanya ketidaksepakatan itu adalah menurut kami seputar terikat atau tidaknya dengan urusan-urusan konstitusional atau sistem hukum.

Prinsip-prinsip utama menurut sebagian ulama kontemporer dari para ahli fikih syariat22 adalah tidak zalim, adil, musyawarah, dan persamaan. Namun, menurut sebagian ulama lagi adalah keadilan (Al-‘Adalah), musyawarah, dan taat kepada ulil amri terhadap perintah yang disenangi orang mukmin atau yang dibenci, kecuali bila dia memerintahkan untuk berbuat kemaksiatan, maka tidak boleh mendengarkannya dan taat kepadanya. Ada satu pendapat lain lagi yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip utama itu adalah sebagai berikut :23

1. Musyawarah dalam hal apa saja yang wajib dimusyawarahkan dari urusan-urusan umat Islam.

2. Sikap tidak zalim dari penguasa tertinggi, dari para pemimpin, dan dari bawahannya. 3. Meminta bantuan orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal yang penguasa

tertinggi wajib meminta bantuan dalam hal itu.

Dr. Abdul Hamid Mutawalli dan Dr. Muhammad Salim Al-Awa sangat sepakat dalam hal prinsip-prinsip utama ini. Dr. Abdul hamid Mutawalli meletakkan di awalnya musyawarah dan keadilan, lalu persamaan dan kebebasan, kemudian tanggung jawab ulil amri. Sementara Dr. Muhammad Salim Al-Awa sama sepertinya, namun dia menambahkan wajib taat.24

1. Nilai Musyawarah

Kata “syura” berasal dari sya-wa-ra, yang secara etimologis berarti “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Sejalan dengan pengertian ini, kata “syura”

22

Abdul Wahalab Khallaf, As-Siyasah Asy-Syar’iyah, cetakan pertama, tahun 1931, h. 19 23

Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 2 24


(26)

atau dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah” mengandung makna segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan pengertian lebah yang mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.25

Mayoritas ulama syariat dan pakar undang-undang konstitusional meletakkan “musyawarah” sebagai kewajiban keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok diatas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi. Oleh karena itu musyawarah itu lazim dan tidak ada alasan bagi seseorang pun untuk meninggalkannya.26

Mayoritas ulama fikih dan para peneliti berpendapat bahwa musyawarah adalah prinsip hukum yang bagus. Ia merupakan jalan untuk menemukan kebenaran dan mengetahui pendapat yang paling tepat. Al-Qur’an memerintahkan musyawarah dan menjadikannya sebagai satu unsur dari unsur-unsur pijakan negara Islam.

Adapun yang dimaksud dengan “musyawarah” dalam istilah politik adalah hak partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik. Jika hak partisipasi rakyat ini tidak ada dalam masalah-masalah hukum, maka sistem hukum itu adalah sistem hukum dikatatorial atau totaliter. Jika dinisbatkan kepada sistem Islam, maka kediktatoran itu diharamkan dalam agama Islam sebab bertentangan dengan akidah dan syariat.

Ibnu Taimiyah berkata: “Pemimpin tidak boleh meninggalkan musyawarah sebab Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya dengan hal itu. Al-Qurtubi menukil dari Athiyah sebagaimana dinukilkan juga oleh Abu Hayyan dalam Al-Bahru Al-Muhith: “Musyawarah termasuk salah satu kaidah-kaidah syariat dan sendi-sendi hukum. Pemimpin yang tidak

25

M.Quraishal Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 469 26


(27)

bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama maka wajib diberhentikan. Ini ketentuan yang tidak ada yang membantahnya.27

Ada tiga ayat yang menyebutkan secara jelas akan adanya musyawarah, dan setiap satu dari dua ayat itu mempunyai petunjuk masing-masing. Pertama, firman Allah SWT dalam surat al-Imran/3 ayat 159:

Artinya : “ Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertakwalah kepada Allah. Sesunguhnya Allah mencintai orang yang bertawakal (Q.S: al-Imran/3 ayat 159).

Kedua firman Allah dalam surat asy-Syura/42 ayat 38:

Artinya: “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan shat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menginfakan sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka. (Q.S Asy-Syura ayat 38).

Kemudian nilai musyawarah yang terkandung dalam surat Al-Baqarah/2 ayat 233:

27


(28)

Artinya; “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi Yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban bapak menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang baik. seseorang tidak dibebani lebih dari kemampuannya. Janganlah seseorang ibu itu menderita karena anaknya, dan (jangan juga seseorang bapak itu menderita karena anaknya; dan ahli waris juga menanggung kewajiban seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran, dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al-Baqarah/2 ayat 233).

Sepintas terkesan bahwa ayat yang berbicara tentang musyawarah sangat sedikit dan itu pun hanya bersifat sangat umum dan global, al-Qur’an memang tidak membicarakan masalah ini lebih jauh dan detil. Kalau dilihat secara mendalam, hikmahnya tentu besar sekali. Al-Qur’an hanya memberikan seperangkat nilai-nilai yang bersifat universal yang harus diikuti umat Islam. Sementara masalah cara, sistem bentuk dan hal-hal lainnya yang bersifat terknis diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai dengan kebutuhan mereka dan tantangan yang mereka hadapi. Jadi, al-Qur’an menganut prinsip bahwa untuk masalah-masalah yang bisa berkembang sesuai dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik umat Islam, maka al-Qur’an hanya menetapkan garis-garis besarnya saja. Seandainya masalah musyawarah ini dijelaskan al-Qur’an secara rinci dan


(29)

kaku, besar kemungkinan umat Islam akan mengalami kesulitan ketika berhadapan dengan realitas sosial yang berkembang.28

2. Nilai Keadilan

Kata dasar adil berasal dari kata Arab ‘adl yang berarti lurus, keadilan, tidak berat sebelah, kepatutan, kandungan yang sama, kata kerjanya, ‘adala, ya’dilu, berarti berlaku adil, tidak berat sebelah dan patut, sama, menyamakan, berimbang dan seterusnya.29 John Penrice dalam Dictionary and Glosary of the Qur’an menjelaskan bahwa kata kerja ‘adala dalam al-Qur’an mempunyai berbagai arti. Ia dapat berarti mengurus dengan adil, menegakkan keadilan (Q.S. as-Syura: 14), menyimpang dari keadilan (Q.S an-Nissa: 134), memandang sama (Q.S al-An’am: 1), membayar dengan sama (Q.S. al-An’am: 69) menyocokkan dengan benar (Q.S. al-Infithar: 7).

Sementara itu, kata al-‘adl dalam Al-Qur’an menurut al-Baidhawi bermakna “pertengahan dan persamaan, sedangkan Sayyid Quthub menekankan atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan baginya bersifat inklusif, tidak eksklusif untuk golongan tertentu, sekalipun seandainya yang menetapkan keadilan itu orang muslim untuk orang non-muslim.30

Allah SWT menjadikan al-’adl (berlaku adil) dan Al-Qisth sama artinya sebab hal itu merupakan dasar setiap apa yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana dari nilai-nilai menyeluruh dan kaidah-kaidah umum dalam syariat-Nya. Hal itu adalah sistem Allah dan syariat-Nya, dan atas dasarnya dunia dan akhirat manusia akan beruntung. Di dalam Al-Qur’an nilai keadilan di jelaskan di dalam surat An-Nisaa’/4 ayat 58

28

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), h. 186 29

Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 82 30

Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), (Jakarta;RajaGrafindo Persada, 1994), Cet. I, h. 225


(30)

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu supaya menyerahkan Segala jenis amanah kepada ahlinya (yang berhak menerimanya), dan apabila kamu menjalankan hukum di antara manusia, (Allah menyuruh) kamu menghukum Dengan adil. Sesungguhnya Allah Dengan (suruhanNya) itu memberi pengajaran Yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah sentiasa Mendengar, lagi sentiasa Melihat”. (Q.S. an-Nisaa’/4: 58).

Ayat yang turun tentang ulil amri ini menerangkan bahwa mereka harus menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, yaitu perkara umum yang harus dilaksanakan oleh penguasa.31 Dan apabila mereka menetapkan hukum diantara manusia, dia harus menetapkannya dengan adil. Kesimpulannya bahwa tujuan penguasa dengan keputusannya tersebut adalah memberikan hak kepada yang berhak.

Perhatian al-Qur’an dengan mengukuhkan prinsip “berlaku adil” di antara manusia, baik dalam ayat-ayat makkiyah atau ayat-ayat madaniyah, dan peringatan al-Qur’an terhadap lawannya, yaitu “berlaku zalim” dalam ayat-ayat makkiyah atau ayat madaniyah, tampak jelas secara umum atau secara khusus, terhadap orang yang kita sukai atau orang yang kita benci, baik dalam keadaan damai atau dalam keadaan perang, baik dalam perkataan atau dalam perbuatan, baik terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain. Dengan demikian jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah manhaj Allah dan syariat-Nya. Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia

31

Lihat Al-Mawardi Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, (Kairo: Daar al-Hadits, 2006), hal. 40, disana ia berkata: “Dan yang harus dilakukan oleh pemimpin dari perkara-perkara umum ada 10 macam; 1) memelihalara agama berdasarkan dasar-dasar yang baku, 2) melaksanakan hukum, 3) menjaga kehalormatan Negara, 4) menegakkan sanksi, 5) membela, 6) berjihad melawan orang yang memusuhi Islam setelah memperingatkannya, 7) menarik pajak dan mengumpulkan sedekah, 8) membagikan apa yang harus dibagi dari baitul mal, 9) meminta pendapat kepada orang-orang yang terpercaya dan mengikuti saran para penasihat, 10) memantau langsung segala perkara dan situasi agar dia dapat melaksanakan dengan benar politik umat dan memelihara agama.


(31)

berlaku adil.32 Adil adalah tujuan dalam Negara Islam, adil adalah menegakkan agama dan mewujudkan kemaslahatan rakyat dan sebagai bukti sebaik-baik umat.

3. Nilai Persamaan

Sesungguhnya Islam telah membuat dasar-dasar sistem politik musyawarah yang menerapkan nilai persamaan sebelum Barat mengenalnya dan menyebutkannya dalam perundang-undangan sejak lebih dari 14 abad silam. Begitu juga dengan “nilai musyawarah”, dimana undang-undang positif tidak mengenalnya kecuali setelah revolusi Perancis, selain undang-undang Inggris yang telah mengenalnya di abad ke-17 dan ditetapkan oleh Undang-undang Amerika setelah pertengahan abad ke-18.

Syariat Islam berbeda dengan yang lainnya dalam menetapkan persamaan hak secara mutlak yang tidak diputuskan kecuali sesuai dengan keadilan. Maka tidak ada ikatan dan tidak ada pengecualian. Persamaan hak adalah persamaan yang sempurna antara individu rakyat.

Dalam prakteknya nilai persamaan dapat dilihat dari peristiwa hijrahnya Nabi ke Madinah. Maka ketika beliau hijrah ke Madinah dan kemudian membuat perjanjian tertulis, beliau menetapkan seluruh penduduk Madinah memperoleh status yang sama atau persamaan dalam kehidupan sosial. Ketetapan piagam tentang nilai persamaan ini dapat dilihat pada beberapa pasal Piagam Madinah, diantaranya :

1. Dan bahwa orang Yahudi yang mengikuti kami akan memperoleh hak perlindungan dan hak persamaan tanpa ada penganiayaan dan tidak ada orang yang membantu musuh mereka (pasal 16). 33

32

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, h. 204 33

Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, edisi V, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 12


(32)

2. Dan bahwa Yahudi al-Aus, sekutu mereka dan diri (jiwa) mereka memperoleh hak seperti apa yang terdapat bagi pemilik shahifat ini serta memperoleh perlakuan yang baik dari pemilik shahifat ini (pasal 46).34

Ketetapan ini berkaitan dengan kemaslahatan umum yang menjamin hak-hak istimewa mereka sebagaimana hak dan kewajiban yang dimiliki oleh kaum muslimin. Ketetapan tersebut disamping bersifat umum juga bersifat khusus, yaitu persamaan akan hak hidup, hak keamanan jiwa, hak perlindungan baik laki-laki maupun perempuan, dan baik golongan Islam maupun golongan non-muslim. Dengan begitu Piagam Madinah tidak mengenal kategori dikotomi di antara manusia. Golongan Islam dan penduduk lain sama-sama diakui hak-hak sipilnya, tidak satu golongan pun yang diistimewahkan.35

Nilai persamaan manusia diperkuat pula oleh Nabi dengan sabdanya:“Wahai manusia, ingatlah sesungguhnya Tuhan kamu satu dan bapak kamu satu. Ingatlah tidak

ada keutamaan orang Arab atas orang bukan Arab, tidak ada keutamaan orang bukan

Arab atas orang Arab, orang hitam atas orang berwarna, orang berwarna atas orang

hitam, kecuali karena takwanya”.36

Hadits ini menerangkan bahwa dari segi kemanusiaan tidak ada perbedaan antara seluruh manusia, sekalipun mereka berbangsa-bangsa atau berbeda warna kulit. Umat manusia seluruhnya adalah sama. Keutamaan masing-masing terletak pada kadar takwanya kepada Tuhan.37

Persamaan seluruh umat manusia juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya, surat an-Nisaa’/4 ayat 1:

34

Ibid., h. 15 35

Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), h. 151

36

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Badhrat (al-Mundzir bin Malik). Lihalat Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, Jilid V, hlm. 441.

37

Suyuti Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah (ditinjau dari Pandangan al-Qur’an), h. 153


(33)

……

Artinya, “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak”…...(Q.S. an-Nisaa’/4 ayat 1).

Implementasi nilai persamaan dalam perspektif Piagam Madinah dan Al-Qur’an pada hakikatya bertujuan agar setiap orang atau golongan menemukan harkat dan martabat kemanusiaannya dan dapat mengembangkan potensinya secara wajar dan layak. Nilai persamaan juga akan menimbulkan sifat tolong-menolong dan sikap kepedulian sosial antara sesama, serta solidaritas sosial dalam ruang lingkup sosial yang luas.

C. Konsep dan Teori Pelaksanaan Pengangkatan Kepala Negara dalam Ketatanegaraan Islam

Lembaga kepala Negara dan pemerintahan di adakan sebagai pengganti fungsi kenabian dalam menjaga agama dan mengatur dunia. Pengangkatan kepala Negara untuk memimpin umat Islam adalah wajib menurut Ijma. Akan tetapi, dasar kewajiban itu diperselisihkan, apakah berdasarkan rasio atau syariat?38 Jika kepemimpinan ini wajib diadakan maka kewajibannya adalah wajib kifayah, seperti berjihad dan mencari ilmu pengetahuan, jika ada orang yang menjalankannya dari kalangan orang yang berkompeten maka kewajiban itu gugur atas orang lain, dan jika tidak ada seorang pun menjabatnya maka kewajiban ini dibebankan kepada dua kelompok manusia; pertama adalah orang-orang yang mempunyai wewenang memilih kepala Negara bagi umat Islam, kedua adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi untuk memimpin Negara sehingga mereka menunjuk salah seorang dari mereka untuk memangku jabatan itu.

38


(34)

Adapun orang-orang selain dua kelompok ini tidak berdosa dan tidak bersalah atas penundaan pengangkatan kepala Negara. Jika individu-individu (yang bertugas melakukan pengangkatan kepala Negara) dari dua kelompok ini telah diketahui maka masing-masing mereka harus memenuhi kriteria dan kredibilitas pribadi yang ditetapkan bagi orang-orang yang menjalankan tugas itu.

Mereka yang berhak memilih harus mempunyai tiga syarat berikut ini:39

1. Kredibilitas pribadinya atau keseimbangan (al-‘adalah) memenuhi semua kriteria.

2. Ia mempunyai ilmu pengetahuan yang membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak dan pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dengan syarat-syaratnya. 3. Ia mempunyai pendapat yang kuat dan hikmah yang membuatnya dapat memilih siapa

yang paling pantas untuk memangku jabatan kepala Negara dan siapa yang paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat. Orang yang berdomisili di wilayah yang sama dengan domisili kepala Negara tidak mempunyai keistimewaan tersendiri dibandingkan orang-orang yang tinggal di wilayah lain, namun mereka itu biasanya dapat terlibat dalam pengangkatan kepala Negara sebelumnya, juga karena orang yang pantas memangku jabatan kepala Negara biasanya berada di wilayah itu.

Ketika syara’ mewajibkan umat Islam untuk mengangkat seorang Khilafah, syara’ pun ternyata telah menggariskan thariqah, metode (konsep) yang harus ditempuh untuk mewujudkannya. Metode ini ditegaskan oleh al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.40 Di bawah ini merupakan beberapa konsep dan teori pengangkatan kepala Negara dalam Islam; 1. Bai’at

Bai’at adalah suatu kewajiban bagi seluruh kaum muslimin, sekaligus merupakan hak setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan kewajiban bai’at tersebut

39

Ibid., h.17 40

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1997), cet. I, h. 88


(35)

didasarkan pada hadits-hadits Nabi, diantaranya ialah Sabda nabi Muhammad SAW: “Siapa saja yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at (kepada Khilafah), maka matinya dalam keadaan seperti mati jahiliyah”. (H.R. Imam Muslim).41

Secara etimologis bai’at dapat diartikan seperti pendapat Ibnul Maudzur mengemukakan, baaya’ahu, mubaaya’ah, biyaa’ berarti menawarkannya dengan penjualan. Bai’at adalah transaksi jual beli, pembaiatan, dan kesetiaan. Muchtar As-Sihah menjelaskan, secara etimologis, bai’at berkisar antara jual beli dan jaminan. Baiat berarti perjanjian, kesetiaan, jual beli dan jaminan. Dalam hal ini, Ibnu Hajar menjelaskan orang yang membaiat penguasa telah memberikan kesetiannya dan mengambil pemberian dari orang yang dibaiatnya. Ada perbedaan arti baiat dengan lafadz-lafadz lain yang artinya berdekatan seperti mitsaaq (perjanjian), qasam (sumpah), dan hilf (perjanjian/sumpah).42

al-‘Ahd (perjanjian) berarti menjaga dan melestarikan sesuatu secara berkesinambungan. al-Mitsaaq (perjanjian) berarti akad/transaksi yang dikuasakan dengan sumpah dan perjanjian. al-Yamin (sumpah) berarti tangan kanan yang dipinjam sebagai arti sumpah, sebab tangan kananlah yang digunakan oleh orang yang melakukan perjanjian dan sumpah. al-Hilf (perjanjian) berarti perjanjian diantara kaum. al-Qasam (sumpah) berarti sumpah yang dilakukan oleh para kerabat orang yang terbunuh untuk menuntut darah si pembunuh, kemudian ia menjadi nama untuk semua sumpah.

Sedangkan menurut istilah syara, arti bai’at sebagaimana di terangkan para ulama adalah perjanjian (mu’ahadah), hal ini dijelaskan oleh Nawawi dan Ibnu Hajar. Menurut Ibnu Hazm baiat adalah transaksi (akad), kepemimpinan (imamah), dan kesetiaan, sedangkan menurut Ibnu Katsir dan Thabari berarti mitsaaq (perjanjian).

41

Ibid, h.84

42

Dr. Yahya Ismail, Hubungan Penguasa dan rakyat (Dalam Perspektif Sunnah ), (Jakarta; Gema Insani Press), Cet. Pertama, h. 152


(36)

Pelaksanaan baiat terdiri dari dua, yaitu baiat khusus dan baiat umum. Baiat khusus adalah baiat untuk tetap setia dalam kasus khusus yang tidak bisa dikuasakan kepada orang lain.

2. Ahl al-Hal wa al-‘Aqd

Secara harfiyah, ahl al-hal wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memutuskan dan mengikat. Istilah ahlul hilli wal aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli dan ahli fiqih setelah masa Rasulullah SAW. Mereka berada di antara orang-orang yang dinamakan dengan Ash-Shahabah. Realitanya, masalah “kelompok ahlul Hilli wal Aqdi dan pemilu, adalah seperti masalah kekhilafahan sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Khaldun yakni termasuk kemaslahatan umum yang semua pengaturannya diserahkan kepada rakyat. Hal itu tidak termasuk masalah-masalah yang berkaitan dengan ibadah atau keyakinan, tetapi termasuk adat.43

Tidak diragukan lagi bahwa banyaknya sebutan kelompok Ahlul Hilli wal Aqdi dalam turats fikih kita sejak awal Islam, yang mereka adalah Dewan Perwakilan Rakyat atau Ahlul Ikhtiyar, yang para khilafah selalu merujuk kepada mereka dalam perkara-perkara rakyat juga berkomitmen dengan pendapat mereka, dan mereka mempunyai hak untuk memilih atau menobatkan khilafah juga memberhentikannya, menguatkan kekuasaan besar yang dimiliki kelompok ini (ahlul Hilli wal Aqdi) dan jelas menujukkan bahwa kelompok ini merupakan lembaga legislatif.

Metode pemilihan kepala Negara dalam Islam termasuk masalah-masalah yang mempunyai bentuk politik konstitusional yang terpengaruh dengan kondisi dan keadaan masyarakat juga perubahan-perubahan zaman. Di dalam masalah ini adalah bahwa rakyat yang memiliki kekuasaan dalam memilih pemimpin, sementara Ahlul Hilli wal Aqdi mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat, tetapi memiliki kapabilitas untuk memikul tanggung jawab memilih pemimpin. Di dalam karangannya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah,

43


(37)

Al-Mawardi menjelaskan mengenai masalah ini bahwa berada di hadapan satu gambaran dari beberapa gambaran pemilu “Apabila Ahlul Hilii wal Aqdi berkumpul untuk memilih, mereka meneliti keadaan orang-orang yang berhak menjadi pemimpin yang sudah masuk kriteria, lalu mereka mengajukan orang yang terbaik dan yang paling sempurna kriterianya untuk disumpah, mengajak rakyat untuk taat kepadanya dan tidak menahan diri dari membaiatnya”.44

Di dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi Negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah. Perkara ini mendorong para pakar di bidang perbandingan antara undang-undang konstitusional modern dan fikih politik Islam untuk mengatakan bahwa dewan-dewan parlementer sama dengan Majelis Permusyawaratan atau ahli syura dalam Islam.

Persyaratan yang harus dimiliki oleh Ahlu Hilli wal Aqdi, Al-Mawardi berkata di dalam al-Ahkam al-Sulthaniyah, mengenai ahlul ikhtiyar, syarat-syarat yang layak dipertimbangkan berkenaan dengan mereka ada tiga, kemudian Al-Mawardi menerangkannya sebagai berikut:45

a) Keadilan yang integral dengan syarat-syaratnya, yang dimaksud dengan keadilan adalah istiqamah, integritas (amanah), dan sifat wara’, atau dalam istilah sekarang kita katakan ketakwaan dan akhlak yang mulia.

44

Imam Al Mawardi, Al-Ahalkam As-Sulthaniyah, h. 25 45

Dr. M. Dhiauddin Rais, Teori Politk Islam, (Jakarta;Gema Insani Press 2001), Cet. I, h. 177


(38)

b) Kapabilitas keilmuan yang dengannya ahlul Hilli wal ‘Aqdi dapat mengetahui orang yang berhak menjadi imam dan yang sesuai dengan syarat-syarat yang menjadi bahan pertimbangan.

c) Memiliki sikap dan kebijaksanaan (al-hikmah) yang akan mendorong memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam dan lebih tepat dapat mewujudkan kemaslahatan umum.

Itulah syarat-syarat bagi ahlul ikhtiyar, dapat dicermati bahwa dalam syarat-syarat tersebut tidak terdapat syarat material seperti seorang ahlul ikhtiyar mesti memiliki harta atau property tidak bergerak dalam jumlah tertentu.

Imam An-Nawawi sempat menyinggung juga tentang ahlul hilli wal Aqdi dalam bukunya Al-Minhaj, bahwa mereka adalah para ulama, pemimpin-pemimpin, dan pemuka-pemuka rakyat, yang mudah dikumpulkan, lebih ringkas An-Nawawi memahami bahwa yang dimaksudkan ulama adalah para pemimpin umat, atau individu-individu umat yang paling menonjol, ataupun juga orang yang mewakili kepentingan umat.46

3. Sistem Putera Mahkota

Sistem putra mahkota merupakan sistem yang mungkar dalam pandangan sistem Islam, serta bertentangan dengan sistem Islam karena kekuasaan adalah milik umat, bukan milik khilafah.47 Kalau khilafah hanya merupakan wakil umat untuk memegang kekuasaan sementara statusnya tetap sebagai wakil, maka bagaimana mungkin khilafah bisa menghadiahkan kekuasaannya kepada orang lain. Karena itu apa yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada Umar bukan merupakan wilayatul ahdi (pewarisan kepada putra mahkota), karena ia melakukan pemilihan berdasarkan aspirasi umat Islam semasa hidupnya. Lalu Umar di bai’at setelah beliau wafat.

46

Ibid, h. 178 47

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahalan Islam (Doktrin Sejarah Empirik), h. 110


(39)

Di samping itu, Abu Bakar sebenarnya telah bertindak hati-hati untuk menyelesaikan urusan tersebut sebagaimana nampak dalam khutbahnya, beliau mengantungkan pelaksanaan urusan tersebut kepada ridla kaum muslimin, ketika beliau berkhutbah di hadapan mereka, setelah menerapkan pendapatnya untuk menunjuk pengganti beliau sembari berkata; “Apakah kalian menerima orang yang telah aku tunjuk sebagai penggantiku (dalam memimpin) kalian? Demi Allah, aku telah menyerahkan segenap kemampuan, dan aku tidak akan menunjuk sanak kerabat sebagai pemimpin”.48 Atas dasar ini pula Umar bin Khattab menjadikan puteranya, Abdullah bersama enam orang calon khilafah, dimana keenam-enamnya memiliki hak untuk memilih dan dipilih, sedangkan Abdullah hanya memiliki hak memilih dan tidak berhak dipilih, sehingga tidak ada yang menyerupai wilayatul ahdi (putera mahkota). Berbeda dengan sistem putera mahkota yang telah dilakukan oleh Mu’awiyah karena dalam prakteknya memang jelas bertentangan dengan Islam.

Sedangkan yang menyebabkan Mu’awiyah melakukan bid’ah yang jelas munkar tersebut yaitu melakukan wilayatul ahdi adalah :49

a) Mu’awiyah memahami, bahwa sistem kepemimpinan Daulah Islam adalah sistem kerajaan, bukan sistem khilafah.

b) Mu’awiyah telah memperalat nash-nash syara’ lalu mena’wilkannya (memberikan arti tidak sesuai dengan maksud nash itu sendiri). Islam telah memberikan hak pemilihan khilafah kepada umat, dan hal itu pun telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bahkan beliau memberikan kebebasan kepada kaum muslimin memilih orang yang lebih layak untuk memimpin urusan mereka. Namun Mu’awiyah justru terpengaruh untuk memahami Islam dengan sistem yang sedang berlangsung ketika itu, yaitu yang ada pada dua Negara: Bizantium dan Sasaniyah, dimana pada kedua Negara tersebut

48

Ibid

49


(40)

pemerintahannya mempergunakan sistem waris. Karena itu Mu’awiyah menjadikan Yazid sebagai putera mahkotanya, lalu disiasati dengan mengambil bai’at untuk Yazid semasa hidup Mu’awiyah.

c) Metode Ijtihad Mu’awiyah dalam masalah politik dibangun di atas asas manfaat. Karena itu dia menjadikan hukum-hukum syara’ mengikuti problem yang ada, bukan hukum-hukum tersebut dipergunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, maka Mu’awiyah mena’wilkan hukum-hukum agar sesuai dengan problem-problem yang ada. Padahal semestinya, dia harus mengikuti metode ijtihad yang Islami dengan cara menjadikan asasnya adalah kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, bukan berdasarkan kemanfaatan materi. Dan semestinya menjadikan hukum-hukum Islam sebagai penyelesai masalah-masalah pada zamannya tersebut untuk menyelesaikan hukum Islam, sehingga akan terjadi perubahan penggantian bahkan pemutarbalikan terhadap hukum-hukum Islam.

Meskipun cara pelaksanaan pemerintahan yang menitikberatkan putera mahkota banyak mendapatkan pertentangan, namun para fuqaha telah menetapkan bahwa pembolehan tercapainya keimamahan dengan cara menentukan putera mahkota dapat dijustifikasi dengan ijma ulama. Al-Mawardi berkata, “Mengenai terlaksananya keimamahan dengan penunjukkan yang dilakukan oleh khilafah atau raja adalah hal yang telah tercapai ijma/kesepakatan untuk pembolehannya, dan telah disepakati keabsahannya, yaitu dengan dua perkara yang telah dilakukan oleh kaum muslimin dan mereka tidak saling berselisih.50 Ijma yang pertama adalah bahwa Abu Bakr r.a telah menurunkan kekhilafahan kepada Umar r.a dan kaum muslimin mengakui keimamahan Umar dengan penujukkan yang dilakukan Abu Bakr. Ijma yang kedua, yaitu bahwa Umar r.a telah mewariskan keimamahan kepada tim permusyawaratan (ahli syura). Para ahli

50


(41)

syura tidak menolak untuk masuk ke dalam tim ini, padahal mereka merupakan petinggi-petinggi masyarakat di kala itu.

D. Pelaksanaan Pemilu dalam Pandangan Ulama Kontemporer

Keseluruhan para pemimpin dan sarjana Islam, gerakan Islam di seluruh dunia dimulai dari Asia Tenggara sampai Afrika Barat yang lahir melalui gerakan pembaharuan, berijtihad ikut serta melaksanakan pemilihan umum yang merupakan ajaran demokrasi Barat. Walaupun mereka tahu demokrasi merupakan warisan penjajah, tetapi mereka mendukung mewujudkannya selepas para penjajah meninggalkan negeri mereka.

Kita tahu bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan syarat tegaknya Negara demokrasi, Islam memandang bahwa pemilihan kepala Negara sama halnya dengan pemilihan Imam dalam pelaksanaan Shalat. Melihat strategisnya jabatan kepemimpinan umum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, maka proses pemilihan pemimpin melalui pemilihan umum menjadi sangat strategis pula.51 Berbicara dari sudut kepentingan ummat, maka kepemimpinan umum ini baik legislatif, dan eksekutif maupun yudikatif sangat menentukan perjalanan ummat dan sejarah di beberapa Negara Islam.

Dalam pandangan Islam, hukum asal pemilu dan melibatkan diri di dalamnya adalah mubah. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa, pemilu merupakan aqad wakalah dalam hal aspirasi dan pendapat. Selama rukun dan syarat wakalahnya telah terpenuhi dan sejalan dengan prinsip Islam, maka absahlah akad wakalah tersebut.52 Dalam sebuah riwayat dituturkan bahwa, pada saat bai’at al-aqabah II, Rasulullah meminta 12 orang sebagai wakil dari 75 orang Madinah yang membai’at beliau SAW. Lalu, 75 orang tersebut memilih 12

51

Rifyal Ka’bah, Politik dan Hukum dalam al-Qur’an, h. 56

52

A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman, Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen), (Bogor: Al-Azhar Press,2004), Cet. I, h. 1


(42)

orang sebagai wakil mereka. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW telah melakukan aktivitas wakalah.53

Akan tetapi, pemilu dalam sistem Islam tentu saja berbeda dengan pemilu dalam sistem pemerintahan demokratik. Asas, prinsip, maupun tujuan-tujuannya saling bertolak belakang dan bertentangan. Oleh karena itu di bawah ini akan dikelompokkan kepada dua kelompok ulama kontemporer yang mengkaji mengenai pemilihan umum , pertama mereka yang menganggap pemilu dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Islam, dan kedua mereka yang menolak pelaksanakan pemilu didalam pemerintahan Islam.

1. Kelompok Yang Menerima Pelaksanaan Pemilu dalam Pemerintahan Islam

Pada dasarnya penerapan syariat Islam dalam bentuk konstitusi dan perundang-undangan Negara merupakan tanggung jawab terbesar kaum muslimin. Selain karena alasan normatif, penerapan syariat Islam dalam lingkup Negara diyakini sebagai satu-satunya jalan keluar bagi seluruh umat manusia, bukan hanya umat Islam dari berbagai problem yang menimpa mereka. Penerapan Islam dan Negara Islam adalah dua sisi yang tidak mungkin dipisah-pisahkan lagi. Sebab, Islam tidak pernah mempertentangkan atau mengkonfrontasikan hubungan antara Negara dan agama. Negara dan agama adalah satu kesatuan yang tidak mungkin dibagi-bagi lagi. Pemerintahan dan Negara merupakan bagian dari ajaran Islam yang mengatur hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lain.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, “Mesti dipahami bahwa mengurusi urusan rakyat (pemerintahan/Negara) merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan, agama ini tidak akan mungkin bisa tegak tanpa adanya Negara. Iman al-Ghazali menegaskan, “Kita tidak mungkin bisa menetapkan suatu perkara ketika Negara tidak lagi memiliki imam dan peradilan telah rusak.54

53

Ibid 54


(43)

Dalam sistem pemerintahan Islam, pemilu merupakan media untuk memilih anggota majelis ummat, serta salah satu cara (uslub) untuk memilih seseorang yang akan dicalonkan sebagai kepala Negara, Dr. Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul fatwa-fatwa kontemporer, beliau mengutarakan bahwa penguasa menurut pandangan Islam merupakan wakil umat atau pelayan umat, maka di antara hak yang mendasar bagi umat ialah mengoreksi sang wakil dan melepas atau menarik wewenang perwakilannya jika mereka menghendaki.55 Lebih-lebih jika penguasa menyelewengkan wewenangnya dan mengabaikan kewajibannya. Lebih jauh Qardhawi mengatakan tidak ada larangan dalam syara’ untuk mengutip idea atau teori dan praktik dari kalangan non-muslim, karena Nabi SAW, sendiri pada waktu perang Azhab telah mengambil gagasan “mengali parit” sebagai suatu uslub (cara) yang biasa dipakai orang Persia. Beliau juga memanfaatkan tawanan-tawanan musyrikin dalam perang Badar yang mengerti tulis baca untuk mengajar tulis baca kepada anak-anak kaum muslimin.56

Kemudian Imam Qardhawi melihat peraturan seperti pemilihan umum atau pemungutan suara, maka menurut pandangan Islam hal itu merupakan “pemberian kesaksian” terhadap kelayakan si calon. Oleh sebab itu, pemberi suara haruslah memenuhi syarat sebagaimana halnya saksi, yaitu adil dan baik perilakuknya sehingga diridhai orang banyak. Maka barangsiapa memberikan kesaksian terhadap seseorang bahwa ia orang yang saleh padahal orang itu bukan orang saleh, berarti ia telah melakukan dosa besar, karena memberikan kesaksian palsu. Disisi lain, barangsiapa yang tidak mau memberikan suaranya dalam pemilihan sehingga orang yang berkelayakan dan terpercaya (jujur) mengalami kekalahan, sedangkan orang yang tidak layak dan tidak

55

Dr. Yusur Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer (jilid II), (Jakarta ; Gema Insani Press, tt.) h. 929 56


(44)

memenuhi syarat sebagai orang “kuat dan terpecaya” mendapatkan kemenangan, berarti dia telah menyembunyikan kesaksian yang sangat dibutuhkan umat.57

Kemudian Imam Hasan al-Banna berpendapat Daulat Islam di dalam Islam terbentuk dari tiga kaedah pokok yaitu bentuk dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Kaedah-kaedah tersebut ialah:58

a) Tanggung jawab pemerintah di hadapan Allah dan manusia. b) Kesatuan umat Islam atas dasar akidah Islam.

c) Menghormati kehendak umat dengan mewajibkan bermusyawarah, mengambil pendapat dan menerima perintah serta larangan umat.

Apabila kaedah-kaedah ini telah mencukupi pada Negara ia maka ia termasuk ke dalam ketegori Negara Islam meskipun apa dan bagaimana bentuknya, karena nama dan bentuknya sudah tidak memberi arti lagi. Lebih jelas lagi Imam Hassan Al-Banna memberi fatwa bahwa pemilihan umum dapat dilaksanakan asalkan dengan menggunakan sistem Islam, seperti melakukan musyawarah, berlaku adil, dan lain-lain. Satu lagi ulama kontemporer yang membolehkan pelaksanaan pemilihan umum adalah Haji Abdul Hadi Awang seorang ulama Malaysia, beliau berpendapat “Oleh karena tidak ada dalil yang menentukan pemimpin setelah wafatnya Nabi Muhammad, pemilihan dilakukan dikalangan para sahabat. Cara pemilihan pula berubah di kalangan empat Khulafaur Rasyidin karena mereka melakukan berdasarkan keadaan dan pendapat umum”.59 Menurutnya pelaksanaan pemilihan umum adalah konsep pemilihan yang juga wajib dalam pelaksanaan demokrasi.

57

Ibid, h. 930

58

Dr. Muhalammad Abdul Qadir Abu Faris, Fiqh Siasah (menurut Imam Syahid Hassan Al-Banna), (Kuala Lumpur: Pustaka Syuhada, 2000), Cet. I, h. 74

59


(45)

Kemudian kumpulan ulama Malaysia dari Partai PAS yang diketuai oleh Dato Haji Husain Awang yang menjabat sebagai ketua dewan ulama PAS Negeri Terengganu telah bermusyawarah bersama-sama dan menyepakati bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan menegakkan hukum syara, karena dengan adanya pemilihan umum maka pemerintahan Islam dapat dijalanakn. Lebih lanjut pemerintahan Islam itu adalah berbentuk “khilafah” atau “imarah mukminin” atau pun disebut juga sebagai “imamatul uzma”. Ia merupakan sebuah pemerintahan yang berdasarkan kepada syaraiah islamiah sama ada dari aspek perlembagaan, undang-undang, ekonomi dan lain-lain.60

2. Kelompok Yang Menolak Pelaksanaan Pemilu dalam Pemerintahan Islam

Di dalam pelaksanaan pemilihan umum dalam faktanya diantara sistem Islam dengan sistem demokrasi berbeda baik dari segi asas, prinsip, maupun tujuan–tujuannya saling bertolak belakang dan bertentangan. Pemilu di dalam sistem demokrasi terikat dengan prinsip dan sistem demokrasi sekuler. Pemilu dalam sistem demokrasi ditujukan untuk memilih wakil rakyat yang memiliki beberapa fungsi salah satunya adalah fungsi legislasi dan kontrol. Di dalam pemilihan umum biasanya menentukan orang-orang yang akan duduk di parlemen, ketidak bolehan kaum muslim berkecimpung di dalam parlemen, tidak boleh dipahami sebagai masalah ijtihadiyah. Sebab, dalil-dalil yang mengharamkan memasuki dan berkecimpung di dalam parlemen (dengan sistem seperti saat ini) dilalahnya adalah pasti. Disebut persoalan ijtihadiyah jika persoalan tersebut diistinbatkan dari dalil-dalil yang bersifat dzanniyah, sehingga masih membuka ruang untuk perbedaan pendapat dan interpretasi. Namun, jika suatu masalah diistinbathkan dari dalil-dalil yang qath’i maka ia tidak lagi disebut sebagai persoalan ijtihadiyah. Sebab, persoalan seperti ini (qath’i) tidak membuka ruang untuk perbedaan pendapat dan interpretasi. Perbedaan pendapat dalam wilayah qath’i merupakan perbedaan yang

60


(46)

dilarang dalam agama Islam (ikhtilaaf tadldlad). Adapun dalil-dalil yang mengharamkan kaum muslimin berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah sebagai berikut.61

Pertama, larangan duduk di majelis yang mempermainkan dan mendustakan ayat-ayat Allah SWT. al-Qur’an telah menyatakan dengan jelas dalam Q.S al-An’am/6 ayat-ayat 68:

Artinya: “Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu”. (Q.S Al-An’am/6 ayat :68).

Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’/4 ayat 140:

Artinya: “Dan sungguhnya ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini, “Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan ini, sebab jika kalian melakukan seperti itu, maka kamu seperti mereka”. (Q.S. An-Nisaa’/4: 140).

61

A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen),h. l.43


(47)

Ayat-ayat ini dilalahnya qath’iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan bahwa, orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah dan mengingkari ayat-ayat Allah, telah terjatuh perbuatan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok dan mengingkari ayat Allah, ditujukan (diindikasikan) dengan firman-Nya, sebab jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka” (Q.S An-Nisaa’ ayat 140).

Sesungguhnya, sistem aturan yang ada di parlemen dan pemilu merupakan penghalang terbesar bagi kaum muslim untuk berkecimpung di dalamnya. Sebab, sistem aturan tersebut akan memaksa siapa saja yang ada di dalamnya untuk tunduk pada aturan-aturan kufur.

Kedua, ada larangan untuk berhukum dengan aturan yang tidak lahir dari aqidah

Islam. Pada dasarnya, sistem aturan yang mengatur pemilu dan parlemen sama sekali tidak lahir dari aqidah Islam. Seluruh aturannya muncul dari paham sekulerisme dan demokrasi yang sangat bertentangan dengan Islam. al-Qur’an telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa, pihak yang berhak menetapkan aturan hanyalah Allah SWT. Allah SWT berfirman di dalam surat al-An’am/6 ayat 57:

………..

Artinya: “……….Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah SWT. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik”. (Q.S al-An’am/6 ayat 57).

Ketiga, fakta-fakta pemilu dan parlemen yang berlangsung saat ini adalah faktor yang menghalangi kaum muslimin untuk terlibat di dalamnya. Sebab, fakta-fakta parlemen kita dan pemilu sekarang jelas-jelas bertentangan dengan syariah Islam.

Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika engkau melihat orang-orang kafir mempermainkan al-Qur’an dengan kebohongan dan kedustaan, dan olok-olok, maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka


(48)

sampai mereka mengalihkan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olok dan pendustaannya”.62

Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi SAW dan al-Qur’an,orang-orang musyrik itu lantas mencela dan mempermainkan”. Setelah itu, Allah SWT memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka mengalihkan kepada pembicaraan lainnya (Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, Juz II, h.437).63

Dan diantara ulama yang paling keras dalam menentang pemilu dan mendasarkannya kepada demokrasi adalah Syaikh Abu Muhammad Ashim Al-Maqdisiy di dalam karya ilmiahnya yang berjudul Syirik Demokrasi Menghantam Islam (Demokrasi Adalah Agama Syirik Baru), beliau mengatakan bahwa:

Demokrasi adalah buah dari agama sekuler yang sangat jelek, dan anaknya yang tidak sah, karena sekulerisme adalah paham kafir yang intinya memisahkan agama dari tatanan kehidupan, atau memisahkan agama dari Negara dan hukum. Rakyat dalam paham demokrasi adalah diwakili oleh para wakilnya (para anggota dewan), setiap kelompok (organisasi), atau partai, atau suku memilih tuhan buatan dari arbaab yang beragam asal usulnya untuk menetapkan hukum dan perundang-undangan sesuai dengan selera dan keinginan mereka, namun ini sebagaimana yang sudah diketahui sesuai dengan rambu-rambu dan batasan undang-undang yang berlaku. Diantara mereka ada yang mengangkat (memilih) sembahan dan pembuat hukumnya sesuai dengan asas dan idelogi baik itu tuhan dari partai fulan, atau tuhan dari partai itu.64

Dan ulama yang memberikan komentar tentang dilarangnya penyelenggaraan pemilu adalah Syaikh Muqbil, beliau melarang secara mutlak keikutsertaan dalam pemilu,

62

A. Said ‘Aqil Humam ‘Abdurrahman Hukum Islam Seputar (Pemilu dan Parlemen),h. 21

63

Ibid

64

Syaikhal Abu Muhammad Ashim Al-Maqdisiy, Syirik Demokrasi Menghantam Islam (Demokrasi Adalah Agama Syirik Baru), (t.p. t.t), h. 32


(1)

Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasa142 Cukup jelas. Pasa143 Ayat (1)

Penggabungan Partai Politik dalam ketentuan ini bukan merupakan gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Undang--Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun 2004 tidak hilang bagi Partai Politik yang bergabung.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46

Yang dimaksud dengan "sesuai dengan undang-undang" dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan undang-undang organik yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan pengawasan. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas.


(2)

Pasal 52

Cukup jelas. Pasal 53

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4801


(3)

Wawancara Penulis dengan Timbalan Pengarah Pilihan Raya Negeri Terengganu

Nama : Abdul Hadi bin Aripin Konsentrasi : Ketatanegaraan Islam Jurusan : Jinayah Siyasah Syar’iyyah Fakultas : Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Soalan :

1. Mengapa SPR tidak melaksanakan penggunaan tinta jari (dakwat) untuk menghindari pemilihan dua kali dalam pemilu (pilihan raya ) 2008 baru-baru ini ?

2. Bagaimana SPR mengawali pembaharuan daftar pemilih yang lengkap demi memastikan segala kesalahan dan ketimpangan yang ada harus dihapuskan ?

3. Saya sebagai mahasiswa Universias Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta telah berpengalaman menjadi agen (saksi) pilihan raya dalam tempat mengundi pada pilihan raya than 2008 yang telah berlangsung beberapa hari yang lalu dan saya melihat ketelusan keadilan dan disiplin yang tinggi yang dilaksanakan oleh pegawai-pegawai SPR yang bertugas. Bagaimana SPR sebuah badan yang independent dapat mempertahankan keadilan, apakah prinsip-prinsipnya?


(4)

Jawaban dari soalan diatas yang di sampaikan oleh Timbalan Pengarah Pilihan Raya Negeri Terengganu

1. jaja

2. Tuk soalan mengenai pendaftaran pemilih sekiranya kita hendak tahu dahulu apakah yang dimaksudkan dengan urusan pendaftaran pemilih. Urusan pendaftaran pemilih ialah suatu urusan di mana seseorang warganegara yang layak diberi peluang untuk mendaftarkan nama mereka sebagai pemilih baru di dalam daftar pemilih yang akan digunakan semasa sesuatu pilihan raya. Bagi mereka yang sudah mendaftar dan telah bertukar alamat kediaman pula, mereka dibenarkan membuat permohonan pertukaran alamat tempat mengundi mengikut alamat kediaman mereka yang terkini.

Selanjutnya kita juga hendaknya tahu mengenai peranan SPR dalam urusan pendaftaran. Apabila SPR ditubuhkan pada 4 September 1957, tugas pendaftaran pemilih telah menjadi sebahagian daripada tanggungjawabnya selain daripada urusan persempadanan bahagian-bahagian pilihan raya dan menjalankan pilihan raya. Tugas ketua pegawai pendaftar ketika itu telah diserapkan ke dalam organisasi SPR apabila jawatan tersebut dikekalkan dalam struktur baru urus setia SPR.

Urusan pendaftaran pemilih pertama kali yang dikendalikan oleh SPR telah diadakan pada tahun 1958. dalam urusan tersebut SPR telah melantik seramai 2500 orang penolong pendaftar untuk melawat dari rumah ke rumah bagi menyemak kelayakan pemohon untuk di daftarkan sebagi pemilih. Urusan pendaftaran ini adalah dilakukan secara langsung oleh penolong pendaftar kerana mereka inilah yang dipertanggungjawabkan untuk mendaftarkan orang ramai sebagai pemilih.


(5)

Pada tahun 2002, apabila system pendaftaran pemilih sepanjang tahun (SPPST) diperkenalkan, urusan pendaftaran pemilih telah diperluas kepada pejabat pos dengan harapan orang ramai akan lebih mudah untuk mendaftar sebagai pemilih. Namun demikian sambutan yang diperoleh tidak juga membanggakan. Daripada rekod data warganegara Malaysia berumur 21 tahun keatas yang diperoleh daripada jabatan pendaftaran Negara. SPR mendapati masih terdapat hamper empat juta warganegara Malaysia yang layak mendaftar tetapi belum mendaftar sebagai pemilih. Untuk menyelesaikan permasalahan semacam ini, bagi SPR dalam mesyuaratnya pada pertenggahan tahun 205 telah bersetuju untuk membenarkan parti-parti politik membantu SPR untuk mendaftarkan warganegara Malaysia sebagai pemilih. Sehubungan dengan ini SPR telahpun mendapatkan kelulusan perbendaharaan untuk membuat bayaran kepada penolong pendaftar yang dilantik dengan kadar RM 1.00 bagi satu borang permohonan pendaftaran pemilih yang sah diterima sebagai dorongan kepada penolong pendaftar untuk mendaftar seramai yang boleh. Dengan pelantikan penolong pendaftar (parti-parti politik) ini adalah diharapkan mereka akan dapat membantu SPR mendaftarkan pemilih-pemilih yang belum mendaftar sebagai pemilih. SPR percaya bahawa sebagai parti politik, mereka akan dapat melaksanakan tugas dengan baik kerana ini adalah berkaitan dengan kepentingan parti masing-masing. dengan kebenaran yang diberikan ini SPR berharap tidak ada mana-mana pihak menuduh SPR menyebelahi pihak tertentu dalam urusan pendaftaran kerana peluang yang sama untuk melantik penolong pendaftar di kalangan parti-parti politik dibenarkan kepada semua pihak tanpa sebarang sekatan.

3. Menjalankan pilihan raya merupakan suatu tanggungjawab berat yang perlu dipikul demi memastikan bahawa proses pemilihan wakil secara legitimate dan demokratik melalui system pilihan raya dilaksanakan dengan cakap dan telus. Sebagai sebuah badan pengurusan pilihan raya, suruhanjaya pilihan raya (SPR) tidak terkecuali daripada melaksanakan tanggungjawab yang senantiasa terbuka kepada kritikan umum ini. Sebagai pengadil, kecakapan dalam menguruskan pertandingan diantara pihak-pihak yang bertanding di antara


(6)

pihak-pihak yang bertanding sentiasa diperhatikan oleh semua pihak, sama ada pihak yang bertanding mahupun pihak yang berada di luar pertandingan. Bagi memastikan pertandingan itu dijalankan mengikut ketetapan undang-undang dan semangat pertandingan yang luhur, kerjasama semua pihak adalah diperlukan. Ini kerana semua pihak sama ada yang berada di dalam gelanggang pertandingan ataupun yang hanya duduk sebagai pemerhati mempunyai peranan yang tersendiri bagi memastikan pertandingan itu dijalankan secara adil dan saksama serta dalam semangat pertandingan yang positif.