Akibat Hukum Itsbat Nikah

20 dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu pasal 42 dan 43 Undang-undang Perkawinan. Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada perkembangan terkini setelah terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU- VIII2010 Tanggal 27 Februari 2012, anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. pasal 43 ayat 1 UUP baru hasil revisi Mahkamah Konstitusi. Ketiga, baik anak maupun ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan. Akibatnya, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya. Harta yang didapat dalam perkawinan di bawah tangan hanya dimiliki oleh masing- masing yang menghasilkannya, karena tidak adanya harta bersama. 16 Perkawinan yang tidak mempunyai akta nikah, terlepas dari apa penyebabnya, harus ada jalan keluarnya yang terbaik antara lain melalui itsbat nikah, Namun jika itsbat nikah tidak diterima sangat banyak umat Islam yang kehilangan hak-hak keperdataannya seperti untuk mendapat tunjangan gaji bagi istri dan anaknya, atau suami dan anaknya dalam hal salah satunya 16 Endang Ali Ma’sum, Kepastian Hukum Itsbat Nikah Terhadap Status Perkawinan Status Anak dan Status Harta Perkawinan, artikel diakses pada 6 Agustus 2015 dari www.litbangdiklatkumdil.netcomponentjdownload12-2012107-kepastian-hukum-itsbat- nikah-terhadap-status-perkawinan-status-anak-dan-status-harta-perkawinan . 21 pegawai negeri atau anggota TNI Polri dan BUMN, tidak bisa mengambil tabungan atas nama istri atau suami yang meninggal lebih dahulu.

D. Hubungan Itsbat Nikah Dengan Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat Negara terhadap perkawinan. Dalam hal ini pegawai Pencatat Nikah yang melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon suami dan calon istri. 17 Pencatatan merupakan hukum keluarga baru yang berlaku di Negara- negara muslim. Semua mewajibkan pencatatan perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara masing-masing. Pencatatan ini, kendatipun bukan merupakan rukun nikah, tetapi dianggap sangat penting untuk pembuktian pernikahan yang sah yang dilakukan oleh seseorang. Selain dari perkawinan itu sendiri harus dicatat, surat-surat keterangan, formulir yang telah diisi dan ditandatangani para pihak harus disimpan, didokumentasikan untuk kepentingan pembuktian kalau timbul keraguan atau masalah kemudian hari. 18 Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam maupun perkawianan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. 17 Siti Musdah Mulia, Membangun Keluarga Humanis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu Jakarta : Graha Cipta, 2005, Cet. Pertama, h. 38. 18 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Dan Peradilan Agama Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1997, Cet. Pertama, h. 98. 22 Pencatatan perkawinan merupakan upaya untuk menjaga kesucian mitsâqan gholîdzan aspek hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. 19 Pentingnya pencatatan nikah ini dikemukakan oleh Fatwa mantan Syekh Azhar Guru Besar Dr. Jaad al- Haq ‘Ali Jaad al-Haq tentang al- zawajal-‘urfy adalah sebuah pernikahan yang tidak tercatat sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syekh Jaad al-had mengklasifikasikan ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua katagori, yaitu peraturan syara’ dan peraturan yang bersifat al-tawtsiqiy. 20 a. Peraturan syara’ yaitu peraturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan. Peraturan ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh syari’at Islam seperti yang telah dirumuskan oleh para fukaha dari berbagai mazhab yang pada intinya adalah kemestian adanya ijab dan Kabul dari masing-masing dua orang yang berakad wali dan calon suami yang diucapkan pada majelis yang sama, dengan menggunakan lafal yang menunjukan telah terjadinya ijab dan kabul yang diucapkan oleh masing-masing dari dua orang yang mempunyai kecakapan untuk melakukan akad menurut hukum syara’ serta dihadiri oleh dua orang saksi yang telah baligh berakal lagi beragama Islam. Dua orang saksi itu disyaratkan mendengarkan sendiri secara langsung lafal ijab dan Kabul tersebut. Dan mengerti tentang isi ijab dan kabul itu serta syarat-syarat yang lainnya seperti yang telah dibentangkan dalam kajian fiqih. 21 19 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, Cet, Pertama, h. 26. 20 Alimudin, “Kepastian Hukum Itsbat Nikah dan fenomena social”. artikel diakses pada tanggal 26 april 2015 dari http:www.badilag.netartikelpublikasiartikelkepastian- hukum-itsbat-nikah-dan-fenomena-sosial 21 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer Jakarta : Kencana, 2014, cet. Ke-2, h. 33. 23 b. Peraturan yang bersifat tawtsiqiy adalah peraturan tambahan dengan tujuan agar pernikahan dikalangan umat Islam tidak liar, tetapi tercatat pada buku register Akta Nikah yang dibuat oleh pihak yang berwenang untuk itu yang diatur dalam peraturan perundangan administrasi Negara. Kegunaanya agar sebuah lembaga perkawinan yang merupakan tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam dapat dilindungi dari adanya upaya-upaya negatif dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. 22 Namun demikian menurut fatwa Jad al-Haq Ali Jaad al-Haq, tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syar’î nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukun seperti diatur dalam Syari’at Islam. Fatwa Syekh Al-Azhar tersebut, tidak bermaksud agar seseorang boleh dengan seenaknya saja melanggar undang-undang di suatu Negara, sebab dalam fatwa itu beliau tetap mengingatkan pentingnya pencatatan nikah, beliau mengingatkan agar pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Beliau juga menegaskan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur pernikahan adalah hal yang mestinya dilaksanakan setiap muslim yang mengadakan perkawinan, sebagai antisipasi bilamana diperlukan berurusan dengan lembaga peradilan. Misalnya jika dikemudian hari salah satu dari suami istri mengingkari perkawinan atau pengingkaran itu muncul ketika akan membagi harta warisan di antara ahli waris. Menurut Wahbah Al-Zulaily dalam karyanya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, dengan tegas membagi syarat nikah kepada syarat syar’î dan 22 Satria Effendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontenporer, h. 33.