Latar Belakang Masalah Pemikiran politik masyarakat betawi pasca rezim Soeharto

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tiga puluh dua tahun sudah perkembangan kediktatoran dan semangat korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh para politisi dan birokrasi busuk 1 baik dari tingkat pusat hingga jajaran birokrasi yang ada di daerah-daerah itu sendiri, serta penempatan Jakarta sebagai totaliter Negara Indonesia lintas sektoral, baik dari sektor ekonomi, politik, hingga industri, yang keseluruhannya tersentralkan oleh kebijakan pemerintah pusat central policy. Imbas terhadap sistem yang dipegang oleh pemerintahan Soeharto ini secara sengaja telah melupakan eksistensi daerah sebagai pemasok dana yang sangat besar untuk pusat, sehingga, yang terjadi adalah pembangunan yang tidak merata dan diskriminasi sumber daya daerah dan masyarakat daerah yang sangat luar biasa tidak berimbang dengan pusat. Image tersebut seakan-akan telah lama disuarakan oleh raja dangdut Indonesia Haji Roma Irama: “Yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin”, akan tetapi hal ini tetap akan terus berulang jika sistem dan pemikiran yang ada tetap berpegang kepada otoriterianisme dan totaliterianisme penguasa. Situasi politik seperti ini dianggap sebagai ‘ideology static’ dari politik rezim Soeharto. Artinya, dalam mempertahankan kekuasaannya, pemerintahan Soeharto 1 Meutia Farida Swasono, “Jawara Dalam Ravitalisasi Betawi”, Jurnal Betawi Media Komunikasi Social Budaya. No. 1Januari 2002, hal. 58 yang dibantu ABRI alat Negara 2 , memasung pemahaman politik yang bebas bagi masyarakat dengan pemahaman politik telah ia titahkan, yaitu, pemahaman politik arahan demokrasi Pancasila sebagai azas tungggal, yang katanya sudah mencakup segala bentuk keragaman dan keuniversalitasan bangsa. Pemahaman politik ini dengan secara tidak langsung melahirkan kebijakan pemerintah kala itu yang tidak dapat diganggu-gugat -bagaikan titah raja-, dan haram hukumnya bagi masyarakat keluar jalur atau mempunyai ideologi politik yang berseberangan dengan pemerintah saat itu, 3 ini terbukti dengan banyaknya para tahanan dari kalangan politikus oposan pemerintah Orba, dan kritikus, yang sangat berani menentang pemerintah Orde Baru atau katakanlah mereka memperjuangkan kebenaran arti demokrasi. Hal ini merupakan percontohan dari buruknya sistem demokrasi terpimpin pada saat itu, serta berimbas buruk pula bagi pendidikan politik rakyat, dan jika tetap dibiarkan, nantinya akan menjadi sangat buruk lagi dan menyalahi salah satu asas demokrasi, yaitu, kebebasan berpendapat atau menuangkan pemikiran dan gagasan. Adalah suatu ciri politik yang mengedepankan atau menjadikan demokrasi sebagai pembungkus segala kebijakan pemerintah yang kotor, berbau ‘mob rule’ 4 dari segi hukum dan berstatus quo, berjalan hilir mudik dengan leluasanya di hadapan kita selama tiga dekade, dan sama sekali tidak ada pergerakan-pergerakan massa dari 2 Bakhtiar Effendy, “Islam Politik Pasca Soeharto di Indonesia”, Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. V No. 2, 2003, hal. 2 3 Abu Zahra., ed, Politik Demi Tuhan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, cet. ke-I, h. 133 4 Kata ini adalah istilah dari sentuhan hukum yang tidak merata, artinya ketika Hukum hanya berlaku kepada rakyat jelata, dan kebalikannya hukum tidak berlaku kepada para pejabat dan orang penting yang ada di Negara tersebut. Maka hal ini disebut dengan ‘Mob Rule’ kalangan apapun yang nyata dalam menentang sistem yang ada kala itu dengan alasan-alasan yang sekiranya membungkam hasrat ingin bebas. Maka dengan kebesaran Tuhanlah rezim tersebut tumbang dengan diawalinya kerusuhan di pusat kota dan beberapa daerah lainnya, serta pergerakan seluruh mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 5 yang menduduki gedung MPR, serta memberikan petisi yang bertujuan kepada perombakan sistem pemerintahan yang otoriter tersebut. Para mahasiswa dengan semangat revolusi membawa bendera reformasi untuk ditancapkan di sadapan sistem politik yang tidak merakyat itu sebagai aksi anti otoriterianis, dan militeris, hingga pada klimaksnya penyerahan jabatan secara “paksa” dari Presiden Soeharto kepada Bahrudin Jusuf Habibie atau akrab dengan nama B.J. Habibie. Seiring dengan masa transisi sistem politik Indonesia menuju Indonesia baru, BJ. Habibie lengser dan kemudian kepada KH. Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur, kemudian kepada Megawati Soekarno Putri, 6 dan kemudian kepada bapak Susilo Bambang Yudoyono SBY. Peralihan itu pulalah -setelah masa pemerintah yang otoriter hilang- akan tetap tercatat dalam sejarah perpolitikan Negara Indonesia, dan kemudian diganti dengan era baru, sistem baru dan pejabat pemerintah yang baru pula, dengan harapan mereka dapat memberikan sebuah wacana menuju Indonesia baru. 5 Bakhtiar Effendy, op. cit., 6 Meutia Farida Swasono, op. cit., hal. 61 Memang kita tidak dapat pungkiri pada masa pra Habibie, pra Gus Dur dan pra Mega, kondisi Jakarta sangat stabil, makmur, dapat diakui nyaman, dan politik nasional terbukti stabil 7 dan juga pada saat itu Jakarta layak disebut dengan salah satu penopang kekuatan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Dalam segala bentuk kecemerlangan perekonomian dan ke-eksotikan sarana yang ada di Jakarta sebagai metropolitan Indonesia. Namun, dibalik itu pula Jakarta menyimpan kepedihan-kepedihan orang-orang yang hidup jauh dibelakang segala pernak-pernik warna-warni lampu Jakarta. Khazanah kebudayaan setempat seakan- akan tertutupi atau mungkin terlupakan dengan segala bentuk kemewahannya, belum lagi kemiskinan dan kebodohan serta minimnya tingkat kepekaan sosial masyarakat metropolis dalam memperhatikan orang-orang yang hidup di pelosok-pelosok kota dan dibelakang megahnya hotel pencakar langit yang kekar dan berlantaikan marmer yang mewah. Fenomena di atas akan kita temui di Jakarta dan sering kali menjadi bahan cemoohan orang-orang ‘berduit’, dan pedihnya lagi ternyata tempat yang kecil dan terpinggirkan dari segala bentuk keeksotikan dan kemewahan kota Jakarta adalah tempat warga asli Jakarta Betawi berdomisili serta meratapi nasib mereka yang seakan-akan telah terasingkan di kota kelahirannya sendiri dengan segala keterbalikan dari mewahnya dan megahnya gedung-gedung kota kelahiran mereka. Tampaknya fenomena ini bukan saja warga asli Jakarta yang mengalaminya seorang diri, namun nasib yang tragis ini juga dialami warga asli Papua misalnya, 7 Provinsi Republik Indonesia, Jakarta: Yayasan Bakti Wawasan Nusantara, 1992, h. 202 suatu daerah yang kaya sekali akan emas, tembaga, dan batu besi, akan tetapi ironik secara faktual jika penduduknya tidak sama sekali mengenal apa yang dinamakan emas, tembaga, dan batu besi, dan juga mereka tiada merasakan hasil bumi yang mereka miliki secara natural selama tiga puluh dua tahun pula. 8 Pada masa Orde Baru wewenang pengelolaan dan penataan kota atau provinsi masih dipegang secara sistemik oleh kebijakan pemerintah pusat, sehingga dapat dikatakan pemerintah pusat sangat berwenang dalam mengintervensi kebijakan pemerintah daerah dan juga dalam memberikan restu kepada orang yang dikehendakinya, maka dengan itu pulalah kewenangan harus dituruti secara patuh dan harus dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD atau pemerintahan di tingkat provinsi, KH. Hasyim Muzadi pasangan Megawati sebagai calon wakil presiden 2004-2009 mengakui, bahwa pengamalan otonomi daerah masih belum sepenuhnya dilakukan, maka dari itu proses demokrasi di tingkat daerah masih sangat tragis, karena masih adanya intervensi yang sangat kuat dari pemerintah pusat. 9 Sebut saja kasus pencalonan Sutiyoso untuk gubernur DKI masa jabatan 1997-2002-2007. Dalam tiga puluh dua tahun Jakarta tercatat sebagai salah satu provinsi dari 33 provinsi 10 yang tersebar di negeri ini, disamping itu entah mengapa tercatat pula putra daerahnya sendiri belum ada sama sekali yang merasakan bagaimana mengatur dan 8 WWW. Walhi. Or. id 9 Wawancara di ANTV jum’at malam 18-6-2004 10 Sugeng HR, RPUL, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap, Semarang: Aneka Ilmu, 1-Pebruari-2003 h. 16 mengelola kota kelahirannya dengan semangat dan rancangan-rancangan yang telah mereka siapkan dalam membangun dan menjayakan kota kelahirannya. Hal ini terjadi di sebabkan persoalan sumberdaya masyarakat Betawi yang masih rendah dan sikap antipati mereka terhadap perkembangan politik dalam negeri. Adalah dimensi waktu yang sangat begitu lama dan Jakarta telah mengalami beberapa kali berulang tahun, dan sekarang ia telah berumur 477 tahun, maka bersamaan dengan itu pulalah Jakarta diselingi beberapa pergantian kepala daerah gubernur yang dipilih lima tahun sekali oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, apalagi sekarang di abad reformasi dan telah ditetapkannya undang-undang otonomi daerah nomor 22 tahun 1999 11 perihal pemerintahan daerah, dan realisasi dari pengamalan undang-undang ini terhitung 1 Januari 2004 hingga sekarang yang masih digarap oleh pemerintah daerah, ternyata semangat demokrasi dan reformasi masih belum dapat dirasakan bagi kalangan warga Jakarta asli Betawi dan penduduk minoritas Jakarta migran. Seharusnya dengan kesempatan itu dan atas nama semangat otonomi daerah, adalah momen yang tepat untuk menampilkan putra daerah setempat menjadi kepala rumahnya sendiri, yang mana rumahnya tersebut telah lama diberikan kepercayaanya kepada tamu untuk memimpin rumahnya tersebut. Ini merupakan sifat ciri khas dari kepribadian seorang Betawi yang selalu ‘well come’ atau ’ahlan wa sahlan’ terhadap tamunya, sebagai mana yang dikatakan oleh Cing Oji 47 begitu ia disapa: 11 Sugeng HR. Ibid “Orang Betawi itu orangnye Suka bergaul, jujur, terbuka, agamis, dan ’ahlan wa sahlan’ ame siape aje” 12 . Sifat ini ternyata telah membuat mereka kebablasan karena telah terlalu lama mempercayakan sesuatu pada orang lain, dan orang tersebut tidak mempunyai rasa terima kasih terhadap mereka orang Betawi. Sehingga pada kenyataanya, dalam dekade waktu yang begitu lama dan Jakarta telah berumur sangat tua 477 tahun, melebihi umur negara tidak sama sekali putra daerah tersebut pernah mengalami menjadi pemimpin rumahnya sendiri. Fenomena di atas kalau kita cermati memang sangat tragis dan menjadi bahan pertanyaan mengapa dan ada apa dengan sistem politik negara ini di abad reformasi, dan juga sebagai bahan pekerjaan rumah bagi masyarakat Betawi dalam menyikapi keadaan politik negara ini secara kritis, dan mencari teka-teki sistem pemerintahan pusat, wa bil khusus pemerintahan daerah, dan lagi-lagi adalah suatu hal yang sangat mustahil jika anak dari kepala rumah tangga diberikan kesempatan untuk memimpin rumahnya sendiri ia enggan, jika kesempatan tersebut memang terbuka untuknya. Suatu catatan penting pada pemilihan bakal calon gubernur 2002 balon gubernur yang lalu, yang diselengarakan oleh pemerintah daerah Jakarta, dengan menggunakan sistem yang selalu sama yaitu ‘MP’ Musyawarah untuk Mufakat. Permasalahan ini sangat mengecewakan, karena tidak ada transparansi politik bagi para balon yang lainnya yang berasal dari putra daerah yang jauh lebih baik mempunyai kridebilitas dan akuntabilitas publik maupun politik dimata masyarakat 12 Kong Fauzi, Sesepuh Betawi Rempoa, Wawancara Pribadi, Jakarta 11 Oktober 2004 lapisan bawah grassroat people maupun lapisan menengah dibanding Sutiyoso, adapun mereka yang mencalonkan di antaranya Prof. DR. Tuti Alawiyah, Drs. Ridwan Saidi dan Dr. Abdur Razak, serta kawan-kawan Betawi lainnya, yang telah sah mengikuti prosedur pencalonan balon Gubernur DKI. Hal ini membuat sebuah pertanyaan yang sangat besar, dan pertanyaannya adalah, kemana aspirasi mayarakat Betawi yang berjumlah 2 juta itu, yang pada umumnya mereka masyarakat Betawi menginginkan putra daerah menjadi kepala daerahnya sendiri Gubernur?. Memang kalau dilihat dari garis sejarah politik political historis sebelum dan sejak zaman Jendral Jan Pieterszon Coen 1619, orang-orang Betawi mengambil jarak yang sangat jauh dengan politik, upaya ini mereka ambil akibat tromatik politik mereka pada masa yang lalu, sehingga mereka mangambil sikap ‘disengegament’ terhadap politik, langkah seperti ini telah lama mereka lakukan karena kebencian mereka terhadap penjajah, dalam hal ini adalah Belanda dan dengan segala macam yang mereka bawa, seperti yang dikatakan oleh Haji Muhyidin 74, “Sampe belajar tulis eja itu di haromin ame orang tue dulu kite”. 13 Hal ini masih berbekas disebagian orang-orang Betawi pengikut aliran Nahdlatul Ulama, karena tulis eja itu berasal dari Belanda dan dianggap Kristen, maka menurut mereka haram untuk dipelajari. Transformasi pendidikan bacaan dan komunikasi pada kalangan orang Betawi saat itu adalah dengan mengunakan bahasa Melayu, adapun gaya tulisan yang mereka gunakan adalah dengan tulisan yang bercirikhaskan Arab Melayu, mengapa, karena menurut mereka sarana seperti inilah yang dianjurkan oleh agama. Adapun karir politik masyarakat Betawi pada masa kolonial lebih sering mengambil sikap oposan terhadap pemerintah berkuasa pada saat itu daripada ikut bermain dalam politik kompeni, sikap ini juga didorong oleh farktor doktrin agama yang mengharamkan mengikuti orang asing non-Muslim dan perintah taat kepada aturan orang tua, karena sangsi yang akan mereka dapatkan ketika melawan aturan orang tua adalah ‘kualat’. 14 Dari rangkaian permasalahan yang telah diungkapkan diatas, khususnya kondisi sistem politik pemerintah belakangan ini, serta melirik akan adanya kemungkinan respon dari masyarakat Betawi sekarang atas sikap politik 13 H. Muhyidin, Sesepuh Betawi Senayan, Wawancara Pribadi, Jakarta 3 september 2003 14 Kualat dalam penafsiaran orang Betawi adalah, mendapat musibah yang buruk dalam kehidupannya akibat melawan perintah orang tua dan agama pemerintahnya, dan sebagaimana lumrah kita ketahui dalam pola sistem politik akan adanya input, proses, serta output yang pada akhirnya menghasilkan sebuah umpan balik. Maka dari itu penulis merasa tertarik dengan dilema politik yang terjadi dan mencoba mengangkatnya dalam sebuah skripsi, dengan harapan dapat membuka cakrawala pengetahuan politik masyarakat Betawi pada khususnya dan masyarakat Jakarta pada umumnya diera reformasi dan demokrasi ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah