Fakta Kekerasan Dalam Rumah Tangga

b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan e. pelayanan bimbingan rohani.

C. Fakta Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan mengapa KDRT dikatakan sebagai persoalan yang rumit. Bisa jadi pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa yang telah ia lakukan itu adalah merupakan tindak KDRT. Atau si pelaku memang menyadari bahwa perbuatan yang ia lakukan tersebut merupakan tindak KDRT, namun si pelaku mengabaikannya karena ia berlindung dibawah norma-norma tertentu yang telah ada di masyarakat. Misalnya saja, seorang istri harus tunduk pada suaminya. Jadi ada anggapan adalah wajar apabila si suami menampar si istri untuk memberikan pelajaran kepada si istri. Hal ini menyebabkan sehingga perbuatan yang wajar dan pribadi. Di Indonesia, secara legal formal ketentuan tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga diberlakukan sejak tahun 2004. Misi dari undang-undang ini tidak lain adalah upaya untuk menghapus kekerasan di dalam rumah tangga. Dengan adanya ketentuan ini diharapkan bahwa Negara dapat mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban KDRT. Universitas Sumatera Utara Suatu hal baru kemudian ditegaskan dalam undang-undang ini. Sesuatu hal dianggap sebagai persoalan internal keluarga. Pasalnya ada perluasan defenisi tentang kekerasan dalam rumah tangga yakni seperti yang terdapat di dalam pasal 1 huruf a UU PKDRT, bahwa kekerasan dalam rumah tangga itu tidak melulu soal kekerasan fisik yang dilakukan oleh orang yang ada di dalam lingkup rumah tangga tersebut, tetapi termasuk juga kekerasan seksual, fisik, psikologi, bahkan penelantaran rumah tangga termasuk juga ke dalam tindak pidana. Di dalam Undang-undang ini juga diperluas mengenai ruang lingkup rumah tangga itu, tidak hanya sekedar ayah, ibuistri dan anak-anaknya, namun juga termasuk orang yang mempunyai hubungan darah dengan keluarga inti yang menetap dalam rumah tangga tersebut dan ikut juga orang yang yang bekerja dalam rumah tangga tersebut dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama dalam rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sempat menimbulkan kontroversi karena identifikasi kekerasan terhadap pekerja rumah tangga sebagai kekerasan domestic dianggap tidak relevan karena ada yang berpendapat bahwa kasus tersebut hendaklah dilihat dari kerangka relasi hubungan antara pekerja dan majikan. Namun demikian, UU PKDRT ini mengisi jurang kekosongan hukum karena sampai saat ini undang-undang perburuhan di Indonesia belum mencakup pada pekerja rumah tangga, sehingga korban kekerasan dalam rumah tangga adalah orang yang mengalami kekerasan dan atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. Universitas Sumatera Utara Untuk melihat implementasi UU PKDRT, setidak-tidaknya kita harus menganalisa hukum sebagai suatu sistem, yang terdiri dari 3 komponen, yakni substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Pertama, berkaitan dengan substansi hukum, disamping terdapat instrument hukum UU KDRT, yang bertujuan memberi keadilan kepada perempuan korban KDRT, tetapi di sisi lain, terdapat masalah rumah tangga, perundang-undangan dan kebijakan yang lain, yang memberikan dampak yang merugikan bagi perempuan. Bahkan kerap kali interpretasi terhadap ajaran agama dan adat yang meneguhkan posisi subordinasi perempuan. Para penganut feminis legal theory mengatakan bahwa prinsip dasar dari system hukum bersifat patriarkhis. Artinya bahwa hukum-hukum yang dibuat dipandang dari kacamata laki-laki, untuk kepentingan laki-laki dan karenanya hal itu mengakibatkan perempuan pada relasi kekuasaan yang timpang baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. UU PKDRT merupakan sebuah terobosan baru dalam hukum positif Indonesia. Dimana persoalan pribadi telah masuk ke dalam ranah publik. Pada masa sebelum UU PKDRT ini ada, kasus-kasus KDRT ini sulit untuk diselesaikan secara hukum. Para korban kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Karena bukan saja pada saat itu belum ada paying hukum yang melandasinya, disisi lain juga ada pandangan dalam masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga merupakan hal yang tabu, aib dan sangat privat, yang tidak perlu diintervensi oleh pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya adalah sebuah Universitas Sumatera Utara bentuk kekerasan. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal adanya KDRT. Kasus pemukulan suami terhadap istri atau orang tua terhadap anak biasanya diselesaikan menggunakan pasal-pasal penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktian berupa kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis dan bentuk lain sehingga kasus KDRT kebanyakan tidak ditindak lanjuti. Selain itu bahwa kecenderungan KDRT ini merupakan delik aduan karena pelaku KDRT adalah orang yang memiliki hubungan dengan korban, misalnya hubungan darah dan hubungan perkawinan. Alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi pemerintah masyarakat jika dilakukan penuntutan. 48 Kedua, dalam penegakan hukum di lapangan, struktur hukum, para penegak hukum sering tidak berpihak pada korban perempuan, bukan saja karena ketidakpahaman dan ketiadaan perspektif perempuan di kalangan para penegak hukum, tetapi juga struktur dan prosedur yang ketat mengahalangi para penegak hukum untuk membuat terobosan dan interpretasi baru, meskipun demi persoalan kemanusiaan sekalipun. Namun sebenarnya lebih dari itu, persoalan dapat dicari dalam paradigma atau cara pandang para penegak hukum itu dalam memandang hukum. Pemikiran legistis legalistic yang dianut oleh sarjana hukum pada Oleh karenanya kasus KDRT ini bisa dianggap sebagai kasus dark number karena tidak terdapat data yang valid tentang tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan perempuan sebagai korbannya. 48 R. Soesilo. Lop.cit, Hlm 87. Universitas Sumatera Utara umumnya, terutama yang berkecimpung dalam hukum pidana, membuat mereka sukar untuk memberi interpretasi lain atu terobosan baru yang dibutuhkan dalam penyelesaian kasus. Permasalahanya bukan hanya pada langkanya aturan hukum, tetapi juga pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis sama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal keluarga. Ketiga, masih kuatnya budaya hukum masyarakat, yaitu kekuatan- kekuatan sosial, berupa ide, gagasan, nilai-nilai, norma, kebiasaan, dan sebagainya yang potensial menempatkan sebagai golongan kedua yang harus tunduk submissive, baik dalam keluarga maupun masyarakat. Ada anggapan bahwa kekerasan yang dilakukan di dalam rumah tangga adalah hal yang wajar sehingga kalaupun hal tersebut terjadi tidak ada pelaporan kepada pihak yang berwajib karena dianggap mengungkap aib sendiri ke muka umum. Dari keseluruhan sisten hukum ini, budaya hukum merupakan faktor yang sangat mempengaruhi terdapat dapat atau tidaknya suatu substansi hukum dapat Universitas Sumatera Utara bekerja di masyarakat. Implementasi UU PKDRT dapat dilakukan atau tidak tergantung pada seberapa kuatnya budaya hukum yang hidup dalam masyarakat. 49 Fakta bahwa kekerasan berbasis gender sering sekali dialami oleh perempuan. Namun kasus yang mencapai ke permukaan hanya sedikit. Dari pengalaman persidangan terhadap korban kekerasan yang berbasis gender, ditemukan bahwa sistem hukum belum memberikan perlindungan yang cukup bagi perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan pada tahun 2012 ini merilis data terbaru mengenai statistik kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga yang terjadi pada tahun 2011. Komnas Perempuan selama tahun 2011 menangani 119.107 kasus kekerasan terhadap perempuan. Menurut Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah sebanyak 113.878 kasus 95,61 persen diantaranya adalah kekerasan yang terjadi di ranah domestik sementara 5.187 kasus 4,3 persen terjadi di ranah publik dan 42 kasus 0,03 persen terjadi di ranah Negara seperti pengambilan lahan, penahananan, penembakan, dan lain- lain. 50 Kasus kekerasan yang dicatat oleh Komnas Perempuan daritahun semakin meningkat. Dari data dalam jangka waktu 10 tahun terakhir, terjadi perubahan yang fluktuatif terrhadap data kekerasan terhadap perempuan. Tahun 2001, dicatat 49 Irianto, Sulistyowati, Lop. Cit. hlm 318-319. 50 http:www.analisadaily.comnewsread2012030839495kekerasan_terhadap_peremp uan_capai_119107_kasus.T1kEbHrU4rA , lihat juga http:news.okezone.comreadbbc20120307115988335kasus-kekerasan-terhadap-perempuan- meningkat terakhir kali diakses pada tanggal 8 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara bahwa telah terjadi 3.169 kasus, tahun 2002 terjadi 5.163 kasus, tahun 2003 terjadi 7.787 kasus, tahun 2004 terjadi 140.20 kasus, tahun 2005 terjadi 20.391 kasus, tahun 2006 terjadi 22.512 kasus, tahun 2007 terjadi 25.522 kasus, tahun 2008 terjadi 54425 kasus, tahun 2009 terjadi 143.586 kasus sementara tahun 2010 dan 2011 tercatat masing-masing 105.103 dan 119.107 kasus yang terjadi. Gambaran lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut : Sumber: Komnas Perempuan Jumlah korban tertinggi pada 2011 terjadi di daerah Jawa Tengah, yang mencapai angka 25.628 korban. Setelah Jawa Tengah, wilayah Jawa Timur menempati urutan kedua korban kekerasan dengan jumlah perempuan korban kekerasan 24.555, kemudian diikuti wilayah Jawa Barat 17.720, dan DKI mencapai angka 11.289. Kekerasan seksual merupakan bentuk kekerasan paling mencuat dalam catatan Komnas Perempuan selama 2011, terutama di ranah Universitas Sumatera Utara domestik dan ranah publik. Dalam ranah domestik, kasus kekerasan terbanyak terjadi dalam rumah tangga, yaitu mencapai 113. 878 kasus, yang 110. 468 kasus di antaranya kekerasan terhadap istri. Sementara kekerasan lainnya terjadi dalam hubungan pacaran sebanyak 1.405 kasus. Selain kekerasan dalam rumah tangga, Komnas Perempuan juga mencatat, kekerasan dialami wanita bermacam-macam, di antaranya kekerasan kejiwaan, yang mencapai 103.691 kasus, kekerasan ekonomi sebanyak 3.222, kekerasan fisik sebanyak 2.790, serta kekerasan seksual sebanyak 1.398 kasus. Namun demikian, angka tersebut belum termasuk kekerasan terhadap wanita yang dilakukan negara, seperti kekerasan oleh aparat sebanyak 31 kasus, pengambilan lahan sebanyak 6 kasus, serta pelayanan publik berkaitan dengan kewarganegaraan sebanyak dua kasus. 51 Melihat situasi dan kondisi yang telah dicatatkan oleh Komnas Perempuan diatas ditambah lagi dengan UU PKDRT yang telah diundangkan selama kurang lebih delapan tahun, memunculkan pertanyaan sudahkah UU PKDRT berjalan dengan baik dan efektif? Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan karena dari tahun ke tahun korban kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam ranah domestik cenderung meningkat. Untuk kasus KDRT, hakim-hakim di Indonesia saat ini sudah menggunakan UU PKDRT sebagai landasan hukum dalam memutus perkara KDRT yang dilakukan terhadap wanita. Walaupun terkadang hakim masih 51 http:nasional.kompas.comread20120307162441622011.Kekerasan.pada.Perempua n.Semakin.Parah , terakhir kali diakses pada tanggal 8 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara menggunakan rumusan tindak pidana penganiayaan dalam KUHP. Tetapi tindak penganiayaan dalam KUHP digunakan hanya untuk tindak kekerasan dalam rumah tangga yang berhubungan dengan kekerasan fisik. Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai. Sebelum penulis membahas tentang ketentuan pidana terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang sangat menjunjung tinggi hukum. Namun saat ini ketentuan hukum yang dipakai masih banyak yang berasal dari ketentuan yang sudah lama dan sudah usang. Untuk itu diperlukan adanya suatu pembaharuan hukum yang digunakan untuk mengimbangi masyarakat yang terus berkembang. Oleh karenanya, pengaturan tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga diatur tersendiri, sebab ia mempunyai kekhususan walaupun secara umum di Kitab Undang_undang Hukum Pidana telah diatur mengenai penganiayaan, kesusilaan, serta menelantarkan orang yang perlu diberi nafkah. Adapun pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada membicarakan tentang kekerasan secara eksplisit, namun ada beberapa pasal Universitas Sumatera Utara dapat digunakan oleh korban kekerasan untuk mengadukan pelaku kepada pihak kepolisian. Pasal-pasal tersebut adalah : 1. Kejahatan terhadap kesopanan, Bab XIV Pasal 281-297. 2. Penganiayaan, Bab XII, Pasal 351-356. 3. Kejahatan terhadap nyawa, Bab XIX Pasal 338-340 4. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang, Bab XVIII Pasal 328, 330, dan 332. 5. Kekerasan dan pengancaman, Bab XIII Pasal 368. Di dalam undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga diatur mengenai perlindungan terhadap korban dan saksi. Baik perlindungan yang diberikan terhadap korban dan para saksi. Baik perlindungan yang diberikan oleh pihak Kepolisian yang diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau pihak kepolisian menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga Pasal 16 maupun perlindungan yang ditetapkan oleh Pengadilan pasal 28 dengan jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang lagi bila dirasa perlu oleh Pengadilan. Perlindungan ini diberikan kepada korban untuk mencegah pelaku kekerasan tersebut mengulangi perbuatannya kepada korban, serta untuk mencegah korban diintimidasi maupun diteror serta bentuk-bentuk pemaksaan lainnya, baik yang dilakukan oleh pelaku kekerasan maupun pihak lainnya. Untuk mencegah korban menyelesaikan masalah yang dialaminya melalui jalur hukum. Berbicara mengenai perlindungan korban kekerasan, setiap orang berhak untuk memperolehnya. Perlindungan ini baik yang berasal dari pihak keluarga, Universitas Sumatera Utara kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, ataupun pihak-pihak l;ain bai perlindungan sementara maupun perlindungan yang diberikan berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Di dalam undang- undang penghapusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga masalah perlindungan ini diatur dalam Bab IV pada Pasal 16 sampai dengan pasal 38. Dalam memberikan perlindungan ini, pihak kepolisian dapat bekerjasama dengan pihak kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Dalam hal yang menjadi korban adalah seseorang yang belum dewasa, maka laporan dan permohonan perlindungannya dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam tenggang waktu 1x24 jam sejak pemberian perlindungan sementara, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Selain pihak kepolisian, permohonan untuk memperoleh surat penetapan perintah perlindungan dapat diajukan oleh korban ataupun keluarga korban, teman korban, relawan pendamping, atau pembimbing korban yang dapat diajukan dalam benttuk lisan maupun tulisan. Perintah perlindungan yang ditetapkan oleh pengadilan ini diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 tahun dan dapat diperpanjang lagi atas penetapan pengadilan. Permohonan perpanjangan perintah perlindungan diajukan 7 hari sebelum berakhir masa berlakunya. Pengadilan dalam memberikan perlindungan dapat mempertimbangkan untuk menetapkan suatu kondisi khusus dan mengubah atau membatalkan suatu kondisi khusus dari perintah perlindungan. Universitas Sumatera Utara Apabila seseorang melanggar perintah perlindungan ini, baik pelaku ataupun pihak-pihak lain yang tidak senang dengan keputusan korban melaporkan tindak kekerasan yang dialami dan meyelesaikan permasalahan yang dialami melalui jalur hukum, maka pihak kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa ada surat perintah penangkapan terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi tersebut bertugas. Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis dengan isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindunggan, apabila pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan diduga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut. Apabila pelaku tidak mengindahkan juga, maka pengadilan dapat melakukan penahanan kepada pelaku. Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga juga memuat adanya ketentuan pidana. Ketentuan pidana dalam Undang-undang ini dimulai dari pasal 44 sampai dengan pasal 49. Bunyi pasalnya adalah sebagai berikut : Pasal 44 1 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 lima belas juta rupiah. 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 tiga puluh juta rupiah. 3 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 lima Universitas Sumatera Utara belas tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 empat puluh lima juta rupiah. 4 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 lima juta rupiah. Pasal 45 1 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp9.000.000,00 sembilan juta rupiah. 2 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat bulan atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 tiga juta rupiah. Pasal 46 Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 dua belas tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 tiga puluh enam juta rupiah. Pasal 47 Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan pidana penjara paling lama 15 lima belas tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000,00 dua belas juta rupiah atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. Pasal 48 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 empat minggu terus menerus atau 1 satu tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun atau denda paling sedikit Rp25.000.000,00 dua puluh lima juta rupiah dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah. Pasal 49 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tiga tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 lima belas juta rupiah, setiap orang yang: Universitas Sumatera Utara a. menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1; b. menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat 2. Selain adanya pidana pokok yang dirumuskan dalam UU PKDRT, hakim dalam putusan Pengadilan juga dapat menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur: “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa: a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.” Tindak pidana kekerasan fisik, psikis dan seksual yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk melakukan pekerjaan, jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dalam UU PKDRT merupakan delik aduan. Hal lain yang menarik dalam UU PKDRT ini adalah keterangan saksi korban saja dapat digunakan sebagai satu alat bukti yang sah yang cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya pasal 55. Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Universitas Sumatera Utara

C. Kebijakan Pencegahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.