39
Sementara Pendidikan Agama Islam di SMP bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia Muslim
yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya kepada Allah SWT. serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
51
Tujuan-tujuan tersebut terinci dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi dasar
sabagaimana terlampir. Selanjutnya Pendidikan Agama Islam di SMAMA bertujuan untuk:
menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, pembiasaan,
serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya
kepada Allah SWT, mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, rajin
beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi tasamuh, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta
mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
52
Tujuan- tujuan tersebut terinci dalam bentuk standar kompetensi dan kompetensi
dasar sabagaimana terlampir.
2. Bahan atau Isi
Sasaran dan tujuan pendidikan akan tercapai, bilamana materi pendidikan tersebut diseleksi dengan baik dan tepat. Materi dalam
konteks ini intinya adalah substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran. Cakupan ruang lingkup materi pendidikan Islam
51
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP MTS, Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003 http:www.puskur.netincsdPendidikanAgamaIslam.pdf
52
Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam SMA MA, Jakarta: Puskur. Balitbang. Depdiknas, 2003 http:www.puskur.netincsdPendidikanAgamaIslam.pdf
40
tidak terlepas dari tiga esensi ajaran Islam, yakni iman akidah, ibadah syariah, dan akhlak.
Materi akidah adalah inti dari dasar keimanan seseorang yang harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Karena dengan pendidikan inilah
peserta didik akan mengenali siapa Tuhannya, bagaimana cara bersikap kepada Tuhannya, dan apa saja yang meski diperbuat dalam hidup.
Materi ini diharapkan mampu untuk mengikat peserta didik dengan dasar-dasar iman, rukun Islam dan dasar-dasar syariah sejak peserta
didik mulai mengerti dan memahami sesuatu. Sedangkan tujuan yang paling mendasar dari materi ini adalah agar peserta didik hanya
mengenal Islam mengenai dirinya, alquran sebagai imamnya, dan rasul Muhammad sebagai pemimpin dan teladannya.
Kemudian, materi ibadah yang lebih dikenal dengan materi fiqh, karena materi ini secara menyeluruh telah dikemas oleh para ulama
menjadi sebuah disiplin ilmu yang didalamnya terkandung semua tata cara peribadatan. Materi ini perlu diperkenalkan kepada peserta didik
sejak usia dini dan sedikit demi sedikit dibiasakan dalam mengaplikasikannya, agar kelak peserta didik tumbuh menjadi manusia
yang bertaqwa. Selanjutnya, materi akhlak adalah materi yang didalamnya
membahas mengenai dasar-dasar moral dan keutamaan, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh peserta didik. Tujuan dari
materi ini adalah untuk membentuk benteng religius yang berakar dari hati sanubari. Benteng tersebut diharapkan mampu memisahkan peserta
didik dari sifat-sifat negatif, kebiasaan dosa dan tradisi jahiliah.
53
Materi ini sejatinya merujuk pada tujuan diutusnya rasul Muhammad dalam
menyebarkan agama Islam. Secara lebih rinci, materi mata pelajaran pendidikan agama Islam di
sekolah dapat diuraikan sebagaimana terlampir.
53
Ismail, Strategi Pembelajaran Agama Islam…., h. 40-41
41
3. PBM
Proses belajar-mengajar
pembelajaran sebagai
komponen kurikulum dipahami kearah metode pembelajaran, meskipun sebenarnya
pemahaman ini akan cenderung mempersempit makna proses pembelajaran itu sendiri. Akan tetapi penjabaran lebih lanjut tentang
proses pembelajaran ini tidak disinggung terlalu banyak, mengingat penjabaran tentang proses pembelajaran telah termaktub dalam bab II
sebagai bagian yang inheren dengan strategi PAIKEM.
4. Evaluasi
Komponen kurikulum pendidikan agama Islam yang juga tak kalah penting adalah evaluasi, yakni sebuah proses yang dilakukan oleh guru
untuk mengetahui, memahami, dan menggunakan hasil belajar peserta didik dalam mencapai tujuan yang ditetapkan berdasarkan suatu selang
waktu atau tidak sesaat saja.
54
Hal senada juga dipaparkan oleh Dr. H. Samsul Nizar, bahwa evaluasi diartikan sebagai kegiatan untuk
menentukan taraf kemajuan suatu pekerjaan dalam pendidikan Islam. Dalam lingkup terbatas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan guru dalam menyampaikan materi pendidik agama Islam. Sementara dalam lingkup luas, evaluasi dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dan kelemahan suatu proses pendidikan Islam dengan seluruh komponen yang terlibat di dalamnya dalam mencapai
tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
55
Dengan demikian, secara sederhana evaluasi dipahami sebagai sebuah kegiatan untuk melihat tingkat keberhasilan pendidikan Islam
dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Beberapa fungsi pelaksanaan evaluasi bagi pendidik dan peserta didik, yaitu:
a. Untuk mengetahui tingkat keberhasilannya dalam menjalankan
tugasnya sebagai guru
54
Abdul Rahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan; Visi, Misi dan Aksi, Jakarta : PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000, cet. I, hal. h.75
55
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis ………, h. 77
42
b. Untuk mengatahui tingkat kesungguhan guru dalam usahanya
menciptakan proses pembelajaran yang selaras dengan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
c. Untuk memberikan umpan balik feedback kepada guru sebagai
dasar untuk memperbaiki proses pembelajaran. d.
Untuk menempatkan peserta didik dalam situasi pembelajaran yang tepat, sesuai dengan tingkat kemampuan lainnya yang dimiliki
peserta didik. e.
Untuk mengenal latar belakang psikologis, fisik dan lingkungan peserta didik terutama yang mengalami kesulitan dalam belajar.
Komponen kurikulum pendidikan agama Islam yang satu ini masih sering mendapat kritikan tajam, mengingat eratnya hubungan evaluasi
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Maksudnya, bahwa format evaluasi yang digunakan mayoritas guru dalam konteks pembelajaran sering tidak
ditemukan akurasinya, misalnya kalau peserta didik dilatih untuk menyetir mobil, maka evaluasi yang harus dilakukan adalah ujian
menyetir, tidak hanya sebatas pemahaman akan menyetir itu sendiri. Peserta didik tersebut dinyatakan lulus kalau dia mampu menyetir
dengan baik, tidak membuat kesalahan dalam starter, menekan pedal, memberi isyarat lampu berhenti dan sebagainya.
56
Jadi, evaluasi tersebut tidak hanya merujuk pada konsep ”belajar tentang agama Islam”, akan
tetapi lebih pada ”belajar agama Islam”.
Salah satu alternatif format evaluasi yang cukup tepat untuk diterapkan oleh guru adalah tes kepribadian personality test, mengingat
evaluasi dalam pendidikan Islam tidak sepatutnya hanya diarahkan pada hafalan surat-surat pendek, hafalan rukun salat dan sebagainya, akan
tetapi harus diusahakan agar mengarah pada rajin atau tidaknya peserta didik dalam melaksanakan salat dan sebagainya.
57
56
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: PT Al Husna Zikra, 2000, cet. I, h. 356
57
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005, h. 53
43
Penjelasan tentang kurikulum pendidikan agama Islam tersebut sejatinya tidak terlepas dari adanya transformasi nilai dalam proses
implementasinya, seperti yang dipaparkan oleh Hasan Langgulung tentang tujuan pendidikan Islam. Hal tersebut sejalan oleh argumen
Thomas ”schools can never be free of values. Transmitting values to
students occurs implicity through the content and materials to which students are exposed as a part of the formal curriculum as well as
through the hidden curriculum”, hal ini mengandung makna bahwa kegiatan pendidikan disekolah baik melalui pembelajaran di dalam kelas
atau diluar kelas , tidak pernah bebas nilai. Isi dan materi kurikulum yang diberikan kepada peserta didik pun secara implisit akan memuat
transmisi nilai, yang terwujud sebagai bagian dari kurikulum formal maupun melalui kurikulum tersembunyi.
58
Secara lebih luas, kurikulum sebenarnya juga merupakan platform dalam upaya social recunstruction, sosial enginering menuju
terwujudnya masyarakat ideal yang diinginkan. Jika sekolah diidentikkan sebagai komunitas masyarakat ideal yang diinginkan, maka
kurikulum adalah guidance untuk mewujudkannya. Dengan demikian eksistensi kurikulum memang sangat strategis, karena hitam putihnya
implementasi pendidikan sangat ditentukan oleh warna kurikulum tersebut. Bagaimana wujud kompetensi dan profesionalisme guru yang
diinginkan adalah cerminan dari kurikulum yang ada.
59
58
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam ….., h. 20
59
Tim Peneliti PPSDM UIN Syahid, “Efektivitas Kurikulum Tarbiyah IAIN dalam Menyiapkan Guru PAI di SMU”, dalam Jurnal Penelitian Agama dan Keagamaan, Edukasi,No. 1,
Maret 2004, hal. 80-81
44
BAB IV GURU AGAMA ISLAM DALAM PERSPEKTIF PAIKEM
A. Pengertian Guru Agama Islam dalam Perspektif PAIKEM
Guru merupakan gelar yang tidak bisa disandang oleh sembarangan orang pada umumnya, karena dalam konteks pendidikan guru merupakan
salah satu faktor penting yang menentukan tercapainya tujuan pendidikan. Bahkan keberadaan guru merupakan faktor conditio sine quanon kondisi
yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun. Sehingga, siapapun yang menyandang gelar tersebut sudah pasti berani untuk
menjalankan beragam konsekwensi yang melekat dengan gelar tersebut. Jabatan guru merupakan profesi yang bersifat professional yang hanya
dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disiapkan untuk itu dan bukan profesi yang yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak
memperoleh pekerjaan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa profesi profesional adalah profesi yang dipersiapkan melalui proses
pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang harus dipenuhinya, maka semakin tinggi pula derajat profesi yang diembannya.
60
Sejak dulu, dan mudah-mudahan sampai sekarang, guru menjadi panutan masyarakat. Guru tidak hanya diperlukan oleh para peserta didik di
ruang-ruang kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat di sekelilingnya dalam menyelesaikan aneka ragam permasalahan yang dihadapi masyarakat.
60
Abdul Rahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan; Visi, Misi dan Aksi ….,
hal. 99
45
Tampaknya masyarakat mendudukkan guru pada tempat yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, mengutip ungkapan Ki Hajar Dewantara
yakni di depan memberi suri teladan, di tengah-tengah membangun, dan di belakang memberi dorongan dan motivasi. Ing ngarso sung tulodho, ing
madyo mangun karso, tut wuri handayani. Kedudukan guru yang demikian itu senantiasa relevan dengan
perkembangan zaman dan sampai kapanpun diperlukan. Kedudukan seperti itu merupakan penghargaan masyarakat yang tidak kecil artinya bagi para
guru, sekaligus merupakan tantangan yang menuntut prestise dan prestasi yang senantiasa terpuji dan teruji dari setiap guru, bukan saja di depan kelas,
tidak saja di pagar-pagar sekolah, tetapi juga di tengah-tengah masyarakat.
61
Guru atau pendidik dalam konteks pendidikan Islam biasa disebut sebagai “ murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, mursyid, ustadz dan
bahkan syaikh”. Meskipun berbagai sebutan tersebut sebenarnya memiliki
tempat masing-masing dalam peristilahan di dunia pendidikan Islam. Guru merupakan bapak ruhani spiritual father bagi peserta didik, yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia dan meluruskan perilakunya yang buruk.
62
Dalam pandangan Zakiyah Daradjat, guru pendidikan agama Islam adalah sesosok manusia yang mendedikasikan dirinya untuk membimbing
dan mengasuh peserta didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam
yang telah diyikininya secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya way of life demi keselamatan
dan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat kelak.
63
Dengan demikian guru pendidikan agama Islam dalam kaca mata PAIKEM dipahami sebagai seorang bapak ruhani yang membimbing peserta
61
Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, cet. X, h. 8.
62
Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam; Telaah Atas Komponen Dasar Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2006, cet. I, h. 1-3
63
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam....., h. 86
46
didik dalam proses memahami, menghayati, mengamalkan ajaran agama Islam serta membina akhlak peserta didik dengan mengimplementasikan
prinsip-prinsip pembelajaran yang berorientasi pada pemberdayaan peserta didik student oriented dimana efektivitas proses pembelajaran tersebut
memberi keleluasaan peserta didik untuk aktif, berinovasi, mengembangkan kreatifitas, serta nuansa pembelajarannya menyenangkan.
B. Kompetensi Guru Agama Islam dalam Perspektif PAIKEM
Profesi guru bukanlah profesi yang bisa disandang oleh sembarangan orang mengingat besarnya tanggung jawab yang diemban dalam konteks
pendidikan, maka tidak mengherankan profesi tersebut hanya dapat disandang oleh segelintir orang yang dinyatakan telah memenuhi kualifikasi
tertentu sebagai persyaratan untuk bisa menjadi guru. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Permendiknas Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru, yakni Dijelaskan bahwa Standar Kompetensi Guru dikembangkan secara
utuh dari 4 kompetensi utama, yaitu: 1 kompetensi pedagogik, 2 kepribadian, 3 sosial, dan 4 profesional.
Broke dan Store, sebagaimana dikutip oleh Uzer Usman, memandang kompetensi sebagai
“gambaran hakikat kualitatif dari prilaku guru yang tampak sangat berarti”.
64
Sedangkan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa:
“kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam
me laksanakan tugas keprofesionalan.”
Secara etimologi kompetensi berasal dari bahasa Inggris yaitu
Competency yang berarti kecakapan atau kemampuan. W. Robert Houston
memberikan pengertian kompetensi sebagai berikut: “competence ordinarily is defined as adeguency for a task or as possession of require knowledge skill
and abilities, yakni kompetensi sebagai suatu tugas yang memadai atau
64
M. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional ……., h.14