Pengertian, Asal Usul Kata Serta Kebudayaan Betawi

dan otoriter, sebaliknya sistem yang jelas tanpa didorong dengan kekuasaan tidak akan berjalan, 35 maka ia akan menjadi isapan jempol belaka.

B. Pengertian, Asal Usul Kata Serta Kebudayaan Betawi

1. Pengertian Betawi Kalau kita melihat masyarakat Jakarta dalam perpektif nasional, maka penduduk Jakarta secara keseluruhan merupakan orang Betawi, namun jika ditarik kedalam perspektif kultural, maka orang Betawi adalah orang dengan jumlah tertentu yang memiliki norma, sistem sosial, dan tingkah laku tersendiri, dan tentunya mereka telah lama menetap di Jakarta. Adapun Betawi dalam pandangan politikus besar Betawi Dr. H. Amrullah Asbah: 36 “Orang dapat dikatakan sebagai orang Betawi jika ia lama hidup di Betawi jabotabek dan tidak bisa berbahasa kecuali bahasa Betawi, selain itu ia konsisten dengan betawinya, artinya jika ia mengadakan acara seperti perkawinan, maka acara tersebut diselenggarakan dengan menggunakan adat Betawi.” Betawi adalah suku asli yang menempati pertama kalinya kota Jakarta atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Sunda kelapa. Suku Betawi juga termasuk suku tertua yang ada di negeri ini, jadi mereka bukanlah suku yang baru-baru saja muncul atau istilah Bang Ridwan Saidi adalah, ‘suku yang tulangnya masih muda’. 37 Suku Betawi ini pada mulanya adalah suatu suku yang kehidupannya hanya mengandalkan persaudaraan sesama mereka saja eksplisit, --Maka tidak heran kalau di kampung-kampung yang ada di Jakarta ini terdapat masyarakat yang satu dengan yang lainnya masih mempunyai hubungan darah famili, seperti kaum Betawi di jalan Senopati Senayan-- artinya mereka sangat tertutup terhadap pendatang, khususnya terhadap penjajah dan dengan apa yang mereka penjajah bawa. Ini disebabkan karena mereka mengalami ‘political disengegament’ terhadap keadaan politik, dan hal ini pulalah yang menyebabkan mereka egaliter dan terbuka dengan siapa saja lihat kondisi suku Betawi kontemporer, namun tidak untuk apa saja. Pada dasarnya mereka mepunyai sikap egaliter yang tinggi terhadap sesama, hal ini didasari kuat oleh nilai-nilai agama, selain itu juga sikap ini timbul disebabkan Jakarta kekinian telah dihuni oleh beragam etnis. Maka dengan nilai-nilai agamalah yang menjadi pegangan yang kuat, masyarakat Betawi dapat memilah-milah mana yang mubah menurut agama, dan mana yang diharamkan agama. Keeksplisitan mereka ternyata tidak lagi mereka gunakan, terutama sejak proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan di negara Indonesia pada tahun 1945, Maka seiring dengan itu kaum Betawi membaur dengan para pendatang, pembauran tersebut terjadi semata-mata mengatasnamakan persaudaraan sesama manusia, apalagi sesama muslim, sebagaimana yang dianjurkan oleh agama mereka suku Betawi. Untuk lebih dalam lagi kita mengenal Betawi, maka alangkah baiknya jika Betawi ini diberikan suatu pengertian, sebagaimana pemberian pengertian kepada kata politik yang telah lalu diatas, supaya tidak terjadi penerangan yang keliru terhadap asal-usul Betawi yang sekarang banyak disalahkaprahkan pengertiannya. 2. Asal Usul Kata Betawi Banyak orang yang memberikan persepsi kata Betawi, salah satunya menyatakan bahwa kata Betawi, katanya, diambil dari kata Batavia yang bertepatan dengan masuknya para kompeni dan budak-budak bawaan Jendral Jan Pieterszon Coen 30 Mei 1619 ke Sunda kelapa, 38 pengertian kata Betawi seperti ini merupakan kekeliruan data sejarah yang sangat besar. Menurut sejarawan sekaligus pemikir politik Betawi Drs. Ridwan Saidi, menerangkan, bahwa penamaan Betawi itu sudah muncul jauh sebelum Jendral Jan Pieterszon Coen 1619 hadir ditanah Jakarta dan berambisi untuk membangun kota, maka dengan kemunculan Pieterszon Coen Jakarta dinamakan olehnya dengan nama Batavia. Menurut Dr. H. Amrullah Asbah: 35 Basofi Sudirman, Lepas Malam, Jakarta: TRANS TV, 13-10-04 36 Amrullah Asbah, Wawancara Pribadi, Jakarta 28 Desember 2004 37 Ridwan Saidi, Profil Orang Betawi, Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya, Jakarta: PT. Gunara Kata, 2004, cet. Ke-4. h. vii 38 Persepsi ini diungkapkan Prof. DR. Lerisa sebagai penyaji sejarah Betawi, pada suatu acara seminar di pusat studi Jepang Univesitas Indonesia UI 28-29 Juni 2004 “Menurut sejarahnya kata betawi diambil kata Fatawi, dimana fatawi ini adalah nama dari suatu golongan kaum yang terdiri dari 40 orang, orang-orang ini adalah para pembawa fatwa dari panglima Fatahilah, dari 40 orang ini dibagi menjadi lima bagian yang mana pembagian tersebut sesuai dengan proporsi keahlian mereka. Ada ahli setrategi, alhi politik, mata-mata, ekonomi, dan agama. Mereka manyatakan diri mereka senagai kaum fatawi, orang betawi menyebutnya dengan kaum betawi, dengan mengubah fa’ menjadi be’.” Kalau melihat sumber dari sejarawan Jawa Raden Arya Sastradarma yang pernah meneliti sejarah Jakarta mengatakan: 39 “…orang-orang ini Betawi sejak 1865 telah menamakan dirinnya sebagai orang Betawi bercampur dengan sebutan orang selam. Tetapi penyebutan nama selam ini telah lama tidak dipakai oleh orang Betawi sendiri…” sebelum adanya penamaan Betawi 1865 orang-orang melayu Muslim Jakarta mempunyai sebutan khusus dari para pendatang, baik orang Cina, Arab, bahkan Eropa sekalipun mereka menyebut orang-orang Melayu Jakarta ini dengan sebutan orang selam, mengapa mereka disebut dengan nama selam, karena para kaum Melayu Jakarta ini kebanyakan memeluk agama Islam. Kata selam sendiri diambil dari kata Islam, penamaan ini masih mereka pakai sampai kira-kira awal abad ke-19, dan setelah itu mereka orang-orang Betawi lebih sering menyebut mereka sebagai orang Betawi, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Yasmine Zaki Shahab dalam kutipan artikel yang berjudul ‘ Betawi Dalam Jumlah Dan Permasalahannya’, menegaskan bahwa: “Kepopuleran istilah Betawi sangat tinggi pada tahun 1970-an hingga sekarang, dan pada umumnya mereka menyebut diri mereka sebagai orang Betawi. Sebelum ini, penduduk asli Jakarta mengindentifikasi diri mereka sebagai orang Melayu” begitu pula ulama-ulama dan keturunan-keturunan Betawi, yang pada umumnya mereka lebih suka menamai akhir dari nama mereka dengan Betawi daripada selam. Betawi dalam tulisan arabnya al-Batawi, dengan mengubah penyebutan huruf ‘T’ dalam bahasa Indonesia dengan ‘Ta’ huruf Arab didalam penulisan dan 39 Ridwan Saidi. Ibid., h.14 penyebutannya, yang sering dipergunakan oleh ulama-ulama Betawi sebagai nama akhir mereka. Seperti Mu’alim Marzuki al-Batawi dan Syeik Junaid al-Batawi. Melihat dari alur faktual dan kultural orang Betawi yang sangat kesukuan kuat dengan nama Betawinya dan agamis, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan akan penamaan Betawi, bahwa penamaan Betawi ini muncul bukan karena kota Batavia Jakarta yang dinamakan oleh orang Belanda, melihat kebencian mereka terhadap para penjajah dan sikap keeksplisitan mereka dan juga mereka membenci dengan apa yang dibawa oleh Belanda, atau pengaruh yang lainnya. Akan tetapi penamaan tersebut muncul akibat konsensus yang berjalan begitu saja yang tentunya mempunyai kaitan dengan sikap nasionalaisme dan agama yang mereka anut. 3. Kebudayaan Betawi Warna dasar budaya Betawi adalah budaya Melayu tetapi karena letak geografisnya di kelilingi budaya Jawa Barat, maka pengaruh daerah tersebut cukup dominan lihat Banjarmasin Pos, 14 Juli 1986. Selanjutnya budaya Betawi banyak juga dipengaruhi budaya Jawa yang dapat dilihat dari adanya berbagai jenis kesenian wayang. Budaya-budaya lain yang juga mempengaruhi budaya Betawi adalah budaya Bali, Bugis, Cina, Arab dan Eropa. Pengaruh dari budaya-budaya tersebut dapat disaksikan pada bentuk-bentuk kesenian Betawi seperti topeng, lenong, tanjidor, rebana dan lain-lain Dinas Kebudayaan DKI, 1995. kebudayan Betawi dalan hal seperti ini sering disebut dengan kebudayaan ‘mailthingpot’, artinya mereka orang-orang Betawi mengambil kebudayaan mereka dari para imigran yang datang ke negeri mereka, baik imigran Arab, Cina, Bugis Bali, ataupun Eropa seperti yang diungkap diatas. Atas dasar demikian mereka mencampur-baurkan kebudayaan para imigran menjadi kebudayaan Betawi, yang tentunya pengadopsian tersebut tidak secara penuh artinya hanya setengah-setengah. Akulturasi budaya orang-orang Betawi ini sangat intens sekali hingga Batavia berubah nama menjadi Jakarta. 40 Hal tersebut terjadi karena orang Betawi tidak mempunyai raja, senopati atau yang lain sebagainya, dan juga disebabkan mereka tidak mepunyai ‘lenskip’ atau kraton yang menjadi ‘base’ otoritas kebudayaanya, 41 tidak seperti orang keturunan kerajaan Majapait, Demak, Cirebon atau Keraton. Akibat dari pengadopsian yang setengah-setengah dan mereka tidak mempunyai Istana kerajaan tertentu, pada akhirnya orang Betawi berbondong- bondong menjadikan Islam sebagai leanskip kebudayaan mereka, manakala kebudayaan tersebut tidak sesuai dengan khazanah Islam, maka orang Betawi meninggalkannya dengan segera. 42 Selain itu pula orang Betawi tidak mengenal akan adanya klasifikasi sosial, priayi atau abangan, atau strata sosial seperti orang hindu, lagi-lagi gambaran derajat kemanusiaan yang dianggap terhormat yang ada dalam kehidupan orang Betawi adalah agama dan keterampilan ‘maen pukul’ 43 seni beladiri Betawi seseorang. 40 Ridwan Saidi. Ibid., h. 165 41 Muhammad Rafiudin, “Ulama dan Kepemimpinan Politik Tinjauan Praktek Politik KH. Zainuddin MZ”, Skipsi S1, UIN Jakarta, 2004, h. 13-14 42 Yasmine Zaki Shahab,”Lenong”, Jurnal Betawi Media Komunikasi Social Budaya. No. 1Januari 2002, op. cit., h. 23 43 Tulisan ‘MAEN’diambil dari ucapan lisan orang Betawi. Ketika seseorang telah memahami agama secara baik, maka ia akan mempunyai kedudukan yang terhormat dimata masyarakat Betawi, begitu juga orang yang mempunyai keterampilan maen pukul sampai-sampai tidak ada tandingannya juga disegani oleh orang Betawi 44 , ini adalah model kepemimpinan masyarakat Betawi yang masih tetap terjaga hingga hari ini. 4. Kriteria Betawi dan Orang Betawi. Bamus BETAWI sebagai landasan besar organisasi Betawi yang didirikan pada tanggal 22 juni tahun 1982, telah menyepakati pengertian Betawi yang terangkum dalam angaran dasar dan rumah tangga organisasi tersebut ADART Badan Musyawarah Masyarakat Betawi. Dalam ADART Bamus BETAWI BAB V KEMASYARAKATAN DAN KRITERIA BETAWI, pada pasal 8 tentang kemasyarakatan di jelaskan, bahwa pengertian Betawi adalah: “Penduduk inti kota Jakarta yang hidup secara turun temurun serta memiliki karakteristik kebudayaan sendiri kebudayaan Betawi”. Maka dari itu jelas sudah siapa dan apa yang disebut dengan Betawi, oleh karenanya penamaan dan justifikasi Betawi yang keliru telah dapat diluruskan dengan pengertian dan keterangan Betawi dari segi historis dan kultur mereka yang telah di ungkapkan penulis diatas. Pada pasal berikutnya berkaitan dengan kemasayarakatan dan kriteria orang Betawi. Sebagai mana yang telah dirapatkan Bamus Betawi prihal masyarakat dan 44 Ridwan Saidi, op. cit., h. 86-90 kriteria orang Betawi, maka Bamus Betawi memutuskan kriteria orang Betawi menjadi sebagai berikut: 45 1. Keturunan Betawi asli Bapak atau Ibunya orang Betawi. 2. Salah satu Orang tua BapakIbu atau KakekNenek keturunan Betawi. 3. Lahir di Jakarta dan sekitarnya. 4. Orang yang peduli dan rela mengabdikan dirinya untuk masyarakat Betawi termasuk suku lain yang lahir di Betawi. 5. Orang yang berjasa dan bermanfaat bagi orang Betawi di sini termasuk pula para gubernur yang pernah dan sedang memerintah Jakarta. 6. Orang yang mengakui dan diakui oleh masyarakat atau ormas Betawi sebagai orang Betawi. 7. Mengakui dan menerima budaya Betawi serta melestarikanya. Keputusan yang telah dibuat oleh Bamus Betawi yang tertuangkan dalam AD ART-nya diatas adalah merupakan pengertian Betawi dan pengertian orang betawi bukan dilihat dari aspek nasionalaisme, namun Bamus melihatnya dari aspek kultural yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat Betawi yang tersebar di kota Jakarta dan sekitarnya. Kemungkinan besar dari kesepakatan tersebut adalah merupakan lisensi sebuah keabsahan pengertian Betawi dan orang Betawi secara mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

C. Penafsiran Politik Menurut Orang Betawi