Komunikasi Antarbudaya Dan Hubungan Yang Harmonis (Studi Korelasional tentang Peranan Komunikasi Antarbudaya dalam Menjalin Hubungan yang Harmonis antara Etnis Tamil dan Non Tamil di Kelurahan Polonia

(1)

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN HUBUNGAN YANG HARMONIS (Studi Korelasional tentang Peranan Komunikasi Antarbudaya dalam Menjalin Hubungan yang Harmonis antara Etnis Tamil dan Non Tamil di

Kelurahan Polonia)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi

Disusun oleh:

PINA PANDUWINARSIH 060904048

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI INI DISETUJUI UNTUK DIPERTAHANKAN OLEH: NAMA : PINA PANDUWINARSIH

NIM : 060904048

JUDUL :KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN HUBUNGAN YANG HARMONIS

(Studi Korelasional tentang Peranan Komunikasi Antarbudaya dalam Menjalin Hubungan yang Harmonis antara Etnis Tamil dan Non Tamil di Kelurahan Polonia)

Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Hendra Harahap, M.Si. Drs.Amir Purba, M.A

Dekan


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Pada Hari :

Tanggal : Pukul :

Tim Penguji:

1. Ketua :

2. Anggota 1 :


(4)

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini untuk melengkapi syarat memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak menghadapi kesulitan karena keterbatasan dan kemampuan, namun penulis bersyukur dan berterima kasih karena telah mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai pihak yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini. Maka, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Kedua orangtua tercinta, Ayah Ramaras dan Ibu Naumani yang telah mengasihi dan mendukung penulis setiap saat. Semoga penulis dapat membuat Ayah dan Ibu selalu tersenyum bahagia dan bangga.

2. Bapak Prof. Dr. M. Arief Nasution, M.A selaku Dekan FISIP USU.

3. Bapak Drs. Amir Purba, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi. 4. Abang Drs. Hendra Harahap, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu yang sangat banyak dan berbagi ilmu yang sangat berharga selama membimbing penulis.

5. Ibu Dra. Fatma Wardi Lubis,M.A selaku dosen wali penulis.

6. Bapak dan Ibu dosen Ilmu Komunikasi yang telah memberikan bekal pengetahuan selama masa perkuliahan.


(5)

7. Ibu Dra. Dewi Kurniawati selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU beserta Kak Cut, Kak Maya, dan Kak Ros.

8. Kak Hanim, Kak Puan, dan staf Laboratorium Ilmu Komunikasi. 9. Keluarga IEC yang telah sangat membantu selama penelitian skripsi. 10.Ketiga abangku, Hendra, Anand Raj dan Sattya Raj yang telah bersedia

membantu penulis saat membutuhkan dan berbagi suka dan duka. Juga kasih sayang yang begitu besar yang telah diberikan kepada penulis.

11.Keluarga besar penulis dimanapun mereka berada yang terus mendorong penulis untuk menyelesaikan kuliah yang memberikan motivasi yang besar kepada penulis.

12.Anggota Indiego, yaitu Selvia, Nal, Jaswin dan Maler yang telah menjadi sahabat terbaik dan selalu ada saat penulis membutuhkan. Terima kasih atas persahabatan yang indah ini.

13.Anggota Power Rangers, yaitu Christina, Yudhy, Widya, Efron, Flora, Minarno dan Hendra yang telah menjadi sahabat terbaik penulis selama masa perkuliahan yang selalu ada didalam suka maupun duka dan selalu memberikan motivasi dan dukungan yang begitu besar yang membangkitkan semangat penulis, penulis yakin bahwa persahabatan ini tidak akan pernah berakhir selama kita masih bernafas.

14.Sathya Seger, yaitu seorang sahabat yang telah mengisi hari-hariku dengan senyuman dan tawa. Terima kasih atas dukungan dan keyakinan bahwa penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

15.Keluarga Happy Yummy, Jula-jula, Telenovela, Flickazone, dan teman-teman Komunikasi stambuk 2006 yang menjadi teman-teman yang sangat baik


(6)

bagi penulis selama masa perkuliahan. Canda tawa yang dibagi sangat berkesan dan berarti. Penulis merasa sangat senang karena telah menjadi bagian dari stambuk 2006 yang sangat kompak.

16.Semua pengarang buku yang telah memotivasi dan menjadi narasumber bagi.

17.Semua pihak yang turut membantu kelancaran skripsi ini baik disadari ataupun tidak.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini belum mencapai kesempurnaan, namun penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikannya dengan baik. Dengan segala kerendahan hati, penulis bersedia untuk diberikan saran maupun kritik yang sifatnya membangun. Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan berkah kepada kita semua. Terima kasih.

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang I.2 Perumusan Masalah I.3 Pembatasan Masalah

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian I.4.2 Manfaat Penelitian I.5 Kerangka Teori

I.5.1 Teori Komunikasi Antarbudaya I.5.2 Teori Masyarakat Majemuk I.5.3 Teori Etnosentrisme

I.5.4 Teori Hubungan yang Harmonis I.6 Kerangka Konsep

I.7 Model Teoritis I.8 Operasional Variabel I.9 Definisi Operasional I.10 Hipotesis

BAB II URAIAN TEORITIS

II.1 Teori Komunikasi dan Komunikasi Antarbudaya II.1.1 Teori Komunikasi

II.1.2 Teori Komunikasi Antarbudaya

II.2 Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Hubungan Antarbudaya di dalam Masyarakat Majemuk

II.2.1 Faktor Pendukung II.2.2 Faktor Penghambat


(8)

II.3 Hubungan Antaretnis di Medan BAB III METODOLOGI PENELEITIAN

III.1 Metode Penelitian

III.2 Deskripsi Lokasi Penelitian III.2.1 Lokasi Penelitian III.2.2 Keadaan Geografis III.2.3 Keadaan Demografis III.2.4 Keadaan Sosial Ekonomi III.2.5 Sarana dan Prasarana III.3 Metode Pengukuran

III.4 Metode Penarikan Sampel III.4.1 Populasi

III.4.2 Sampel

III.5 Teknik Penarikan Sampel III.6 Teknik Pengumpulan Data III.7 Teknik Analisis Data BAB IV ANALISIS DATA

IV.1 Analisis Tabel Tunggal

IV.1.1 Karakteristik Responden

IV.1.2 Peranan Komunikasi Antarbudaya IV.1.3 Hubungan yang Harmonis

IV.2 Analisis Tabel Silang dan Korelasi tentang Interaksi dan Jarak Sosial Antarbudaya yang terjadi di Kelurahan Polonia

IV.2.1 Interaksi Antaretnis di Kelurahan Polonia IV.2.2 Jarak Sosial Antaretnis di Kelurahan Polonia IV.3 Uji Hipotesis

IV.4 Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan

V.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Operasional Variabel

Tabel III.1 Kependudukan Berdasarkan Etnis Tabel III.2 Kependudukan Berdasarkan Usia Tabel III.3 Kependudukan Berdasarkan Agama

Tabel III.4 Kependudukan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tabel III.5 Kependudukan Berdasarkan Pekerjaan

Tabel III.6 Operasionalisasi Variabel Tabel III.7 Tabel Populasi

Tabel III.8 Stratified Propotional Random Sampling

Tabel IV.1 Anggapan Bahwa Budaya yang Dimiliki Lebih Hebat daripada Budaya Lain

Tabel IV.2 Budayanya merupakan Budaya yang Paling Benar/Absolut

Tabel IV.3 Keluarga Sebagai Orang yang Pertama Kali Dimintai Bantuan Saat Kesulitan

Tabel IV.4 Orang dari Sukunya sebagai Orang yang Selalu Membantu dalam Menyelesaikan Masalah

Tabel IV.5 Hanya Mau Mendengar Masukan dari Sukunya

Tabel IV.6 Tidak Bisa Menjalani Hubungan Baik dengan Etnis Lain Tabel IV.7 Merasa Tersaingi dengan Keberadaan Etnis Lain

Tabel IV.8 Bersikap Negatif dengan Etnis Lain

Tabel IV.9 Suku Mayoritas Memiliki Kekuasaan Lebih

Tabel IV.10 Terjadi Tindakan Kesewenangan Karena Adanya Perbedaan Suku Mayortias dan Suku Minoritas

Tabel IV.11 Menghindari Bekerja Sama dengan Etnis Lain Tabel IV.12 Tidak Nyaman Bekerja Sama dengan Etnis Lain

Tabel IV.13 Memposisikan Etnis Lain Sesuai dengan Cerita yang Berkembang Tabel IV.14 Terjadi Kekacauan di Lingkungan yang Disebabkan oleh Etnis

Lain

Tabel IV.15 Etnis Lain sebagai Penyebab Perselisihan


(10)

Tabel IV.17 Sulit Beradaptasi dengan Etnis Lain

Tabel IV.18 Hubungan dengan Etnis Lain Hanya Sebatas Tetangga Tabel IV.19 Menghindar Apabila Dimintai Tolong

Tabel IV.20 Merasa Diperlakukan Tidak Adil di Lingkungan Tabel IV.21 Pernah Mengalami Konflik dengan Etnis Lain Tabel IV.22 Ingin Mempelajari Bahasa dari Etnis Lain

Tabel IV.23 Perbedaan Bahasa Menjadi Kendala dalam Berinteraksi Tabel IV.24 Tertarik dengan Adat Istiadat Etnis Lain

Tabel IV.25 Mendukung dalam Pelaksanaan Acara Kebudayaan Etnis Lain Tabel IV.26 Menghindari Pendapat dari Etnis Lain

Tabel IV.27 Perbedaan Norma/Nilai Menjadi Kendala di Dalam Berinteraksi Tabel IV.28 Perbedaan Sikap dalam Bergaul Mempengaruhi dalam Berinteraksi

dengan Etnis Lain

Tabel IV.29 Sering Berinteraksi dengan Etnis Lain Tabel IV.30 Pernah Bekerja Sama dengan Etnis Lain Tabel IV.31 Mudah Beradaptasi dengan Etnis Lain

Tabel IV.32 Merasa Tertarik dengan Perbedaan Kebudayaan Tabel IV.33 Tertarik dengan Karakter yang Dimiliki Etnis Lain Tabel IV.34 Keadaan Lingkungan Sangat Mendukung Kenyamanan Tabel IV.35 Menghadiri Undangan Pesta dari Etnis Lain

Tabel IV.36 Melayat Tetangga yang Sedang Kemalangan Tabel IV.37 Menjaga Hubungan Baik dengan Etnis Lain

Tabel IV.38 Mau Memiliki Suami, Istri atau Menantu dari Etnis Lain Tabel IV.39 Tabel Jarak Sosial Antaretnis di Kelurahan Polonia Tabel IV.40 Koefisien Korelasi Spearman Rho


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar I.1 Model Teoritis

Gambar II.1 Model Komunikasi Antarbudaya Gambar IV.1 Jenis Kelamin

Gambar IV.2 Usia Gambar IV.3 Suku Gambar IV.4 Agama

Gambar IV.5 Interaksi Etnis Jawa dengan Etnis Lain Gambar IV.6 Interaksi Etnis Batak dengan Etnis Lain Gambar IV.7 Interaksi Etnis Tamil dengan Etnis Lain Gambar IV.8 Interaksi Etnis China dengan Etnis Lain


(12)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya dan Hubungan yang Harmonis (Studi Korelasional tentang Peranan Komunikasi Antarbudaya dalam Menjalin Hubungan yang Harmonis antara Etnis Tamil dan Non Tamil di Kelurahan Polonia)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana hubungan antara peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil dengan menggunakan perspektif dari faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam proses komunikasi antarbudaya untuk menciptakan suatu hubungan yang harmonis di Kelurahan Polonia.

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kelurahan Polonia. Kecamatan Medan Polonia yang berusia 15 – 54 tahun, dengan asumsi dalam rentang usia tersebut lebih sering melakukan interaksi sosial dalam kehidupan sehari–hari. Jumlah keseluruhan populasi yang terdaftar di Kelurahan Polonia adalah sebanyak 11.756 orang.

Jumlah sampel yang diambil sebesar 99 orang dengan menggunakan rumus dari Taro Yamane. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik stratifikasi proporsional dan purposive. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan bentuk pertanyaan tertutup sejumlah 63 pertanyaan. Analisis data menggunakan bentuk tabel tunggal lalu dihubungkan menjadi tabel silang. Selanjutnya uji hipotesa dan tes signifikansi. Semuanya dilakukan dengan program SPSS for Windows version 17.0.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terbukti bahwa hubungan antara peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia terdapat hubungan yang rendah.Untuk mengetahui tingkat signifikansi hasil hipotesis, dilakukan dengan menghitung nilai tabel temuan. Nilai tabel untuk masyarakat Kelurahan Polonia adalah 0.021. Nilai signifikansi yang diperoleh pada tabel koefisien korelasi Spearman Rho yaitu: 0.034 yang berarti 96,6%. Dengan demikian, nilai signifikansi temuan (96.6 %) lebih besar dari nilai signifikansi patokan (95 %). Maka, Ho ditolak dan Ha diterima. Maka peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia adalah signifikan.


(13)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Komunikasi Antarbudaya dan Hubungan yang Harmonis (Studi Korelasional tentang Peranan Komunikasi Antarbudaya dalam Menjalin Hubungan yang Harmonis antara Etnis Tamil dan Non Tamil di Kelurahan Polonia)

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana hubungan antara peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil dengan menggunakan perspektif dari faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam proses komunikasi antarbudaya untuk menciptakan suatu hubungan yang harmonis di Kelurahan Polonia.

Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat di Kelurahan Polonia. Kecamatan Medan Polonia yang berusia 15 – 54 tahun, dengan asumsi dalam rentang usia tersebut lebih sering melakukan interaksi sosial dalam kehidupan sehari–hari. Jumlah keseluruhan populasi yang terdaftar di Kelurahan Polonia adalah sebanyak 11.756 orang.

Jumlah sampel yang diambil sebesar 99 orang dengan menggunakan rumus dari Taro Yamane. Teknik penarikan sampel menggunakan teknik stratifikasi proporsional dan purposive. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan bentuk pertanyaan tertutup sejumlah 63 pertanyaan. Analisis data menggunakan bentuk tabel tunggal lalu dihubungkan menjadi tabel silang. Selanjutnya uji hipotesa dan tes signifikansi. Semuanya dilakukan dengan program SPSS for Windows version 17.0.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa terbukti bahwa hubungan antara peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia terdapat hubungan yang rendah.Untuk mengetahui tingkat signifikansi hasil hipotesis, dilakukan dengan menghitung nilai tabel temuan. Nilai tabel untuk masyarakat Kelurahan Polonia adalah 0.021. Nilai signifikansi yang diperoleh pada tabel koefisien korelasi Spearman Rho yaitu: 0.034 yang berarti 96,6%. Dengan demikian, nilai signifikansi temuan (96.6 %) lebih besar dari nilai signifikansi patokan (95 %). Maka, Ho ditolak dan Ha diterima. Maka peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia adalah signifikan.


(14)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis (suku bangsa) dan keyakinan agama. Pada satu sisi, kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada sisi yang lain, pluralitas kultural tersebut memiliki potensi terjadinya disintegrasi atau perpecahan bangsa. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku, agama, ras dan antara golongan (SARA), meskipun sebenaranya faktor–faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan– persoalan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik (Rahardjo, 2005 : 1).

Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air.

Menjelang akhir pemerintahan Orde Baru pada tahun 1997, banyak terjadi konflik sosial di Indonesia, baik konflik yang bersifat horizontal maupun konflik yang bersifat vertikal. Konflik horizontal, antara lain peristiwa perusakan toko-toko milik warga keturunan Tionghoa di berbagai kota, seperti Jakarta, Medan,


(15)

dan kota-kota lainnya di Indonesia. Konflik antar umat beragama di Ambon, konflik antar etnik di Sambas, dan terjadinya konflik antar pemuda dan antar desa di berbagai tempat di Indonesia. Sedangkan konflik yang bersifat vertikal, yaitu konflik antara masyarakat dengan aparat pemerintah, seperti terjadinya pembakaran kantor polisi, pengrusakan kantor DPRD, dan yang paling mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia adalah adanya pergolakan di daerah Papua dan Aceh yang menghendaki kemerdekaan.

Masyarakat di kota Medan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama merupakan daerah yang rawan akan terjadinya konflik sosial. Namun sampai saat ini, konflik sosial yang terjadi di Medan masih berada pada batas-batas kewajaran. Perkelahian antar kelompok pemuda yang pernah terjadi di Medan, dengan segera dapat diatasi pihak keamanan. Terjadinya berbagai peristiwa peledakan bom di Gereja dan tempat-tempat lain di kota Medan, ternyata tidak menyebabkan terjadinya konflik sosial yang bersifat terbuka pada masyarakat.

Kondisi yang tampak dipermukaan, menunjukkan bahwa masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun, dengan pengertian tidak terjadi pertentangan atau konflik secara terbuka. Peristiwa konflik sosial, adakalanya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Bahkan ada kemungkinan, sebagian besar konflik sosial yang terjadi di masyarakat merupakan proses yang panjang; mungkin diawali dengan terjadinya salah faham antar individu, berkembang menjadi sikap antipati antar kelompok, dan dalam perkembangan selanjutnya meningkat menjadi konflik sosial. Kondisi


(16)

tersebut bisa diperburuk ketika masyarakat yang berkonflik dipengaruhi oleh sikap “etnosentrisme.”

Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai-nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentrisme menyebabkan adanya prasangka dalam setiap etnis yang dapat memandang orang dari kelompok etnis lain sebagai barbar, kafir dan tidak mempunyai peradaban. Etnosentrisme dapat membangkitkan sikap “kami” dan “mereka”, lebih khusus dapat membentuk subkultural–subkultural yang bersumber dari suatu kebudayaan yang besar Etnosentrisme sangat berpengaruh dalam komunikasi antarbudaya, misalnya meningkatkan kecenderungan untuk memilih dengan siapa anda berkomunikasi (Liliweri, 2004 : 138).

Untuk menghindari muculnya konflik yang disebabkan etnosentrisme dan faktor-faktor penyebab konflik lainnya, dibutuhkan komunikasi yang efektif didalam masyarakat multikultural. Hal ini dapat membantu terbentuknya hubungan yang harmonis didalam suatu masyarakat. Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dan interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya.

Masyarakat Keluarahan Polonia merupakan masyarakat yang terdiri dari beberapa etnis dan agama. Masyrakat ini mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia yang multietnis dan memiliki keanekaragaman budaya. Mereka juga hidup seperti halnya masyarakat lainnya dengan saling ketergantungan, saling


(17)

menghargai dan menghormati, saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lain. Terdapat beberapa etnis yang termasuk kedalam ingroup atau etnis mayoritas yaitu etnis Jawa, Batak, Sunda, Minangkabau dll. Selain itu ada juga etnis minoritas yaitu etnis Tamil, Cina, Punjabi dll .

Suku Tamil adalah sebuah kelompok etnis yang berasal dari Komunitas Tamil yang paling tua berasal dari bagian timur laut. Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah Malah nama Indonesia sendiri berasal dari yang secara harafiah berarti 'Kepulauan India'. Ada beberapa kelompok suku India-Indonesia yang telah lama menetap di kelompok suku masyarakat didatangkan oleh pemerintah kolonia perkebunan yang dibuka di daerah tersebut. Suku Tamil di Indonesia dianggap sebagai Keturunan asing pada masa orde baru dan kini telah disahkan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia atau disebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Saat ini diperkirakan ada sekitar 70.000 warga keturunan Tamil India yang bermukim di Medan (

Masyarakat Tamil masih berpegang teguh terhadap budaya dan adat istiadat mereka. Mereka memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat yang sampai sekarang masih dijalankan oleh Masyarakat Tamil di kota Medan maupun di kota–kota besar lainnya di Indonesia. Ada beberapa kebudayaan Tamil yang dilaksanakan masyarakat Hindu tamil yang tidak asing lagi bagi masyarakat


(18)

kota Medan seperti perayaan Adhi Tiruvilla (Upacara tolak bala) dan Navaratri (penghormatan kepada tiga dewi yaitu Dewi Durga, Dewi Laksmi dan Dewi Saraswathi). Pada perayaan–perayaan ini biasanya warga Tamil melakukan arak-arakan mengelilingi kota dan tidak sedikit etnis non-Tamil yang ikut menyaksikan perayaan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan antara etnis Tamil dan etnis non-Tamil yang saling mendukung dan mau ikut serta dalam perayaan kebudayaan dan perayaan keagamaan tersebut walaupun hanya dengan menyaksikannya.

Tersedianya tempat–tempat ibadah seperti Gereja, Masjid, Kuil, Pura, Vihara dan Guruduwara di Kelurahan Medan Polonia menunjukkan bahwa adanya kesetaraan dalam pembangunan tempat–tempat agama. Dan adanya saling menghormati sehingga tetap terjadi kerukunan antar umat agama sehingga eksistensi tempat–tempat beribadah dan umat–umatnya tetap terjaga. Hal ini menunjukkan bagaimana setiap etnis di Kelurahan Medan Polonia baik etnis Tamil maupun etnis non-Tamil dapat menjaga harmonisasi diantara etnis yang berbeda.

Keharmonisan membawa kebahagiaan, sebaliknya ketidakharmonisan menciptakan banyak persoalan. Dalam suasana harmonis, damai, tentram secara fisik sangat mendukung terciptanya ketentraman internal (Suamba, 2003 : 38). Masyarakat Tamil dalam filsafat Hindu percaya bahwa keharmonisan diri dengan alam dan lingkungan sekitar merupakan bagian dari keagamaan yang harus dilaksanakan. Karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat hidup tanpa alam sekitar. Jadi harus adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya.


(19)

Dalam kemajemukannya, masyarakat Kelurahan Polonia tetap dapat menjaga integrasi bangsa. Semua suku tetap mempertahankan identitas masing– masing tanpa harus adanya etnosentrisme atau menjadi lawan dari suku lainnya. Mereka tetap dapat bekerjasama di dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti sejauhmana peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis di antara Etnis Tamil dan Non-Tamil di Kelurahan Polonia, karena hubungan yang harmonis bisa saja terjadi karena besarnya toleransi dan keterbukaan diri suku mayoritas dan juga bisa saja dikarenakan kerendahan hati suku Tamil sehingga mereka mau beradaptasi dengan suku mayoritas melalui peranan komunikasi antarbudaya di dalam masyarakat tersebut.

Pemilihan lokasi penelitian ini setelah penulis mengetahui bahwa di Keluarahan Polonia ini, masyarakat heterogen, terdiri dari etnis Tamil dan Non-Tamil dan terjadi pembauran diantara mereka. Selain itu keberadaan masyarakat Tamil di Kelurahan Polonia termasuk salah satu pemukiman masyarakat Tamil yang cukup besar. Selain itu Kelurahan Polonia daerah pintu gerbang Kota Medan, yang merupakan pintu masuk dari daerah lainnya baik Regional maupun Internasional melalui transportasi udara karena terdapat Bandara Internasional Polonia sebagai pelabuhan udara yang mampu dilandasi jenis pesawat berbadan lebar seperti Air Bus dan mempunyai jalur penerbangan keberbagai daerah/kota secara Regional maupun Internasional. Dengan adanya Bandara International Polonia ini menjadikan lokasi ini penting sebagai gerbang Kota Medan dan masyarakatnya sebaiknya menjaga keharmonisan agar dapat menjadi contoh yang


(20)

baik untuk kelurahan–kelurahan lainnya. Hal ini juga yang menjadi alasan peneliti memilih Kelurahan Polonia sebagai Lokasi Penelitian.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

• Sejauhmanakah komunikasi antarbudaya berperan dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia?

• Bagaimanakah keadaan komunikasi antarbudaya yang dialami oleh komunikator dan komunikan dari etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia?

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti perlu membuat pembatasan masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah yang ditetapkan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Responden yang dipilih adalah penduduk Kelurahan Polonia, yang terdiri dari Etnis Tamil dan non Tamil.

2. Studi korelasional tentang peran komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis hanya dilakukan penelitiannya di Kelurahan Polonia dan dibatasi pada penduduk kelurahan Medan Polonia yang berusia 15 – 54 tahun.

3. Etnis Tamil dan etnis China merupakan etnis pendatang, sedangkan etnis Non Tamil lainnya merupakan etnis lokal.


(21)

4. Penelitian dibatasi hanya sampai kepada faktor yang menjadi latar belakang terjalinnya hubungan yang harmonis di Kelurahan Polonia.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peranan unsur–unsur komunikasi dalam menyumbangkan

efektifitas komunikasi antarbudaya.

2. Mengetahui keadaan komunikasi antarbudaya yang dialami oleh komunikator dan komunikan dari etnis yang berbeda.

3. Mengetahui perbedaan persepsi etnis yang berbeda yang menimbulkan stereotip pada etnis Tamil dan non Tamil.

4. Mengetahui peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia. I.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi khususnya komunikasi antarbudaya sebagai bagian dari ilmu komunikasi.

2. Secara Akademis, penenlitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian di departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya mengenai komunikasi antarbudaya yang juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembacanya.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masalah-masalah antarbudaya, khususnya peningkatan sosial di kota


(22)

Medan, maupun masyarakat lainnya yang memiliki keragaman budaya dan etnik sehingga dapat memelihara hubungan yang harmonis sesama masyarakat.

I.5 Kerangka Teori

Rancangan penelitian yang baik dan memenuhi standar ilmiah haruslah menyertakan kajian teori atau perspektif teoritik yang dipandang relevan untuk membantu memahami atau menjelaskan fenomena sosial yang diteliti (Bungin, 2007:45).

Sedangkan Kerlinger menjabarkan pengertian teori sebagai suatu himpunan constuct (konsep) defenisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Rakhmat, 1998 : 6)

Dalam penelitian ini teori yang digunakan agar permasalahan lebih jelas adalah sebagai berikut:

I.5.1 Teori Komunikasi Antarbudaya

Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.

Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi antarbudaya sebagai berikut:


(23)

Gambar I.1

Model Komunikasi Antarbudaya

Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998 : 21

Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B.

Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini

Budaya A Budaya B


(24)

menunjukkan dua hal. Pertama, ada pengaruh–pengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan sesuatu kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang–orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat–sifat yang berbeda.

Penyandian dan penyandian balik pesan antarbudaya dilukiskan oleh panah–panah yang menghubungkan budaya–budaya itu. Panah–panah ini menunjukkan pengiriman pesan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Ketika suatu pesan meninggalkan budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna yang dikehendaki oleh penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya yang mengandung pola yang sama seperti pola yang ada dalam individu penyandi. Ketika suatu pesan sampai pada budaya dimana pesan itu harus disandi balik, pesan itu mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya penyandi balik (decoder) telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam pesan yang asli telah berubah selama fase penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya, oleh karena perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki decoder tidak mengandung makna–makna budaya yang sama seperti yang dimiliki encoder.

Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi–interaksi antara orang–orang yang berbeda secara ekstrem hingga interaksi–interaksi antara orang–orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur dan subkelompok yang berbeda (Mulyana dan Rakhmat, 1998 : 20).


(25)

I.5.2 Teori Masyarakat Majemuk

Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok atau strata sosial, ekonomi, suku, bangsa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan–rintangan yang sistematik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk, 2002:107). Masyarakat majemuk menurut KBBI, ialah masyarakat yang terbagi dalam kelompok persatuan yang sering memiliki budaya yang berbeda.

S.Furnivall merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep masyarakat majemuk berdasarkan kajiannya di Indonesia dan Burma. Menurutnya ciri utama masyarakat majemuk adalah kehidupan masyarakat yang berkelompok–kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka terpisah– pisah karena perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuat unit politik (Liliweri, 2004: 166).

Ciri–ciri masyarakat majemuk menurut Furnivall adalah:

1. Walaupun kelompok – kelompok yang tergabung dalam satu masyarakat itu berada dalam satu sistem politik yang sama, tetapi kehidupan mereka sendiri – sendiri.

2. Interaksi sosial antar kelompok kurang sekali, dan reaksi yang terjadi cenderung terbatas pada sektor ekonomi saja.

3. Suatu campuran berbagai kelompok manusia itu dikatakan muncul akibat denominasi kolonialisme.


(26)

4. Tidak ada atau lemah dalam “common sense will” atau keinginan akan kebersamaan sosial, yaitu suatu perangkat nilai – nilai yang disepakati warga masyarakat untuk member panduan dan mengontrol tingkah laku warga masyarakatnya (Lubis, 1993:34).

I.5.3 Teori Etnosentrisme

Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbuadaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme, pandangan hidup, nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip.

Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolut dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain.


(27)

Poortinga (dalam Liliweri, 2001 :173) menyatakan bahwa ada 3 faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi antarbudaya, yaitu :

a. Stereotip

Streotip berasal dari kecenderungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang ke dalam kategori tertentu yang bermakna. Streotip berkaitan dengan konstruksi citra yang telah ada dan terbentuk secara turun–temurun. Ia tidak hanya mengacu pada citra negatif tetapi juga positif.

b. Jarak sosial

Jarak Sosial adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang berbeda tingkat peradabannya dengan orang lain atau masyarakat lain meskipun itu berada dalam zaman atau masa yang sama. Jarak sosial membedakan kelompok-kelompok masyarakat secara horizontal berdasarkan jarak peradabannya.

c. Diskriminasi

Diskriminasi adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur atau karakteristik yang lain.


(28)

I.5.4 Teori Hubungan yang Harmonis

Hubungan yang harmonis merupakan suatu pertalian/persahabatan dan kontak yang dilakukan antara anggota–anggota masyarakat yang mana mereka saling bersangkutan dalam suatu hubungan yang selaras dan serasi dalam hidup bermasyarakat, bertetangga, berteman, bersaudara dan sebagainya.

Berikutnya, faktor–faktor yang mendukung terjalinnya hubungan yang harmonis adalah sebagai berikut:

a. Imitasi

Imitasi atau meniru adalah suatu proses maupun aksi seperti yang dilakukan oleh sebagai penerim mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan melakukan

b. Sugesti

Sugesti adalah pengaruh yang diberikan orang lain atau kelompok lain mengenai pandangan hidup, sikap, dan perilaku tertentu yang diterima tanpa dipikirkan secara kritis akibatnya-akibatnya. Pengaruh sugesti ini sangat kuat jika berasal dari orang-orang yang berwibawa atau berpengaruh dalam masyarakat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan emosi, stress, sedih, atau tertekan biasanya akan mudah terpengaruh oleh sugesti.

c. Identifikasi

Identifikasi merupakan usaha seseorang untuk menjadi sama persis dengan orang lain, sifatnya lebih mendalam dari pada yang dilakukan dalam


(29)

imitasi. Atau bisa juga diartikan sebagai dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Proses identifikasi mula–mula berlangsung secara tidak sadar (dengan sendirinya), kemudian irrasional, yaitu berdasarkan kecenderungan– kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan berguna untuk melengkapi sistem–sistem norma, cita–cita dan pedoman– pedoman tingkah laku orang yang mengindentifikasi itu (Ahmadi, 1991 : 63).

d. Simpati

Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaaan sebagaimana proses identifikasi. Simpati menghubungkan seseorang dengan orang lain (Gerungan, 2004 : 74). e. Empati

Empati diidefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karen kepercayaan dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sebagai kajian multikultural meruapakan suatu penyelidikan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan hambatan kultural dapat diatasi dengan cara menempatkan diri pada posisi lawan bicara (Puwasito, 2003: 182).


(30)

I.6 Kerangka Konsep

Teori–teori yang dijadikan landasan pada kerangka teori harus dapat menghasilkan beberapa konsep yang disebut dengan kerangka konsep. Menurut Nawawi (1995: 40) kerangka konsep merupakan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Agar konsep–konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.

Dalam penelitian ini, ada 3 kategori yang diteliti yaitu: 1. Kategori berdasarkan pelaksanaan komunikasi antarbudaya

Yang kehendak diteliti adalah mengenai faktor–faktor yang menghambat terjadinya komunikasi yang efektif, seperti prasangka yang ditandai dengan adanya stereotip, jarak sosial dan diskrimasi yang sering terjadi diantara individu–individu yang berbeda etnis dan budaya.

2. Kategori berdasarkan terjalinnya hubungan yang harmonis

Yang diteliti dalam kategori ini adalah proses terjalinnya hubungan yang harmonis di dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya imitasi, identifikasi, simpati dan empati.

3. Kategori berdasarkan karakteristik responden

Yaitu sejumlah gejala yang tidak dapat dikontrol tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap proses terjalinnya hubungan yang harmonis didalam masyarakat. Karakteristik responden meliputi, etnis, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, agama, lama tinggal dan pekerjaan.


(31)

I.7 Model Teoritis

Berdasarkan kerangka konsep yang ada, untuk memudahkan kelanjutan penelitian maka akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut:

Gambar I.1 Model Teoritis

I.8 Operasional Variabel

Berdasarkan teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka untuk memudahkan penelitian perlu dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian sebagai berikut:

Tabel I.1

Operasional Variabel

Variabel Teortis Variabel Operasional Komunikasi Antarbudaya • Etnosentrisme

• Prasangka Sosial • Stereotip

Komunikasi Antarbudaya • Etnosentrisme • Prasangka Sosial • Stereotip

• Jarak Sosial • Diskriminasi

Hubungan yang Harmonis • Imitasi

• Identifikasi • Simpati • Empati

Karakteristik Responden • Usia

• Jenis Kelamin • Suku


(32)

• Jarak Sosial • Diskriminasi Hubungan yang harmonis • Imitasi

• Sugesti • Identifikasi • Simpati • Empati Karakteristik Responden • Usia

• Jenis kelamin • Suku • Agama

I.9 Defenisi Operasional

Menurut Singarimbun (1995: 46), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara untuk mengukur suatu variabel.

Dalam penelitian ini, variabel – variabel dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Variabel bebas : Komunikasi Antarbudaya

a.Etnosentrisme adalah suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolut dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain.


(33)

b.Prasangka sosial adalah sikap perasaan orang – orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu.

c.Stereotip adalah suatu sikap atau karakter yang dimiliki oleh untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri dan biasanya bersifat negatif.

d.Jarak sosial adalah perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. e.Diskriminasi antaretnik adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok

yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. 2. Variabel terikat : Hubungan yang Harmonis

a.Imitasi adalah sikap meniru orang lain baik dalam bahasa maupun bertingkah laku.

b.Sugesti adalah pengaruh yang diberikan orang lain mengenai pandangan hidup, sikap dan perilaku.

c.Identifikasi adalah usaha seseorang untuk menjadi sama persis dengan orang lain, sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi.

d.Simpati adalah perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain.

e.Empati adalah sikap membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain.

3. Variabel Antara : Karakteristik Responden a.Usia : Usia responden

b.Jenis Kelamin : Jenis kelamin responden pria/wanita. c.Suku : Suku/etnis responden


(34)

d.Agama : Agama/kepercayaan yang dianut oleh responden I.10 Hipotesis

Hipotesis adalah pernyatuaan yang bersifat dugaan mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Champion, hipotesis adalah penghubung antara teori dengan dunia empiris (Rakhmat, 2004: 14) dan merupakan jawaban sementara atas pertanyaaan penelitian yang kebenarannya akan diuji berdasarkan data yang dikumpulkan.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : Tidak terdapat hubungan peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia.

Ha : Terdapat hubungan peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia.


(35)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang dicirikan oleh adanya keragaman budaya. Keragaman tersebut antara lain terlihat dari perbedaan bahasa, etnis (suku bangsa) dan keyakinan agama. Pada satu sisi, kemajemukan budaya ini merupakan kekayaan bangsa yang sangat bernilai, namun pada sisi yang lain, pluralitas kultural tersebut memiliki potensi terjadinya disintegrasi atau perpecahan bangsa. Pluralitas kultural seringkali dijadikan alat untuk memicu munculnya konflik suku, agama, ras dan antara golongan (SARA), meskipun sebenaranya faktor–faktor penyebab dari pertikaian tersebut lebih pada persoalan– persoalan ketimpangan ekonomi, ketidakadilan sosial dan politik (Rahardjo, 2005 : 1).

Indonesia mencatat puluhan bahkan ratusan perselisihan antar kelompok etnik sejak berdirinya. Meskipun demikian hanya beberapa yang berskala luas dan besar. Selain konflik antara etnik-etnik yang digolongkan asli Indonesia dengan etnis Cina yang laten terjadi, konflik antar etnik yang terbesar diantaranya melibatkan etnik Madura dengan Etnik Dayak di Kalimantan yang terkenal dengan tragedi Sambas dan tragedi Sampit. Konflik-konflik dalam skala lebih kecil terjadi hampir setiap tahun di berbagai tempat di penjuru tanah air.

Menjelang akhir pemerintahan Orde Baru pada tahun 1997, banyak terjadi konflik sosial di Indonesia, baik konflik yang bersifat horizontal maupun konflik yang bersifat vertikal. Konflik horizontal, antara lain peristiwa perusakan toko-toko milik warga keturunan Tionghoa di berbagai kota, seperti Jakarta, Medan,


(36)

dan kota-kota lainnya di Indonesia. Konflik antar umat beragama di Ambon, konflik antar etnik di Sambas, dan terjadinya konflik antar pemuda dan antar desa di berbagai tempat di Indonesia. Sedangkan konflik yang bersifat vertikal, yaitu konflik antara masyarakat dengan aparat pemerintah, seperti terjadinya pembakaran kantor polisi, pengrusakan kantor DPRD, dan yang paling mengancam keutuhan Negara Republik Indonesia adalah adanya pergolakan di daerah Papua dan Aceh yang menghendaki kemerdekaan.

Masyarakat di kota Medan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama merupakan daerah yang rawan akan terjadinya konflik sosial. Namun sampai saat ini, konflik sosial yang terjadi di Medan masih berada pada batas-batas kewajaran. Perkelahian antar kelompok pemuda yang pernah terjadi di Medan, dengan segera dapat diatasi pihak keamanan. Terjadinya berbagai peristiwa peledakan bom di Gereja dan tempat-tempat lain di kota Medan, ternyata tidak menyebabkan terjadinya konflik sosial yang bersifat terbuka pada masyarakat.

Kondisi yang tampak dipermukaan, menunjukkan bahwa masyarakat kota Medan yang terdiri dari berbagai etnis, suku bangsa dan agama dapat hidup rukun, dengan pengertian tidak terjadi pertentangan atau konflik secara terbuka. Peristiwa konflik sosial, adakalanya bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba. Bahkan ada kemungkinan, sebagian besar konflik sosial yang terjadi di masyarakat merupakan proses yang panjang; mungkin diawali dengan terjadinya salah faham antar individu, berkembang menjadi sikap antipati antar kelompok, dan dalam perkembangan selanjutnya meningkat menjadi konflik sosial. Kondisi


(37)

tersebut bisa diperburuk ketika masyarakat yang berkonflik dipengaruhi oleh sikap “etnosentrisme.”

Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai-nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentrisme menyebabkan adanya prasangka dalam setiap etnis yang dapat memandang orang dari kelompok etnis lain sebagai barbar, kafir dan tidak mempunyai peradaban. Etnosentrisme dapat membangkitkan sikap “kami” dan “mereka”, lebih khusus dapat membentuk subkultural–subkultural yang bersumber dari suatu kebudayaan yang besar Etnosentrisme sangat berpengaruh dalam komunikasi antarbudaya, misalnya meningkatkan kecenderungan untuk memilih dengan siapa anda berkomunikasi (Liliweri, 2004 : 138).

Untuk menghindari muculnya konflik yang disebabkan etnosentrisme dan faktor-faktor penyebab konflik lainnya, dibutuhkan komunikasi yang efektif didalam masyarakat multikultural. Hal ini dapat membantu terbentuknya hubungan yang harmonis didalam suatu masyarakat. Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi dan interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya.

Masyarakat Keluarahan Polonia merupakan masyarakat yang terdiri dari beberapa etnis dan agama. Masyrakat ini mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia yang multietnis dan memiliki keanekaragaman budaya. Mereka juga hidup seperti halnya masyarakat lainnya dengan saling ketergantungan, saling


(38)

menghargai dan menghormati, saling menjaga keharmonisan satu dengan yang lain. Terdapat beberapa etnis yang termasuk kedalam ingroup atau etnis mayoritas yaitu etnis Jawa, Batak, Sunda, Minangkabau dll. Selain itu ada juga etnis minoritas yaitu etnis Tamil, Cina, Punjabi dll .

Suku Tamil adalah sebuah kelompok etnis yang berasal dari Komunitas Tamil yang paling tua berasal dari bagian timur laut. Berbagai kelompok masyarakat dari anak benua India telah datang ke kepulauan Indonesia sejak masa pra-sejarah Malah nama Indonesia sendiri berasal dari yang secara harafiah berarti 'Kepulauan India'. Ada beberapa kelompok suku India-Indonesia yang telah lama menetap di kelompok suku masyarakat didatangkan oleh pemerintah kolonia perkebunan yang dibuka di daerah tersebut. Suku Tamil di Indonesia dianggap sebagai Keturunan asing pada masa orde baru dan kini telah disahkan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia atau disebut sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Saat ini diperkirakan ada sekitar 70.000 warga keturunan Tamil India yang bermukim di Medan (

Masyarakat Tamil masih berpegang teguh terhadap budaya dan adat istiadat mereka. Mereka memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat yang sampai sekarang masih dijalankan oleh Masyarakat Tamil di kota Medan maupun di kota–kota besar lainnya di Indonesia. Ada beberapa kebudayaan Tamil yang dilaksanakan masyarakat Hindu tamil yang tidak asing lagi bagi masyarakat


(39)

kota Medan seperti perayaan Adhi Tiruvilla (Upacara tolak bala) dan Navaratri (penghormatan kepada tiga dewi yaitu Dewi Durga, Dewi Laksmi dan Dewi Saraswathi). Pada perayaan–perayaan ini biasanya warga Tamil melakukan arak-arakan mengelilingi kota dan tidak sedikit etnis non-Tamil yang ikut menyaksikan perayaan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana hubungan antara etnis Tamil dan etnis non-Tamil yang saling mendukung dan mau ikut serta dalam perayaan kebudayaan dan perayaan keagamaan tersebut walaupun hanya dengan menyaksikannya.

Tersedianya tempat–tempat ibadah seperti Gereja, Masjid, Kuil, Pura, Vihara dan Guruduwara di Kelurahan Medan Polonia menunjukkan bahwa adanya kesetaraan dalam pembangunan tempat–tempat agama. Dan adanya saling menghormati sehingga tetap terjadi kerukunan antar umat agama sehingga eksistensi tempat–tempat beribadah dan umat–umatnya tetap terjaga. Hal ini menunjukkan bagaimana setiap etnis di Kelurahan Medan Polonia baik etnis Tamil maupun etnis non-Tamil dapat menjaga harmonisasi diantara etnis yang berbeda.

Keharmonisan membawa kebahagiaan, sebaliknya ketidakharmonisan menciptakan banyak persoalan. Dalam suasana harmonis, damai, tentram secara fisik sangat mendukung terciptanya ketentraman internal (Suamba, 2003 : 38). Masyarakat Tamil dalam filsafat Hindu percaya bahwa keharmonisan diri dengan alam dan lingkungan sekitar merupakan bagian dari keagamaan yang harus dilaksanakan. Karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat hidup tanpa alam sekitar. Jadi harus adanya hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya.


(40)

Dalam kemajemukannya, masyarakat Kelurahan Polonia tetap dapat menjaga integrasi bangsa. Semua suku tetap mempertahankan identitas masing– masing tanpa harus adanya etnosentrisme atau menjadi lawan dari suku lainnya. Mereka tetap dapat bekerjasama di dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti sejauhmana peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis di antara Etnis Tamil dan Non-Tamil di Kelurahan Polonia, karena hubungan yang harmonis bisa saja terjadi karena besarnya toleransi dan keterbukaan diri suku mayoritas dan juga bisa saja dikarenakan kerendahan hati suku Tamil sehingga mereka mau beradaptasi dengan suku mayoritas melalui peranan komunikasi antarbudaya di dalam masyarakat tersebut.

Pemilihan lokasi penelitian ini setelah penulis mengetahui bahwa di Keluarahan Polonia ini, masyarakat heterogen, terdiri dari etnis Tamil dan Non-Tamil dan terjadi pembauran diantara mereka. Selain itu keberadaan masyarakat Tamil di Kelurahan Polonia termasuk salah satu pemukiman masyarakat Tamil yang cukup besar. Selain itu Kelurahan Polonia daerah pintu gerbang Kota Medan, yang merupakan pintu masuk dari daerah lainnya baik Regional maupun Internasional melalui transportasi udara karena terdapat Bandara Internasional Polonia sebagai pelabuhan udara yang mampu dilandasi jenis pesawat berbadan lebar seperti Air Bus dan mempunyai jalur penerbangan keberbagai daerah/kota secara Regional maupun Internasional. Dengan adanya Bandara International Polonia ini menjadikan lokasi ini penting sebagai gerbang Kota Medan dan masyarakatnya sebaiknya menjaga keharmonisan agar dapat menjadi contoh yang


(41)

baik untuk kelurahan–kelurahan lainnya. Hal ini juga yang menjadi alasan peneliti memilih Kelurahan Polonia sebagai Lokasi Penelitian.

I.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:

• Sejauhmanakah komunikasi antarbudaya berperan dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia?

• Bagaimanakah keadaan komunikasi antarbudaya yang dialami oleh komunikator dan komunikan dari etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia?

I.3 Pembatasan Masalah

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti perlu membuat pembatasan masalah yang akan diteliti. Adapun pembatasan masalah yang ditetapkan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Responden yang dipilih adalah penduduk Kelurahan Polonia, yang terdiri dari Etnis Tamil dan non Tamil.

2. Studi korelasional tentang peran komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis hanya dilakukan penelitiannya di Kelurahan Polonia dan dibatasi pada penduduk kelurahan Medan Polonia yang berusia 15 – 54 tahun.

3. Etnis Tamil dan etnis China merupakan etnis pendatang, sedangkan etnis Non Tamil lainnya merupakan etnis lokal.


(42)

4. Penelitian dibatasi hanya sampai kepada faktor yang menjadi latar belakang terjalinnya hubungan yang harmonis di Kelurahan Polonia.

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui peranan unsur–unsur komunikasi dalam menyumbangkan

efektifitas komunikasi antarbudaya.

2. Mengetahui keadaan komunikasi antarbudaya yang dialami oleh komunikator dan komunikan dari etnis yang berbeda.

3. Mengetahui perbedaan persepsi etnis yang berbeda yang menimbulkan stereotip pada etnis Tamil dan non Tamil.

4. Mengetahui peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan non Tamil di Kelurahan Polonia. I.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara Teoritis, penelitian ini berguna untuk menambah ilmu pengetahuan dan memperluas wawasan peneliti mengenai ilmu komunikasi khususnya komunikasi antarbudaya sebagai bagian dari ilmu komunikasi.

2. Secara Akademis, penenlitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian di departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, khususnya mengenai komunikasi antarbudaya yang juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pembacanya.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi masalah-masalah antarbudaya, khususnya peningkatan sosial di kota


(43)

Medan, maupun masyarakat lainnya yang memiliki keragaman budaya dan etnik sehingga dapat memelihara hubungan yang harmonis sesama masyarakat.

I.5 Kerangka Teori

Rancangan penelitian yang baik dan memenuhi standar ilmiah haruslah menyertakan kajian teori atau perspektif teoritik yang dipandang relevan untuk membantu memahami atau menjelaskan fenomena sosial yang diteliti (Bungin, 2007:45).

Sedangkan Kerlinger menjabarkan pengertian teori sebagai suatu himpunan constuct (konsep) defenisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Rakhmat, 1998 : 6)

Dalam penelitian ini teori yang digunakan agar permasalahan lebih jelas adalah sebagai berikut:

I.5.1 Teori Komunikasi Antarbudaya

Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.

Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi antarbudaya sebagai berikut:


(44)

Gambar I.1

Model Komunikasi Antarbudaya

Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998 : 21

Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B.

Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini

Budaya A Budaya B


(45)

menunjukkan dua hal. Pertama, ada pengaruh–pengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan sesuatu kekuatan dominan yang mempengaruhi individu, orang–orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat–sifat yang berbeda.

Penyandian dan penyandian balik pesan antarbudaya dilukiskan oleh panah–panah yang menghubungkan budaya–budaya itu. Panah–panah ini menunjukkan pengiriman pesan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Ketika suatu pesan meninggalkan budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung makna yang dikehendaki oleh penyandi (encoder). Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya yang mengandung pola yang sama seperti pola yang ada dalam individu penyandi. Ketika suatu pesan sampai pada budaya dimana pesan itu harus disandi balik, pesan itu mengalami suatu perubahan dalam arti pengaruh budaya penyandi balik (decoder) telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam pesan yang asli telah berubah selama fase penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya, oleh karena perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki decoder tidak mengandung makna–makna budaya yang sama seperti yang dimiliki encoder.

Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi–interaksi antara orang–orang yang berbeda secara ekstrem hingga interaksi–interaksi antara orang–orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur dan subkelompok yang berbeda (Mulyana dan Rakhmat, 1998 : 20).


(46)

I.5.2 Teori Masyarakat Majemuk

Masyarakat majemuk atau masyarakat plural dapat dipahami sebagai masyarakat yang terdiri dari berbagai kelompok atau strata sosial, ekonomi, suku, bangsa, budaya dan agama. Di dalam masyarakat plural, setiap orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintangan–rintangan yang sistematik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu (Asykuri, dkk, 2002:107). Masyarakat majemuk menurut KBBI, ialah masyarakat yang terbagi dalam kelompok persatuan yang sering memiliki budaya yang berbeda.

S.Furnivall merupakan orang pertama yang mengemukakan konsep masyarakat majemuk berdasarkan kajiannya di Indonesia dan Burma. Menurutnya ciri utama masyarakat majemuk adalah kehidupan masyarakat yang berkelompok–kelompok yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka terpisah– pisah karena perbedaan sosial dan tidak tergabung dalam sebuat unit politik (Liliweri, 2004: 166).

Ciri–ciri masyarakat majemuk menurut Furnivall adalah:

1. Walaupun kelompok – kelompok yang tergabung dalam satu masyarakat itu berada dalam satu sistem politik yang sama, tetapi kehidupan mereka sendiri – sendiri.

2. Interaksi sosial antar kelompok kurang sekali, dan reaksi yang terjadi cenderung terbatas pada sektor ekonomi saja.

3. Suatu campuran berbagai kelompok manusia itu dikatakan muncul akibat denominasi kolonialisme.


(47)

4. Tidak ada atau lemah dalam “common sense will” atau keinginan akan kebersamaan sosial, yaitu suatu perangkat nilai – nilai yang disepakati warga masyarakat untuk member panduan dan mengontrol tingkah laku warga masyarakatnya (Lubis, 1993:34).

I.5.3 Teori Etnosentrisme

Sumner dalam Veeger (1990) sendiri yang memberikan istilah etnosentris. Dengan sikap itu, maka setiap kelompok merasa folkwaysnya yang paling unggul dan benar. Komunikasi antarbudaya dapat dijelaskan dengan teori etnosentrisme seperti diungkapkan oleh Samovar dan Porter (1976). Katanya, ada banyak variabel yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbuadaya, salah satunya adalah sikap. Sikap mempengaruhi komunikasi antarbuadaya, misalnya terlihat dalam etnosentrisme, pandangan hidup, nilai-nilai yang absolute, prasangka, dan streotip.

Zatrow (1989) menyebutkan bahwa setiap kelompok etnik memiliki keterikatan etnik yang tinggi melalui sikap etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolut dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Sehingga etnosentrisme memunculkan sikap prasangka dan streotip negatif terhadap etnik atau kelompok lain.


(48)

Poortinga (dalam Liliweri, 2001 :173) menyatakan bahwa ada 3 faktor penentu prasangka yang diduga mempengaruhi komunikasi antarbudaya, yaitu :

a. Stereotip

Streotip berasal dari kecenderungan untuk mengorganisasikan sejumlah fenomena yang sama atau sejenis yang dimiliki oleh sekelompok orang ke dalam kategori tertentu yang bermakna. Streotip berkaitan dengan konstruksi citra yang telah ada dan terbentuk secara turun–temurun. Ia tidak hanya mengacu pada citra negatif tetapi juga positif.

b. Jarak sosial

Jarak Sosial adalah kondisi seseorang atau masyarakat yang berbeda tingkat peradabannya dengan orang lain atau masyarakat lain meskipun itu berada dalam zaman atau masa yang sama. Jarak sosial membedakan kelompok-kelompok masyarakat secara horizontal berdasarkan jarak peradabannya.

c. Diskriminasi

Diskriminasi adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. Sementara itu dalam pengertian lain diskriminasi dapat diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada gender,ras, agama,umur atau karakteristik yang lain.


(49)

I.5.4 Teori Hubungan yang Harmonis

Hubungan yang harmonis merupakan suatu pertalian/persahabatan dan kontak yang dilakukan antara anggota–anggota masyarakat yang mana mereka saling bersangkutan dalam suatu hubungan yang selaras dan serasi dalam hidup bermasyarakat, bertetangga, berteman, bersaudara dan sebagainya.

Berikutnya, faktor–faktor yang mendukung terjalinnya hubungan yang harmonis adalah sebagai berikut:

a. Imitasi

Imitasi atau meniru adalah suatu proses maupun aksi seperti yang dilakukan oleh sebagai penerim mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan melakukan

b. Sugesti

Sugesti adalah pengaruh yang diberikan orang lain atau kelompok lain mengenai pandangan hidup, sikap, dan perilaku tertentu yang diterima tanpa dipikirkan secara kritis akibatnya-akibatnya. Pengaruh sugesti ini sangat kuat jika berasal dari orang-orang yang berwibawa atau berpengaruh dalam masyarakat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan emosi, stress, sedih, atau tertekan biasanya akan mudah terpengaruh oleh sugesti.

c. Identifikasi

Identifikasi merupakan usaha seseorang untuk menjadi sama persis dengan orang lain, sifatnya lebih mendalam dari pada yang dilakukan dalam


(50)

imitasi. Atau bisa juga diartikan sebagai dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah. Proses identifikasi mula–mula berlangsung secara tidak sadar (dengan sendirinya), kemudian irrasional, yaitu berdasarkan kecenderungan– kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan berguna untuk melengkapi sistem–sistem norma, cita–cita dan pedoman– pedoman tingkah laku orang yang mengindentifikasi itu (Ahmadi, 1991 : 63).

d. Simpati

Simpati dapat dirumuskan sebagai perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, tetapi berdasarkan penilaian perasaaan sebagaimana proses identifikasi. Simpati menghubungkan seseorang dengan orang lain (Gerungan, 2004 : 74). e. Empati

Empati diidefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain. Karen kepercayaan dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain. Empati sebagai kajian multikultural meruapakan suatu penyelidikan untuk mengetahui bagaimana perbedaan dan hambatan kultural dapat diatasi dengan cara menempatkan diri pada posisi lawan bicara (Puwasito, 2003: 182).


(51)

I.6 Kerangka Konsep

Teori–teori yang dijadikan landasan pada kerangka teori harus dapat menghasilkan beberapa konsep yang disebut dengan kerangka konsep. Menurut Nawawi (1995: 40) kerangka konsep merupakan hasil pemikiran rasional yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang akan dicapai. Agar konsep–konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel.

Dalam penelitian ini, ada 3 kategori yang diteliti yaitu: 1. Kategori berdasarkan pelaksanaan komunikasi antarbudaya

Yang kehendak diteliti adalah mengenai faktor–faktor yang menghambat terjadinya komunikasi yang efektif, seperti prasangka yang ditandai dengan adanya stereotip, jarak sosial dan diskrimasi yang sering terjadi diantara individu–individu yang berbeda etnis dan budaya.

2. Kategori berdasarkan terjalinnya hubungan yang harmonis

Yang diteliti dalam kategori ini adalah proses terjalinnya hubungan yang harmonis di dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya imitasi, identifikasi, simpati dan empati.

3. Kategori berdasarkan karakteristik responden

Yaitu sejumlah gejala yang tidak dapat dikontrol tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap proses terjalinnya hubungan yang harmonis didalam masyarakat. Karakteristik responden meliputi, etnis, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, agama, lama tinggal dan pekerjaan.


(52)

I.7 Model Teoritis

Berdasarkan kerangka konsep yang ada, untuk memudahkan kelanjutan penelitian maka akan dibentuk menjadi suatu model teoritis sebagai berikut:

Gambar I.1 Model Teoritis

I.8 Operasional Variabel

Berdasarkan teori dan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka untuk memudahkan penelitian perlu dibuat operasional variabel yang berfungsi untuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian sebagai berikut:

Tabel I.1

Operasional Variabel

Variabel Teortis Variabel Operasional Komunikasi Antarbudaya • Etnosentrisme

• Prasangka Sosial • Stereotip

Komunikasi Antarbudaya • Etnosentrisme • Prasangka Sosial • Stereotip

• Jarak Sosial • Diskriminasi

Hubungan yang Harmonis • Imitasi

• Identifikasi • Simpati • Empati

Karakteristik Responden • Usia

• Jenis Kelamin • Suku


(53)

• Jarak Sosial • Diskriminasi Hubungan yang harmonis • Imitasi

• Sugesti • Identifikasi • Simpati • Empati Karakteristik Responden • Usia

• Jenis kelamin • Suku • Agama

I.9 Defenisi Operasional

Menurut Singarimbun (1995: 46), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara untuk mengukur suatu variabel.

Dalam penelitian ini, variabel – variabel dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Variabel bebas : Komunikasi Antarbudaya

a.Etnosentrisme adalah suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang absolut dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain.


(54)

b.Prasangka sosial adalah sikap perasaan orang – orang terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berbeda dengan golongan orang yang berprasangka itu.

c.Stereotip adalah suatu sikap atau karakter yang dimiliki oleh untuk menilai orang lain semata-mata berdasarkan kelas atau pengelompokan yang dibuatnya sendiri dan biasanya bersifat negatif.

d.Jarak sosial adalah perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. e.Diskriminasi antaretnik adalah perlakuan terhadap orang atau kelompok

yang didasarkan pada golongan atau kategori tertentu. 2. Variabel terikat : Hubungan yang Harmonis

a.Imitasi adalah sikap meniru orang lain baik dalam bahasa maupun bertingkah laku.

b.Sugesti adalah pengaruh yang diberikan orang lain mengenai pandangan hidup, sikap dan perilaku.

c.Identifikasi adalah usaha seseorang untuk menjadi sama persis dengan orang lain, sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi.

d.Simpati adalah perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain.

e.Empati adalah sikap membayangkan diri kita pada kejadian yang menimpa orang lain.

3. Variabel Antara : Karakteristik Responden a.Usia : Usia responden

b.Jenis Kelamin : Jenis kelamin responden pria/wanita. c.Suku : Suku/etnis responden


(55)

d.Agama : Agama/kepercayaan yang dianut oleh responden I.10 Hipotesis

Hipotesis adalah pernyatuaan yang bersifat dugaan mengenai hubungan antara dua variabel atau lebih. Menurut Champion, hipotesis adalah penghubung antara teori dengan dunia empiris (Rakhmat, 2004: 14) dan merupakan jawaban sementara atas pertanyaaan penelitian yang kebenarannya akan diuji berdasarkan data yang dikumpulkan.

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho : Tidak terdapat hubungan peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia.

Ha : Terdapat hubungan peranan komunikasi antarbudaya dalam menjalin hubungan yang harmonis antara etnis Tamil dan etnis non Tamil di Kelurahan Polonia.


(56)

BAB II

URAIAN TEORITIS II.1 Teori Komunikasi dan Komunikasi Antarbudaya II.1.1 Teori Komunikasi

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna. Dalam komunikasi yang melibatkan dua orang, komunikasi berlangsung apabila adanya kesamaan makna. (Effendy, 2004 : 9).

Komunikasi juga dapat berarti adanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan dengan tujuan mengubah sikap, opini, atau pandangan/prilaku orang lain tentang pesan yang disampaikan. Walaupun demikian tidak semua pesan yang disampaikan itu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan ada kesalahan maksud dalam penerimaan pesan tersebut, untuk itu diperlukan suatu komunikasi yang efektif.

Para ahli komunikasi mendefinisikan proses komunikasi sebagai “Knowing what he wants to communicate and knowing how he should deliver his message to give it the deepest penetration possible into the minds of his audience.” Definisi tersebut mengindikasikan, bahwa karakter komunikator selalu berusaha meraih keberhasilan semaksimal mungkin dalam menyampaikan pesan “deepest penetration possible.” Artinya, pengertian komunikasi bersumber dari gagasan komunikator yang ingin disampaikan kepada pihak penerima, dengan segala daya dan usaha bahkan tipu daya agar pihak penerima tersebut


(57)

(komunikan) mengenal, mengerti , memahami dan menerima “ideologinya” lewat pesan–pesan yang disampaikan (Purwasito, 2003 :195).

Komunikasi pada umumnya diartikan sebagai hubungan atau kegiatan yang ada kaitannya dengan masalah hubungan, ada pula yang mengartikan saling tukar-menukar pikiran dan pendapat.

Gode (dalam Wiryanto, 2004: 6) memberikan pengertian mengenai komunikasi sebagai suatu proses yang membuat kebersamaan bagi dua atau lebih yang semula dimonopoli oleh satu atau beberapa orang.

Raymond S. Ross (dalam Wiryanto, 2004: 6) mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses menyortir, memilih dan mengirim simbol-simbol sedemikian rupa, sehingga membantu pendengar membangkitkan makna atau respon dari pikirannya yang serupa dengan yang dimaksud oleh sang komunikator.

Everet M. Rogers dan Lawrence Kincaid (dalam Wiryanto, 2004: 6) menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi antara satu sama lain, yang ada gilirannya terjadi saling pengertian yang mendalam.

Definisi-definisi diatas belum bisa mewakili semua definisi yang telah dibuat oleh para ahli. Namun, paling tidak kita memperoleh gambaran tentang apa yang dimaksud dengan komunikasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Shannon & Weaver (dalam Wiryanto, 2004: 7), bahwa komunikasi adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi.


(58)

Komunikasi juga dapat berarti adanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan dengan tujuan mengubah sikap, opini atau pandangan/perilaku orang lain tentang pesan yang disampaikan. Walaupun demikian tidak semua pesan yang disampaikan itu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan ada kesalahan dalam penerimaan pesan tersebut, untuk itu diperlukan suatu komunikasi yang efektif.

Menurut Effendy (1992) komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh si penyampai. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklarifikasikan pada :

1. Efek Kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, diperpsepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/ratio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran komunikasi.

2. Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya.

3. Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola–pola tindakan, kegiatan kebiasaan atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk berprilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah).

Komunikasi memang menyentuh semua aspek kehidupan bermasyarakat, atau sebaliknya semua aspek kehidupan bermasyarakat menyentuh komunikasi. Justru itu orang melukiskan komunikasi sebagai ubiquitos atau serba hadir. Artinya komunikasi berada di manapun dan kapan pun juga.


(59)

Teori komunikasi digunakan karena merupakan dasar dari adanya komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian dalam ilmu komunikasi. Komunikasi antarbudaya sebagai objek formal yang telah dijadikan bidang kajian sebuah ilmu tentu mempunyai teori. Pembentukan teori-teori dalam Komunikasi Antarbudaya sudah tentu mempunyai daya guna untuk membahas masalah-masalah kemanusiaan antarbudaya. Jadi, teori-teori komunikasi antarbudaya merupakan teori-teori yang secara khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi (Liliweri: 2001: 29).

II.1.2 Teori Komunikasi Antarbudaya

Kata ‘budaya’ berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak antara buddhi, yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal.

Istilah ‘culture’ berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani. Kata ‘colere’, kemudian berubah menjadi culture, diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam (Soekamto, 1996: 188).

Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainny, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.


(60)

E.B. Taylor, seorang antropolog memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakupi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Bahkan beliau mengatakan bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya mencakup segala cara atau pola berpikir, merasakan dan bertindak (dalam Soekamto, 1996: 189).

Definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah menambahkan kata budaya dalam kedalam pernyataan “komunikasi antara dua orang/lebih yang berbeda latar belakang kebudayaan” dalam beberapa definisi komunikasi diatas. Kita juga dapat memberikan definisi komunikasi antarbudaya yang paling sederhana, yakni komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan.

Ada beberapa pengertian komunikasi antarbudaya yang dikutip oleh Alo Liliweri yaitu:

1. Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial (Samovar dan Porter, 1976: 25).

2. Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda (Samover dan Porter, 1976: 4).


(61)

3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta (Dood, 1991: 5).

4. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual, yang dilakukan oleh sejumlah orang - yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu – memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk prilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig dan Koester, Intercultural Communication Competence, 1993).

5. Intercultural Comunication yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan.

6. Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan:

1) Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya


(62)

mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;

2) Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;

3) Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;

4) Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengindentifikasinya dengan pelbagai cara.

Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan (komunikan) adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.

Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi antarbudaya sebagai berikut:


(63)

Gambar II.1

Model Komunikasi Antarbudaya

Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998: 21

Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B.

Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini

Budaya A Budaya B


(1)

9. Mayoritas responden menunjukkan bahwa mereka sudah bersikap bertanggung jawab dengan tidak menuduh atau melimpahkan kesalahan kepada etnis lain.

10.Indikator-indikator jarak sosial di Kelurahan Polonia tidak berkembang karena mayoritas responden mengakui tidak sulit beradaptasi dengan etnis lain.

11.Diskriminasi di Kelurahan Polonia tidaklah menonjol, tidak ada usaha untuk membeda-bedakan antara etnis yang satu dengan etnis yang lain. 12.Hubungan yang harmonis antaretnis di Kelurahan Polonia bukanlah

hubungan yang tinggi, tetapi merupakan hubungan yang positif.

13.Interaksi hubungan yang paling baik adalah etnis Jawa dengan etnis lainnya sebagai etnis mayoritas dan yang paling buruk adalah etnis cina dengan etnis lainnya.

14.Jarak sosial yang paling dekat di Kelurahan Polonia adalah jarak sosial sesama etnisnya. Sehingga menimbulkan sikap yang mengarah kepada etnosentrisme dimana hubungan yang paling dekat adalah hubungan dengan etnisnya. Walaupun sikap etnosentrisme itu tidak terlalu kuat, karena masih memiliki jarak sosial yang dekat dengan etnis-etnis lainnya.


(2)

V.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dari jawaban kuesioner masyarakat Kelurahan Polonia, saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penghambat dalam komunikasi antarbudaya yang diindikasikan melalui etnosentrisme, prasangka sosial, streotip, diskriminasi dan jarak sosial walaupun tidak terlalu kuat berkembang di Kelurahan Polonia, sebaiknya dapat dihilangkan demi menciptakan hubungan yang harmonis di Kelurahan Polonia yang diindikasikan melalui simpati, imitasi, identifikasi, sugesti dan empati.

2. Jarak sosial antaretnis yang telah ada seharusnya lebih didekatkan khususnya diantara etnis yang berbeda, hal ini untuk mencegah terjadinya sikap etnosentrisme terhadap etnisnya. Keterbukaan diri dan meningkatkan intensitas hubungan dapat membantu dalam memperbaiki jarak sosial. 3. Masyarakat diharapkan mampu mempertahankan hubungan yang harmonis

yang telah ada di Kelurahan Polonia sebagai lokasi yang penting sebagai gerbang Kota Medan karena adanya Bandara Internasional Polonia. Masyarakatnya sebaiknya menjaga keharmonisan agar dapat menjadi contoh yang baik untuk kelurahan–kelurahan lainnya.

4. Diharapkan kepada lembaga, para pemimpin dan pegawai di Kelurahan Polonia agar dapat menjadi mediasi bagi para masyarakat di Kelurahan Polonia agar dapat menciptakan suatu kegiatan atau organisasi yang mengikutsertakan seluruh masyarakat dari seluruh etnis agar dapat menciptakan suatu kedekatan dan keterbukaan antaretnis sehingga dapat menciptakan suatu komunikasi antarbudaya yang efektif.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta.

Bungin, Burhan . 2007. Analisa Data Pendekatan Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Effendy, Onong Uchjana. 1992. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

_______________. 2004. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: P.T. Refika Aditama.

Hamidi, 2004. Metode Penelitian Kualitatif: Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian. Malang: Universitas Muhammadiyah. Liliweri, Alo. 2001. Gatra – Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

_______________. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKis Yogyakarta

_______________. 2004. Dasar – Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Lubis, Suwardi. 1999. Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moeloeng, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 1998. Komunikasi Antarbudaya. Bandung: Remaja Rosdakarya.


(4)

Mulyana, Deddy. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_______________. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasution, 1996. Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatis. Bandung: Tarsito. Nawawi, Hadari. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. 1991. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

_______________. 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Poerwadarminta, W. J. S. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah University Press 2003.

Rahardjo, Turnomo. 2005. Menghargai Perbedaan Kultural. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.

Suamba. I.B. Putu. I. 2003. Dasar–Dasar Filsafat India. Denpasar: Widya Dharma.

Tim Penyusun. 2005. Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama. Bandung: Citrapustaka Media.


(5)

www.bainfokomsumut.go.id (diakses pada tanggal 28 Agustus 2009)


(6)

BIODATA

Nama : Pina Panduwinarsih

NIM : 060904048

Departemen : Ilmu Komunikasi

Program Studi : Hubungan Masyarakat (Humas) Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 26 Maret 1988

Agama : Hindu

Anak ke : 4 dari 4 bersaudara

Pendidikan : 1. TK Methodist 4 Medan 2. SD Methodist 4 Medan 3. SMP Methodist 4 Medan

4. SMA Methodist 1 Medan, lulus tahun 2006 5. Ilmu Komunikasi FISIP USU, lulus tahun

2010 Nama Orangtua

a) Ayah : Ramaras

b) Ibu : Naumani

Alamat : Jalan Polonia Gg.Pendidikan No.49 Medan 20157


Dokumen yang terkait

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

3 59 147

Pengaruh Komunikasi Antarbudaya dan Hubungan yang Harmonis (Studi Kuantitatif antara Siswa Pribumi dan Siswa Tionghoa/Cina Di SMA Harapan Mandiri Medan)

10 121 103

Identitas Budaya Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Etnis Minangkabau Asal Sumatera Barat di Universitas Sumatera Utara)

10 110 264

Identitas Etnis Dan Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Peran Identitas Etnis dalam Komunikasi Antarbudaya pada Mahasiswa Asal Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara)

3 46 238

Komunikasi Antarbudaya Dan Hubungan Yang Harmonis (Studi Korelasional tentang Peranan Komunikasi Antarbudaya dalam Menjalin Hubungan yang Harmonis antara Etnis Tamil dan Non Tamil di Kelurahan Polonia

5 79 166

Peranan Public Relations Scan Pasifik Tbk Bandung Dalam Menjalin Hubungan Yang Harmonis dengan Pelanggannya

0 4 1

Peran Identitas Etnis Dalam Komunikasi Antarbudaya Pada Komunitas India Tamil di Kampung Madras Kota Medan

0 0 42

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Landasan Teori - Pengaruh Komunikasi Antarbudaya dan Hubungan yang Harmonis (Studi Kuantitatif antara Siswa Pribumi dan Siswa Tionghoa/Cina Di SMA Harapan Mandiri Medan)

0 1 12

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Pengaruh Komunikasi Antarbudaya dan Hubungan yang Harmonis (Studi Kuantitatif antara Siswa Pribumi dan Siswa Tionghoa/Cina Di SMA Harapan Mandiri Medan)

0 0 5

Pengaruh Komunikasi Antarbudaya dan Hubungan yang Harmonis (Studi Kuantitatif antara Siswa Pribumi dan Siswa Tionghoa/Cina Di SMA Harapan Mandiri Medan)

0 0 12