Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri Dalam Negeri Dalam Rangka ACFTA (Asean Free Trade Area)

(1)

HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI PELINDUNG INDUSTRI

DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA

(Asean – China Free Trade Area)

SKRIPSI

Disusun untuk melengkapi tugas akhir dan diajukan sebagai

persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Romina Purnama M

NIM. 080200153

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Jesus Kristus, Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan rahmatNya yang memberikan kesempatan untuk menjalani masa perkuliahan hingga tahapan penyelesaian skripsi seperti sekarang ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini diberikan judul “HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI PELINDUNG PRODUK INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA (Asean Free Trade Area)” sebagai salah satu unsur penting dalam pemenuhan nilai-nilai tugas dalam mencapai gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih atas jasa-jasa dari nama-nama yang disebut dibawah ini. Beliau-beliau tersebut merupakan panutan dan juga motivator penulis dari awal masa perkuliahan hingga sekarang. Penulis menghanturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Kedua Orang Tua yang sangat penulis cintai dan hormati, Frans Manurung dan Linda Hutagalung, serta kakak dan adik penulis tersayang, Sventy, Kartika, Janri, Ria, Cristophel, Hesty, serta Jenny. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, S.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak M. Hoesni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Windha, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas ilmu dan saran yang telah diberikan kepada Penulis.

7. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Bapak Prof. Bismar Nasution, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I, atas bimbingan dan pengetahuan yang diberikan sejak masa perkuliahan hingga sekarang ini.

9. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, atas ilmu, pengajaran serta bimbingan dan saran yang telah banyak diberikan kepada penulis, baik dalam masa penulisan skripsi maupun dalam masa-masa perkuliahan.

10.Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak memberikan masukan selama masa perkuliahan.

11.Semua Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh administrasi Fakultas Hukum, Program Ilmu Hukum dan Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara Medan.


(4)

12.Semua senior yang mendukung dan membantu dengan memberikan masukan mulai saat perkuliahan sampai penulisan skripsi ini, Bang Indra, Bg Jojo, SH., Fonger, SH., Yenny, SH.,Ivan, SH., dan lain-lain

13.Semua Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Bung Hot Marudur, B’Howard, B’Marshias, B’Welson, SH.,, B’Roy, SH., B’Adrianto, SH., B’Rudi, B’Apul, B’Prinst, B’Hizkia B’Martin Luther dan Sarinah Elyza, S’Andriana, S’Dorothy, S’Rina, S’Fenny, S’Yola, S’Melda, S’Mika, S’Diandes, S’Maria dan lain-lain.

14.Semua teman-teman stambuk 2008, Siska Purba, Nodi, Wanelfi, Lusiana, Lidia, Hasan Afif Muhammad, Harianto, Ranto, Erny Suciaprianti, Fatiya Rochimah, Juni, Fiqi dan lain-lain.

15. Teruntuk adinda tersayang, Santi Nababan.

16.Teruntuk KK NEHEMIA, Ka’Corry Aruan., SH, Ka’ Delfi Aruan, SE., Desy Siringoringo, Bona, Juliana Hutasoit, Jhon Sipayung, Suspim Gunawan Parlindungan Nainggolan, Dedy Sihombing, atas doa dan semangat yang selalu diberikan.

17.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, dan tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.


(5)

Akhir kata, penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis sangat mengharapkan segala kritikan dan saran yang bersifat membangun, agar bisa lebih baik lagi di kesempatan yang akan datang.

Medan, 1 Febuari 2012 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

ABSTRAK viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemilihan Judul 1

B. Perumusan Masalah 8

C. Tujuan dan Manfaat Pembahasan 9

D. Keaslian Penulisan 9

E. Tinjauan Pustaka 11

F. Metode Penelitian 16

G. Sistematika Penulisan 19

BAB II HUKUM ANTIDUMPING DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Tinjauan umum mengenai Antidumping 21

1. Konsep dan Pengertian Dumping 21

2. Dampak Praktik Dumping terhadap negara Importir dan Eksportir 32

3. Sejarah Ketentuan Antidumping 36

B. Ketentuan Antidumping menurut GATT dan WTO 40

1. Penentuan Harga 43


(7)

3. Penentuan Barang Dumping 47

4. Penentuan Kerugian 47

5. Hubungan Sebab-Akibat 50

6. Industri dalam Negeri 51

C. Tindakan Remedial 52

BAB III HUKUM ANTIDUMPING DI INDONESIA

A. Dasar dan Ketentuan Antidumping di Indonesia 58 1. Indikator yang Digunakan Dalam Analisis Dumping 59

a. Barang Sejenis 60

b. Margin antara Nilai Normal dan Harga Ekspor 61

c. Kerugian 70

d. Industri dalam negeri 72

2. Lembaga Administrasi dan Pelaksana Peraturan Antidumping 75

3. Proses Penyelidikan Antidumping 84

B. Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 94

C. Pemberlakuan Surut 96

D. Tenggat Waktu Penyelesaian Kasus Antidumping 97 E. Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) 99 BAB IV IMPLEMENTASI KETENTUAN ANTIDUMPING

DI INDONESIA DALAM RANGKA ACFTA (Asean Free Trade Area)

A. Ulasan Mengenai ACFTA (Asean Free Trade Area) 103


(8)

2. Landasan ACFTA 105

3. Kesepakatan dalam ACFTA 107

4. Renegoisasi dan Revisi dalam ACFTA 110

B. Dampak ACFTA terhadap Perdagangan Indonesia 113

1. Neraca Perdagangan Indonesia-China 118

2. Langkah Pemerintah terkait dampak ACFTA 122 C. Antidumping Sebagai Salah Satu Bentuk Proteksi Produk Industri

Dalam Negeri Dalam Menghadapi ACFTA. 125 1. Penegakan hukum terhadap produk impor yang berindikasi

dumping 128

2. Kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktek dan

tuduhan dumping 133

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 139

B. Saran 142


(9)

HUKUM ANTIDUMPING SEBAGAI PELINDUNG PRODUK INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM RANGKA ACFTA

(ASEAN-CHINA FREE TRADE AREA) Prof. Dr. Bismar Nasution, SH. M. Hum*)

Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum**) Romina Purnama M***)

ABSTRAK

Penyatuan ekonomi antar negara baik regional maupun multinasional diantaranya adalah ACFTA (Asean-China Free Trade Area) menciptakan mekanisme pasar berdaya saing tinggi sehingga tidak jarang bila ada tindakan persaingan curang salah satunya dalam bentuk diskriminasi harga yaitu praktik Dumping. Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilishing The World Trade Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, konsekuensinya kemudian membuat ketentuan dasar tentang Antidumping yang hanya dikenakan kepada produk yang mengancam industri dalam negeri terutama Usaha Kecil Menengah. Daya saing industri dalam negeri yang masih rentan, penting peran pemerintah memberikan perlindungan dengan perangkat Hukum Antidumping sebagai tindakan balasan dari politik dumping. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Hukum Antidumping tersebut digunakan sebagai pelindung Industri Dalam Negeri dalam rangka ACFTA.

Metode penelitian yang dipakai penulis ialah metode penelitian yang bersifat deskriptif analisis, yaitu penelitian yang menggambarkan situasi atau peristiwa yang sedang diteliti dan kemudian menganalisanya berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisis yuridis normatif, yaitu dengan berusaha mengkaji dan menguji data yang berkaitan dengan permasalahan dalam Hukum Antidumping. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan, literature / dokumen untuk memperoleh data sekunder.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa secara tidak langsung Bea Masuk Antidumping (BMAD) dapat menjadi obat pemulihan bagi industri dalam negeri dan terlebih bila BMAD tersebut digunakan untuk research development sehingga industri tersebut dapat mengeksplorasi produknya tidak hanya mengurangi dampak injury namun juga meningkatkan daya saing industri tersebut. Hal ini dapat terjadi bila pemerintah dan pelaku pihak industri bisa bekerja sama dengan baik untuk memahami dan memandang bahwa Hukum Antidumping merupakan hal yang harus dikuasai dalam melakukan perdagangan bebas khususnya dalam ACFTA.

Kata kunci : ACFTA, Hukum Antidumping *) Dosen Pembimbing I

*) Dosen Pembimbing II


(10)

PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN KREDIT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH

(Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

S K R I P S I

Disusun dan diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MAHRINA ADIBAH NASUTION NIM : 080200122

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan rahmat dan karuniaNya yang diberikan kepada penulis, sehingga peulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan “PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) DALAM PEMBERIAN KREDIT SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH (Studi PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)” disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara, dimana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya

Skripsi ini membahas tentang penerapan PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan terhadap kaitannya dalam analisis pemberian kredit yakni the five c’s of credit guna meminimalkan risiko kredit bermasalah seminimal mungkin. Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.


(12)

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. H. Hasim Purba, SH, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata dan juga selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata

5. Ibu Puspa Melati, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis selama menjalani perkuliahan.

7. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda Djusman Nasution dan Ibunda Erna Z. yang telah membesarkan dan mendidik Penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya memberikan motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah Penulis dalam mencapai cita-cita.


(13)

8. Kepada Kakaku Dini Meilani Nst dan Abangku Achmad Syukri Nst yang telah memberikan motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.

9. Kepada sahabat-sahabat Penulis : Astri Grahita Putri SE, Novita Anggraini S.Hut, Swanty Eka Putri SE, Deli Utari S.Kom.

10.Teman-teman seangkatan 2008 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

11.Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin.

Medan, September 2011 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

ABSTRAK ... iii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Keaslian Penulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ...20

G. Sistematika Penulisan ...23

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT BANK A. Pengertian Perjanjian Kredit ...25

B. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Bank ...32

C. Hapusnya Perjanjian Kredit Bank ...41

D. Jaminan Kredit Bank ...43

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PENILAIAN ANALISIS THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) & KREDIT BERMASALAH A. Penilaian Analisis The Five C’s Of Credit (5C) ...51

B. Pengertian Kredit Bermasalah ...55

C. Penyebab Kredit Bermasalah ...62


(15)

E. Tekhnik Menyelesaikan Kredit Bermasalah...72

BAB IV : PENERAPAN THE FIVE C’S OF CREDIT (5C) MENGURANGI KEMUNGKINAN TERJADINYA KREDIT BERMASALAH (Studi di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan)

A. Gambaran Umum Mengenai PT. Bank BNI (Persero) Tbk ...77 B. Penerapan The Five C’s Of Credit (5C) dalam Analisis Pemberian

Kredit Untuk Mengurangi Risiko Kredit Bermasalah di PT. Bank

BNI (Persero) Tbk Cabang Medan ...81 C. Hambatan-Hambatan yang Menyebabkan The Five C’s Of Credit

(5C) Tidak Dapat Dilakukan Secara Optimal ...95 D. Cara Mengatasi Hambatan-Hambatan yang Terjadi dalam

Penerapan The Five C’s Of Credit (5C)...99 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... B. Saran... ... DAFTAR PUSTAKA


(16)

ABSTRAK

Analisis kredit merupakan penilaian terhadap suatu permohonan kredit (baik permohonan kredit baru, perpanjangan/pembaharuan, maupun restrukturisasi) layak atau tidak untuk disalurkan kepada Debitur. Prinsip penilaian kredit yang yang menjadi standar minimal yang lazim digunakan dikalangan perbankan yaitu dengan analisis the five c’s of credit (5C) yaitu: Penilaian Watak (Character), Penilaian Kemampuan (Capacity), Penilaian terhadap modal (Capital), Penilaian terhadap agunan (Collateral), dan Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy). Dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut bermasalah pasti ada. Hanya saja dalam hal ini, bagaimana meminimalkan risiko tersebut seminimal mungkin.

Dengan alasan di atas, penulis mengadakan penelitian yang dilakukan di PT. Bank BNI Persero Tbk Cabang Medan, dengan menggunakan metode analisis data kualitatif yakni menganalisis data didasarkan atas kualitas data selanjutnya dituangkan dalam bentuk deskriptif. Penelitian mulai dilakukan November 2011.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam setiap permohonan kredit merupakan hal yang mutlak dan harus dilakukan untuk menentukan keputusan diterima atau ditolaknya suatu kredit. Di PT. Bank BNI (Persero) Tbk Cabang Medan penilaian terhadap permohonan kredit dimulai dengan meneliti proposal dan berkas permohonan kredit dari calon debitur, kemudian dilakukan penyelidikan terhadap berkas pinjaman, selanjutnya dilakukan penilaian kelayakan kredit yang menggunakan analisis the five c’s of credit (5C), sebelum diputuskannya permohonan kredit diterima atau tidak, maka setelah penilaian kelayakan kredit, kemudian melalui tahap wawancara pertama, peninjauan ke lokasi, hingga wawancara kedua. Setelah itu baru diputuskan permohonan kredit tersebut diterima atau tidak. Namun dalam pelaksanaanyan di lapangan ada beberapa kendala sehingga penggunaan the five c’s of credit (5C) dalam analisis pemberian kredit tidak dapat dilaksanakan secara optimal, hal ini karena kesengajaan pihak bank yang terlibat dalam proses kredit yang tidak profesional atau bankir kurang ahli dalam menganalisis atau kesalahan prosedur manejemen bank.


(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kondisi perekonomian dunia sekarang ini sudah berubah dimana kondisi perekonomian dunia semakin mendunia sehingga memberikan kesempatan bagi negara yang satu dan negara yang lainnya untuk melakukan peredaran barang dan jasa. Dengan menurunkan biaya transportasi, komunikasi, berkembangnya teknologi dan informasi dan hilangnya hambatan bagi arus barang dan jasa antar negara menghilangkan batas antar negara yang satu dan negara yang lain, sehingga terbentuklah penyatuan ekonomi antar negara-negara. Indonesia juga melakukan kegiatan perdagangan internasional mengikuti berbagai kerja sama ekonomi khususnya di kawasan ASEAN baik regional maupun multilateral contohnya AFTA (ASEAN Free Trade Area), dan yang diterapkan pada Januari 2010 ini adalah ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area)

Implikasi globalisasi ekonomi terhadap hukum pun tidak dapat dihindarkan sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian melewati batas negara.1

1

Erman Rajagukguk, Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi Bagi

Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum Di Indonesia, Pidato pada Dies Natalis USU ke 44

Medan, 20 November 2001, hal.4

Masuknya Indonesia sebagai anggota perdagangan dunia melalui ratifikasi terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Agreement in Establishing The World Trade Organization /WTO (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) membawa konsekuensi baik


(18)

eksternal maupun internal. Konsekuensi eksternal, Indonesia harus mematuhi seluruh hasil kesepakatan dalam forum WTO, sementara konsekuensi internal Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan perundang-perundangan nasional sesuai dengan hasil kesepakatan WTO. Keikutsertaan Indonesia dalam perdagangan bebas mendorong industri dalam negeri untuk bersaing, baik di dalam negeri sendiri maupun di pasar ekspor. Hal ini merupakan problem besar bagi Indonesia karena kemampuan produk Indonesia dari segi kualitas maupun kuantitas masih lemah2

Seiring dengan penyatuan ekonomi antar negara itu terjadi ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional kedalam ekonomi global dan menciptakan mekanisme pasar yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan antara pelaku usaha tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price) . Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal dengan istilah dumping

.

3

Dumping merupakan suatu hambatan perdagangan yang bersifat nontarif, berupa diskriminasi harga. Masalah dumping merupakan substansi di bidang rules making yang akan semakin penting bagi Negara berkembang yang akan meningkatkan ekspor nonmigas terutama dibidang manufaktur. Praktik dumping

.

2

Mohammad Sood, “Regulasi Anti Dumping Sebagai Upaya Perlindungan Terhadap

Industri Dalam Negeri”,

November 2011.

3

Praktik Dumping dilakukan oleh negara pengekspor dengan menentukan harga dibawah atau lebih rendah dari nilai nominalnya atau unit cost yang sebenarnya atau dapat juga dikatakan menjual dengan harga lebih murah di negara pengimpor dari pada di negara produsennya sendiri, Ade Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002), hal. 132.


(19)

dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair (unfair), karena bagi negara pengimpor, perdagangan dengan motif dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis akan kalah bersaing. Praktek banting harga itu pun dapat berakibat kerugian bagi perusahaan domestik yang menghasilkan produk sejenis. Tindakan tersebut mengharuskan pemerintah suatu negara mengadakan pembatasan-pembatasan tertentu terhadap berbagai praktik bisnis. Pembatasan tersebut merupakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan dapat dinyatakan juga sebagai suatu kejahatan.4

Istilah dumping didalam dunia bisnis sering dianggap sebagai praktek yang wajar untuk penjualan suatu barang oleh suatu perusahaan industri, namun pada kenyataannya dapar menimbulkan kerugian bagi usaha atau industri barang sejenis di negeri lain (Negara pengimpor). Dumping juga tidak terlepas dari praktek subsidi, proteksi, dan aneka bentuk tata negara yang semuanya menjadi satu yaitu perdagangan bebas. Fakta global menunjukkan bahwa praktek dumping tidak menjadi hal yang baru, sekarang menjadi penting karena terjadi perdagangan dunia. Daya saing dari industri negara-negara maju telah diimbangi oleh produsen-produsen negara berkembang.5

Terkait dengan perdagangan bebas, kesepakatan ASEAN-China FTA juga dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari

4

Sukarmi, Regulasi Antidumping Dibawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2002), hlm 7.


(20)

perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya diekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif yang harus bersaing dengan produk China.

Para kepala negara anggota ASEAN dan China pada tanggal 4 November 2004 di Phnom Penh, Kamboja telah menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asian Nations and The People’s Republic of China (ACFTA). Tujuan dari Framework Agreement AC-FTA tersebut adalah:

a) Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan dan investasi kedua pihak;

b) Meliberalisasikan perdagangan barang, jasa dan investasi;

c) Mencari area baru dan mengembangkan kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan kedua pihak;

d) Memfasilitasi intergrasi ekonomi yang lebih efektif dengan negara anggota baru ASEAN dan menjembatani gap yang ada di kedua belah pihak6

Selain itu kedua pihak juga menyepakati untuk memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi melalui:

.

a. Penghapusan tarif dan hambatan non tariff dalam perdagangan barang; b. Liberalisasi secara progresif perdagangan jasa;

c. Membangun regim investasi yang kompetitif dan terbuka dalam kerangka ASEAN-China FTA7

6

Ardian, “Dampak Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) bagi Perdagangan

Indonesia”,

.


(21)

Dalam lima tahun terakhir peningkatan impor dari China pada umumnya diatas 20 % pertahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa produk-produk China berpotensi dan sudah menjadi ancaman terhadap pasar domestic untuk produk yang sejenis. Pada bulan Januari 2010, produk China praktis menguasai setiap lini di Indonesia. Dimana kualitas barangnya seadanya, tetapi haraganya yang murah meriah membuat produk China laku keras. Data perdagangan akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-China defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar dollar AS.8

Pemberlakuan ACFTA telah menuai dampak negatif juga dimana sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan, hal ini dapat dicontohkan penyurutan manufaktur pada industri alas kaki. Dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja pada tahun 2000 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK), jumlah pengangguran pun kian bertambah.

9

Survey yang dilakukan Kementerian Perindustrian Republik Indonesia langsung ke Shanghai dan Guangzhou, China, menemukan adanya praktik banting harga (dumping) untuk beberapa produk yang diekspor ke Indonesia. Dari 190 barang yang diekspor ke Indonesia, ditemukan 30 produk dengan harga lebih

7

Vanisterisa, “Polemik ACFTA” kali diakses tanggal 28 September 2011.

8

“Produk China di Setiap Lini”, Kompas, 12 April 2011

9


(22)

murah dibandingkan dengan harga di pasar lokal mereka. Artinya, China telah menerapkan politik dumping.10

Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdaganagn multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Estabilihing the WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, sebagai konsekuensinya Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun

Indonesia sebagai salah satu negara yang telah menyetujui GATT dan WTO dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1994, dimana ketentuan antidumping sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 secara simultan telah diadakan beberapa perjanjian tambahan mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian tamabahan tersebut dikenal dengan code. Hal ini ditindaklanjuti dengan disepakatinya Tokyo Round yang menghasilkan Antidumping Code 1979, kemudian digantikan dengan Uruguay Round dengan nama Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang merupakan Multilateral Trade Agreement (MTA) dimana instrumen hukum itu ditandatangi bersamaan dengan penandatanganan Agreement Estabilishing the World Trade Organization di Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Jadi dengan demikian Antidumping Code tahun 1994 suatu paket yang inklusif atau integral dari Agreement Estabilihing the WTO.

10


(23)

1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan diikuti dengan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Ketentuan Antidumping ini hanya dikenakan pada produk yang mengancam produk industri dalam negeri karena menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam menghadapi China dalam perdagangan bebas ini seharusnya Indonesia sudah matang dalam pembelaan industri dalam negeri karena China juga terkenal sering melakukan politik dumping.

Tentu dalam melaksanakan kebijakan ini tidaklah sembarangan, haruslah digunakan dengan analisis dan indikator yang jelas. Bea masuk antidumping hanya akan dikenakan apabila kriteria praktik dumping dapat dibuktikan dalam penyelidikan antidumping, dimana kriterianya adalah adalah:

1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara;

2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang dibawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping;

3. Adanya kerugian terhadap industri dalam negeri;

4. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor yang di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri.11

Jadi dengan adanya ACFTA ini banyak peristiwa tentang perdagangan bilateral antara Indonesia dan China tidak seimbang dan berdampak pada kerugian dan kelesuan permintaan terhadap produk industri dalam negeri terutama industri kecil dan menengah. Industri dalam negeri dalam menghadapi pasar bebas dan

11

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003), hal. 68


(24)

persaingan global masih sangat rentan dan lemah. Disinilah perlindungan dari pemerintah sangat dibutuhkan melalui perangkat hukum internasional dan nasional mengenai antidumping sebagai tindakan balasan terhadap politik dumping yang dilakukan negara lain dalam hal ini khususnya China. Ditambah lagi dalam keadaan yang menunjukkan indikasi kesulitan menghadapi produk China terkait ACFTA ini. Menurut pendapat M.S. Hidayat dalam Koran Kompas mengatakan bahwa Indonesia sebenarnya tidak memiliki grand design industri dalam peningkatan daya saing yang sangat dibutuhkan sejak awal penerapan ACFTA ini.12

B. Rumusan Permasalahan

Bagaimanapun Indonesia harus dapat cakap dalam melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan juga cakap mengantisipasi upaya apa yang akan digunakan untuk menghadapi tuduhan praktik dumping dari negara lain dalam waktu yang tepat. Karena pengusaha terutama pengusaha kecil dan menengah tidak sanggup menyelesaikan tugas dan peran pemerintah dalam melindungi produk industri dalam negeri dari persaingan yang curang atau praktik dumping tersebut.

Dengan paparan latar belakang dalam skripsi yang berjudul : “Hukum Antidumping Sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka ACFTA” diatas maka penulis mengangkat beberapa permasalahan diantaranya adalah:

12


(25)

1. Bagaimanakah pengaturan antidumping dalam perdagangan internasional?

2. Bagaimanakah ketentuan antidumping dalam kerangka hukum nasional Indonesia?

3. Bagaimanakah penerapan hukum antidumping sebagai pelindung industri dalam negeri dalam rangka ACFTA?

C. Kegunaan Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran pengembangan bidang ilmu hukum pada umumnya dan ilmu hukum internasional dibidang hukum privat khususnya Hukum Perdagangan Internasional, mengenai perdagangan regional dikawasan asia tenggara.

2. Kegunaan Praktis

Sebagai sumbangan dan acuan bagi sistem hukum di Indonesia terutama dalam menangani kasus-kasus yang terkait dengan perdagangan bebas Asean-China sehingga dapat dijadikan pedoman dalam memberikan perlindungan terhadap industri dalam negeri dalam pasar internasional, khususnya dikawasan regional Asia tenggara.

D. Keaslian Penelitian

Dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(26)

maka penulis menuangkannya dalam sebuah skripsi yang berjudul : “Hukum Antidumping sebagai Pelindung Produk Industri dalam Negeri dalam Rangka ACFTA”.

Adapun judul yang berkaitan dengan judul skripsi ini adalah skripsi yang lebih menekankan kepada tinjauan hukum dan implementasi hukum anti dumping saja, namun dalam skripsi ini lebih mengutamakan peran ketentuan anti dumping dalam melindungi industri dalam negeri dalam pasar bebas di kawasan regional khusus ASEAN-China yang mulai diberlakukan pada tahun 2010.

Karena dalam pelaksanaan ketentuan antidumping diimplementasikan dengan bijaksana, karena tidak semua kebijakan antidumping itu memberikan keuntungan bagi produsen dalam negeri. Jadi dalam skripsi ini menekankan bagaimana menggunakan ketentuan hukum antidumping tersebut sehingga dapat memberikan perlindungan bagi industri dalam negeri dan juga dalam menghadapi tuduhan dumping dari negara lain sehingga industri dalam negeri Indonesia tidak tergerus dalam perdagangan bebas ASEAN-China.

Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melaui penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri yang asli dan bukan jiplakan dari skripsi orang lain, dimana diperoleh melalui pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, buku-buku, bahan seminar, makalah-makalah, media cetak seperti koran-koran, media elektronik seperti internet serta bantuan dari berbagai pihak, berdasarkan kepada asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan terbuka. Semua ini tidak lain adalah


(27)

merupakan implikasi dari proses penemuan kebenaran ilmiah, sehingga hasil penulisan ini dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya secara ilmiah.

E. Tinjuan Pustaka

Dengan terintegrasinya perekonomian nasional menjadi internasional ini menimbulkan adanya hubungan dengan perekonomian negara lain. Kondisi ini juga akan memungkinkan pelaku usaha suatu negara akan bersaing dengan pelaku usaha yang lainnya dimana mereka memiliki kondisi ekonomi dan system ekonomi yang berbeda dan memiliki kebijakan ekonomi yang berbeda pula setiap negara.

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Pendudukan yang dimaksud dapat berupa antar perorangan, antar individu dengan pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.13

Dumping adalah suatu keadaan dimana barang yang diekspor oleh suatu Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga jual di dalam negerinya sendiri atau nilai normal dari nilai barang tersebut.14 Praktik dumping disini adalah suatu praktik yang dapat menimbulkan kerugian bagi dunia usaha karena eksportir menjual produknya dengan harga yang lebih murah di negara pengimpor daripada di negara produsennya sendiri.15

13

Matias Djemana “Globalisasi Terhadap Perdagangan Internasional”,

Dengan membanjirnya barang-barang dari negara pegekspor yang harganya jauh lebih murah dari barang

2011.

14

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan

Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1998), hal 123

15

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2003), hal. 68


(28)

dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis dalam negeri akan kalah bersaing. Pada saatnya hal ini akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri dan produsen atau eksportir dapat merebut pangsa pasar dalam negeri importir.

Salah satu upaya untuk menyikapi dumping adalah dengan melakukan upaya antidumping sebagai tindakan balasan seperti menetapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). Bea Masuk Anti Dumping adalah pungutan yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian.16 Sedangkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) adalah bea masuk anti dumping yang dikenakan untuk sementara waktu menunggu hasil final investigasi. Jika hasil final investigasi menunjukkan praktek dumping telah terbukti dan praktek tersebut telah merugikan industri dalam negeri, BMADS akan diteruskan dan ditetapkan menjadi BMAD, tetapi jika tidak terbukti maka BMADS dicabut. Pihak-pihak anggota GATT/WTO diberi wewenang untuk mengenakan pajak atau perlindungan tariff sebagai jawaban atas kerugian yang ditimbulkan dari impor barang yang disubsidi.17 Dalam hal ini terdapat tiga kemungkinan dimana subsidi dapat mendistorsi perdagangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael J. Trebilcock & Robert Howze18

16

Christoporus Barutu, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan

(Safeguard) Dalam GATT dan WTO, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hal 164.

17

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal 27.

18

Michael J. Trebilcock dan Robert Howze, The Regulation of International Trade:

Antidumping Law, USA Rontlege, 1999 dalam Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di

Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hal 18.


(29)

1. Jika negara A mensubsidi ekspornya ke negara B, menyebabkan produsen domestic di negara B kehilangan daya saing, Negara B dapa menjawab dengan mengenakan tarif terhadap impor barang tersebut.

2. Jika negara A memberikan subsidi pada produksi domestik, menurunkan daya saing ekspor negara B ke negara A, satu-satunya tindakan yang dapat dilakukan oleh negara B adalah menjawabnya dengan subsidi setara atau menyampaikan tentang pelanggaran kepada dewan resolusi sengketa GATT.

3. Jika negara A mensubsidi ekspor ke negara C, sehingga terjadi penurunan daya saing ekspor negara B ke negara C, kembali ada kemungkinan negara B dapat melakukan secara sepihak dengan menjawab melalui subsidi yang setara.

Masalah subsidi adalah dapat ditanggapi dengan alasan yang sama dengan dumping karena merupakan suatu hubungan kausal dan menghasilkan harga dibawah normal. Dalam paparan tersebut diatas memungkinkannya terjadi dua kasus yang harus dipilah.19

Dengan adanya hukum antidumping ini memberikan sarana perlindungan terhadap produk industri dalam negeri dari persaingan usaha yang tidak adil dalam perdagangan internasional. Karena hukum antidumping ini sangat ketat pengaturannya dan implementasinya perlu digunakan secara tepat karena dalam masalah praktik dumping ini sangat sensitif terhadap waktu. Waktu yang tidak efektif dalam pengajuan permohonan dan investigasi praktik dumping ini juga

19


(30)

seharusnya dapat dikontrol penerapannya sehingga waktu untuk diterapkannya hukum antidumping ini tepat dan tidak terlambat untuk melindungi produk industri dalam negeri sehingga hukum antidumping tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya bagi masyarakat.

Ekspor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu Negara ke Negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses ekspor pada umumnya adalah tindakan untuk mengeluarkan barang atau komoditas dari dalam negeri untuk memasukkanya ke Negara lain.20

Impor adalah proses transportasi barang atau komoditas dari suatu negara ke negara lain secara legal, umumnya dalam proses perdagangan. Proses impor umumnya adalah tindakan memasukkan barang atau komoditas dari negara lain ke dalam negeri.21

Industri dalam negeri (industri domestik) adalah keseluruhan produsen dalam negeri yang menghasilkan barang sejenis dengan barang terselidik dan atau barang yang secara langsung merupakan saingan barang terselidik, yang produksinya secara kolektif merupakan bagian dari total produksi barang sejenis dalam negeri.22

a. Keseluruhan produsen dalam negeri barang sejenis, atau

Yang dimaksud dengan industri dalam negeri dapat dilihat dari pasal 1 angka 8 PP No. 34 Tahun 1996 yakni industri dalam negeri adalah:

20

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan

Internasional, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1998), hal 147

21

Ibid, hal 148

22


(31)

b. Produsen dalam negeri barang sejenis yang produksinya mewakili sebagian besar (lebih dari 50%) dari keseluruhan produksi barang yang bersangkutan.

ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara anggota ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.23

Namun dalam berjalannya ACFTA ini yang sebenarnya harapannya Indonesia dapat sebuah peluang untuk mendapat keuntungan seperti yang diharapkan namun hal itu tidak terjadi karena dalam beberapa penelitian ACFTA diawali pada tahun 2001 dalam pertemuan ASEAN dan China di Bandar Sri Bengawan, Brunei Darussalam, dimana China menawarkan proposal ACFTA untuk jangka waktu 10 tahun, dan ditandatangani tahun 2002 dan kemudian Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004. Kemudian ACFTA aktif berlaku tanggal 1 januari 2010 dan Indonesia harus membuka diri dalam pasar bebas regional China dan ASEAN.

23

Nin Yasmin Lisasih, “Implikasi ACFTA terhadap perekonomian Indonesia”,


(32)

mengatakan neraca perdagangan Indonesia-China tidak seimbang dan Indonesia mengalami defisit bahkan sebelum ACFTA diberlakukan.24

F. Metode Penelitian

Dalam skripsi ini untuk membahas masalah sangat membutuhkan adanya data dan keterangan yang dapat dijadikan bahan analitis. Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data dan keterangan tersebut penulis menggunakan metode sebagai berikut.

1. Spesifikasi Penelitian

Tipe penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normative dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis terhadap peraturan perundang-undangan antidumping baik dalam hukum internasional maupun dalam kerangka hukum nasional Indonesia sendiri. Maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif mengenai antidumping dalam melindungi produk industri dalam negeri. Hal ini ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan. Oleh karena tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normative maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Antidumping dan perannya dalam melindungi produk industri dalam negeri terlebih dalam rangka ACFTA ini.

24


(33)

2. Bahan Penelitian

Materi dalam skripsi ini diambil dari data seperti dimaksud dibawah ini : a. Bahan Hukum Primer, yaitu :

Berbagai dokumen peraturan perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam dunia Internasional mengenai Antidumping dan Perjanjian Internasional ACFTA. Mengenai antidumping yakni Pasal VI GATT pada Tahun 1947, diikuti dengan adanya putaran Tokyo yang melahirkan Antidumping Code (1979) dan digantikan dengan Antidumping Code (1994) yang dilahirkan dalam Putaran Uruguay yang merupakan bagian integral dari Agreement Establising the WTO tanggal 15 April 1994.

Dan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam kerangka hukum nasional Indonesia yakni Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, dan diikuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu :

Bahan-bahan yang berkaitan erat dengan bahan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai Antidumping dan Perjanjian Internasional ACFTA, seperti hasil seminar atau makalah dari pakar hukum, Koran,


(34)

majalah, dan juga sumber-sumber lain yakni internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu :

Mencakup kamus bahasa untuk pembbenahan tata Bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing. 3. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. 4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif yaitu menggambarkan secara menyeluruh tentang apa yang menjadi pokok permasalahan. Kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh menurut kualitas dan kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.


(35)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V Bab yang masing-masing bab memiliki sub-babnya tersendiri, yang secara garis besarnya dapat diuraikan sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan

Dalam bab ini diuraikan secara umum mengenai keadaan-keadaan yang berhubungan dengan objek penelitian seperti latar belakang pemilihan judul, rumusan masalah, kegunaan penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Hukum Antidumping dalam Perdagangan Internasional

Bab ini menguraikan konsep dumping dan antidumping secara umumnya dan juga memaparkan dampak praktik dumping terhadap negara importir dan eksportir, kemudian memaparkan sejarah ketentuan mengenai hukum anti dumping ini dibentuk. Dalam bab ini juga memaparkan ketentuan antidumping menurut GATT dan WTO diantaranya ketentuan barang sejenis, ketentuan barang dumping, penentuan kerugian, industri dalam negeri, serta tindakan remedial sebagai tindakan terhadap praktik dumping. BAB III Hukum Antidumping di Indonesia

Dalam bab ini menguraikan ketentuan antidumping di Indonesia meliputi indikator dalam analisis dumping, lembaga administrasi dan pelaksana peraturan Antidumping serta proses penyelidikan


(36)

Antidumping tersebut di Indonesia. Dalam bab ini juga memaparkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping yakni tindakan balasan dari praktik dumping, pemberlakuan surut dalam hukum anti dumping, tenggat waktu yang dibutuhkan dalam penyelesaian Kasus Antidumping serta pelaksanaan pemungutan Bea Masuk Anti Dumping tersebut.

BAB IV Implementasi Ketentuan Antidumping Indonesia dalam Rangka ACFTA

Dalam bab ini dijelaskan ulasan mengenai ACFTA meliputi proses, landasan, dan kesepakatan dan renegoisasi dan revisi dalam ACFTA, memaparkan juga dampak ACFTA terhadap perdagangan Indonesia yang meliputi neraca perdagangan Indonesia-China dan langkah pemerintah terkait dampak ACFTA tersebut. Dalam bab ini juga memaparkan antidumping sebagai salah satu bentuk proteksi industri dalam negeri dalam menghadapi ACFTA yakni penegakan hukum terhadap produk impor yang berindikasi dumping dan kebijakan Indonesia dalam menghadapi praktik dan tuduhan dumping.

BAB V Kesimpulan dan Saran

Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan yang ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang penulis anggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut.


(37)

BAB II

HUKUM ANTI DUMPING DALAM PERDAGANGAN

INTERNASIONAL

A. Tinjuan Umum Mengenai Antidumping

1. Konsep dan Pengertian Dumping

Dumping adalah istilah yang digunakan dalam perdagangan internasional yakni praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga yang kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut dinegerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, sehingga merusak pasaran dan merugikan produsen pesaing negara pengimpor.25 Dalam ilmu ekonomi dumping diartikan sebagai “traditionally defined as selling at a lower price in one national market than in another”.26 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai system penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasar luar negeri dan dapat menguasai harga kembali).27

25

AF. Elly Erawaty dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, (Jakarta, Proyek ELIPS, 1996), hal.39.

26

John H Jackson and William J.Davey, Legal Problems of Economics Internasional

Cases, Materials and tax (2nd Edition), hlm. 654-655.

27

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka, 1997), hal 246.


(38)

Dalam Black’s Law dictionary, Pengertian dumping dinyatakan sebagai berikut, “The act of selling in quantity at a very low price or practically regardless of the price; also, selling goods abroad at less than the market price at home.28

Beberapa pengertian dumping sebagaimana dikemukakan oleh beberapa sarjana dalam Sukarmi adalah sebagai berikut.

” Dimana dalam terjemahan bebas dapat diartikan sebuah tindakan yang menjual barang dalam kuantitas harga yang sangat rendah atau hampir mengabaikan harga, juga menjual barang-barang luar negeri kurang dari harga pasar di tempat asalnya.

Adapun menurut kamus hukum ekonomi, dumping adalah prakting dagang yang dilakukan pengekspor dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. Dari defenisi tersebut diatas menunjukkan bahwa pengertian dumping, sering diekpresikan sebagai penjualan produk-produk untuk ekspor pada harga yang lebih rendah dari nilai normal. Nilai normal dalam arti harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau di pasar pengekspor.

29

1. Agus Brotosusilo: Dumping adalah bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara

28

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul,Minn;West Publishing Co, 1990),Hal.347.

29

Sukarmi, Regulasi Anti Dumping Dalam Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Jakarta; Sinar Grafika, 2002), hlm 25.


(39)

pengekspor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

2. Muhammad Ashari: Dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga, yaitu suatu diskriminasi harga yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat dikatakan bahwa Dumping adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh produsen atau pengkspor yang melaksanakan penjualan barang/ komoditi di luar negeri atau negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga barang sejenis baik di dalam negeri pengekspor maupun di negara pengimpor, sehingga mengakibatkan kerugian bagi negara pengimpor. Dengan demikian bahwa pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keberuntungan atas produk tersebut.

Untuk mengantisipasi adanya praktik dumping diperlukan suatu tindakan yang disebut antidumping adalah suatu tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan dumping. Pengenaan bea masuk antidumping adalah pungutan yang dikenakan terhadap barang dumping yang menyebabkan kerugian industri negara pengimpor.


(40)

Barang dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya dinegara pengekspor. Berbeda dengan subsidi yang terlihat sama namun berbeda, dimana subsidi adalah:30

a) Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah baik langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri, atau eksportir.

b) Setiap bentuk dukungan terhadap pendapatan atau harga yang diberikan secara langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan import dari atau kenegara yang bersangkutan.

Tujuan hukum diciptakannya pengaturan anti dumping adalah upaya perlindungan bagi industri lokal atau nasional dalam suatu negara. Namun dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimiliki Indonesia, meskipun substansinya memuat pengaturan larangan praktek persaingan tidak sehat baik dalam bentuk harga maupun barang, tetapi undang-undang tersebut tidak menyinggung mengenai perihal anti dumping. Hal ini membuat seolah-olah tidak ada keterkaitan antara praktik dumping dan persaingan usaha yang tidak sehat.

Menurut Robert Willig, mantan kepala ahli ekonomi pada divisi Antitrust Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping berdasarkan tujuan dari eksportir, kekuatan pasar dan struktur pasar impor yaitu sebagai berikut.31

30

H.S. Kartajoemana, GATT, WTO dan hasil Uruguay Round (Jakarta ; UI Press, 1997) hal; 169.

31


(41)

1. Market Ekspansion Dumping

Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “Mark up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.

2. Cyclical Dumping

Motivasi dumping jenis ini muncul dar adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.

3. State Trading Dumping

Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.

4. Strategic Dumping

Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan dinegara pengimpor melalui strategi keseluruhan dari negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolak ukur skala ekonomi, maka mereka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.


(42)

5. Predatory Dumping

Istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasaran, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis di negara pengimpor.

Dumping merupakan praktik diskriminasi harga yang menjual produk impor dengan harga yang lebih murah dari produk yang sama dinegara asal. Selain itu, praktik diskriminasi harga yang menjual produk impor dengan harga yang lebih rendah dari pada biaya produksinya juga dikategorikan sebagai dumping. Berbagai negara telah mempunyai kebijakan dan prosedur masing-masing untuk melindungi perusahaan nasionalnya dari praktek dumping. Secara garis besar, dumping bisa dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :32

1. Dumping Spondaris, yaitu dumping yang dilakukan secara temporer dengan tujuan utama mengatasi kelebihan kapasitas. Kelebihan kapasitas dipasarkan ke luar negeri dengan harga berapa pun yang penting dapat dijual. Dengan demikian, perusahan bisa mendapatkan pemasukan dan terhindar dari perang harga dipasar nasionalnya.

2. Dumping Predatoris, yaitu praktek dumping dengan menjual produk secara merugi dengan tujuan mendapat akses kesuatu pasar dan menyingkirkan para pesaing. Begitu pesaing mulai berguguran dan posisi perusahaan cukup kuat, baru harga dinaikkan.

32

Aprilia dan Fenita Adriani, “Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia”,


(43)

3. Dumping Persisten, yaitu jenis dumping yang paling permanent, dimana perusahaan secara konsisten menjual produknya dengan harga lebih rendah disatu pasar dibandingkan dipasar-pasar lainnya. Hal ini dimungkinkan dengan penerapan metode penerapan harga marginal untuk pasar luar negeri dan metode penerapan harga penuh untuk pasar dalam negeri. Akibatnya, konsumen dalam negeri harus berkorban dengan membayar harga yang lebih mahal dari pada konsumen negara lain.

Bagaimanapun tidak seluruh dumping itu membahayakan hanya dumping yang merugikan dan melanggar ketentuan Antidumping seperti yang diatur dalam agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yang merupakan Multilateral Trade Agreement (MTA). Dumping yang dipermasalahkan hanyalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian material pada industri dalam negeri negara pengimpor.33

Dalam ketentuan Pasal VI ayat 1 GATT merumuskan definisi dumping sebagai : “Product of one country are introduce into the commerce of another country at less than normal value of the product is to be condemned if it causes or threated material injury to an estabilished industry in the teritority of contracting party or matrially rertard the estabilishment of a domestic industry”.34

Berdasarkan ketentuan diatas, maka artikel VI GATT 1994 ini mengijinkan otoritas di suatu negara untuk mengenakan biaya tambahan dalam bentuk bea masuk anti dumping terhadap produk-produk impor yang diduga dijual

33

Yulianto Syahyu, op.cit., hal 34

34


(44)

dibawah harga normal atau harga lebih murah dari harga pasar di pasar domestik dari negara asal barang, sehingga praktik yang demikian menimbulkan kerugian bagi industri dalam negeri.35

1. Harga ekspornya lebih rendah daripada harga perbandingan untuk barang sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. Dumping juga memiliki dua arti yakni pertama, dumping adalah praktek yang dilakukan oleh sebuah perusahaan yang menjual produk ekspornya pada harga yang lebih rendah dari harga produk itu jika dijual di negara asalnya. Definisi dumping ini dipakai dalam Putaran Kennedy dan Putaran Tokyo mengenai Antidumping duties, sementara definisi dumping yang disepakati dalam Putaran Uruguay adalah praktek yang dilakukan oleh suatu perusahaan yang menjual produk ekspornya dengan harga yang lebih rendah daripada harga normal produk tersebut. Putaran Uruguay juga menentukan kriteria sebuah perusahaan dianggap melakukan dumping, yaitu :

2. Bila tidak ada penjualan dipasar domestik, maka digunakan perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga.

3. Bila ukuran pertama dan kedua tidak ada, maka digunakan suatu ukuran ketiga yakni dengan diadakan pembentukan harga yang didasarkan pada biaya produksi ditambah dengan satu jumlah biaya untuk administrasi, pemasaran dan biaya lainnya ditambah dengan suatu jumlah keuntungan yang wajar.

35

Rita Erlina, Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional : Sinkronisasi Peraturan

Anti Dumping Indonesia Terhadap WTO Anti Dumping Agreement , Tesis, (Program Pasca


(45)

Dumping dapat dikatakan sebagai tindakan diskriminasi harga hal ini berarti menjual barang yang sama dengan harga berbeda pada pasar-pasar yang terpisah. Hal ini sejalan dengan suatu posisi monopoli di pasar dalam negeri yang bersangkutan.36 Dapat juga diartikan sebagai penawaran di luar negeri dengan harga di bawah biaya produksi negara pengekspor.37

Negara yang merasa dirugikan dengan adanya dumping itu bisa melakukan tindakan balasan, sekarang biasanya diwujudkan dalam bentuk Bea Masuk Anti Dumping. Kebijakan anti dumping menjadi hal yang kontroversial dan paling sering digunakan oleh negara-negara maju untuk melindungi perusahaannya yang kurang efisien. Kebijakan anti dumping itu diterapkan tidak boleh lebih lama daripada 5 tahun sejak kebijakan antidumping diterapkan, namun pihak pemerintah yang mengeluarkan kebijakan anti dumping di suatu negara bisa menerapkan jangka waktu yang lama lagi jika melihat bahwa kelanjutan

Kemudian yang dikatakan dengan anti-dumping adalah kebijakan yang dibuat atau diciptakan oleh pemerintah dalam suatu negara untuk mencegah timbulnya berbagai kegiatan curang oleh pelaku usaha asing melalui produk impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan aspek harga dan produk. Mekanisme anti-dumping ini selanjutnya menciptakan apa yang disebut sebagai safeguard yaitu suatu upaya perlindungan dari pemerintah suatu negara untuk melindungi produk dalam negeri yang dihasilkan pelaku usaha domestiknya.

36

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia,(Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003),hlm. 32.

37


(46)

pengenaan kebijakan anti dumping itu mencegah timbulnya kembali atau mengurangi kerugian yang terus berlanjut pada suatu industri domestiknya.

Di lain pihak penggunaan definisi barang dumping sebagai barang ekspor yang dijual pada harga yang lebih rendah daripada harga normal merugikan negara-negara yang memiliki industri yang efisien dan mempunyai keuntungan komparatif dan kompetitif. Sudah sering terjadi negara-negara maju menerapkan kebijakan anti dumping pada sebuah produk yang sebenarnya tidak didumping sering terjadi, hanya karena melihat bahwa barang ekspor itu dijual dibawah harga normal. Kriteria harga normal kebanyakan ditentukan oleh perhitungan mereka sendiri atau karena melihat bahwa produk impor itu telah merusak harga produk sendiri, merusak harga produk-produk sejenis yang dihasilkan oleh produsen domestik dan dilakukan secara sepihak tanpa meminta keterangan terlebih dahulu atau membentuk tim untuk melakukan investigasi. Pembentukan tim investigasi baru dilaksanakan setelah ada keberatan dari pihak negara pengekspor, tetapi juga merugikan pihak importir,distributor dan penjual eceran di negara pengimpor serta tentu saja konsumen yang harus membayar lebih mahal.

Dasar hukum antidumping mungkin tidak sesuai dengan teori ekonomi. Walaupun demikian, para negosiator perdagangan internasional tidak mempermasalahkan apakah dumping dapat diperkarakan. Selama negoisasi WTO, tidak ada delegasi yang menentang hak pemerintahan suatu negara untuk menetapkan antidumping. Sampai pada akhirnya ketika Putaran Kennedy, para negosiator sedikit memberikan perhatian pada hukum antidumping. Sebelum


(47)

Putaran Kennedy hanya ada satu kasus yang pada tahun 1955, Swedia dibebankan bea antidumping oleh Italia atas produk Stoking Nilon.

Pada awalnya ketentuan GATT yang mengatur mengenai tata cara dan prosedur pelaksanaan antidumping (Article VI) dirasakan masih bersifat tidak jelas dan perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu penyempurnaan melalui berbagai perundingann multilateral yang menghaslkan Agreement on Implementation of article VI of GATT 1994 atau yang dikenal dengan Antidumping Code (1994).

Article 2,1 dari Antidumping Code (1994) mengatur tentang determinasi dumping yaitu38

Untuk mengkounter praktik dumping yang dilakukan produsen negara pengekspor maka pemerintah negara pengimpor dapat melakukan pengenaan dan penarikan bea masuk antidumping. Pengertian antidumping menurut konsep GATT 1994 adalah bea masuk yang dikenakan kepada barang-barang yang

:

“For the purpose of this Agreement, a product is to be considered as being dumped, i.e. introduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade for the like product when destined for consumption in the exporting country.”

Dengan demikian konsep utama dalam GATT 1994 adalah menjual barang dengan harga lebih murah di luar negeri daripada dalam negeri dengan dibawah harga normal. Sehingga jika terdapat selisih antara harga jual ekspor dan harga jual dalam negeri lebih rendah, maka eksportir dianggap sudah melakukan dumping.

38


(48)

diketahui sebagai barang dumping dengan tujuan menghilangkan unsur dumping pada barang tersebut, dan agar harga barang tersebut tidak terlalu tinggi perbedaannya dengan harga barang sejenis di negara importer. Tindakan antidumping sebagai upaya untuk mengkounter praktik dumping perlu dilakukan secara adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan dunia usaha.

Dengan demikian apabila suatu perusahaan di luar negeri menjual produknya ke negara lain dengan harga dumping dan menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri importir, maka negara importir tersebut dibenarkan mengenakan bea masuk antidumpingsebesar margin dumpingnya.

2. Dampak Praktik Dumping Terhadap Negara Importir dan Eksportir

Masyarakat dalam melakukan perdagangan bertujuan untuk memperoleh keuntungan, untuk itu masyarakat harus mempunyai kemampuan atau kecakapan serta berkeinginan untuk terus menerus mengikuti kegiatan perdagangan internasional, serta berupaya memperdagangkan barang yang berkualitas dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat internasional. Maka untuk itu pelaku perdagangan internasional perlu memiliki konsep keunggulan komperatif atau yang sering disebut Comparative Advantages.39

Namun hal tersebut sering tidak dipahami dan dilakukan oleh pelaku usaha, mereka pada umumnya lebih mengutamakan keuntungan dan terkadang demi keuntungan melakukan praktik curang (Unfair) seperti melakukan praktik

39

Victor Purba, Kontrak Jual Beli Barang Internasional, (Konvensi Vienna 1980), (Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2002), Hal. 304.


(49)

dumping sementara praktik tersebut memiliki dampak bagi importir maupun eksportir.

Konsep strategi dumping menimbulkan masalah bersama dari pasar ekspor yang tidak elastis dalam hubungan dengan harga rendah dalam pasar impor. Robert Willig menyatakan hal tersebut dikarenakan40

1. Tertutupnya pasar pengekspor,

:

2. Akibatnya terjadi pembatasan penjualan dalam negeri sehingga membatasi untuk investasi pada penelitian dan pengembangan serta pengembangan sumber daya manusia,

3. Kemungkinan memperkuat monopoli para eksportir jika supplier domestic di negara impor tidak mampu dalam bersaing secara efektif, dan

4. Kemungkinan oligopoli antara produsen luar negeri dan domestik.

Dari sudut pandang pereknomian global, pengaruh negatif strategi dumping pada negara importir lebih besar dari negara eksportir yang menikmati keuntungan.41

1. Dampak Dumping di Negara Importir

Dampak dumping dapat dilihat dari dua sisi yakni dari pihak Importir dan pihak Eksportir.

Dampak dumping dapat dilihat dari beberapa tolak ukur yakni sebagai berikut42

40

Gabrielle Marceau, Antidumping and Antitrust Issues in Free Trade Areas, (Oxford, Clareden Press, 1994), hal 15, dikutip oleh Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003), hal 47.

41

Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia,(Jakarta; Ghalia Indonesia, 2003),Hlm. 47

42


(50)

a. Tingkat produksi (level of output)

Total output dari keadaan di bawah diskriminasi harga mungkin lebih besar dibandingkan dengan keadaan dibawah harga monopoli tunggal. Kenyataannya dalam pasar yang diskriminatif, jika setiap pembeli bersedia membayar sesuai dengan kurva permintaan klasik (pada saat permintaan meningkat harga akan meningkat, demikian juga sebaliknya), maka total output akan cederung sama dengan output pada situasi industri yang sangat kompetitif. Disisi lain, ada kemungkinan bagi kaum monopolis untuk menggunakan strategi diskriminasi harga untuk mengurangi output di salah satu pasar. Karena itu tidak ada teori umum dan pasti tentang implikasi dari diskriminasi harga. Dalam perdagangan internasional cenderung mengurangi hasil produksi dari produsen pesaing lokal, tetapi hal ini dapat meningkatkan hasil produksi dari industri hilir. Setiap situasi patut dianalisis secara khusus dan karena itu dumping tidak berbeda dari impor dengan harga rendah lainnya.

b. Penyebaran pendapatan

Di satu sisi, pesaing lokal yang merupakan produksi barang sejenis dapat kehilangan keuntungan karena praktik dumping ini. Karena dumping ini pemegang saham akan kehilangan dividennya dan pekerja akan kehilangan pekerjaan untuk beberapa waktu. Disisi lain, barang dengan harga rendah ini akan secara langsung menguntungkan kondisi keuangan dari para konsumen.


(51)

c. Dampak terhadap proses kompetisi dalam perdagangan internasional (effects on the competitive process in international trade).

Dampak praktik dumping ini terhadap kompetensi sangat bervariasi, tergantung pada apakah diskriminasi harga yang terjadi secara horizontal atau vertikal. Dampaknya antara lain sebagai berikut:

(1) Jika diskriminasi harga ini merupakan hasil transisi dari monopoli total kebiasaan yang lebih kompetitif, maka diskriminasi harga akan berpihak kepada persaingan.

(2) Jika diskriminasi harga membantu proses pengerusakan kartel internasional, maka diskriminasi harga ini akan menjadi prokompetitif terhadap negara importir dan juga negara eksportir.

(3) Jika diskriminasi harga merupakan bukti adanya praktik pemangsaan atau merupakan tameng dari adanya kerusakan system ekonomi, maka diskriminasi harga bisa juga menjadi antikompetitif.

Diskriminasi harga horizontal adalah diskriminasi terhadap pesaing pada tingkat industri yang sama. sebagaimana penjualan dengan harga rendah lainnya, diskriminasi harga secara horizontal ini akan menghilangkan beberapa pesaing di negara pengimpor.


(52)

Dalam perdagangan internasional, dumping tampaknya menguntungkan bagi industri hilir di negara pengimpor. Adanya produk impor dengan harga rendah (pada umumnya berbentuk bahan baku) akan meningkaykan keuntungan bagi industri dalam negeri yang menggunakannya.

2. Dampak dumping dinegara Eksportir

Dalam pola diskriminasi harga internasional, pasar yang kurang elastis atau mempunyai peraturan bisnis yang sanggat kaku, pada umumnya cenderung memberlakukan harga tinggi untuk konsumen dalam negeri. Di sisi lain, dengan memperluas kesempatan pasar ekspor, diskriminasi harga yang berupa dumping ini dapat menguntungkan konsumen dalam negeri dengan memungkinkan adanya biaya produksi yang rendah, investasi yang lebih besar untuk produk baru dan juga peningkatan kapasitas produksi yang dapat menambahkan kesejahteraan dari konsumen barang dumping.

Konsekuensi dari praktik dumping mengakibatkan pembatasan produksi barang industri dalam negeri dan secara bersamaan membatasi untuk investasi pula pada penelitian dan pengembangan serta peningkatan sumber daya manusia. Disamping itu akan terjadi ketertutupan negara tersebut dengan produk sejenis dari yang lain, terutama jika terjadi subsidi silang atas barang dumping. Jadi apapun alasannya praktik dumping tetap merugikan negara eksportir secara tidak langsung dan untuk jangka waktu yang panjang akan dapat merugikan.

3. Sejarah Ketentuan Antidumping

Transaksi perdagangan internasional saat ini semakin berkembang tiap tahunnya. Hal ini dapat kita lihat dari terciptanya General Agreements on Tariffs


(53)

and Trade (GATT) tahun 1947 yang berlaku sejak tahun 1948 dimana ketentuan antidumping sudah menjadi bahan yang patut dibahas. Dalam perdagangan internasional yang semakin berkembang akan menimbulkan persaingan yang sangat ketat dan dan kemungkinan untuk melakukan praktek curang cukup tinggi.

Ketentuan antidumping sudah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 dimana ada perjanjian tambahan dibuat secara simultan yang disebut Code. Pasal VI GATT tentang lembaga antidumping direkomendasikan untuk diimplementasikan oleh negara anggota dalam system hukum nasional, dimana pasal VI tersebut adalah sebagai berikut.

“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into one commerce of another country at less than normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contacting party or materially retrads the establishment of a domestic industry.43

WTO dibentuk pada tanggal 1 Januari 1995 yang merupakan ketentuan kelanjutan dari GATT, dimana pada dasarnya memiliki prinsip dan tujuan yang sama dalam menciptakan ketertiban dalam perdagangan internasional. WTO

Pada tahun awal, putaran perdagangan GATT mengkonsentrasikan negoisasi pada upaya pengurangan tariff yang kemudian dilanjutkan dengan Putaran Kennedy pada pertengahan tahun 1960-an yang membahas persetujuan anti dumping. Kemudian dilanjutkan denggan Putaran Tokyo pada tahun 1970 dan Putaran Uruguay dari tahun 1986 sampai tahun 1994 dan mengarah kepada pembentukan World Trade Organization (WTO) dimana didalamnya mencakup juga perdagangan jasa dan kekayaan intelektual.

43


(54)

sebuah organisasi perdagangan internasional diharapkan dapat menjembatani semua kepentingan negara di dunia dalam sektor perdagangan melalui ketentuan-ketentuan yang disetujui bersama.

Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan multilateral, Indonesia sudah meratifikasi Agreement Establishment The WTO ini melalu Undang-Undang nomor 7 tahun 1994. Dengan meratifikasi Agreement Establishment The WTO ini Indonesia sekaligus telah meratifikasi pula Antidumpping Code (1994) yang merupakan salah satu dari Mulitlateral Trade Agreement (MTA).

Sebagai konsekuensinya dari diratifikasinya Agreement Establishment The WTO oleh Indonesia, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar mengenai antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang tercantum pada pasal 18 sampai dengan pasal 20 dan selanjutnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

Dengan dimuatnya ketentuan tersebut lahirlah peraturan-peraturan pelaksana sebagai berikut.

1. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.

2. Keputusan-keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan antara lain sebagai berikut ini.

1) a. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 216 Tahun 1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengajuan dan


(55)

Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi, yang diperbaharui dengan;

b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.216 / MPP / Kep / 7 / 2001 tentang Perubahan Keputusan No. 261 / MPP / Kep / 9 / 1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.

2) a. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.136 / MPP / Kep / 6 / 1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia yang diperbaharui oleh;

b. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 430 / MPP / 9 / 1999 tentang Komite Antidumping Indonesia (KADI) dan Tim Operasional Antidumping (TOAD), diperbaharui lagi oleh :

c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 427 / MPP / Kep / 10 / 2000 tentang Komite Antidumping Indonesia. 3) a. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 172 /

MPP / Kep / 6 / 1996 tentang Organisasi dan Tata Cara TOAD dan diperbaharui oleh :

b. Keputusan Ketua TOAD No. 354 / TOAD / Kep / 10 / 1999 tentang \Pengangkatan Anggota TOAD, yang kemudian diperbaharui lagi oleh :


(56)

c. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 428 / MPP / Kep / 10 / 2002 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia.

d. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 24 / MPP / Kep / 1 / 2002 tentang Pembebasan dan Pengangkatan Ketua Merangkap Anggota Komite Antidumping Indonesia. 3. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor SE-19/BC/1997 tentang

Petunjuk pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti dumping / sementara.

Dan dari hal tersebut menjadi jelas sudah dasar hukum antidumping di Indonesia dan jelas juga apa yang menjadi payung perlindungan terhadap produk industri dalam negeri dalam hal terjadinya praktik dumping.

B. Ketentuan Antidumping Menurut GATT dan WTO

Secara struktur General Agreement on Tariffs and Trade selanjutnya disingkat GATT diciptakan sebagai suatu perjanjian multilateral dan bukan suatu organisasi. WTO barulah sebagai organisasi terbentuk dengan nama World Trade organization (WTO) yang merupakan hasil dari Uruguay Round. GATT bertujuan menunjang perdagangan semakin terbuka dengan berkurangnya hambatan dalam bentuk tariff dan non tariff 44dan sekaligus menyebabkan negara pesertanya berkewajiban untuk membatasi diri dalam melangkah, kegiatan dan kebijaksaan yang dapat menghambat perdagangan internasional.45

44

H. S Kartadjoemana, GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internsional di

Bidang Perdagangan, (Jakarta : UI-Press, 1996), hal 77.

45


(57)

Aturan GATT mengandung prinsip persaingan yang adil, dengan semakin banyaknya subsidi yang merugikan sektor domestik maka GATT membuat peraturan main yang berlaku bagi negara-negara peserta GATT untuk memberantas kondisi persaingan tidak sehat dalam perdagangan internasional.

Ketentuan anti dumping telah tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947. Lembaga anti dumping sendiri diatur dalam Pasal VI GATT yang merekomendasikan kepada setiap anggotanya untuk mengimplementasikan ketentuan GATT dalam system hukum nasionalnya masing-masing implementasi dari ketentuan anti dumping ini terdapat dalam Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang dihasilkan melalui Uruguay Round dan dikenal dengan nama Antidumping Code 1994 dimana ketentuannya adalah sebagai berikut :

“the contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into one commerce of another country at less than the normal vakue of the product is to be condemned if it causes or theretens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry ”

Maksud pasal ini adalah bahwa negara pengimpor dapat melakukan tindakan perlawanan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping untuk mengurangi kerugian yang diderita oleh industri dalam negeri akibat dari barang dumping, dengan syarat telah terjadi kerugian yang disebabkan adanya barang dumping tersebut (causal link). Mengenai aturan pelaksanaan bagi negara-negara anggota GATT diperjelas dalam Agreement of Implementation of Article VI of GATT 1994 atau yang disebut dengan Antidumping Code 1994. Anti Dumping Code ini dibuat untuk memberikan aturan dan batasan yang jelas dalam


(58)

pengenaan Bea Masuk Anti Dumping agar tidak terjadi tindakan yang over protective dalam penggunaan instrumen anti dumping dan tidak dijadikan sebagai alat proteksi terselubung.

Dengan adanya praktek dumping perusahaan dalam negeri akan terancam bangkrut dan akan mengakibatkan kerugian yang meluas. Untuk menghindari kerugian itu maka negara dapat melakukan pencegahan dengan menerapkan aturan anti dumping yang memungkinkan tindakan remedial (anti-dumping duties) atas produk tersebut. Namun sering dalam perkembangannya pengaturan anti dumping ini dimana negara dan pengusaha suatu negara untuk mengeliminir persaingan usaha sehingga melahirkan praktik usaha yang tidak fair. Atas dasar itulah kesepakatan antar negara agar penerapan anti dumping tidak semena-mena yang kemudian melahirkan kesempatan dalam GATT dan Antidumping Code tersebut.

Untuk dapat dilarangnya suatu dumping harus memenuhi unsur-unsur termuat dalam Pasal VI GATT. Walaupun rumusannya sangat sederhana namun dalam prakteknya membutuhkan suatu perlindungan dan kajian yang cukup kompleks untuk menentukan sudah terjadi atau tidaknya suatu dumping yang dilarang dan dapat dikenakan bea masuk antidumping.

Dalam Pasal VI GATT dinyatakan bahwa dumping yang dapat melahirkan tindakan antidumping haruslah46

a. Harga produk ekspor tersebut dibawah normal :

b. Tindakan tersebut : 46

Yoserwan, “Regulasi Antidumping dalam Kerangka GATT /WTO dan Implikasinya Bagi Dunia Usaha”, tanggal 25 September 2011.


(59)

1. Menyebabkan kerugian material; atau

2. Mengancam timbulnya kerugian material bagi industri domestik produk tersebut dan ;

3. Secara material menghalangi pengembangan industri dalam negeri.

Ketentuan yang menyatakan bahwa suatu produk dijual dalam perdagangan dibawah harga normal bilamana harga produk tersebut47

1. Lebih rendah dari harga pembanding produk tersebut dalam perdagangan yang normal atau umumnya ordinary course dari produk sejenis yang ditujukan untuk konsumsi di negara pengekspor.

:

2. Bila harga domestik tersebut tidak ada, maka harga tersebut harus lebih rendah dari :

a. Harga pembanding tertinggi dari produk sejenis untuk diekspor ke negara ke-tiga dalam atau perdagangan normal ; atau

b. Biaya produksi barang tersebut di negara asal ditambah dengan biaya penjualan dan keuntungan yang layak.

1. Penentuan Harga

Persoalan yang cukup pelik adalah ketentuan mengenai penerapan secara konkrit berbagai konsep dalam ketentuan tersebut. Persoalan yang pertama adalah penentuan harga ekspor dan harga normal. Secara umum harga ekspor adalah : “ex factory price without shipping charge at which a products is sold to an unaffiliated or unrelated buyer in importing country. When a price charges for a

47


(1)

3. Dalam menghadapi tuduhan dumping dari luar negeri sebaiknya:

a. Memahami secara seksama ketentuan antidumping di negara penuduh;

b. Memberikan kerjasama yang baik kepada penyidik negara pengimpor yang mencari fakta dilapangan;

c. Melakukan koordinasi dalam asosiasi produk yang bersangkutan dan mendapatkan berbagai informasi dari instansi yang terkait; d. Bilamana kondisi yang memungkinkan gunakan tenaga konsultan

hukum (Lawyer) yang ahli di bidang antidumping.

4. Dalam menghadapi ACFTA ini sebaiknya pemerintah mengambil sikap yang tegas untuk mendapatkan keuntungan yang sama dalam ACFTA ini yang diikuti dengan tindakan nyata untuk menghilangkan kerentanan industri dalam negeri terhadap pasar bebas dengan memperkecil kendala industri dalam negeri untuk mengembangkan diri seperti masalah birokrasi, tidak adanya kepastian hukum, iklim politik yang tidak kondusif, ekonomi berbiaya tinggi, pungutan-pungutan tidak resmi, masalah bahan baku, dan lain sebagainya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku Bacaan

Barutu, Christoporus, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi dan Tindakan

Pengamanan (Safeguard) Dalam GATT dan WTO, Jakarta: Penerbit

PT. Citra Aditya Bakti, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997.

Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan

Internasional, Jakarta: Penerbit Direktorat Jenderal Perdagangan

Internasional, 1998.

Erawaty, Elly AF., dan J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia, Jakarta: Proyek ELIPS, 1996.

Kartajoemana, H.S., GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Jakarta: Penerbit UI Press, 1997.

____________, GATT dan WTO, Sistem Forum dan Lembaga Internasional di

Bidang Perdagangan, Jakarta: Penerbit UI-Press, 1996.

Kartika, Dewi, “Analisis Pengenaan Ketentuan Anti Dumping dalam GATT dan

WTO di Indonesia.” Skripsi. Jakarta: Program Sarjana Fakultas Ilmu

Sosial dan Politik Universitas Indonesia, 2008.

Purba, Viktor, “Kontrak Jual Beli Barang Internasional (Konvensi Vienna


(3)

Suherman, Ade Maman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia, 2002.

Sukarmi, Regulasi Antidumping Dibawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, Jakarta: Penerbit PT. Sinar Grafika, 2002.

Syahyu, Yulianto, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Jakarta: Penerbit PT. Ghalia Indonesia, 2003.

Winardi, Istilah Ekonomi, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1996. Jurnal, Makalah, Surat Kabar dan Artikel

Barutu, Christophorus, Antidumping Dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT) dan Pengaruhnya Terhadap Peraturan Anti Dumping Indonesia., Mimbar Hukum No. 1 Vol. 19, Februari 2007.

Erlina, Rita, “Anti Dumping Dalam Perdagangan Internasional: Sinkronisasi

Peraturan Anti dumping Indonesia Terhadap WTO Anti Dumping Agreement.” Tesis. Medan: Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, 2007.

Ibrahim, Meily dan Wahyu, Dampak Pelaksanaan ACFTA Terhadap Perdagangan Internasional Indonesia., Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2010.

Rajagukguk, Erman, “Globalisasi Hukum dan Kemajuan Tehnologi, Implikasi

Bagi Pendidikan Hukum dan Pembangunan Hukum di Indonesia”.

Pidato Dies Natalis Universitas Sumatera Utara ke 44, Medan: Fakultas Hukum USU, 2001.


(4)

Sutrisno, Nandang, Memperkuat Sistem Hukum Remedi Perdagangan, Melindungi Industri Dalam Negeri., Jurnal Hukum No.2 Vol. 14, April 2007.

Wilson, Bruce, “Dispute Settlement in the WTO: An Update.” Paper pada presentasi di Washington International Trade Association, 16 November 2006.

“Produk China di Setiap Lini”, Kompas, 12 April 2011.

Ardian, “Dampak Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) bagi

Perdagangan Indonesia”, 14 Agustus 2011, diperoleh dari

tanggal 28 September 2011.

Aprilia dan Andriani, Fenita, “Tuduhan Praktek Dumping Yang Dilakukan

Indonesia”, 1 Juli 2008, diperoleh dari

kali diakeses tanggal 15 Agustus 2011.

Djemana, Matias, “Globalisasi Terhadap Perdagangan Internasional”, 29 April 2011, diperoleh dari diakses tanggal 27 September 2011.

“Indonesia-China: Tidak Ada Desain Besar Hadapi ACFTA”, Kompas, 15 April 2011

Joe Ventoes, Jongga, “Amandemen dan Modifikasi Terhadap Perjanjian.”, 23 Febuari 2010, diperoleh dari


(5)

Lisasih, Nin Yasmin, “Implikasi ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia”, 19 Juli 2011, diperoleh dari kali diakses tanggal 24 September 2011.

Rahmawati, Restu, “Kebijakan Perdagangan ACFTA: Mencari Pelajaran dari

Sebuah Kebijakan.”, 10 Januari 2010, diperoleh dari

April 2011.

Runiasari, Kartika, “Lama Dirancang, Resah Sekarang.”, 26 Januari 2010, diperoleh dari 25 September 2011.

Sood, Mohammad, “Regulasi Anti Dumping Sebagai Upaya Perlindungan

Terhadap Industri Dalam Negeri”, 12 Oktober 2011, diperoleh dari

2011.

Vanisterisa, “Polemik ACFTA”, 1 September 2010, diperoleh dari

September 2011.

Yoserwan, “Regulasi Antidumping dalam Kerangka GATT/WTO dan

Impilkasinya Bagi Dunia Usaha”, 24 Juni 2010, diperoleh dari

September 2011.


(6)

Yusuf, Eddy, “Dumping Produk China.”, 8 Oktober 2009, diperoleh dari 2011.

Agreement (Kesepakatan/Perjanjian), Peraturan Perundang-undangan

Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 (Antidumping Code 1994), 15 April 1994

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement

Estabilishing the World Trade Organization.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 perubahan dari Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 216/ MPP/ Kep/7/2001 tentang perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/ MPP/ Kep/ 9/ 1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 427/ MPP/ Kep/ 10/ 2000 tentang Komite Antidumping Indonesia.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/ MPP/ Kep/ 10/ 2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia.