Kompetensi Guru Agama Islam dalam Perspektif PAIKEM

48 d. Memfasilitasi perkembangan potensi peserta didik. e. Menguasai teori dan prinsip belajar serta pembelajaran yang mendidik. f. Mengembangkan kurikulum yang mendorong keterlibatan peserta didik dalam pembelajaran. g. Merancang pembelajaran yang mendidik. h. Melaksanakan pembelajaran yang mendidik. i. Mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran. Pemahaman guru agama akan keberagaman karakteristik peserta didik membuat guru agama mengetahui cara dan pendekatan apa yang semestinya dilakukan dalam konteks pembelajaran. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beberapa guru agama yang mengesampingkan akan pemahaman tersebut, sehingga kesan diskriminasi dalam proses pembelajaran sering dirasakan oleh peserta didik. Hal tersebut terlihat dengan jelas bagaimana perbedaan seorang guru agama dalam memperlakukan peserta didik yang memiliki kemampuan speed learner, middle learner, dan low learner. Hal yang sepatutnya menjadi salah satu pertimbangan bagi guru agama dalam memandang peserta didik adalah kesamaan potensi peserta didik sebagai bagian yang inheren dalam diri peserta didik, perbedaannya hanya terletak pada penekanan-penekanan perkembangan potensi peserta didik yang dikembangkan antara satu dengan yang lainnya. Sehingga proses pembelajaran yang berlangsung berjalan secara demokratis dan penuh penghargaan, apresiasi atas perbedaan-perbedaan kemampuan peserta didik. Salah satu persamaan dan perbedaan karakteristik peserta didik bisa dilihat dari kemampuan otaknya. Semua peserta didik memiliki kapasitas otak yang sama yakni 180 quintriliun bit atau 280 milyar mainframe yang kalau ditarik persatunya bisa menciptakan 20-50 jaringan sel baru perdetik, sementara komputer hanya memiliki 49 kemampuan maksimal 60 bit. 67 Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Nick Herbet dalam “the element mind”, bahwa secara sadar kita hanya memproses 15-50 bit data per detik. Istilah bit dalam ilmu komputer merupakan satuan informasi, satu bit informasi sama dengan sebuah data. Misalnya, data “500” adalah satu bit. Otak mampu mengelolah 1.000.000.000.000 kali 1.000.000.000.000 bit informasi. 68 Akan tetapi setiap peserta didik memiliki perbedaan masing-masing dalam hal penggunaannya, maka kemudian dikenal istilah otak kiri dan otak kanan yang keduanya memiliki fungsi serta cara kerja masing-masing. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikutip oleh Arvan Pradiansyah dari tulisan Emily Dickinson 1830-1886 yang menjelaskan bahwa 69 : The brain is wider than sky For put them side by side The one the other will contain The brain is deeper than the sea For hold them blue to blue The one the other will absord As sponges buckets do The brain is just the weight of God For heft them pound for pound And they will differ if they do As syllable from sound Otak kiri biasa disebut sebagai otak objektif dimana data yang masuk harus bersifat teratur, sistematis, matematis, logis. Cara berpikirnya selalu teratur, detail, faktual. Berbeda dengan otak kanan yang biasa disebut sebagai otak subyektif, tempat data-data yang 67 Abu Fatimah, Belajar Itu Mak Nyuss, Jakarta : PT Mirqat Tebar Ilmu, 2008, cet. I, h. 27 68 Dr. Frank Lawlis, The IQ Answer; Meningkatkan dan Memaksimalkan IQ Anak, Jakarta: PT Gramedia, 2008, h. 15 69 Arvan Pradiansyah, The 7 Laws of Happiness; Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia, Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka, 2009, cet. VII, h. 43 50 menyenangkan. Cara berpikirnya tidak teratur, acak, intuitif, holistik, imajinatif. Begitu juga pendapat Lawrence tentang fungsi otak manusia yang digolongkan menjadi dua, yakni otak logika dan otak emosi.70 Istilah tersebut memang berbeda, akan tetapi maksud dan maknanya sama, yaitu otak kiri otak logika dan otak kanan otak emosi. Roger Sperry 1961 dalam penelitiannya menjelaskan akan struktur dan fungsi dari otak kiri dan otak kanan sebagaimana berikut 71 : Gambar IV Tentang Fungsi Otak Kiri Dan Otak Kanan Biasanya, peserta didik yang dominan menggunakan otak kiri akan berperilaku sebagai berikut: 1. Menyukai kata-kata, symbol, dan huruf 2. Gemar mengikuti kegiatan-kegiatan yang merangsang kemampuan artikulatif 3. Mengerjakan suatu pekerjaan dengan menggunakan jadwal yang teratur dan alokasi waktu yang sesuai 4. Menyukai informasi yang bersifat factual 5. Dapat menganalisis atau memprediksi sesuatu yang akan terjadi 6. Menyimpan segala sesuatu di tempat khusus 7. Suka membuat perencanaan sendiri secara matang 8. Sangat stabil dan konsisten 70 Hamzah B. Uno, Masri Kuadrat, Mengelolah Kecerdasan Dalam Pembelajaran; Sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009, cet. I, h. 57 71 Adi W Gunawan, Genius Learning Strategi; Petunjuk Praktis Untuk Menerapkan Accelerated Learning, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, cet. II, hal. 62 51 Sementara peserta didik yang dominan menggunakan otak kanan biasanya berperilaku sebagai berikut: 1. Lebih bisa berpikir dalam bentuk gambar skema 2. Lebih suka segala sesuatu yang bersifat acak 3. Lebih menyukai lingkungan belajar yang bersifat spontan 4. Menyukai informasi yang membahas mengenai hubungan dengan beberapa hal 5. Menyukai pendekatan yang bersifat terbuka dan baru 6. Sangat fleksibel, bahkan terkadang sulit untuk ditebak 7. Dapat mengikuti perencanaan yang dibuat oleh siapa saja 8. Biasanya bertindak berdasarkan perasaan 72 Kemampuan otak peserta didik juga memiliki keunikan dalam hal gaya belajar learning style. Gaya belajar peserta didik terbagi menjadi tiga tipologi, yaitu: gaya belajar visual, gaya belajar auditorial, dan gaya belajar kinestetik. Ketiga tipologi tersebut tidak dimaksudkan sebagai pembatasan bahwa setiap peserta didik hanya memiliki satu gaya belajar, karena bisa jadi dalam diri peserta didik terdapat dua atau bahkan tiga gaya belajar sekaligus. Ciri-ciri tipologi gaya belajar peserta didik menurut DePoter dan Hernacki meliputi 73 : Tabel II Tentang Ciri-ciri Gaya Belajar Gaya Belajar Visual  Memiliki kemampuan mengeja huruf dengan sangat baik  Belajar dimana saja, tidak menghiraukan keributan atau suara berisik disaat belajar  Kutu buku  Lebih suka membaca dari pada dibacakan  Suka dijelaskan secara jelas dalam membahas sesuatu 72 Deasy Harianti, Metode Jitu Melejitkan Daya Ingat, Jakarta: PT Tangga Pustaka, 2008, cet. II, h. 5-6 73 Abu Fatimah, Belajar Itu Mak Nyuss …………, h. 48-49 52  Lebih suka mendemonstrasikan sesuatu dari pada mengatakannya di depan Gaya Belajar Auditorial  Belajar harus ditempat yang tenang  Lebih suka mendengarkan dari pada membaca  Jika membaca, lebih senang membaca dengan suara keras  Berbicara fasih  Belajar mendengar dan mengingat apa yang didiskusikan dari pada apa yang dilihat  Lebih suka berdiskusi dan menjelaskan sedetail-detailnya. Gaya Belajar Kinestetik  Belajar sambil praktek langsung  Menggunakan jari untuk menunjuk kata yang dibaca  Ketika membaca, banyak menggunakan bahasa tubuh nonverbal  Tidak dapat duduk diam di suatu tempat  Suka kegiatan yang menyibukkan secara fisik Beberapa karakteristik tersebut selayaknya dipahami oleh guru agama agar guru agama memahami kapan semestinya data-data atau materi-materi yang disampaikan selaras dengan kondisi peserta didik serta sesuai dengan waktu yang tepat untuk dipelajari dalam proses pembelajaran. Hal ini menjadi sangat penting karena peserta didik disaat proses pembelajaran dimulai ibarat sebuah botol yang tertutup kondisi otak kiri yang perlu adanya stimulus untuk membuka tutup botol tersebut kondisi otak kanan, sehingga data-data atau materi yang dipelajari tidak hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, akan tetapi tertanam secara kuat dalam database peserta didik long term memory 53 Dengan begitu, guru agama dapat menciptakan pembelajaran berbeda dengan secara harmonis menyusun pengalaman-pengalaman pembelajaran yang kuat untuk memenuhi kebutuhan unik dari setiap peserta didik, dipandu oleh konsep-konsep pembelajaran yang harmonis dengan otak. Hal tersebut merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip- prinsip yang termaktub dalam strategi PAIKEM.

2. Kompetensi Kepribadian

Kedua, guru agama harus mempunyai kemampuan yang berkaitan dengan kemantapan dan integritas kepribadian seorang guru agama. Di sini guru agama dituntut untuk mampu membelajarkan peserta didiknya tentang disiplin diri, belajar membaca, mencintai buku, menghargai waktu, belajar bagaimana cara belajar, mematuhi aturantata tertib, dan belajar bagaimana harus berbuat. Semuanya itu akan berhasil apabila guru agama juga disiplin dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Kompetensi kepribadian meliputi subkompetensi kepribadian dan pengalaman peserta didik yaitu: a. Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa. b. Berlatih membiasakan diri bersikap dan bertindak secara konsisten. c. Berlatih membiasakan diri mentataati peraturan. d. Mengevaluasi kinerja. e. Mengembangkan diri secara berkelanjutan. Kompetensi kepribadian sangat berhubungan dengan integritas seorang guru agama, sehingga kesadaran akan kepribadian masing- masing guru agama serta pemahaman guru agama akan kepribadian setiap peserta didik menjadi salah satu faktor penting dalam konteks pembelajaran. Artinya, pemahaman guru agama akan dua hal tersebut membantu guru agama untuk bersikap secara tepat sesuai dengan keunikan kepribadian peserta didik dalam menciptakan hubungan yang harmonis serta interaktif saat proses pembelajaran berlangsung. Karena 54 memang penyamarataan akan keunikan kepibadian merupakan ketidaktepatan bagi guru agama, mengingat keunikan tersebut merupakan anugerah kolaborasi dari faktor bawaan sekaligus pembentukan lingkungan dimana peserta didik berada yang harus dipahami sebagai konsekwensi logis atas eksistensi peserta didik di dunia ini. Hal ini menuntut guru agama untuk memahami akan keunikan tersebut yang nantinya bisa dijadikan dasar untuk membimbing kearah yang tepat dalam arti kearah yang positif dari setiap keunikan kepribadian peserta didik. Secara umum tipologi kepribadian manusia terbagi menjadi empat macam sesuai dengan ciri-cirinya masing-masing, yaitu: 1. Sanguinis Sanguinis biasa disebut sebagai tipe pemimpin yang populer, ciri- cirinya: supel mudah bergaul, suka berbicara, suka dilihat orang, senang tampil didepan, suka bergerombol, ceroboh, sering NATO no action talk only. 2. Koleris Koleris biasa disebut sebagai tipe pemimpin yang kuat, ciri-cirinya: prinsipil, teguh berpendirian, disiplin, kaku dalam menjalankan peraturan, egois. 3. Melankolis Melankolis biasa disebut sebagai tipe perasa, ciri-cirinya: perfeksionis, terstruktur, perasa, pendendam. 4. Pleghmatis Pleghmatis biasa disebut sebagai tipe pendamai, ciri-cirinya: pendiam, tenang, sabar, tidak suka konflik, agak lamban dalam bertindak. 74 74 Resume Dari Buku Personality Plus karya Florence Littauer, Jakarta, Binarupa Aksara, 1996. 55 Alvan Pradiansyah dalam “the 7 laws of happiness” menjelaskan tentang kelebihan dan kekurangan keempat tipe kepribadian manusia sebagaimana berikut 75 : Tabel III Tentang Kelebihan Dan Kekurangan Tipologi Kepribadian Sanguinis Kelebihan Kekurangan  Suka bicara  Kurang disiplin  Senang menjadi pusat perhatian  Kurang terorganisir  Selalu ingin menonjol  Pelupa  Mendominasi percakapan  Cenderung kekanak- kanakan Koleris Kelebihan Kekurangan  Banyak bicara  Kurang relaks  Tegas  Kurang sabar  Serius  Sering merasa benar sendiri  Bergerak serba cepat  Sering memaksa orang lain  Tidak suka menyia-nyiakan waktu  Cenderung egois  Suka berkata apa adanya terbuka Melankolis Kelebihan Kekurangan  Sangat terorganisir  Kurang gembira  Pekerja keras  Mudah tertekan 75 Arvan Pradiansyah, The 7 Laws of Happiness; Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia, Bandung: Kaifa PT Mizan Pustaka, 2009, cet. VII, h. 293-294 56  Sangat teliti  Cenderung menunda- nunda Phlegmatis Kelebihan Kekurangan  Low profile  Kurang bersemangat  Tidak suka menjadi pusat perhatian  Kurang menyukai perubahan  Mudah menyesuaikan diri  Suka menunda-nunda  Tidak menyukai konflik  Tampak tidak berpendidikan  Relatif santai dan tidak tergesa-gesa  Sulit mengambil keputusan Gambar V Tentang Tipologi Kepribadian Pendidik Dan Peserta Didik Sanguinis Koleris Pleghmatis Melankolis Personality 57 Pemahaman serta kesadaran akan tipologi tersebut jarang dimiliki oleh guru agama, sehingga terkadang terjadi ketidak tepatan sikap guru agama dalam menyikapi keunikan pribadi masing-masing peserta didik dalam proses pembelajaran. Pemahaman kedua hal tersebut adalah bagian integral yang secara implisit terkandung dari strategi PAIKEM.

3. Kompetensi Sosial

Ketiga, guru agama di mata masyarakat dan peserta didik merupakan panutan yang perlu dicontoh dan merupakan suri tauladan dalam kehidupanya sehari-hari. Guru agama perlu memiliki kemampuan sosial dengan masyarakat, dalam rangka pelaksanaan proses pembelajaran yang efektif. Dengan adanya kemampuan tersebut, otomatis hubungan sekolah dengan masyarakat akan berjalan dengan lancar, sehingga jika ada keperluan dengan orang tua peserta didik, para guru agama tidak akan mendapat kesulitan untuk mendiskusikannya bersama-sama. Kompetensi sosial meliputi: a. Berkomunikasi secara efektif dan empatik dengan peserta didik, orang tua peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, dan masyarakat. b. Berkontribusi terhadap pengembangan pendidikan di sekolah dan masyarakat. c. Berkontribusi terhadap perkembangan pendidikan di tingkat lokal, regional, nasional, dan global. d. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Kemampuan sosial setidaknya mengisyaratkan akan adanya dua hal yang harus dimiliki oleh guru agama dalam konteks pembelajaran, yakni kemampuan intrapersonal dan kemampuan interpersonal karena keduanya patut ada dalam diri setiap guru agama demi terwujudnya 58 keefektifan proses pembelajaran dan proses interaksi secara baik dengan pihak-pihak yang berkepentingan dalam konteks pendidikan. Kemampuan intrapersonal dipahami sebagai kemampuan untuk mengenal diri sendiri, maksudnya bahwa setiap guru agama diharapkan memahami akan konsep dirinya secara komperhensip menyeluruh. Jersild 1976 menggambarkan konsep diri sebagai “The label self-concept has been used to identify these subjective states, even though the self embodies far more than just a conceptual framework”. 76 Setidaknya ada tiga komponen konsep diri, yakni: 1. Diri Ideal Self Ideal Diri ideal merupakan gabungan dari semua kualitas dan pribadi seseorang yang sangat dikagumi atau lebih jelasnya adalah gambaran dari sosok seseorang yang sangat diinginkan jika kita bisa menjadi seperti orang itu. Dalam adagium jawa yang diperkenalkan oleh Andreas Harefa sebagaimana dikutip oleh Tanenji dikenal rumus 3 N Niteni, Niro’ke, Nambahi yang bisa menjelaskan tentang diri ideal. Niteni. Maksudnya, bahwa disaat kita suka atau mengidolakan seseorang, maka kita akan selalu belajar untuk melihat dan mengamati setiap karakter, ucapan dan perilaku seseorang yang kita idolakan. Setelah itu, niro’ke dimaksudkan, bahwa proses pengamatan di awal kemudian dijadikan landasan untuk meniru atau dalam bahasa familiarnya dikenal dengan istilah plagiat setiap karakter, ucapan dan perilaku seseorang yang kita idolakan. Baru rumus terakhir berlaku, yakni nambahi. Artinya bahwa setelah kedua proses tersebut dilalui, maka diri kita akan memodifikasi secara sendiri yang kemudian terbentuklah karakter unik kita sebagai pribadi yang utuh. Disinilah, terlihat bahwa diri ideal guru agama semestinya terbentuk dari pribadi yang patut untuk dijadikan suri tauladan atau 76 Hamzah B. Uno, Masri Kuadrat, Mengelolah Kecerdasan Dalam Pembelajaran; ……., h.85 59 pribadi yang memang layak untuk diidolakan seperti sesosok Muhammad yang kehidupannya selalu berjuang demi kemaslahatan umat dan mendedikasikan dirinya untuk kebaikan seluruh umat. 2. Citra Ideal Self Image Citra diri dipahami sebagai cara kita melihat diri kita sendiri dan berpikir mengenai diri kita saat ini atau sekarang. Citra diri juga bisa disebut sebagai “cermin diri”, artinya bahwa kita akan melihat ke dalam cermin ini untuk mengetahui bagaimana kita harus bertindak pada suatu keadaan tertentu. Contoh disaat kita melihat diri kita di dalam cermin diri sebagai orang yang percaya diri, tenang, selalu positif thinking, dan mampu mengajar dengan baik. Maka setiap kali mengajar kita akan merasa percaya diri, tenang, dan mampu. Hasilnya disaat kita mengajar, kita mampu mengajar dengan sukses dan luar biasa. Jika ternyata suatu hal kita gagal mengajar dengan baik, maka kita akan mengabaikan kegagalan tersebut dan menganggapnya sebagai kondisi yang bersifat sementara karena nantinya kita pasti akan berhasil dalam mengajar. Hal tersebut dikarenakan citra diri yang sangat jelas dalam diri kita. 3. Harga Diri Self Estem Harga diri diartikan sebagai kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pribadi yang mampu dan memiliki daya dalam menghadapi tantangan hidup yang mendasar dan layak untuk hidup bahagia. Atau lebih mudahnya harga diri dipahami sebagai “seberapa suka kita terhadap diri kita sendiri, dan menghormati diri kita sendiri sebagai pribadi yang berharga dan bermakna”, semakin tinggi harga diri kita, maka kita akan merasa lebih berharga sebagai manusia. Hal tersebut memiliki implikasi langsung direct effect terhadap sikap kita dalam menjalani aktifitas sehari-hari dengan cara yang positif, termasuk mengajar sebagai pendidik. 60 Hal ini sejalan dengan ungkapan DR. Robert Firestone yang dikutip oleh Daniel H Pink dalam bukunya yang berjudul “misteri otak kanan manusia ”, DR. Robert Firestone mengungkapkan bahwa “Anda tidak akan menemukan makna kehidupan yang tersembunyi dibawah sebuah batu yang ditulis oleh orang lain. Anda hanya akan menemukannya dengan memberikan makna kepada kehidupan dari dalam diri anda sendi ri”. 77 Sementara kemampuan interpersonal dimaknai sebagai kemampuan untuk menjalin hubungan dengan sesama. Artinya setiap guru agama dituntut untuk mampu menjadi pribadi yang mampu berkomunikasi, bersinergis secara baik dengan semua pihak, dan mampu membaca perasaan, suasana hati semua pihak. Hal ini dimaksudkan agar tercipta satu kesamaan frame dalam mewujudkan tujuan pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut, amin Abdullah dalam tulisannya yang dimuat dalam “the significance of education for the future; the gulen model of education ” berpendapat bahwa “We all are character educators. Whether we are teachers, administrators, custodians, or school cleaning servers, we are helping to shape the character of the children we come in contact with. It is in the way we talk, the behaviors we model, the conduct we tolerate, the deeds we encourage, the expectations we transmit”. 78 Tulisan Amin Abdullah tersebut menggambarkan akan pentingnya kemampuan interpersonal seorang guru agama dalam mengajak semua pihak yang berkaitan di dunia pendidikan untuk saling bersinergis dengan cara menunjukkan karakternya yang positif, sehingga peserta didik pun termotivasi untuk mengikuti karakter-karakter yang ada disekelilingnya. Dengan adanya kemampuan intrapersonal serta kemampuan interpersonal dalam diri guru agama, maka guru akan memahami 77 Daniel H. Pink, Misteri Otak Kanan Manusia, Jogjakarta: Think, 2009, cet. XV, h. 288 78 International Fethullah Gulen Conference, The Significance of Education for The Future: The Gulen Model of Education, 20 Oktober 2010, h. 22 61 hakikat dirinya serta bagaimana sejatinya guru berucap, bertindak serta berhubungan dengan semua orang yang ada disekelilingnya. Hal tersebut membantu pendidik dalam usahanya menciptakan proses pembelajaran yang berlandaskan pada strategi PAIKEM.

4. Kompetensi Profesional

Keempat, kompetensi profesional yaitu kemampuan yang harus dimiliki guru agama dalam perencanaan dan pelaksanaan proses pembelajaran. Guru agama mempunyai tugas untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran, untuk itu guru agama dituntut mampu menyampaikan bahan pelajaran. Guru agama harus selalu meng-update, dan menguasai materi pelajaran yang disajikan. Persiapan diri tentang materi diusahakan dengan jalan mencari informasi melalui berbagai sumber seperti membaca buku-buku terbaru, mengakses dari internet, selalu mengikuti perkembangan dan kemajuan terakhir tentang materi yang disajikan. Kompetensi profesional meliputi: 1. Menguasai substansi bidang studi dan metodologi keilmuannya. 2. Menguasai struktur dan materi kurikulum bidang studi. 3. Menguasai dan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran. 4. Mengorganikasikan kurikulum bidang studi. 5. Meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas. 79 Salah satu faktor penting dalam meningkatkan kompetensi profesional guru agama adalah kemampuan guru agama dalam menjalin komunikasi yang efektif, khususnya dalam konteks pembelajaran. Salah besar jika paradigma komunikasi dipahami hanya sebagai faktor bawaan 79 Trianto dan Titik Triwulan Tutik, Sertifikasi guru; dan upaya Peningkatan Kualifikasi, Kompetensi dan Kesejahteraan, Jakarta: Prestasi pustaka, 2007 h. 72-79 62 manusia, karena kemampuan komunikasi sejatinya perlu dilatih dan dikembangkan. Oleh karena itu, kemampuan komunikasi guru sangat perlu untuk dilatih dan dikembangkan sebagai salah satu cara dalam meningkatkan profesionalitas guru agama. Kesadaran tersebut memicu guru agama untuk kemudian mencari format dan cara peningkatan kemampuan komunikasi yang efektif. Merujuk pada hasil penelitian Albert Mehrabian 1972 profesor UCLA bahwa proporsi pengaruh kata- kata verbal dalam proses komunikasi hanya 7, suara voice 38, dan selebihnya 55 adalah bahasa badan visual sebagaimana gambar grafik di bawah ini: Gambar VI Tentang 3 V Pemahaman akan proporsi pengaruh bentuk komunikasi tersebut membantu guru agama untuk mampu menyelaraskan semua bentuk komunikasi visual, verbal, voice dalam proses pembelajaran, sehingga miss-communication dan miss-understanding dapat terminimalisir dengan sendirinya. Sementara cara untuk melatih bentuk-bentuk komunikasi tersebut harus memperhatikan beberapa hal sebagaimana berikut : Tabel IV Tentang Cara Melatih dan Mengembangkan 3 V VISUAL VERBAL VOICE 63  Mimik Muka  Seni Bahasa  Intonasi Suara  Gestur Tubuh  Sistematisasi Kata  Dramatisasi Suara  Body Languange  Ketepatan Bahasa  Penekanan Suara  Performance  Alur Kata  Olah Vocal Keselarasan komunikasi visual, verbal, dan voice guru agama dalam proses pembelajaran memiliki implikasi positif dalam arti membantu peserta didik untuk lebih mudah memahami materi-materi yang didiskusikan dalam proses pembelajaran serta mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, karena guru agama mampu membahasakan materi yang disampaikan dengan semua bentuk komunikasi yang ada dalam seluruh anggota badannya. Hal tersebut sesuai dengan makna dan substansi dari strategi PAIKEM.

C. Peran Guru Agama Islam dalam Perspektif PAIKEM

Keberadaan guru pada suatu bangsa sangat penting, apalagi bagi bangsa yang tengah membangun, terlebih-lebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan zaman dengan teknologi yang semakin canggih dan segala perubahan dan pergeseran nilai-nilai yang cenderung memberi nuansa kepada kehidupan yang menuntut ilmu dan seni pada kadar dinamik untuk dapat mengadaptasikan diri. Peran guru tidaklah terbatas di dalam masyarakat, bahkan guru pada hakikatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran penting dalam menentukan gerak maju suatu bangsa. Contoh, pasca terjadinya insiden di hirosima dan nagasaki. Pertanyaan pertama yang muncul dari Kaisar Jepang adalah “berapa jumlah guru yang tersisa?”. Hal tersebut 64 menjadi salah satu indikasi bahwa peran guru menjadi sangat fundamental dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas serta berakhlak professional-religious. Beberapa jenis peran guru agama, yakni: 1. Peran guru agama ditinjau dalam arti luas. Dalam arti luas, guru agama mengemban peranan-peranan sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai inovator dan kooperatif. a. Guru agama sebagai ukuran kognitif tugas guru agama umumnya adalah mewariskan pengetahuan dan berbagai ketrampilan kepada generasi muda. Hal-hal yang akan di wariskan itu sudah tentu harus sesuai dengan ukuran-ukuran yang telah ditentukan oleh agama, masyarakat, dan merupakan gambaran tentang keadaan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat bersangkutan. Karena itu guru agama harus memenuhi ukuran kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya, sehingga peserta didik dapat mencapai ukuran pendidikan yang tinggi. Hasil pembelajaran merupakan hasil interaksi antara unsur-unsur, motivasi, dan kemampuan peserta didik, isi atau materi pelajaran yang disampaikan dan dipelajari oleh peserta didik, keterampilan guru agama menyampaikannya dan alat bantu pembelajaran yang membuat jalannya pewarisan itu. b. Guru agama sebagai agen moral dan politik. Guru agama bertindak sebagai agen moral masyarakat, karena fungsinya mendidik warga masyarakat agar melek huruf, pandai berhitung dan berbagai keterampilan kognitif lainnya. Keterampilan-keterampilan itu dipandang sebagai bagian dari proses pendidikan moral, karena masyarakat yang telah pandai membaca dan berpengetahuan, akan berusaha menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang kriminal dan menyimpang dari ukuran masyarakat. Guru agama juga merupakan gambaran sekaligus berperan sebagai agen politik. Guru agama menyampaikan sikap kultur dan tindakan politik masyarakat 65 kepada generasi muda. Kemauan-kemauan politik masyarakat disampaikan dalam proses pembelajaran dalam kelas. c. Guru agama sebagai inovator. Berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka masyarakat senantiasa berubah dan berkembang dalam semua aspek. Perubahan dan perkembangan itu menuntut terjadinya inovasi pendidikan yang menimbulkan perubahan yang baru dan kualitatif, berbeda dengan hal yang sebelumnya. Tanggung jawab melaksanakan inovasi itu diantaranya terletak pada penyelenggaraan pendidikan di sekolah, guru yang memegang peranan utama. Guru agama bertanggung jawab menyebarluaskan gagasan-gagasan baru, baik terhadap peserta didik maupun terhadap masyarakat melalui proses pembelajaran dalam kelas. d. Peranan kooperatif. Dalam melaksanakan tugasnya, guru agama tidak mungkin bekerja sendirian dan mengandalkan kemampuannya secara individual. Karena itu para guru agama perlu bekerja sama antar sesama guru dan dengan pekerja-pekerja sosial, lembaga- lembaga kemasyarakatan, dan dengan persatuan orang tua peserta didik. Peranan kerja sama dalam pembelajaran diantara guru-guru secara formal dikembangkan dalam sistem pembelajaran berkelompok. 2. Peran guru agama dalam arti yang sempit. Yakni, dalam hubungan proses belajar mengajar atau dalam proses pembelajaran di sekolah di kelas peran guru agama lebih spesifik sifatnya. Peranan guru agama adalah sebagai pengorganisir lingkungan belajar dan sebagai fasilitator belajar. Peranan-peranan yang lebih spesifik tersebut meliputi: a. guru agama sebagai model, b. guru agama sebagai perencana, c. guru agama sebagai peramal, d. guru agama sebagai pemimpin, dan e. guru agama sebagai penunjuk jalan atau sebagai pembimbing ke arah pusat-pusat belajar.