Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan
23
b. Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat
pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi Negara.
Kegunaanya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam dapat
dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
22
Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’î nikahnya sudah
dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur dalam Syari’at Islam.
Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu Negara,
sebab dalam fatwa itu beliau tetap mengingatkan pentingnya pencatatan nikah, beliau mengingatkan agar pernikahan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Beliau juga menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang mestinya
dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika
dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli
waris. Menurut Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa
Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar’î dan
22
Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, h. 33.
24
syarat tautsiqiy. Syarat syar’î adalah suatu syarat tentang keabsahan suatu peristiwa hukum tergantung kepadanya, yang dalam hal ini adalah rukun-
rukun pernikahan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Sedangkan syarat tawtsiqiy merupakan suatu syarat yang dirumuskan
untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidak jelasan dikemudian hari. Syarat tawtsiqiy
tidak berhubungan dengan syarat sahnya suatu perbuatan, tetapi sebagai bukti adanya perbuatan itu. Misalnya hadirnya dua orang saksi dalam setiap bentuk
transaksi adalah merupakan syarat tawtsiqiy, kecuali kehadirannya dua orang saksi itu dalam perikatan pernikahan adalah merupakan syarat syar’î, karena
merupakan unsur pembentuk prosesi pernikahan itu dan yang menentukan pula sah atau tidak sahnya suatu peristiwa pernikahan, disamping sebagai
syarat tawtsiqiy.
23
Pengaturan tentang pencatatan perkawinan didasarkan atas asas kemaslahatan melalui metode al-maslahah al-mursalah Pengaturan pencatat
perkawinan dinilai bisa mendatangkan maslahat, khususnya bagi perempuan dan anak-anak. Jika suatu saat mereka menghadapi kenyataan ditelantarkan
oleh suami atau ayahnya, jika tidak ada salinan akta nikah, istri dan anak- anaknya tersebut tidak dapat mengajukan tuntutan haknya kepada suaminya
atau ayahnya karena tidak memiliki sarana untuk mengajukan ke Pengadilan. Lain halnya apabila ada salinan akta nikah, upaya hukum dapat segera
23
Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses pada tanggal 26 april 2015 dari http:www.badilag.netartikelpublikasiartikelkepastian-
hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial
25
dilakukan manakala hak-haknya ditelantarkan. Maka sangat jelas nilai maslahat dari pencatatan perkawinan tersebut.
24
Pencatatan nikah asalnya hanya sebuah kebutuhan administrasi Negara saja. Namun, fungsi dari pencatatan nikah itu sangat penting khususnya bagi
perempuan.
25
Kompilasi Hukum Islam, masalah pencatatan perkawinan ini diatur dalam pasal 5, yakni :
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
2. Pecatatan perkawinan pada ayat 1, dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 194
jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1954. Adapun selanjutnya dalam pasal 6 dijelaskan yang berbunyi sebagai
berikut :
26
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsukan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
24
Asni, Pembaruan Hukum Islam Di Indonesia Telaah Epistemologis Kedudukan Perempuan Dalam Hukum Keluarga kementrian Agama Republik Indonesia Direktorat
Jendral Pendidikan Islam Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, 2012, Cet. Pertama, h. 211.
25
Sri Mulyani, Relasi Suami Istri Dalam Islam Jakarta : Pusat Studi Wanita, 2004, h. 9.
26
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di Indonesia “Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No. 1 tahun 1974 sampai KHI”
Jakarta : Kencana, 2004, cet. Ke-3, h. 124.
26
Pencatatan perkawinan yang disyaratkan oleh Pasal 5 KHI adalah sejalan dengan yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974
yakni : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
27
Pencatatan perkawinan dan membuktikannya dengan akta nikah sangat jelas mendatangkan masalah bagi tegaknya rumah tangga dan hal ini
sejalan dengan prinsipkaidah hukum Islam menolak kemudaratanlah didahulukan daripada memperoleh kemaslahatan. Adapaun dampak
perkawinan yang tidak dicatat itu antara lain suami istri tersebut tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah
menurut agama dan Negara.
28
Secara administratif, perkawinan dikatakan sah jika dilakukan dengan mengikuti prosedur yang sesuai dengan Undang-undang. Sebagaimana
terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Dalam BAB II Pencatatan Perkawinan, pasal 2 dikatakan:
29
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
27
R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 2 ayat 2, h. 538.
28
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia Jakarta : Kencana, 2006, cet. Pertama, h. 51.
29
Beni Ahmad Saebani dan Syamsul Falah, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Bandung : Pustaka Setia, 2011, Cet. Pertama, h. 107.
27
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaanya itu selain agama Islam, dilakukan
oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan. 3. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tatacara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagi peraturan yang berlaku, tatacara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan pasal 9 peraturan pemerintah ini. Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Presiden Republik Indonesia berbunyi :
1. Setiap orang yang akan melangsukan perkawinan memberitahukan kehendak itu kepada pegawai pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10
sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilansungkan. 3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.
Pencatatan perkawinan ini walaupun di dalam Undang-undang Perkawinan UUP hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya dalam
masalah pencatatan ini sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan
dengan pencatatan. Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum
28
yang menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah tidaknya suatu perkawinan.
30
Tata cara pemberitahuan rencana perkawinan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh calon mempelai, atau oleh orang tua atau wakilnya
Pasal 4. Hal-hal yang diberitahu kepada petugas meliputi: nama, umur, agamakepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai, dan
apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama istri atau suaminya terdahulu Pasal 5. Dengan pemberitahuan ini, untuk
menghindari kemungkian terjadinya penyimpangan atau pemalsuan identitas, atau mengantisipasi kalau diantara calon mempelai terdapat halangan
perkawinan.
31
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1974 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Menjelaskan:
32
1. Pegawai pencatat
yang menerima
pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut
Undang-undang. 2. Selain penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat 1, pegawai
pencatat meneliti pula :
30
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam Dari Fikih, UU No 11974 sampai KHI
Jakarta : Kencana, 2004, Cet. Ke-3, h. 123.
31
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013, Cet. Pertama, h. 95.
32
Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-undang Perdata Islam Peraturan pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,
Jakarta: Rajawali, 2008
ed. Revisi-2, PP No 9 tahun 1974, h. 548.
29
a. Kutipan akta kelahiran atau surat lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat surat kenal lahir, dapat
dipergunakan keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang singkat dengan
itu : b. Keterangan mengenai nama, agamakepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai : c. Izin tertulisizin pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat2,
3, 4 dan 5 undang-undang apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun :
d. Izin pengadilan sebagai dimaksud pasal 4 Undang-undang : dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri :
e. Dispenasi pengadilanpejabat sebagai dimaksud pasal 7 ayat 2 Undang-undang ;
f. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua
kalinya atau lebih ; g. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Mentri HANKAM
PANGAB apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya anggota angkatan bersenjata ;
h. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya tidak
30
dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Adapun manfaat represif akta nikah adalah sebagai berikut. Bagi suami istri yang karena sesuatu hal perkawinannya tidak dibuktikan dengan akta
nikah, Kompilasi Hukum Islam memberi solusi kepada mereka untuk mengajukan permohonan Itsbat penetapan nikah kepada Pengadilan Agama.
hal ini dimaksudkan untuk membantu masyarakat, agar di dalamnya melangsungkan perkawinan tidak hanya mementingkan aspek-aspek hukum
fikih saja, tetapi aspek-aspek keperdataanya juga diperhatikan secara seimbang. Jadi, pencatatan adalah merupakan bentuk usaha pemerintah untuk
mengayomi warga masyarakat demi terwujudnya ketertiban dan keadilan.
33
Apabila diperhatikan ayat Mudayanah QS Al- Baqarah 2 :282 mengisyaratkan bahwa adanya bukti otentik sangat diperlukan untuk menjaga
kepastian hukum. Bahkan redaksinya dengan tegas menggambarkan bahwa pencatatan didahulukan daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi
salah satu rukun.
34
Ayat tersebut adalah:
…
33
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia edisi baru, h. 99.
34
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 100.
31
Artinya : “hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. Pada ayat di atas, pencatatan kontrak utang piutang saja sudah
disyariatkan. Dengan demikian, di sini sangat tepat digunakan qiyas aulawi. Bahwasanya jika ditinjau dari berbagai segi, perkawinan yang oleh Al-Qur’an
disebut sebagai perjanjian suci mitsâqan gholîdzan jauh lebih penting untuk diutamakan pencatatannya.
35
Apabila akad hutang piutang atau hubungan kerja yang lain harus dicatatkan, mestinya akad nikah yang begitu luhur, agung, dan sakral lebih
utama lagi untuk dicatatkan. Akad nikah bukanlah muamalah biasa akan tetapi perjanjian yang sangat kuat.
36
Pengamatan ayat diatas nampaklah adanya kemaslahatan yang dicapai, dimana kemaslahatan tersebut merupakan buah pemikiran yang sudah
selayaknya diterapkan demi kepentingan umat. Begitu pentingnya menjaga kemaslahatan perkawinan, karena perkawinan bertujuan membentuk keluarga
sakinah, mawadah wa rahma.
37
Pencatatan perkawinan bertujuan agar adanya kepastian hukum, ketertiban hukum atas perkawinan itu sendiri. Namun demi kemaslahatan dan
35
Ahmad Rofik, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia Yogyakarta : Gama Media, 2001, h. 110-111.
36
Asasriwarni, “kepastian hukum Itsbat Nikah terhadap status perkawinan, anak dan harta perkawinan. Artikel diakses pada 15 April 2015 dari http:www.nu.or.ida,public-
m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38146-lang,id-c,kolom- t,Kepastian+Hukum++Itsbat+Nikah++Terhadap+Status+Perkawinan++Anak+dan+Harta+Pe
rkawinan.
37
Ahmad Mukri Aji, Urgensi Maslahat Mursalah Dalam Dialektika Pemikiran Hukum Islam Bogor : Pustaka Pena Ilahi, 2011, Cet. Pertama, h. 192.
32
menghindari masalah yang kemungkinan akan datang di kemudian hari, orang yang sudah terlanjur melakukan pernikahan namun pernikahannya tidak
dicatatkan di kantor urusan agama KUA dapat mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.
33