kriteria orang Betawi, maka Bamus Betawi memutuskan kriteria orang Betawi menjadi sebagai berikut:
45
1. Keturunan Betawi asli Bapak atau Ibunya orang Betawi.
2. Salah satu Orang tua BapakIbu atau KakekNenek keturunan
Betawi. 3.
Lahir di Jakarta dan sekitarnya. 4.
Orang yang peduli dan rela mengabdikan dirinya untuk masyarakat Betawi termasuk suku lain yang lahir di Betawi.
5. Orang yang berjasa dan bermanfaat bagi orang Betawi di sini
termasuk pula para gubernur yang pernah dan sedang memerintah Jakarta.
6. Orang yang mengakui dan diakui oleh masyarakat atau ormas Betawi
sebagai orang Betawi. 7.
Mengakui dan menerima budaya Betawi serta melestarikanya. Keputusan yang telah dibuat oleh Bamus Betawi yang tertuangkan dalam AD
ART-nya diatas adalah merupakan pengertian Betawi dan pengertian orang betawi bukan dilihat dari aspek nasionalaisme, namun Bamus melihatnya dari aspek kultural
yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat Betawi yang tersebar di kota Jakarta dan sekitarnya. Kemungkinan besar dari kesepakatan tersebut adalah merupakan
lisensi sebuah keabsahan pengertian Betawi dan orang Betawi secara mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
C. Penafsiran Politik Menurut Orang Betawi
Penafsiaran politik yang berkembang pada umumnya adalah menyatakan bahwa politik adalah ilmu tentang sistem kenegaraan dan pemerintahan
46
atau:
47
45
Sumber Bamus BETAWI Gedung CIK’S Jl. Cikini Raya No 84-86, Jakarta Pusat. ADART Badan Musyawarah Masyarakat Betawi 2002
46
Inu Kencana Syafiie, op. cit.,
47
Ramlan Surbakti, op. cit., h. 3
“Politik dalam pengertiannya terkandung tujuan dan etika masyarakat yang jelas. Berpolitik bicara atau membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama.”
Gambaran ini tentulah bersumberkan dari pelbagai buku dan sedikit dimuatkan di dalamnya pengamatan-pengamatan di lapangan yang ada. Sedangkan politik dalam
penafsiran orang betawi lebih banyak kepada pengetian politik sebagai aksi, salah satunya sebagaimana yang diutarakan oleh sesepuh kaum Betawi Rempoa Cing Oji
46 begitu dia disapa kalangan pemuda Rempoa dan jalan Limo Cinere. Dalam benak pikiran Cing Oji, dia menafsirkan bahwa politik itu, upaya
mendapatkan sesuatu, atau dalam bahasa Betawinya sering dibilang ‘orang nyang mikirin jeroan perutnye kepentingan dunyawi ame kelompoknye aje’, artinya ketika
seseorang terjun kedalam dunia politik, maka pastinya ia akan berusaha mendapatkan apa yang ia inginkan supaya isi kepentingan dunianya terpenuhi, dan politik
menurutnya salah satu wadah yang dapat mengabulkan kepentingan duniawi. Penafsiran politik Cing Oji ini lebih kepada praktik-praktik politik praktis
para kaum elit aksi poltik, sehingga praktik tersebut dirasakan oleh Cing Oji. Tentunya penafsiran Cing Oji berbeda dari penafsiaran politik sebagai ilmu
pendidikan ilmiyah political scientific education yang telah diungkapkan pada pengertian politik yang telah lewat di atas.
Adapaun politik menurut penafsiaran Haji Zayadi Musa 53,
48
berdasarkan kepada hasil pengamatan beliau semasa menjabat sebagai anggota DPRD Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah fraksi PPP, adalah sebagai berikut: “Politik adalah suatu metode “membunuh atau dibunuh”, dalam artian, ketika
seseorang berkecimpung kedalam dunia politik maka ia harus membenamkan segala kepentingan yang tidak sangat penting untuk pribadinya dan kelompok,
dan kepentingan pribadi serta kelompok -yang sekarang terreplesentasikan dengan sebuah partai- harus ada dan harus diutamakan dari pada kepentingan
yang lainnya,… …disinilah kotornya politik, dan disini pulalah metode membunuh atau
dibunuh itu bermain, walaupun sesama orang Betawi akan tetapi sekalipun politik itu kotor dan kejam, saya mau tidak mau harus dijalani karena sistem
dan aturannya sudah begitu”. Uraian H. Zayadi ini adalah sebuah kenyataan politik yang ia alami ketika
anggota parlemen daerah ingin memutuskan suatu kebijakan yang berkenaan dengan permasalahan daerah, dalam hal ini masalah-masalah yang berada di Jakarta, dan
terlebih lagi pada saat terjadinya proses pemilihan gubernur DKI. 2002-2007 yang telah berlalu, sehingga putra daerah yang mencalonkan sebagai balon Gubernur 2002-
2007 terlululantahkan begitu saja akibat kekalahan proporsi dari jumlah anggota yang pro Sutiyoso dari yang anti Sutiyoso.
Dari uraian pemikiran politik menurut kedua tokoh ini, seakan-akan mengakomodir persepsi politik menurut orang Betawi kalangan bawah dan
menengah. Kita telah menyimak, disatu pihak Cing Oji sebagai bagian dari rakyat kecil yang selalu mengamati keadaan negara, dan mengandalkan pengalaman dan
pengamatanya sebagai dalil logis Cing Oji yang mengatakan politik merupakan suatu
48
Zayadi Musa, Sesepuh Betawi Cipete, Jakarta Selatan Mantan Anggota DPRD preode 1999-2004, Wawancara Pribadi, Jakarta 20 Oktober 2004
keinginan, sedangkan H. Zayadi, salah satu anak Betawi yang pernah berkecimpung dan merasakan jahat dan mempesonanya dunia politik, dan yang mengatas namakan
rakyat Betawi kalangan menengah mengatakan, ia politik metode “dibunuh atau membunuh” dalam memperjuangkan kepentingan. Dua pandangan tersebut di atas
yang seakan-akan mengambarkan suatu realita politik praktis yang tengah berjalan di negeri ini, dan seakan-akan mengklaim politik sebagai sesuatu yang kotor menurut
orang Betawi. Pandangan mereka H. Zayadi dan Cing Oji terhadap pengertian politik jauh
mengenai kajian teoritisnya yang tidak pernah sekali-kali mengajarkan bagaimana meraih kekuasaan dan mempertahankan kepentingan politik, apalagi politik Islam
yang syarat akan pesan-pesan Ilahiyat, namun jika kita kembalikan kepada fakta politik yang berada dilapangan yang tengah berlaku sekarang, hal tersebut
memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok dalam politik adalah telah menjadi suatu yang lumrah dalam dunia politik praktis.
Dari contoh kasus yang mereka gambarkan yang kurang lebih adalah sama, yaitu persoalan pemilihan gubernur DKI dan kebijakan yang berkenaan dengan
rakyat kecil. Menurut H. Zayadi dalam persoalan gubernur ini telah terjadi kompromi politik dan kepentingan kekuasaan akibat aturan politik yang ada, bayangkan jika
didalam parlemen daerah jumlah orang Betawi dapat dihitung dengan jari, sedangkan jumlah anggota parlemen yang berasal dari tanah Jakarta hanya 7 persen dari jumlah
parlemen secara keseluruhan, apakah mungkin mereka akan menang, apalagi jika
diambil voting, ini sangat bermasalah, dan adapun jalan penyelesaiannya adalah perubahan sistem dan aturan pemilihan gubernur yang ada sekarang, begitu menurut
Bapak H. Zayadi. Hal ini pulalah jumlah 7 dari gabungan masyarakat Betawi yang duduk di DPRD, dan aturan-aturan yang berlaku di dalam pemilihan balon gubernur
yang menyebabkan putra daerah tidak berksempatan menjadi gubernur, sehingga Cing Oji mensinyalir akan adanya pengambilan kekuasaan orang pribumi atas tanah
kelahirannya. Pada kenyataannya kita telah mengetahui banyak orang Betawi yang telah mejabat menjadi kepala di tingkat Rt atau Rw hingga Lurah bahkan Walikota,
namun menjabat sebagai seorang gubernur DKI merupakan hal yang masih diperjuang orang Betawi, akan tetapi hal ini tidak akan tercapai jika masyarakat
Betawi tidak mempunyai kualitas yang memadai dibidang politik dan yang lainnya, sehingga mereka harus benar-benar sadar bahwa masih banyak yang harus mereka
benahi. Problematika seperti ini merupakan persoalan yang sangat krusisal, yang
sampai saat ini yang masih didiskusikan oleh kalangan cendikiawan dan para sesepuh politik Betawi untuk mendobrak ketertinggalan masyarakat Betawi dalam segala hal
terhadap para tamu-tamunya. Adapun politik menurut pandangan KH. Asmuni Rahman ulama senopati
49
mengatakan bahwa: “Politik dalam segi kata yang benar kata umum orang Betawi sering
ucapkan adalah mengelitik orang, sehingga orang tersebut menjadi tepesona
49
Asmuni Rahman, Sesepuh dan ulama Betawi Senopati, Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta 1 Desember 2004
dengan kita, adapun dalam segi bahasa arabnya sering disebut dengan kata asyasah atau siasat, artinya bagaimana manusia atau orang tersebut dapat
mensiasati suatu perkara kepada orang lain dengan maksud hanya ia dan Allah yang mengetahuinya.
…adapun kita orang Betawi jangan pernah melakukan penyiasatan kecuali dalam keadaan yang hak”.
Pendapat KH. Asmuni ini lebih menekankan kepada pesan agama, dimana agama telah berpesan kepada kita bahwa ‘sebaik-baiknya manusia adalah yang lebih
memberikan manfaatnya kepada manusia bukan sebaliknya’. Dalam penafsiaran KH. Asmuni politik adalah sesuatu yang natural yang dapat dipraktikkan tanpa harus
belajar, karena manusia telah mempunyai potensi tersebut. Kalangan orang tua Betawi umumnya lebih cenderung untuk memprektikkan petuah KH. Asmuni, dengan
kata lain jika anda bekerja, dan dengan pekerjaan tersebut merugikan orang lain maka tinggalkanlah pekerjaan tersebut atau anda berdosa.
D. Faktor-faktor yang Mempengruhi Pemikiran Politik Orang Betawi