Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Konteks Rumah Tangga

2. Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Konteks Rumah Tangga

Persoalan kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender gender-based violence. Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki. Kekerasan justru mengancam kaum perempuan yang secara langsung berkaitan dengan identitas seksualitasnya sebagai perempuan. Paling tidak terdapat tiga kriteria yang biasa digunakan membuat kategorisasi jenis-jenis kekerasan berbasis gender. Pertama, kriteria motif kekerasan seperti yang ditawarkan oleh Coomaraswany seperti yang dikutip oleh Aroma Elmina Martha 41 1 Jenis tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan semata- mata karena seksualitas dan gender mereka seperti tindakan perkosaan, pembunuhan bayi perempuan, perdagangan perempuan serta kejahatan seksual lainnya. Semua perbuatan kekerasan ini secarra fundamental berhubungan erat dengan konstruksi masyarakat tentang seksualitas perempuan dan peranannya dalam hierarki sosial. : 2 Jenis kekerasan yang dialami perempuan karena pertalian hubungannya dengan seorang laki-laki. Tindak kekerasan jenis ini dapat berupa kekerasan domestik, sati, dan kejahatan yang berdalih kehormatan . kekerasan kategori ini muncul akibat pemosisian 41 Aroma Elmina Martha, Op.cit, hal 25-26. Universitas Sumatera Utara perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan mendapat perlindungan dari seorang pelindung laki-laki; pertama ayahnya, yang kedua suaminya. 3 Jenis tindakan kekerasan yang ditimpakan kepada seseorang perempuan karena ia warga dari suatu etnis atas ras tertentu. Hal ini biasanya terjadi dalam perang, kerusuhan, atau pertikaian antar kelas atau kasta. Pertempuran dijadikan sarana penghinaan terhadap kelompok lain dengan cara menyakiti, melukai, memperkosa, atau membunuh mereka. Praktek ini erat kaitannya dengan persepsi bahwa perempuan adalah milik laki-laki yang menjadi musuh laki-laki lain, sehingga cara yang paling efektif untuk melihat kelemahan lawan adalah dengan menyerang perempuan milik lawannya. Kedua, kriteria tempat terjadinya kekerasan. Bila kriteria ini digunakan maka ada tiga wilayah tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu di dalam keluarga domestic violence, di lingkungan komunitas dan tempat umum serta di tempat kerja non-domestic violence. Ketiga, kriteria pelaku kekerasan. Berdasarkan kriteria ini dibedakan dua jenis kekerasan gender yang dilakukan oleh orang dekat yang dikenal dan yang dilakukan oleh pihak-pihak asing strangers. Kekerasan berbasis gender yang dilakukan oleh Negara atau pihak-pihak yang direstui oleh Negara state violence termasuk dalam kategori yang kedua ini. Perempuan dan anak perempuan rentan dengan perlakuan yang diskriminatif dan hal tersebut cenderung menyebabkan terjadi kekerasan terhadap Universitas Sumatera Utara mereka. Dalam konteks kekerasan dalam rumah tangga, perempuan bahkan selalu saja menjadi korban dalam rumahnya sendiri. Sulit dibayangkan bahwa pelakunya adalah orang-orang dekat mereka yang justru seharusnya mencintai dan menjaga mereka seperti ayah, suami, paman, kerabat atau orang-orang yang ada di dalam rumah mereka. Laporan yang datang dari segala penjuru dunia mencatat bahwa kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam segala lapisan masyarakat, dari kalangan bawah, menengah sampai kalangan atas. 42 Berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga maka kejahatan ini sesungguhnya kurang mendapatkan tanggapan yang serius dari masyarakat. Hal ini disebabkan oleh berbagai alasan 43 Pertama, kekerasan dalam rumah tangga memiiliki ruang lingkup relatif tertutut pribadi dan terjaga ketat dengan alasan privacy karena persoalannya terjadi di dalam area keluarga. : Kedua, kekerasan dalam rumah tangga seringkali dianggap “wajar” karena diyakini bahwa memperlakukan istri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu perkawinan. Kenyataan inilah yang menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap keluh kesah para istri yang mengalami persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Akibatnya mereka memendam persoalan itu sendirian, tidak 42 Sulistyowati Irianto Ed. 2006. Perempuan Hukum: Menuju Hukum yang Berpersfektif Kesetaraan dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal 311-312. 43 Aroma Elmina Martha, Op. cit, Hal 30. Universitas Sumatera Utara tahu bagaimana menyelesaikannya dan semakin yakin pada anggapan yang keliru bahwa suami memang mengontrol istrinya. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang diakui sebagai problem sosial ini awalnya adalah tindakan kekerasan terhadap anak abuse of children. Defenisi ini hanya terbatas pada penganiayaan dan pemyiksaan, namun perkembangannya diperluas dalam bentuk kekurangan gizi, kekerasan seksual, penelantaran pendidikan, kesehatan yang tidak terurus, dan kekerasan secara mental. Perkembangan ruang lingkup selanjutnya adalah penganiayaan terhadap istri. Diakui bahwa kekerasan terhadap istri menjadi problem masyarakat bersama, sehingga ruang lingkup kejahatan ini termasuk juga kekerasan seksual, perkosaan dalam rumah tangga dan pornografi. KDRT terjadi dalam lingkup personal yang penuh muatan relasi emosi, penyelesaianya tidak segampang kasus-kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan domestik cenderung membisu. Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tindakan KDRT seperti fenomena gunung es, lebih banyak kasus yang terpendam ketimbang yang terlihat. Beberapa alasan yang membuat korban enggan melakukan tindakan hukum ketika terjadi kekerasan, antara lain: 1. Bahwa tindakan kekerasan yang dialami adalah sesuatu yang lumrah terjadi, bahkan dianggap sebagai proses pendidikan yang dilakukan suami terhadap istri, atau orangtua terhadap anak. Anggapan ini dihubungkan dengan kepercayaan bahwa suami adalah pemimpin keluarga, sehingga Universitas Sumatera Utara mempunyai hak mengatur kalau perlu dengan kekerasan terhadap anggota keluarganya. 2. Harapan bahwa tindak kekerasan akan berhenti. Tindakan kekerasan mempunyai “siklus kekerasan” yang menipu. Hal itu dibungkus sebagai rasa cinta dan komitmen pada pasangannya, tetapi terus berulang. 3. Ketergantungan ekonomi. Jika perempuan memiliki kemandirian ekonomi dan mempunyai hakwibawa dan kekuasaan di luar keluarga, tingkat kekerasan oleh pasangannya menjadi lebih rendah. 4. Demi anak-anak. Pengetahuan umum yang melihat anak akan menjadi korban konflik orangtua, seringkali menyebabkan perempuan mengalah. Sosok ideal perempuan menjelma pada diri seorang ibu yang berkorban serta membaktikan dirinya pada anak-anak dan suami, sehingga kebutuhan dan identitas dirinya menjadi hilang dalam rutinitas rumah tangga yang dijalaninya. Pengorbanan ini tidak hanya hidup dalam budaya dan masyarakat, melainkan realitas agama. Bunda Maria digambarkan sebagai sosok ibu yang berkorban untuk anaknya dan mendapatkan kebahagiaan dalam membahagiakan orang lain. 5. Rasa lemah dan tidak percaya diri serta rendahnya dukungan dari keluarga dan teman. Pandangan masyarakat terhadap perempuan janda membuat perempuan korban kekerasan tetap mempertahankan perkawinannya, dan keluarga sulit memberikan dukungan sebagai akibat stigma tresebut. Universitas Sumatera Utara 6. Tekanan lingkungan untuk tetap bertahan dalam hubungan itu dan anggapan bahwa tindak kekerasan itu adalah akibat kesalahan dia. 44 Secara teoritis, para ahli studi perempuan menyebut alasan-alasan di atas dengan istilah Sindrom Tawanan Hostage Syndrome yaitu gambaran bagi perempuan yang terjerat secara fisik maupun psikologis oleh norma budaya dan masyarakat. Keterjeratan ini bisa terjadi dalam keluarga, seperti perempuan harus mengasuh anak dan suami, serta menganggap lumrah perlakuan kasar suaminya. Dalam masyarakat, perempuan tidak mempunyai hak untuk menentukan jodoh, sehingga kondisi psikologis perempuan mengalami sindrom ketergantungan dengan sistem nilai laki-laki. Pada awalnya, konsep sindrom tawanan ini dikembangkan untuk memahami keberhimpitan paradoksal dari tawanan perempuan pada penawannya suami, masyarakat, dan budaya, dan kemudian diterapkan dalam upaya memahami situasi perempuan sebagai korban. Efek tawanan itu kemudian dikembangkan, baik oleh orang yang menawan atau oleh masyarakat pada umumnya. Sebagai tawanan masyarakat, perempuan korban sangat sulit untuk meninggalkan pasangannya, karena lingkungan sosial kemasyarakatan tidak memberikan dukungan yang cukup untuk melakukannya. Variabel dari realitas sosial kemasyarakatan itu antara lain norma perkawinan, peran perempuan dalam perkawinan, pesan yang diterima perempuan sejak masa kecil, tiadanya dukungan dalam keluarga dan masyarakat, tidak adanya sumber 44 http:www.djpp.depkumham.go.idhukum-pidana647-kekerasan-dalam-rumah-tangga- kdrt-persoalan-privat-yang-jadi-persoalan-publik.html , terakhir kali diakses pada tanggal 8 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara daya ekonomis yang memungkinkan bisa hidup mandiri, serta perlindungan hukum yang tidak memadai. Dengan situasi sosial seperti itu, perempuan korban kemudian beralih ke sumber daya personalnya sendiri. Untuk dapat bertahan, ia merasionalisasi penganiayaan yang dialaminya sebagai respons alami yang ditampilkan pasangannya dalam menghadapi tekanan. Jadi, perempuan korban kemudian mengadopsi norma-norma budaya yang mengabsahkan kekerasan pasangan laki- laki. Bahkan perempuan, pada akhirnya menginternalisasi pandangan bahwa perempuan bertanggungjawab untuk memastikan keberhasilan perkawinan. Dalam kondisi atau keadaan keterjeratannya, perempuan akan dengan mudah menginternalisasi, menghayati banyak perasaan negatif, seperti rasa malu, bimbang, merasa berdosa, menyalahkan diri sendiri, dan sebagainya. Kondisi keterjebakan seperti ini dan ketidakmampuan mencari jalan alternatif pemecahan, menyebabkan perempuan sulit keluar dari kekerasan yang ada.

B. Hak-Hak Bagi Perempuan