Teori komunikasi digunakan karena merupakan dasar dari adanya komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya merupakan salah satu kajian
dalam ilmu komunikasi. Komunikasi antarbudaya sebagai objek formal yang telah dijadikan bidang kajian sebuah ilmu tentu mempunyai teori. Pembentukan teori-
teori dalam Komunikasi Antarbudaya sudah tentu mempunyai daya guna untuk membahas masalah-masalah kemanusiaan antarbudaya. Jadi, teori-teori
komunikasi antarbudaya merupakan teori-teori yang secara khusus menggeneralisasi konsep komunikasi diantara komunikator dengan komunikan
yang berbeda kebudayaan, dan yang membahas pengaruh kebudayaan terhadap kegiatan komunikasi Liliweri: 2001: 29.
II.1.2 Teori Komunikasi Antarbudaya
Kata ‘budaya’ berasal dari bahasa sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak antara buddhi, yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Kebudayaan itu
sendiri diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi atau akal. Istilah ‘culture’ berasal dari kata colere yang artinya adalah mengolah atau
mengerjakan, yang dimaksudkan kepada keahlian mengolah atau mengerjakan tanah atau bertani. Kata ‘colere’, kemudian berubah menjadi culture, diartikan
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam Soekamto, 1996: 188.
Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainny, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif
besar antara para komunikatornya, yang disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda
pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.
Universitas Sumatera Utara
E.B. Taylor, seorang antropolog memberikan definisi mengenai kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakupi pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Bahkan beliau mengatakan bahwa kebudayaan mencakupi semua yang didapatkan dan dipelajari dari pola-pola perilaku normatif artinya mencakup segala cara atau
pola berpikir, merasakan dan bertindak dalam Soekamto, 1996: 189. Definisi yang paling sederhana dari komunikasi antarbudaya adalah
menambahkan kata budaya dalam kedalam pernyataan “komunikasi antara dua oranglebih yang berbeda latar belakang kebudayaan” dalam beberapa definisi
komunikasi diatas. Kita juga dapat memberikan definisi komunikasi antarbudaya yang paling sederhana, yakni komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh
mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Ada beberapa pengertian komunikasi antarbudaya yang dikutip oleh Alo
Liliweri yaitu: 1.
Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa dalam buku Larry A. Samovar dan Richard E. Porter Intercultural Communication, A Reader – komunikasi
antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas
sosial Samovar dan Porter, 1976: 25. 2.
Samovar dan Porter juga mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya terjadi di antara produser pesan dan penerima pesan yang latar belakang
kebudayaannya berbeda Samover dan Porter, 1976: 4.
Universitas Sumatera Utara
3. Charley H. Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi
komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar
belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta Dood, 1991: 5.
4. Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik,
interpretatif, transaksional, kontekstual, yang dilakukan oleh sejumlah orang - yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu –
memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk prilaku tertentu sebagai makna yang
dipertukarkan Lustig dan Koester, Intercultural Communication Competence, 1993.
5. Intercultural Comunication
yang disingkat “ICC”, mengartikan komunikasi antarbudaya merupakan interaksi antarpribadi antara seorang
anggota dengan kelompok yang berbeda kebudayaan. 6.
Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang
membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu
dilakukan: 1
Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema penyampaian tema melalui
simbol yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya
Universitas Sumatera Utara
mempunyai makna tetapi dia dapat berarti kedalam satu konteks, dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;
2 Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung dari persetujuan
antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;
3 Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun
bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita; 4
Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengindentifikasinya dengan
pelbagai cara. Menurut Samover dan Porter, komunikasi antarbudaya terjadi bila
komunikator pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesan komunikan adalah anggota suatu budaya lainnya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema
pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang pengalaman yang relatif besar antara para komunikatornya yang
disebabkan perbedaan kebudayaan. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda, berbeda pula perilaku komunikasi dan makna yang dimilikinya.
Sehubungan dengan itu, Porter dan Samover memperkenalkan model komunikasi antarbudaya sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
Gambar II.1 Model Komunikasi Antarbudaya
Sumber : Mulyana dan Rakhmat. 1998: 21 Pengaruh budaya atas individu dan masalah–masalah penyandian dan
penyandian balik pesan terlukis pada gambar diatas. Tiga budaya diwakili dalam model ini oleh tiga bentuk geometric yang berbeda. Budaya A dan budaya B
relatif serupa dan masing – masing diwakili oleh suatu segi empat dan suatu segi delapan tak beraturan yang hampir menyerupai segi empat. Budaya C sangat
berbeda dari budaya A dan budaya B. Perbedaan yang lebih besar ini tampak pada bentuk melingkar budaya C dan jarak fisik dari budaya A dan budaya B.
Dalam setiap budaya ada bentuk lain yang agak serupa dengan bentuk budaya. Ini menunjukkan individu yang telah dibentuk oleh budaya. Bentuk
individu sedikit berbeda dari bentuk budaya yang mempengaruhinya. Ini
Budaya A Budaya B
Budaya C
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan dua hal. Pertama, ada pengaruh–pengaruh lain di samping budaya yang membentuk individu. Kedua, meskipun budaya merupakan sesuatu kekuatan
dominan yang mempengaruhi individu, orang–orang dalam suatu budaya pun mempunyai sifat–sifat yang berbeda.
Penyandian dan penyandian balik pesan antarbudaya dilukiskan oleh panah–panah yang menghubungkan budaya–budaya itu. Panah–panah ini
menunjukkan pengiriman pesan dari budaya yang satu ke budaya lainnya. Ketika suatu pesan meninggalkan budaya dimana ia disandi, pesan itu mengandung
makna yang dikehendaki oleh penyandi encoder. Ini ditunjukkan oleh panah yang meninggalkan suatu budaya yang mengandung pola yang sama seperti pola
yang ada dalam individu penyandi. Ketika suatu pesan sampai pada budaya dimana pesan itu harus disandi balik, pesan itu mengalami suatu perubahan dalam
arti pengaruh budaya penyandi balik decoder telah menjadi bagian dari makna pesan. Makna yang terkandung dalam pesan yang asli telah berubah selama fase
penyandian balik dalam komunikasi antarbudaya, oleh karena perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki decoder tidak mengandung
makna–makna budaya yang sama seperti yang dimiliki encoder. Model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan
budaya dalam komunikasi antarbudaya. Komunikasi antarbudaya terjadi dalam banyak ragam situasi yang berkisar dari interaksi–interaksi antara orang–orang
yang berbeda secara ekstrem hingga interaksi–interaksi antara orang–orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur dan
subkelompok yang berbeda Mulyana dan Rakhmat, 1998 : 20.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gundyskunt 1983, kita mengenal beberapa pendekatan teoritis dalam tradisi Ilmu Komunikasi. Lima pendekatan yang diasumsikan dapat
menerangkan komunikasi antarbudaya adalah: 1.
Teori komunikasi berdasarkan analisis kebudayaan implisit Pendekatan kebudayaan menarik perhatian para ahli sosio-linguisitik yang
mendorong mereka mengajukan suatu argumentasi, bahwa pembentukan skema kognitif individu berhubungan resiprokal dengan pengembangan simbol–simbol
verbal menentukan perkembangan skema kognitif. Para ahli sosio-linguistik juga berasumsi bahwa pengembangan linguistik
atau bahasa sebagai alat komunikasi antar manusia dimulai pada tingkat semantik dan paragmatis. Manusia menggunakan bahasa sebagai cara terbaik untuk
berkomunikasi demi mempertahankan hubungan antara pribadi dengan organisasi sosial dalam masyarakat. Dan bahasa dalam tataran komunikasi antarmanusia
selalu memakai simbol–simbol verbal dengan regularitas tertentu yang diorganisasikan dalam “kode–kode sosio-linguistik”. Kode–kode sosio-linguistik
melalu bahasa itu justru menjadi karakteristik utama setiap masyarakat dengan budaya lisan.
Kebudayaan implisit adalah kebudayaan immaterial, kebudayaan yang bentuknya tidak nampak sebagai benda namun dia ‘tercantum” atau “tersirat”
dalam nilai dan norma budaya suatu masyarakat, misalnya bahwa setiap manusia telah menjadikan bahasa sebagai kebudayaan implisit tersebut untuk
mengungkapkan skema kognitifnya, yaitu skema pikiran, gagasan, pandangan dan pengalaman manusia tentang dunia.
Pendekatan kebudayaan implisit mengandung beberapa asumsi yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1 Kebudayaan mempengaruhi skema kognitif
Frake 1968 mengemukakan bahwa setiap manusia mempunyai domain atau wilayah skema kognitif tersendiri. Manusia dan skema kognitif yang dimiliki
itu, selalu menentukan strategi berpikir dan berindak. Dia menyimpulkan bahwa setiap kata pasti mewakili konsep tertentu dengan konsep itu merupakan skema
kognitif individu. Dia juga menerangkan bahwa struktur sistem kognitif individu berasal berasal dari latar belakang budaya tertentu. Bahwa latar belakang
kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan implisit, sangat mempengaruhi skema kognitif yang dikomunikasikan dalam bahasa. Kesimpulannya adalah kebudayaan
implisit dalam hal ini bahasa sangat menentukan skema kognitif manusia. 2
Kebudayaan mempengaruhi organisasi tujuan dan strategi tindakan Halliday 1978 berpendapat, bahasa merupakan suatu alat yang terbaik
untuk mengkonseptualisasikan semua ikhwal tentang dunia secara objektif. Halliday telah melakukan penelitian lalu membentuk taksonomi fungsi–fungsi
utama bahasa yang berkaitan dengan pilihan strategi tindakan manusia. 3
Kebudayaan dan Pengorganisasian Skema Interaksi Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan juga mempengaruhi
skema–skema kognitif individu anggota kebudayaan tersebut. Skema kognitif itu antara lain berisi skema interaksi antarmanusia apakah interaksi intrabudaya atau
antarbudaya. Meskipun harus diakui bahwa tidak semua interaksi akan menghasilkan proses komunikasi, paling tidak interaksi menggunakan awal
komunikasi antarmanusia. Dan tugas skema kognitif interkasi itu membentangkan kepada kita semacam peta tentang prinsip yang mengarahkan cara–cara interaksi
antarmanusia termasuk yang berbeda kebudayaannya.
Universitas Sumatera Utara
4 Kebudayaan dan Proses Komunikasi
Berbagai analisis menunjukkan bahwa kualitas kebudayaan sangat menentukan skema kognitif dan strategi pengorganisasian skema. Padahal kualitas
dua faktor itu sangat menentukan komunikasi antarpribadi dan antarbudaya. Skema kognitif membantu individu yang berkomunikasi untuk mengetahui bentuk
dan fungsi isi kognitif tertentu dalam kebudayaan terhadap komunikasi, dia harus menguji kualitas skema kognitif, memahami skema kognitif, daya guna dan tepat
guna skema kognitif itu dalam hubungan antarmanusia yang bersifat umum dan khusus Liliweri, 2001: 43.
2. Teori Komunikasi berdasarkan Analisis “Regularitas Peran”
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi beragam variasi penerapan prinsip-prinsip teori “kaidah peran”. Beberapa isu yang menonjol
misalnya: 1
Sifat dasar masyarakat Donohue, Cushman dkk. dalam Gundykunst 1983, menggambarkan
bahwa: a
Perbedaan-perbedaan tatanan sosial suatu masyarakat selalu bergerak dari arah yang homogen ke yang heterogen. Dengan kata lain, kalau
suatu masyarakat makin homogen, jumlah dan tingkat kerumitan tatanan sosial makin sedikit. Sebaliknya, manakala masyarakat makin
heterogen, jumlah dan tingkat kerumitan tatanan sosial semakin banyak. Keadaan ini berdampak terhadap komunikasi antar budaya.
b Manakala jumlah dan tingkat heterogenitasnya makin banyak dan
tingkat kerumitan makin tinggi, maka setiap komunikasi senantiasa
Universitas Sumatera Utara
melakukan manajemen koordinasi atas tindakan-tindakannya melalui “kaidah peran.” Jadi, harus ada semacam standar perilaku dan
tindakan. 2
Sifat dasar kaidah peran dan tindakan Berikut adalah tiga perspektif dalam ‘kaidah peran,” yaitu:
a Kaidah peran menghasilkan perilaku
Perspektif ini menerangkan bahwa setiap kaidah peran menghasilkan perilaku, dan setiap perilaku merupakan bagian dari perilaku lain.
Persepktif ini diperkenalkan oleh Rom Harre dalam Pearce 1976 yang mengemukakan bahwa setiap peran manusia mempunyai “kaidah
peran” tertentu sehingga satu peran akan diikuti oleh peran lain, satu perilaku akan diikuti oleh perilaku lain.
b Kaidah peran membentuk perilaku
Perspektif ini diajukan oleh Cushman dan Pearce dalam Pierce 1976, bahwa mereka telah melakukan penelitian tentang relasi dalam
komunikasi. Perspektif tersebut nampak konsisten dengan “teori tindakan” yang pernah dikemukakan para ahli terdahulu bahwa semua
perilaku manusia dilakukan secara sadar, dapat dimaknakan dan dilakukan secara purposif.
c Kaidah peran menentukan perilaku
Perspektif ini berasumsi bahwa manusia sadar akan tindakannya sehingga dia mampu membagi manakah tindakan yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. 3.
Teori Analisis Interaksi Antarbudaya
Universitas Sumatera Utara
Ada beberapa pendekatan yang selalu digunakan dalam tradisi komunikasi, yakni:
a Pendekatan Jaringan Metateoritikal
Bohcner 1967 pernah meneliti tingkat persaingan individu dalam sebuah organisasi. Dia menemukan bahwa ketegangan individu dapat
dijelaskan dengan melihat sifat hubungan antarpribadi “tertutup”, maka setiap karyawan akan merasa tegang. Sebaliknya, semakin
“terbuka, maka ketegangan mereka akan berkurang. Menurut Bochner ketegangan yang terjadi dalam perspektif antarbudaya;
1 Ketegangan terjadi kalau individu terlalu banyak larangan di masa kecil mengakibatkan individu setelah dewasa tidak otonom dan
juga tidak bergantung pada orang lain. 2 Kita senantiasa menganalisis setiap tindakan komunikasi dengan
memperhatikan pada tingkat mana individu memiliki otonomi dan pada tingkat mana individu masih tergantung pada orang
lain. Dua faktor ini mempengaruhi hubungan antarpribadi termasuk komunikasi antarbudaya.
b Teori Pertukaran
Teori perspektif pertukaran dikembangkan oleh Thilbaut dan Kelley Liliweri, 1991. Inti teori ini mengatakan bahwa hubungan
antarpribadi bisa diteruskan dan dihentikan. Hal ini disebabkan karena dalam perkembangan hubungan antarpribadi, setiap orang mempunyai
pengalaman tertentu sehingga dia dapat membandingkan faktor-faktor motivasi dan sasaran hubungan antarpribadi yang dilakukan di antara
Universitas Sumatera Utara
beberapa orang. Makin besar keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi, maka besar peluang hubungan tersebut
diteruskan. Sebaliknya, makin kecil keuntungan yang diperoleh dari hubungan antarpribadi, maka makin kecil peluang hubungan tersebut
diteruskan. c
Teori Pengurangan Tingkat Ketidakpastian Berger 1982 mengemukakan bahwa salah satu dari beberapa fungsi
utama komunikasi-komunikasi, fungsi informasi untuk mengurangi ketidakpastian komunikator dan komunikan. Berger
merekomendasikan strategi mencari informasi agar individu mengurangi tingkat ketidakpastian antarpribadi, yakni: 1mengamati
pihak lain secara pasif; 2menyelidiki atau menelusuri pihak lain; 3menanyakan informasi melalui pihak ketiga; 4penanganan
lingkungan kehidupan pihak lain; 5interogasi dan; 6membuka diri. d
Pendekatan Psikologi Humanistik, Self Disclosure, dan Koorientasi Berbagai penelitian yang dilakukan oleh Walter Kaufmann 1980,
McNamee 1980, demikian pula Cissna dan Sieberg, Haris dkk. dalam Gundykunst 1983 menunjukkan bahwa pada umumnya setiap
individu selalu berusaha membuka diri, derajat keterbukaan pribadi itu sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi, waktu dan kesempatan,
siapa yang dijadikan objek relasi, jenis media yang dipilih dan lain- lain.
Universitas Sumatera Utara
e Pendekatan Peran berdasarkan Deskripsi Etnografi
Wallace 1961 berpendapat bahwa komunikasi antarpribadi ditentukan oleh pendekatan peran berdasarkan deskripsi etnografi.
Pertanyaan inti adalah, apakah setiap norma kelompok etnik memberikan peluang terbentuknya otonomi individu dan
ketergantungan antarpribadi. Sebagaimana telah dijelaskan diatas, apabila tingkat otonomi pada masyarakat arkais sangat kecil maka
jelas bahwa deskripsi etnografi masyarakat arkais selalu digambarkan memiliki sikap kolektif. Dan ketika masyarakat arkais telah berkurang
atau memudarnya nilai-nilai kolektivitas pada masyarakat arkais kalau masih ada maka kecenderungan meningkatnya tingkat otonomi
individu. Faktor terakhir ini sangat mempengaruhi hubungan antarbudaya, karena kita memerlukan deskripsi etnografi yang
mendalam terhadap individu. f
Pendekatan Adaptasi Pendekatan ini diperkenalkan oleh Ellingsworth dalam Gundykunst
1983, dia mengemukakan bahwa setiap individu dianugerahi kemampuan untuk beradaptasi antarpribadi. Oleh karena itu maka
setiap individu memiliki kemampuan untuk menyaring manakah perilaku yang harus atau yang tidak harus dilakukan. Dalam realitas
komunikasi antarbudaya, pendekatan adaptasi ini selalu digunakan dalam komunikasi antarbudaya di negara-negara berkembang.
Universitas Sumatera Utara
g Pendekatan yang Berpusat pada NilaiValues Centered Approach-
ValCom Kluckhohn dan Strodbeck 1961 mengindentifikasi lima orientasi
nilai dari berbagai kebudayaan yang diteliti: 1 Nilai yang berkaitan dengan sifat dasar manusia, yakni orientasi
nilai tentang: kejahatan-kebaikan dan kejahatan-kebaikan. 2 Nilai yang berkaitan dengan relasi manusia dengan alam., sering
disebut orientasi manusia terhadap alam. Ada tiga orientasi nilai: manusia tunduk pada alam-harmoni dengan alam-manusia menguasai
alam. 3 Nilai yang berhubungan dengan waktu kehidupan manusia yakni
orientasi nilai: waktu masa lalu-kini-yang akan datang. 4 Nilai rata-rata aktivitas manusia, sering disebut orientasi aktivitas,
yakni orientasi nilai: mengubah yang ada- menjadikan yang ada semakin bermutu-membuat sesuatu yang baru.
5 Nilai rata-rata relasi individu dengan manusia, sering disebut orientasi relasional. Ada tiga nilai orientasi relasional: mengubah relasi
yang sedang berlangsung-menjamin relasi yang sedang berlangsung- tetap bersikap individual.
Kelima nilai diatas disebut juga ‘iklim perilaku” dari sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa kebudayaan mempunyai
pengaruh yang sangat besar terhadap “iklim perilaku”, “iklim perilaku” mempengaruhi orientasi nilai termasuk komunikasi
antarbudaya.
Universitas Sumatera Utara
Penulis menggunakan teori komunikasi antarbudaya karena berhubungan langsung dengan masalah penelitian. Teori ini hanya menjelaskan pengertian dan
asumsi komunikasi antarbudaya , sementara faktor pendukung dan faktor penghambat dalam menciptakan hubungan yang harmonis akan dijelaskan lebih
lanjut.
II.2 Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Hubungan Antarbudaya di dalam Masyarakat Majemuk