Sistematika Pembahasan Pengertian Politik

d. Mencermati sikap masyarakat Betawi terhadap masalah politik yang sedang terjadi, dan belajar dari pengalaman mereka yang menerapkan rencana-rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang. 2. Metode Pengumpulan Data 1. Library Research penelitian kepustakaan, yang digunakan untuk memperoleh data-data sekunder melalui: a. Leteratur-leteratur tentang keBetawian yang berkaitan erat dengan topik permasalahan. b. Data perkembangan masyarakat Betawi yang diperoleh dari dirjen lembaga kebudayaan Betawi LKB dan organisasi pusat masyarakat Betawi Bamus Betawi 2. Field Reseach penelitian lapangan, yang akan memperkuat data-data sekunder berikutnya, melalui: a. Wawancara dengan para politikus Betawi. b. Wawancara dengan para tokoh, sesepuh, dan ulama besar Betawi. c. Wawancara dengan masyarakat Betawi lapisan bawah. d. Wawancara dengan tokoh organisasi-organisasi Betawi.

D. Sistematika Pembahasan

BAB I Pendahuluan Dalam bab ini akan dibahas prihal: Latar belakang masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, dan Sistematika Penelitian. BAB II Landasan Teori Dalam bab ini akan dibahas prihal: Pengertian Politik. Pengertian Betawi secara umum, Penafsiaran politik dalam pemikiran orang Betawi, Manajemen dan Sistem pemikiran politik orang Betawi, Faktor-faktor yang mendorong Masyarakat Betawi berpolitik. BAB III Diskripsi Betawi Dalam bab ini akan dibahas prihal: Sejarah singkat lahirnya komunitas Betawi, Sejarah singkat kota Jakarta, organisasi- organisasi yang mewadahi pemikiran politik masyarakat Betawi. BAB IV Analisa dan Pembahasan Dalam bab ini akan dibahas prihal: Arah atau pola pikir masyarakat Betawi terhadap politik pemerintah daerah maupun pusat, perkembangan pengaruh mitos doktrin agama terhadap pemikiran politik masyarakat Betawi, Track record politik masyarakat Betawi terhadap perkembangan politik nasional pasca Soeharto, Analisa dan Evaluasi politik masyarakat Betawi dalam membangkitkan semangan pendidikan politik dan perjuangan semangat kebangsaan. BAB V Kesimpulan dan Saran Dalam bab ini akan disajikan kesimpulan dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya. Juga di dalamnya memuat saran- saran yang kiranya bermanfaat umumnya bagi bangsa Indonesia dan masyarakat Betawi khususnya. BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Politik

1. Pengertian Politik Secara Bahasa dan Istilah Dalam suatu kajian pemikiran apalagi yang berkenaan dengan kajian pemikiran ilmiyah yang bersifat kualitatif deskriptif, yaitu suatu kajian yang didalamnya membutuhkan prangkat seperti wawancara, laporan penelitian kutipan-kutipan data yang didalamnya mencangkup penegertian-pengertian tentang data yang dapat memperkuat penelitian tersebut. 15 Seperti pemikiran politik masyarakat Betawi pasca rezim Soeharto dengan landasan kajian sosial kemasyarakatan 16 , dan salah satu dari pendukung kajian tersebut diperlukannya pengertian-pengertian yang kiranya dapat mepermudah suatu kajian tersebut agar tidak melebar atau salah dalam melakukan suatu penafsiran dan penjabarannya ketika kita kolerasikan dengan kajian tersebut. Dengan adanya pengertian, maka kiranya telah dapat memberikan gambaran yang menjurus dan terfokus kepada pokok yang akan dipermasalahkan atau dikaji. Seperti yang kita ketahui bahwa kata politik berasal dari kata ‘polis’, yang berarti masyarakat kota, seperti apa yang telah diungkapkan oleh Plato 429- 347. 17 Pengertian ini adalah dasar dari pengertian ilmu politik secara bahasa, adapun ilmu politik dalam istilanya adalah suatu ilmu yang mempelajari sistem susunan, 15 Ahmad Sonhadji, Bahan-Bahan Kuliah Metode Penelitian, Malang: Universitas Islam Malang, h. 3 16 Ahmad Sonhadji. Ibid., h. 2 17 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung: Mizan, 2000, cet ke-VI, h. 3 bentuk, dan proses pembentukan suatu Negara dan pemerintahan “The study of formation, form and processes of states and governments”. 18 Dalam diri politik dibutuhkan adanya suatu susunan negara yang sistemik dan kongkrit, dan masyarakat kota polis hadir menjadi satu kesatuan di dalamnya, dan fungsi dari susunan yang sistemik tersebut adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat kota menuju kehidupan yang teratur dan sejahtera di dalam Negara. Tentunya hal ini tidaklah dapat berjalan secara natural begitu saja, apabila, menurut pandangan Plato, tidak didukung oleh adanya perangkat hokum yang jelas, baik hukum secara yuridis maupun dalam pandangan normative, 19 seperti etika bergaul antara individu dengan individu yang lain atau individu dengan kelompok, bahkan kelompok dengan individu, oleh karenanya hukum disini yang berguna lebih spesifik dan esensial dalam mengatur kehidupan masyarakat kota tersebut, dan hukum tersebut juga dapat dikatakan sebagai bagian dari politik. Berbeda orang berbeda pula keyakinanya, adalah Aristoteles 384-322 murid Plato yang mempunyai perbedaan keyakinan dalam hal yang berkenaan dengan penafsiaran politik, pandangannya tentang politik meyakinkan bahwa: “Manusia adalah makhluk politik zoon politikon …yang dapat mencapai kesempurnaan hanya didalam masyarakat dan negara. 20 Tentunya hal ini harus dibubuhi oleh pandangan Plato yang telah menerangkan pengertian dari politik atau polis masyarakat kota, namun Aristoteles lebih menekankan kepada adanya kekuatan supremasi hukum, yang menurutnya di dalam suatu negara entah itu menganut sistem demokrasi, otokrasi ataupun yang lainnya, hukum tetap yang harus 18 Inu Kencana Syafiie, Ilmu Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, cet ke-I, h. 19 19 Deliar Noer, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Ibid., h. 7-9 20 Deliar Noer. Ibid., h. 28 diletakkan di atas segala-galanya, karena dengan tegaknya atau minimal dengan adanya aturan-aturan, maka masyarakat kota akan dapat tertib dalam melakukan segala aktifitasnya. 21 Jika kita tarik sebuah pengertian dari kedua pemikir besar politik di atas menjadi sebagai berikut, bahwa pernyataan Plato sang guru yang telah menggambarkan suatu susunan yang sistemik yang tentunya ada hanya dalam suatu negara, dan sedangkan Aristoteles sang murid mengatakan tentang pentingnya prilaku hubungan masyarakat dengan mentaati hukum konstitusi yang berlaku sebagai aksi politik mereka terhadap negara. Maka dalam pengertian inilah politik mempunyai arti yang sangat signifikan, yang berguna sebagai pengabadikan masyarakat kota terhadap Negara. Seiring dengan perkembangan pemikiran dan terjadinya pengalaman-pengalaman yang menyatakan suatu yang ambivelen perbedaan pengertian politik dan pelaksanaan atau aksi politik terhadap padangan dasar politik menurut Plato dan Aristoteles di atas, maka adalah kemungkinan besar di sini suatu ilmu yang mempunyai sifat bebas nilai menjadi mempunyai nilai. Hal ini dimungkinkan terjadi akibat perubahan pola pikir manusia yang lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok yang bersifat individualis, matrealis dan semu daripada pemikiran yang universal masalahah jam’I, dan abadi. Perilaku ini medorong akan pengertian persamaan arti politik dengan kepentingan, yang pada akhirnya terjadi suatu kebiasaan yang telah membudaya dalam politik, yaitu budaya mempreoritaskan kepentingan daripada persahabatan dan kemaslahatan antara para pelaku politik, sehingga timbul sebuah persepsi yang menyatakan: “di dalam politik ada kawan abadi ataupun musuh abadi, yang ada adalah kepentingan abadi”. Pandangan ini adalah pandangan politik jahiliyah. 22 Pada era kekinian pengertian politik yang seperti diungkapkan di ataslah tidak ada kawan abadi atau musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi yang berlaku, pengertian yang bertumpu pada perinsip-prinsip dasar moral sebagaimana yang telah dititahkan para pendahulu politik tidak lagi diindahkan oleh para aktor politik pada masa modern. 2. Pengertian Politik Modern Mayoritas ahli politik kekinian berpendapat bahwa politik adalah ilmu tentang kekuasaan, 23 hal ini merupakan tujuan baku objek formal dari politik, dan pandangan yang seperti ini menurut Maurice Duverger, politik mempunyai satu keunggulan yang lebih mendasar dibandingkan dengan ilmu yang lainnya, yaitu karena ia lebih operasional. 24 Pandangan Maurice Duverger ini merupakan salah satu dari pengertian-pengertian politik yang secara langsung melegalkan politik sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, bagaimana tidak, jika ada sesuatu kendaraan dalam meraih kekuasaan, baik dengan suatu tindakan yang bermoral, ataupun kotor sekalipun, yang penting disini adalah keabsahan dan legalitas menuju kepentingan tersebut dan kekuasaan, mengapa tidak digunakan. Dalam pengertian yang lebih moderat yang lebih menjurus kepada esensi dan eksistensi dari politik tersebut adalah pandangan Edward Hallet Carr dalam tulisannya yang diberi judul ‘Awal Mula Ilmu Politik dan Ilmu Internasional’ menerangkan: 25 “Keinginan mengobati penyakit dalam tubuh politik memberi dorongan dan inspisrasi pada ilmu politik. “Kehendak melahirkan pemikiran” adalah permulaan manusia yang berfikir secara normal. …Ilmu politik adalah ilmu yang tidak hanya bertaya apakah ini apakah itu, apakah yang seharusnya berlaku” pandangan ini telah menggambarkan suatu objek atau sasaran yang seharusnya dari politik itu sendiri seperti apa yang dikatakan Aristo teles: “Apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dilakukan”, 26 dan juga didalamnya tersiratkan norma-norma yang seharusnya berlaku, dalam artian, ketika sesuatu komunitas masyarakat tidak menghendaki adanya sistem politik yang kotor yang mengeruk kekuasaan secara otoriter dan radikal, maka hal tersebut adalah wajib dijauhkan karena tidak sesuai dengan apa yang seharusnya berlaku pada masyarakat tersebut, atau dengan kata lain adanya kontrak sosial antara para politikus dan masyarakat sebagai penghantar kedepan roda pemerintahan. Pada kalangan bangsa Arab politik dikenal dengan nama As-Siyasy yang dalam pengertiannya menurut Dr. Syaukat Muhammad I’liyan adalah bentuk kata masdar sandaran yang menunjukkan kepada suatu pekerjaan, contohnya, “telah 21 Deliar Noer. Ibid., h. 32 22 Nurcholis Majid, ed, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994 cet. ke- 3, h. 125-127 23 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, Daniel Dhakidae, trej, Jakarta: PT GajaGrafindo Persada, 1996, cet. ke-V, h. VIII 24 Maurice Duverger. Ibid. 25 Frans Bona Sihombing, ed, Ilmu Politik Internasional, Teori, konsep, dan Sistem, Jakarta: Ghahlia Indonesia, 1984, cet. ke-II, h.14 26 Ramalan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia: Jakarta, 1999, cet. ke-IV, h. 1 memimpin seorang pemimpin akan yang dipimpin” rakyat, 27 pengertian Dr. Syaukat sepertinya menyerupai Edward Hallet Carr tidak hanya pada kata dasar dari arti politik saja, disamping itu politik menurut pandangannya menjadi tiga bagian yaitu, pertama politik konstitusi, artinya didalam politik ini terdapat ruang untuk menentukan bentuk hukum yang kemudian diikat dengan kekuasaan politik. Yang kedua implementasi politik yang mempunyai hubungan dengan pelaksanaan politik, dan yang terakhir adalah kebijakan politik, yakni suatu kesimpulan dalam menjatuhkan atau mengeluarkan kebijakan-kebijakan politik yang akan sampai kepada rakyat. Pengertian Dr. Syaukat ini dapat pula disebut dengan pola sistem politik, yang mengandung di dalamnya Input, Proses, dan Output yang akan pada akhirnya menjadi umpan balik atas input tersebut. Dalam suatu Negara input ini sering diartikan dengan masyarakat, organisasi, dan lembaga swadaya atau yang sejenisnya, yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud dengan proses adalah para wakil rakyat yang menduduki jabatan sebagai wakil rakyat, dan dari merekalah keluar suatu output atau yang sering diartikan sebagai kebijakan policy yang akan dikembalikan kepada peng- input tadi. Disamping itu pula As-Siyasy mempunyai pengertian lain, seperti dalam pandangan As Syekh Abdurrahman Taaj, 28 “ As-Siyasah politik adalah suatu nama dari perangkat-perangkat hukum, dan juga ia sebagai implementasi dari palaksanaan hukum itu sendiri, yang mengatur rakyat dalam aturan-aturannya konstitusi politik dan dengan jalanya kebijakan politik, serta pelaksanaan putusan hukuman itu sendiri output, dan didalam kekuasaannya politik melakukan terobosan-terobosan dan keparlemenan, terobosan yang dimaksud adalah berhubungan dengan politik luar negeri yang secara dengan sendirinya telah mengikatnya demi kepentingan-kepentingan umat rakyat”. Pengertiaan politik seperti ini yang sering dipakai oleh negara-negara muslim di Timur Tengah seperti Iran, Saudi Arabia, Kuwait, dan Sudan era kekinian walupun ngara tersebut tidak menjalankan sistem demokrasi yang sedang marak sekarang ini 29 , dimana didalam kontitusi negara ini selalu mengedepankan kemaslahatan kepada ummat daripada kepentingan pribadinya, sebagaimanna dikatakan oleh agama Islam, “kepentingan bersama harus dikedepankan dari pada kepentingan pribadi” 30 . Selain itu tututan dalam menjalankan syariat agama Islam, salah satunya dengan menerapkan hukum Islam dalam konstitusi negara-negara muslim di Timur Tengah ini merupakan salah satu kewajiban politik, sebagai amanah dari Tuhan. Dalam al-Qur’an dikatakan, “Barang siapa yang tidak menggunakan kitab Allah sebagai landasan konstitusi hukum, maka mereka adalah orang-orang yang kafir, zhalim, fasik” Qs. Al-Maidah; 47,48,50 31 Dari penegertian-pengertian politik yang telah diungkapkan oleh para pemikir politik baik dari Barat maupun Timur diatas, maka kita dapat mengambil bahan keterangan yang jelas yang berguna nantinya sebagai bahan pijakan dalam kajian ini, yang tentunya kita dapat mengerti setelah mendapatkan lawan 32 pemahaman dari para pemikir politik diatas, ada pemikir yang mengartikan politik sebagai kepentingan pribadi dan ada juga pemikir yang mengedepankan kepentingan umum, walaupun dari masing-masing pemikir mempunyai landasan yang kuat. Berbagai pengertian yang telah dikemukakan para ahli politik modern Barat maupun Timur di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan, yaitu, pertama politik sebagai alat menuju kekuasaan yang legal, dengan cara memaksa atau tidak dalam pengoprasiannya, dan yang kedua sebagai hukum yang sistemik yang berguna untuk mengatur dan mengajarkan kehidupan manusia dengan manusia yang lainnya dalam suatu negara, atau manusia dengan negara itu sendiri, hal ini berguna agar dapat saling berinteraksi menuju kesempurnaan dan kebahagiaan yang abadi, 33 ini yang membedakan kehidupan manusia dengan makhluk lainnya, yang telah menjalankan kehidupannya sesuai fitrah 34 sebagaimana yang telah digariskan oleh Tuhan. Pengertian politik dalam dua kesimpulan diatas menurut penulis adalah menjadikan makna politik menjadi balans, karena kekuasaan tanpa dibekali dengan sistem yang jelas, maka kekuasaan tersebut akan menjadi brutal 27 Syaukat Muhammad I’liyan, An-Nizam As-Siyasi Fil Islam, Riyad: Jami’ Hukuk Mahfuzhat lil Mualif, h.7 28 Syaukat Muhammad I’liyan. Ibid. 29 Ramlan Surbakti, op. cit., h. 231 30 Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, SA’ADIYAH PUTRA: Jakarta, h. 16 31 Ahmad Bin Hasan At Thabarih, Fathur Rahman, Lithalibat Ayatil al-Qur’an, Bairut: Al Mathba’ah Ahliyah, 1323, h. 112 32 Muhdhor Achmad, Ilmu dan Keinginan Tahu, Epistemologi dalam Filsafat, Bandung: TRIGENDA KARYA, 1994, cet. I, h. 23 33 Nurcholis Majid, ed, op. cit., h. 124-125 34 Deliar Noer, op. cit., h. 28-29 dan otoriter, sebaliknya sistem yang jelas tanpa didorong dengan kekuasaan tidak akan berjalan, 35 maka ia akan menjadi isapan jempol belaka.

B. Pengertian, Asal Usul Kata Serta Kebudayaan Betawi