Tinjauan Pustaka

3. Tinjauan Umum Pelaku Usaha

a. Pengertian Pelaku Usaha

Dalam menjalankan kegiatan ekonomi atau kegiatan perdagangan, konsumen tidak dapat dipisahkan dengan pelaku usaha. Menurut Pasal 1 angka

3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa : Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun besama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

meliputi berbagai bentuk atau jenis usaha, maka sebaiknya ditentukan urutan- urutan yang seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha. Menurut Ahmadi Miru (2011: 23), urutan tersebut adalah sebagai berikut :

1) yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisili didalam negeri dan berdomisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan;

2) apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi diluar negeri, maka yang digugat adalah impotirnya, karena UUPK tidak mencakup pelaku usaha diluar negeri; dan

3) apabila produsen maupun importir dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang tersebut.

Urutan-urutan diatas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu produk mengalami cacat pada saat diproduksi, karena kemungkinan barang mengalami kecacatan pada saat sudah berada diluar kontrol atau diluar kesalahan produsen yang membuat barang tersebut.

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

1) Hak Pelaku Usaha Pelaku usaha juga mempunyai hak-hak yang harus dilindungi seperti halnya konsumen. Hak-hak pelaku usaha menurut Pasal 6 Undang- Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 adalah :

a) hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b) hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;

c) hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d) hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e) hak-hak yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya.

Selain hak-hak diatas pelaku usaha juga mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi kepada konsumen. Kewajiban pelaku usaha yang termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 adalah :

a) beritikad baik dalam melakukan usahanya;

b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur dan tidak diskriminatif;

d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

4. Penyelesaian Sengketa Konsumen

a. Pengertian Sengketa Konsumen

A. Z. Nasution dalam Susanti Adi Nugroho (2011: 95) menyatakan ku usaha (baik dalam hukum publik atau hukum privat) tentang produk barang tertentu yang dikonsumsi konsumen, dan atau jasa yang ditawarkan

sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen, yang ruang lingkupnya mencakup semua

Peraturan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surakarta No : 034/PER/II/IX/2011/BPSK.Ska tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Peraturan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surakarta No : 034/PER/II/IX/2011/BPSK.Ska tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa

Jadi sengketa konsumen adalah sengketa yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha yang berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen yang berkaitan dengan produk barang tertentu yang dikonsumsi konsumen, dan atau jasa yang ditawarkan produsen/pelaku usaha yang ruang lingkupnya mencakup semua hukum, baik keperdataan, pidana, maupun dalam lingkup administrasi negara.

b. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen menyebutkan bahwa :

1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

3) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.

4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanyaa dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.

Secara umum penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui 2 cara, yaitu melalui proses litigasi maupun dengan proses non litigasi dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi 1) Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi

a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;

b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi itu adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d) Pemerintah dan/atau instansi terkait jika barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan keruian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Pada umunya proses penyelesaian sengketa melalui litigasi kurang disukai oleh konsumen, Susanti Adi Nugroho (2011: 127) menyebutkan beberapa alasan, antara lain adalah :

a) Penyelesaian sengketa melalui litigasi pada umunya lambat. Proses pemeriksaan bersifat sangat formal dan teknis. Sifat formal dan teknis pada lembaga peradilan sering mengakibatkan penyelesaian sengketa yang berlarut-larut, sehingga membutuhkan waktu yang lama. Apalagi dalam sengketa bisnis, dituntut suatu penyelesaian sengketa yang cepat dan biaya yang murah.

b) Para pihak menganggap bahwa biaya perkara sangat mahal, apalagi dikaitkan dengan lamanya penyelesaian sengketa. Semakin lama penyelesaian suatu perkara akan semakin besar biaya yang dikeluarkan. Orang yang berperkara dipengadilan harus mengerahkan segala sumber daya, waktu dan pikiran.

c) Pengadilan sering dianggap kurang tanggap dan kurang responsif dalam menyelesaikan perkara. Hal itu disebabkan karena pengadilan dianggap kurang tanggap membela dan melindungi kepentingan serta kebutuhan para pihak yang berperkara dan masyarakat menganggap pengadilan sering berlaku secara tidak adil.

memuaskan para pihak. Hal itu disebabkan karena dalam suatu putusan ada pihak yang merasa menang dan kalah tersebut tidak akan memberikan kedamaian pada salah satu pihak, melainkan akan menumbuhan bibit dendam, permusuhan dan kebencian.

e) Kemampuan hakim yang bersikap generalis, para hakim dianggap hanya memiliki pengetahuan yang sangat terbatas, hanya pengetahuan dibidang hukum saja, sehingga akan sulit menyelesaikan sengketa atau perkara yang mengandung kompleksitas diberbagai bidang.

2) Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses non litigasi Dengan maraknya kegiatan bisnis tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antara para pihak yang terlbat, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui proses peradilan (litigasi). Proses ini membutuhkan waktu yang lama, namun alasan yang sering mengemuka dipilihnya penyelesaian alternatif karena ingin memangkas birokrasi perkara, biaya, dan waktu sehingga relatif lebih cepat dengan biaya yang relatif lebih murah, lebih dapat menjaga harmoni sosial dengan mengembangkan budaya musyawarah. Melalui proses non litigasi diharapkan tidak terjadi prinsip lose-win tetapi win-win. Faktor penting yang berkaitan dengan pelaksanaan sengketa diluar pengadilan juga mempunyai kadar yang berbeda-beda. Menurut Susanti Adi Nugroho (2011: 100) kadar tersebut adalah :

a) Apakah partisipasi dalam penyelesaian sengketa diluar pengadilan wajib dilakukan oleh para pihak atau yang bersifat sukarela;

b) Apakah putusan ddibuat para pihak sendiri atau pihak ketiga;

c) Apakah prosedur yang digunakan bersifat formal atau tidak formal;

d) Apakah para pihak dapat diwakili oleh pengacaranya atau para pihak sendiri yang tampil;

e) Apakah dasar untuk menjatuhkan putusan adalah aturan hukum atau ada kriteria lain;

f) Apakah putusan dapat dieksekusi secara hukum atau tidak.

Selanjutnya Susanti Adi Nugroho (2011: 101) juga menyatakan bahwa tidak semua model penyelesaian sengketa diluar pengadilan baik untuk Selanjutnya Susanti Adi Nugroho (2011: 101) juga menyatakan bahwa tidak semua model penyelesaian sengketa diluar pengadilan baik untuk

a) Haruslah efisien dari segi waktu;

b) Haruslah hemat biaya;

c) Haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh;

d) Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa;

e) Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur;

f) Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya dimasyarakat dan para pihak yang bersengketa;

g) Putusannya harus final dan mengikat;

h) Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi;

i) Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komunitas dimanapenyelesaian sengketa dilaksanakan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen membentuk suatu lembaga baru dalam hukum perlindungan konsumen sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen secara non litigasi atau diluar pengadilan, badan tersebut disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan sederhana. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha atau produsen, biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya dipengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut. Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sendiri pada dasarnya adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracaradi pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diharapkan akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan. (Susanti Adi Nugroho, 2011: 75) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen membentuk suatu lembaga baru dalam hukum perlindungan konsumen sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen secara non litigasi atau diluar pengadilan, badan tersebut disebut dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan sederhana. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dapat menjadi bagian dari pemerataan keadilan, terutama bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha atau produsen, biasanya nominalnya kecil sehingga tidak mungkin mengajukan sengketanya dipengadilan karena tidak sebanding antara biaya perkara dengan besarnya kerugian yang akan dituntut. Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sendiri pada dasarnya adanya kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracaradi pengadilan karena posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan pelaku usaha. Keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diharapkan akan mengurangi beban tumpukan perkara di pengadilan. (Susanti Adi Nugroho, 2011: 75)

Menurut Soejono Soekanto (1990: 268 aspek dinamis kedudukan (status) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya maka dia menj

Sedangkan W. J. S Poerwadarminta (1987: 735) sesuatu yang jadi bagian atau memegang pimpinan yang terutama (dalam terjadinya suatu h

Jadi yang dimaksud dengan peran adalah sesuatu yang menjadi bagian penting yang merupakan aspek dinamis untuk memenuhi hak dan kewajian.

b. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku

Menurut Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 13/M-DAG/PER/3/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Kon Sengketa Konsumen yang selanjutnya disingkat BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan

Menurut Celina Tri Siwi Kristiyanti (2008: 126) menyatakan bahwa (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara Dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Cepat Waktu penyelesaian yang diperlukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk menyelesaikan sengketa konsumen relatif cepat, yakni selambat-lambatnya dalam waktu 21 hari kerja sejak diterimanya pengaduan

Penyelesaian Sengketa Konsumen.

2) Sederhana Berbeda dengan di Pengadilan Negeri, yang dalam proses penyelesaian sengketa mengenai adanya gugatan atau intervensi jawaban, replik, duplik, kesimpulan dan lainnya. Maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen cukup sederhana yaitu konsumen menyampaikan pengaduannya, pelaku usaha menyampaikan jawabannya, selanjutnya majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara damai, musyawarah, kekeluargaan dalam rangka memperoleh putusan yang bersifat win-win solution.

3) Mudah Penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak dipungut biaya, baik kepada konsumen maupun kepada pelaku usaha (biaya administrasi berupa surat panggilan, pengetikan, dan lainnya).

Jadi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen yang diharapkan dapat menyelesaikan perkara secara cepat, sederhana, dan murah.

c. Syarat Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Menurut Pasal 49 angka 2 Undang-Undang Pelindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Penyelesaian sengketa Konsumen, seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut :

1) warga negara Republik Indonesia;

2) berbadan sehat;

3) berkelakuan baik;

4) tidak pernah dihukum karena kejahatan;

5) memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan

konsumen;

6) berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Sengketa Konsumen juga ada syarat khusus seperti yang terdapat pada Pasal 7 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 13/M- DAG/PER/3/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu :

1) diutamakan bertempat tinggal diwilayah kabupaten/kota setempat untuk Provinsi DKI Jakarta bertempat tinggal di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi;

2) diutamakan berpendidikan paling rendah strata 1 (S1) dari lembaga

pendidikan yang terakreditasi;

3) calon yang berasal dari unsur pemerintah berpangkat paling rendah Penata/golongan III/c dan diutamakan yang tidak menjabat dalam jabatan struktural; dan

4) calon yang berasal dari unsur konsumen dan pelaku usaha tidak

sedang menjadi pengurus salah satu partai politik.

Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 13/M-DAG/PER/3/2010 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen mengatur bahwa calon anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk setiap unsur harus melengkapi dokumen sebagai berikut :

1) daftar riwayat hidup;

2) fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dengan menunjukkan

aslinya;

3) fotokopi ijasah pendidikan terakhir yang telah dilegalisir oleh

pejabat yang berwenang;

4) surat keterangan kesehatan dari dokter rumah sakit atau puskesmas;

5) surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari kepolisian

setempat;

6) fotokopi keputusan kenaikan pangkat terakhir bagi calon yang

berasal dari unsur pemerintah;

7) fotokopi Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi calon anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen yang mewakili LPKSM;

8) surat pernyataan bermaterai cukup bahwa berpengalaman dibidang

perlindungan konsumen;

9) surat pernyataan bermaterai cukup bahwa tidak sedang menjadi

pengurus partai politik; pengurus partai politik;

11) pas foto terakhir ukuran 4X6 sebanyak 2 (dua) lembar.

d. Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dalam melaksanakan fungsinya untuk menjamin dan menegakkan hak-hak konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diberi tugas dan wewenang. Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999 Pasal 52 jo. SK. Memperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah :

a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, atau arbritasi atau konsiliasi;

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam undang-undang ini;

e. menerima pengaduan, baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimnana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. mendapatkan, meneliti, dan/atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian dipihak

konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan undang-undang ini.

Konsumen dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen di Indonesia merupakan ujung tombak dilapangan untuk memberikan perlindungan terhadap hak konsumen yang telah dirugikan.

Perlindungan yang diberikan oleh lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tersebut kepada konsumen adalah melalui penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dan juga berperan melakukan pengawasan terhadap setiap perjanjian atau dokumen yang mencantumkan klausula baku yang merugikan konsumen. (Kementrian Perdagangan Republik Indonesia, 2010: 61)

Hal senada juga dinyatakan oleh Susanti Adi Nugroho (2011: 83), bahwa ada dua peran strategis dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu :

1) BPSK berperan sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melaui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.

2) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku oleh

pelaku usaha.

Dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melaui konsiliasi, mediasi, dan arbitrase. Setiap konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dapat mengadukan masalahnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen baik secara langsung atau diwakili oleh ahli warisnya. Pengaduan yang disampaikan oleh ahli warisnya dapat dilakukan apabila konsumen yang bersangkutan dalam keadaan sakit, meninggal dunia, lanjut usia, belum dewasa atau warga negara asing. Pengaduan tersebut dapat disampaikan secara lisan atau tulisan kepada sekretariat di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di kota atau kabupaten tempat domisili konsumen atau di kota atau kabupaten terdekat dengan domisili konsumen.

Dengan adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan Dengan adanya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen maka penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat, mudah, dan

Proses penyelesaian sengketa konsumen di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk mendapatkan kesepakatan dari pelaku usaha mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi serta tidak terjadinya kesalahan yang sama maka didalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dicantumkan bahwa :

a) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum.

b) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

c) Penyelesian sengketa diluar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.

d) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

Celina Tri Siwi Kristayanti (2008: 199) mengutip Pasal 54 ayat 4 Jo. Pasal 26 sampai dengan Pasal 36 Surat Keputusan Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menyatakan terdapat tiga cara persidangan di Badan

konsiliasi, Persidangan dengan cara mediasi, persidangan dengan cara

Inisiatif salah satu pihak atau para pihak yang membawa sengketa konsumen ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ditangani oleh Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang bersikap pasif dalam persidangan dengan cara konsiliasi. Sebagai perantara antara pihak yang bersengketa, majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertugas (Pasal 28 Surat Keputusan Menperidag No. 350/MPP/Kep/12/2001) : (1) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; (2) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; (3) Menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang

bersengketa; (4) Menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen. Prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi ada dua (Pasal 29 Surat Keputusan Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) : (1) Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk

maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak.

(2) Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

b) Persidangan dengan cara mediasi Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sama halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai perantara dan penasehat penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi terlihat dari tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu : (1) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; (2) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; b) Persidangan dengan cara mediasi Cara mediasi ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, sama halnya dengan cara konsiliasi. Keaktifan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai perantara dan penasehat penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara mediasi terlihat dari tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu : (1) Memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; (2) Memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;

bersengketa; (5) Secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.

Prinsip tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi ada

dua

(Pasal 31 Surat Keputusan

menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) ; (1) Proses penyelesaian sengketa konsumen menyangkut bentuk

maupun jumlah ganti rugi diserahkan sepenuhnya kepada para pihak, sedangkan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertindak aktif sebagai mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam meyelesaikan sengketa.

(2) Hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dikeluarkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

c) Persidangan dengan cara arbitrase Pada persidangan dengan cara ini para pihak menyerahkan sepenuhnya kepada majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen untuk memutuskan dan menyelesaikan sengketa konsumen yang terjadi. Proses pemilihan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dengan cara arbitrase ditempuh melalui dua tahap (Pasal 32 Surat keputusan Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001) : (1) Para pihak memilih arbitor dari anggota Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

(2) Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis Badan Penyelesaian (2) Arbitor yang dipilih para pihak tersebut kemudian memilih arbitor ketiga dari anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari unsur pemerintah sebagai Ketua Majelis Badan Penyelesaian

2) Pengawasan terhadap Pencantuman Klausula Baku Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor

8 Tahun 1999 yang dimaks Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh

Dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen mempunyai peran untuk mengawasi klausula baku yang dibuat oleh semua pelaku usaha, termasuk klausula baku yang dikeluarkan oleh PT PLN (Persero), PT Telkom (Persero), bank-bank milik pemerintah maupun swasta, perusahaan leasing atau pembiayaan, dan lain-lain.