Pertimbangan Hakim DESKRIPSI PENETAPAN PERKARA NOMOR 094Pdt.P2013PA.

37 Bahwa dari keterangan saksi-saksi tersebut telah ditemukan fakta yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : 1. Bahwa Pemohon I dengan Pemohon II telah menikah sebagai suami istri 2. Bahwa kedua saksi tidak tahu siapa yang menjadi wali nikah, berapa maharnya dan saksi nikah serta apakah pernikahan tersebut dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam syariat Islam 3 ; Bahwa Pernikahan hanya sah menurut hukum apabila dilangsugkan dengan memenuhi syarat dan rukun nikah sebagaimana diatur dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam ; untuk melaksanakan perkawinan harus ada : 4 1. Calon suami, 2. Calon istri, 3. Wali nikah; 4. Dua orang saksi dan 5. Ijab dan kabul. Bahwa kedua orang saksi yang diajukan para Pemohon keterangan yang diberikan tidak memiliki sumber pengetahuan yang jelas sehingga keterangan saksi tidak sah sebagai alat bukti karena tidak memenuhi syarat materil sebagaimana ketentuan pasal 171 ayat 1 HIR, Pasal 1907 ayat 1 3 Lihat Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 094Pdt.P2013PA. JS, h.73-74. 4 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: CV Akademika Pressindo,2010, cet. Ke-4, h. 116. 38 KUHPerdata. Oleh karena nya keterangan saksi tidak dapat mendukung bukti lainnya untuk mendukung kebenaran dalil permohonan pemohon ; Saksi ialah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Bukti saksi diatur dalam Pasal 168-172 HIR. 5 Keterangan-keterangan yang dikemukakan seseorang sebagai saksi merupakan kesaksian itu harus benar-benar keterangan tentang hal-hal atau peristiwa-peristiwa yang dilihat dan atau dialami sendiri dan harus pula beralasan. Apabila seseorang saksi mengemukakan keterangan tentang pendapat atau perkiraan, apalagi dengan tidak beralasan dan kesimpulannya sendiri adalah tidak dibolehkan. Demikian dapat disimpulkan dari keterangan pasal 171 HIR 1 pasal 1907 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi; 6 A. Pasal 171 ayat 1 HIR, yang berbunyi : dalam tiap-tiap penyaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi. B. Pasal 1907 ayat 1 KUH Perdata, berbunyi: Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya itu. Akan tetapi, meskipun rumusannya agak berbeda, namun maksudnya adalah sama, yaitu : 5 Kamarusdiana, Hukum Acara Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013, h. 179. 6 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata Bandung : PT. Alumni, 2004, Cet. ke-2, h. 59. 39 a. Keterangan yang diberikan saksi harus memiliki landasan pengetahuan, b. Landasan pengetahuan merupakan sebab atau alasan pengetahuan yang diterangkannya, c. Keteranganya yang tidak memiliki sebab alasan yang jelas, tidak memenuhi syarat materil sebagai alat bukti saksi. 7 Setiap kesaksian harus juga berisi segala sebab pengetahuan. Pendapat-pendapat atau persangkaan yang disusun dengan kata akal bukan kesaksian. 8 Tidaklah cukup kalau saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya. Ia harus menerangkan bagaimana ia sampai dapat mengetahuinya. 9 Adapun yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan- alasan apa sebabnya, dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan atau sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian pasal 171 ayat 2 H.I.R.. 10 Bahwa sesuai ketentuan Pasal 163 HIR maka majelis berpendapat Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat membuktikan dalil permohonannya 7 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Jakarta : Sinar Grafika, 2005, Cet. Pertama, h. 651. 8 Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama Dalam Kerangka Fiqh Al-Qadha Jakarta : Rajawali Pers, 2012, ed 1, Cet. Pertama, h.60. 9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2006, Cet. Pertama, h. 169. 10 NY.Retnowulan Sutantio, dan Iskandar Oeripkartawinta, Hukum Acara Perdata Dalam Teori Dan Praktek Bandung : Mandar Maju, h. 70. 40 karena patut ditolak; ketentuan ini didasarkan kepada Pasal 163 HIR, Pasal 263 R.Bg, dan pasal 1685 KUH Perdata yang dapat disimpulkan bahwa siapa yang mendalilkan atau mengemukakan suatu peristiwa atau kejadian, atau juga hak, maka kepadanya dibebankan kewajiban untuk membuktikannya. Asas ini merupakan asas umum dalam hal pembuktian, karena logis dulu dibebankan beban pembuktian dan juga karena penggugat lebih tahu dan lebih berkepentingan mengenai apa yang disengketakan. 11 Bahwa berdasarkan pasal 89 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang dirubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 yang dirubah lagi perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009, penggugat dibebani untuk membayar biaya yang timbul akibat perkara ini.

C. Penetapan Hakim

1. Pengertian penetapan Penetapan disebut al-isbat Arab atau beschiking Belanda, yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan yang sesungguhnya, yang diistilahkan jurisdiction voluntaria. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena di sana hanya ada pemohon, yang memohon untuk ditetapkan tentang sesuatu, sedangkan ia tidak perkara dengan lawan. Karena penetapan itu muncul sebagai produk Pengadilan atas permohonan pemohon yang tidak berlawan maka diktum penetapan tidak akan pernah berbunyi 11 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama Jakarta : Kencana, 2005, Cet. 5, h. 234. 41 menghukum melainkan hanya bersifat menyatakan declaratoire atau menciptakan constitutoire. 12 Menurut Gemala Dewi seperti yang di kutib oleh bukunya Erfaniah Zuhriah, ia mengataan bahwa penetapan ialah pernyatan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh Hakim dalam sidang terbuka bentuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonanvoluntair. 13 2. Bentuk dan Isi Penetapan Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan putusan, yang membedakannya adalah sebagai berikut : a. Hanya mengandung satu pihak yang berperkara. b. Tidak ada kata “berlawan dengan” seperti pada putusan. c. Tidak ada kata “tentang duduk perkara” seperti pada putusan, melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon. d. Amarnya hanya berbentuk declaratoir atau konstitutif. e. Menggunakan kata “menetapkan”. f. Biaya perkara selalu dibebanan kepada pemohon. g. Tidak ada reconventive dan intervensi. h. Tidak mempunyai kekuatan pembuktian dan kekuatan eksekusi. 12 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003, Cet. 10, h. 203. 13 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Di Indonesia Dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut t.t., : UIN-Malang Press, 2008, h. 278. 42 3. Kekuatan Hukum Penetapan Putusan volunter hanya mempunyai kekuatan hukum sepihak, pihak lain tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti kebenaran hal-hal yang dideklarasikan dalam putusan volunter, karena itu pula maka putusan volunter tidak mempunyai kekuatan hukum sebagai pembuktian. 14 Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam memutuskan perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas fakta yang terungkap di persidangan untuk itu hakim harus menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai kepastian hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim menetapkan perkara Nomor 094Pdt.P2013PA. JS : a. Menolak permohonan Pemohon I dan Pemohon II; b. Membebankan Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp. 316.00,- tiga ratus enam belas ribu rupiah; Demikianlah ditetapkan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada hari Senin tanggal 24 Juli 2013 M, bertepatan dengan tanggal 15 Syakban 1434 H. 14 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Mahkamah Syar’iyah Jakarta : Sinar Grafika, 2009, cet. Pertama, h. 123.