Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran Hak-hak Konsumen
1. Faktor-faktor yang Menyebabkan Pelanggaran Hak-hak Konsumen
Pelanggaran hak konsumen jika terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan kedudukan konsumen akan semakin sulit. Banyak faktor yang menyebabkan hak-hak konsumen dilanggar oleh pelaku usaha, pelanggaran hak- hak konsumen di Indonesia merupakan suatu hal yang sering di jumpai sehari- hari, beberapa sebab terjadinya pelanggaran hak konsumen adalah kedudukan Pelanggaran hak konsumen jika terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan kedudukan konsumen akan semakin sulit. Banyak faktor yang menyebabkan hak-hak konsumen dilanggar oleh pelaku usaha, pelanggaran hak- hak konsumen di Indonesia merupakan suatu hal yang sering di jumpai sehari- hari, beberapa sebab terjadinya pelanggaran hak konsumen adalah kedudukan
diakui
bahwa
konsumen sering menghadapi
ketidakseimbangan dalam hal ekonomi, tingkat pendidikan, dan daya tawar, dan mengingat bahwa konsumen harus memiliki hak akses ke produk yang tidak berbahaya, serta hak atas akses untuk mempromosikan adil, pembangunan ekonomi dan sosial yang adil dan berkelanjutan Faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak konsumen bisa disebabkan karena sistem hukum yang berlaku belum efektif. Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya p
Substansi Hukum, Struktur Hukum/Pranata Hukum dan Budaya Hukum Mengenai faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak- hak konsumen khususnya yang ditangani oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta akan dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedman adalah sebagai berikut :
a. Substansi Hukum
Teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum yang mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang (law books). Sebagai negara yang masih menganut sistem Cicil Law Sistem atau sistem Eropa Kontinental (meski sebagaian peraturan perundang-undangan juga telah menganut Common Law Sistem atau Anglo Sexon) dikatakan hukum adalah peraturan-peraturan yang tertulis sedangkan peraturan-peraturan yang tidak tertulis bukan dinyatakan hukum. Sistem ini mempengaruhi sistem hukum di Indonesia. Salah satu pengaruhnya adalah adanya asas Legalitas dalam KUHP.
dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.
Peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar dalam menyelenggarakan perlindungan terhadap hak-hak konsumen oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta antara lain adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
3) Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 2008 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Banjarmasin, Kota Cirebon, Kota Surakarta, Kota Magelang, Kota Tanjung Pinang serta Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.
4) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Tugas dan Wewenang BPSK.
5) Keputusan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 33/M- DAG/KEP/1/2011 tentang Pengangkatan Anggota BPSK Surakarta.
6) Peraturan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Surakarta No. 034/PER/II/IX/2011/BPSK.Ska tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Konsumen.
7) Keputusan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Surakarta No. 035/KEP/III/IX/2011/BPSK.Ska tentang Kode Etik Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Surakarta. Kode Etik Anggota BPSK.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bambang Ari Wibowo, SH yang menyatakan bahwa : Banyak dasar hukum yang digunakan dalam rangka perlindungan
terhadap konsumen, yang didalamnya termuat hak-hak apa saja yang dimiliki oleh konsumen, tetapi dari sekitar 200 juta penduduk Indonesia
30%, dan yang memahami akan hak-haknya hanya 11- Lapangan 2)
Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Suryanto yang menyatakan bahwa, mengenai hak-hak yang saya miliki, yang saya tau kewajiban saya adalah
Hal senada juga diungkapkan oleh Oleh Ibu Henny salah satu konsumen yang datang ke BPSK Surakarta yang menyatakan bari bahwa
ke kantor polisi, dari pihak kepolisian saya diberitahu adanya BPSK sehingga
Dari wawancara diatas dapat disimpulkan bahwa substansi hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen sudah banyak dimuat dalam produk undang-undang mapun didalam aturan dibawahnya. Namun demikian, walaupun produk undang-undang sudah ada yaitu Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang sekitar 13 tahun sudah berlaku tetapi masyarakat belum banyak yang tahu akan adanya produk undang-undang tersebut apalagi yang paham akan hak-hak yang konsumen miliki.
b. Struktur Hukum atau Pranata Hukum
Dalam teori Lawrence Meir Friedman hal ini disebut sebagai sistem struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Kewenangan lembaga penegak hukum dijamin oleh undang-undang. Sehingga dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain. Hukum tidak dapat berjalan atau tegak bila tidak ada aparat penegak hukum yang kredibilitas, kompeten dan independen. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan.
dilanggar akibat kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha maka pemerintah mengeluarkan suatu produk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dalam Pasal 45 ayat 1 menyatakan
ap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan
Surakarta merupakan salah satu dari beberapa kabupaten atau kota di Indonesia yang dibentuk suatu badan guna menyelesaikan sengketa konsumen yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta yang dibentuk pada 10 Mei 2011.
Dalam penyelesaian sengketa konsumen tersebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta belum berjalan secara maksimal seperti yang diungkapkan oleh Bapak Bambang Ari Wibowo, SH adalah sebagai berikut :
Yang pertama adalah anggaran, pada tahun 2011 anggaran yang diberikan oleh APBD adalah 75 juta, tetapi pada kenyataannya anggaran tersebut tidak cair secara keseluruhan, yang cair tidak sampai 60 juta. Untuk tahun 2012 anggaran yang direncanakan adalah 200 juta tetapi sampai hari ini juga belum cair. Yang kedua adalah sarana dan prasarana, ruangan BPSK tidak tersedia, BPSK hanya memiliki satu ruangan saja yang digunakan untuk berbagai kegiatan baik, sidang, pengaduan, konsultasi, rapat. (Catatan lapangan 2)
Hal senada juga diungkapkan oleh Ibu Dra. Aniek Tri Maharni, Hambatan yang paling utama adalah ketersediaan dana, untuk foto copy saja kadang kita harus mengambil dari kantong sendiri. Sarana dan prasarana juga belum memadai, dapat dilihat Lapangan 3)
Hal tersebut juga semakin diperkuat dengan keterangan yang diberikan oleh Ibu Tuti Budi Rahayu, SH yang menyatakan bahwa :
Yang utama adalah dana, anggota BPSK sampai sekarang hanya diberi honor 300 ribu setipa bulan, dalam beberapa bulan ini saja honor tersebut belum juga keluar. Ada juga hambatan dari sarana dan prasarana, dapat dilihat sendiri kantor dari BPSK keadaannya seperti apa, fasilitasnyapun Yang utama adalah dana, anggota BPSK sampai sekarang hanya diberi honor 300 ribu setipa bulan, dalam beberapa bulan ini saja honor tersebut belum juga keluar. Ada juga hambatan dari sarana dan prasarana, dapat dilihat sendiri kantor dari BPSK keadaannya seperti apa, fasilitasnyapun
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa pranata hukum atau struktur hukum dalam menyelesaikan sengketa konsumen guna melindungi hak-hak konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta belum berjalan secara maksimal. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor penghambat antara lain adalah kurangnya ketersediaan dana, sarana dan prasarana yang kurang memadai, dan kurangnya sumber daya manusia guna mendukung kinerja di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta.
c. Budaya Hukum
Kultur hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan tercipta budaya hukum yang baik dan dapat merubah pola pikir masyarakat mengenai hukum selama ini. Secara sederhana, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum.
Dari teori diatas dikemukakan bahwa tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum. Dalam hal ini jika dikaitkan dengan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen maka dapat dikatakan bahwa pelaku usaha kurang mentaati terhadap aturan-aturan yang dikeluarkan seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sri Wahyuni, MM adalah,
Pelaku usaha tidak memberikan informasi yang jelas terhadap produk yang mereka keluarkan, misal ada beberapa produk makanan yang tidak memenuhi standar, tidak ada tanggal kadaluarsa dan sebagainya padahal itu diwajibkan harus ada dalam setiap produk (Catatan Lapangan 1)
Selama ini pelaku usaha menggunakan kesempatan bahwa konsumen memang sedang butuh, pelaku usaha mengetahui bahwa konsumen sedang butuh maka mereka membujuk konsumen agar mau meminjam dana. Sedangkan pembuatan aturan terkadang tidak sesuai dengan ketentuan, misal huruf dalam perjanjian kecil-kecil sehingga konsumen enggan untuk membacanya. Pelaku usaha kebanyakan juga tidak memberikan informasi yang jelas kepada konsumen, misal iklan yang disajikan tidak jelas atau tidak detail atau menimbulkan anggapan lain, contoh : mendapat bonus setelah pemakaian sekian, tetapi tidak dijelaskan bonus itu sampai berapa hari dan berapa jumlahnya. (Catatan lapangan 3)
Hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan Ibu Tuti Budi Rahayu, SH yang menyatakan : Pelaku usaha yang tidak memberikan informasi yang jelas pada iklan
yang mereka buat, mereka membuat iklan dengan tersembunyi atau tidak ada keterbukaan dalam informasinya. Padahal informasi ini sangat penting bagi konsumen yang akan menggunakan produk mereka, jika berbahaya maka yang lebih banyak dirugikan pasti juga konsumen sendiri. (Catatan lapangan 4)
Dari pernyataan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kesadaran hukum dari pelaku usaha dapat dikatakan rendah, didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 7 ayat 2 disebutkan bahwa, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
kenyataannya pelaku usaha yang terlibat dalam sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta kurang memberikan informasi yang jelas terhadap konsumen.
Berdasarkan hasil-hasil temuan dan berdasarkan teori yang digunakan untuk mengukur faktor-faktor apa saja yang menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Substansi hukum : Pemerintah Negara Indonesia telah mengeluarkan produk undang-undang maupun peraturan dibawahnya guna mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, tetapi masyarakat belum banyak a. Substansi hukum : Pemerintah Negara Indonesia telah mengeluarkan produk undang-undang maupun peraturan dibawahnya guna mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, tetapi masyarakat belum banyak
b. Struktur hukum atau pranata hukum : Guna mewujudkan perlindungan terhadap hak-hak konsumen yang dilanggar oleh pelaku usaha maka dibentuk aparat penegak hukum yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta, tetapi selama ini belum dapat berjalan secara maksimal hal ini disebabkan oleh : kurangnya ketersediaan dana, kurangnya sarana dan prasarana, dan kurangnya sumber daya manusia.
c. Budaya hukum : tingkat kesadaran hukum dari pelaku usaha masih dapat dikatakan kurang, padahal secara jelas didalam undang-undang sudah disebutkan bahwa ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha.