Konflik Sosial dan Ekonomi dalam Keluarga

melalui perannya masing-masing sebagai anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan karena itu perlu adanya peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga. Keluarga terdiri dari dari beberapa orang, maka akan terjadi interaksi antara anggotanya dan ini berpengaruh terhadap keadaan bahagia harmonis atau tidak bahagia disharmonis pada salah seorang anggota keluarga yang selanjutnya berpengaruh pula terhadap pribadi-pribadi lain dalam keluarga Gunarsa, 1993:210-211. Keluarga sebagai satuan emosional yang memenuhi peran dan tanggung jawab semakin dianggap penting oleh umumnya masyarakat. Keluarga ideal juga tidak lepas dari sejauh mana ia mampu menjalankan fungsi keluarga dengan baik di dalam keluarga, karena fungsi keluarga tidak dapat dipisahkan dari keluarga ideal. Adapun fungsi keluarga tersebut adalah fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan dan fungsi ekonomi. Berjalannya fungsi-fungsi ini membawa keluarga pada pola penyesuaian sebagai dasar hubungan sosial dengan penuh cinta kasih sehingga tercipta pola interaksi sosial yang lebih luas baik dengan sesama anggota keluarga maupun masyarakat sekitar.

2.2. Konflik Sosial dan Ekonomi dalam Keluarga

Simmel dalam Ihromi 1999:177 mengatakan bahwa hubungan suami istri dalam perkawinan dapat dikatakan sebagai hubungan dua orang atau dyadic, yang secara kualitatif memiliki perbedaan dengan kelompok yang beranggotakan lebih dari dua orang. Sebab, hidup matinya kelompok dyadic hanya tergantung pada kedua Universitas Sumatera Utara orang tersebut. Di dalam hubungan dyadic ini terdapat tingkat keamanan maksimum yang disebabkan oleh adanya suatu kekhususan yang berbeda dengan hubungan yang terdiri atas banyak orang yaitu struktur sosial hanya terdapat di antara mereka berdua. Pengunduran salah satu akan menghancurkan keseluruhan. Bila kedua belah pihak berkeinginan untuk mempertahankan keutuhan kelompok, dengan sendirinya kesewenang-wenangan dari salah satu pihak tidak akan terjadi. Tetapi juga sebaliknya, bila salah satu pihak melakukan kesewenangan akan mudah membubarkan kelompok ini. Hal ini disebabkan karena adanya pemicu konflik yang mempengaruhi keharmonisan keluarga tersebut diantaranya: a Tidak adanya tanggung jawab suami dalam hal kebutuhan ekonomi. b Suami ingin menikah lagi dengan orang lain berpoligami. c Adanya perselingkuhan baik yang dilakukan oleh pihak suami maupun istri. d Biologis adalah keadaan suami dan istri yang tidak mempunyai kemampuann jasmani untuk membina perkawinan yang bahagia, seperti sakit, impoten, dan mandul. e Berbeda prinsip dalam mengarungi bahtera rumah tangga seperti masalah anak, pekerjaan dan lain-lain. Dengan adanya sebab-sebab di atas, maka dalam keluarga tersebut akan terjadi konflik yang pada akhirnya akan menyebabkan adanya ketidaksepahaman, perselisihan, silang pendapat diantara keduanya dan juga akan berpengaruh kepada anggota keluarga lainnya sehingga menyebabkan terjadinya kegoncangan dan ketidakharmonisan didalam keluarga tersebut. Kondisi ini disebut dengan Universitas Sumatera Utara disharmonisasi keluarga karena jika dalam keluarga antara suami dengan istri bermasalah maka seluruh interaksi orang tua dan anak-anaknya juga akan berpengaruh sehingga kebahagiaan dalam keluarga akan mengalami hambatan. Dalam keluarga yang efektif, kepentingan utama terletak pada kesatuan. Apabila terdapat kesatuan maka keluarga tersebut akan terorganisasi. Tetapi apabila tidak adanya kesatuan maka keluarga telah mulai mengalami disorganisasi. Runtuhnya kesatuan dapat disebabkan oleh perselisihan dalam keluarga, yang membuat hubungan sulit untuk serasi harmonis walaupun kebutuhan yang jelas dalam kesatuan formal dari kelompok mungkin tidak pernah terjadi. Ketegangan- ketegangan dapat membentuk hal yang lebih jelas lagi yaitu perpisahan atau perceraian. Anggota-anggota harus menyusun kembali untaian kekusutan kehidupan mereka dengan suasana baru dan suasana yang berlainan Khairuddin, 1997:111. Menurut Dr. Al-Athar, akibat dari tindakan poligami, sebagaimana yang ditulis dalam bukunya Ta’adduduz Zawjat adalah : a. Menimbulkan kecemburuan antara istri. b. Kekhawatiran dari istri kalau suami tidak dapat berlaku bijaksana dan adil. c. Terjadi perselisihan antara anak-anak yang berlainan ibu. d. Kekurangan ekonomi. Kalau hal-hal negatif ini muncul, maka dalam sebuah keluarga tidak lain dari kekacauan dan kedisharmonisan. Akibat-akibat negatif tersebut muncul dari kekurangan suami memenuhi syarat. Terlalu banyak contoh yang terjadi yang menimbulkan ketidakharmonisan didalam suatu keluarga yang berpoligami, yang mana disebabkan oleh kecemburuan diantara para istri, baik yang disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara kekurangmampuan suami berbuat adil dalam memberikan giliran kepada para istri, maupun akibat tidak langsung, seperti perasaan kurang adil dalam memberikan dan memenuhi kebutuhan anak-anak. Demikian juga sangat banyak contoh kasus-kasus yang membuat anak menjadi berani kepada orang tua yang melakukan poligami. Ini dikarenakan ketidakpuasan terhadap prilaku atau sikap ayah yang kurang mampu memberi dan mencukupi kebutuhan anak Khoiruddin, 1996:100. Problem psikologis yang lainnya dari praktek poligami yang dilakukan oleh seorang suami adalah dalam bentuk konflik internal dalam keluarga, baik diantara sesama istri, antara istri dengan anak tiri atau diantara anak-anak yang berlainan ibu. Ada rasa persaingan yang tidak sehat diantara istri. Hal itu terjadi karena suami biasanya lebih memperhatikan istri muda ketimbang istri lainnya. Bahkan tidak jarang setelah menikah suami menelantarkan segala kebutuhan hidup istri dan anak- anaknya. Tentu ini akan menimbulkan problem sosial yang serius dalam masyarakat. Bentuk implikasi lain dari poligami adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan perempuan justru lebih banyak terjadi didalam keluarga, dan pelakunya adalah suaminya sendiri. Kekerasan terhadap istri biasanya sulit dan jarang diungkapkan karena dianggap sebagai masalah pribadi. Selain dalam bentuk penyiksaan fisik, istri juga mengalami kekerasan seksual dalam bentuk suami tidak memperhatikan kebutuhan dan kepuasaan seksual istrinya. Dari hasil penelitian Khairuddin N.M menyimpulkan bahwa poligami merupakan faktor yang paling banyak memicu pelecehan hak-hak istri, termasuk hak-hak yang berkaitan dengan seksualitas. Hal ini terjadi karena dalam poligami suami biasanya hanya tertarik melakukan hubungan seksual dengan istri muda. Sementara istri lain diabaikan dan tidak dipenuhi Universitas Sumatera Utara kebutuhan seksualnya. Pada umumnya sikap suami yang mulai melirik perempuan lain lebih sensitif dan emosional terhadap istrinya. Dia menjadi ringan tangan dan mudah menampar dan memukul istri. Bahkan tidak sedikit suami membawa pulang istri muda ke rumahnya dan tentu saja itu merupakan pelecehan yang luar biasa terhadap perempuan Mulia, 1999:52-55.

2.3. Sistem Patriarkhi dalam Keluarga