Pornografi Anak

2) Pornografi Anak

Mengutip pendapatnya A. Hamzah, “Kata pornografi berasal dari bahasa Yunani, porne artinya pelacur, dan graphein arti nya ungkapan”. (Neng Djubaedah, 2003: 138)

Menurut R. Ogien, dalam Haryatmoko, (2007: 93) “Pornografi dapat didefinisikan sebagai representasi eksplisit (gambar, tulisan, lukisan, dan foto) dari aktivitas seksual atau hal yang tidak senonoh, mesum atau cabul yang dimaksudkan untuk dikomunikasikan ke publik”.

Dalam Protokol Opsional Konvensi Hak Anak menyebutkan “Pornografi anak berarti pertunjukkan apaun atau dengan cara apa saja

yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau eksplisit atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan- tujuan seksual”. (ECPAT Internasional, 2006: 7)

Pornografi anak termasuk foto, pertunjukan visual, dan audio dan tulisan dan dapat disebarkan melalui majalah, buku, gambar, film, kaset video, hand phone serta disket atau file komputer. Penggambaran itu dapat bersifat eksplisit atau secara jelas melukiskan anak dalam sebuah aktivitas seksual atau secara tersamar di mana tubuh anak dicitrakan secara seronok dan merangsang.

Dengan bahasa lugas, pornografi dianggap akan menimbulkan daya tarik seksual sehingga akan mendorong perilaku yang membahayakan atau merugikan orang lain dan dirinya sendiri.

Mengutip pendapatnya Haryatmoko (2007: 96) “Menurut teori peniruan, semakin orang sering melihat pornografi, semakin ia terdorong untuk ikut melakukan”.

akan meniru segala sesuatu yang dilihat secara terus menerus. Hal inilah yang nantinya akan menjadi suatu kebiasaan dan akan merusak moral.

Persoalan pornografi ini akan menjadi sebuah perdebatan ketika dihadapkan dengan suatu karya seni (baik seni rupa maupun fotografi) karena selalu dihubungkan dengan kebebasan berekspresi dan berbicara. Seperti yang dikemukakan oleh Haryatmoko:

Persoalan pornografi menjadi pelik karena pertama, berhadapan dengan masalah kebebasan berekspresi, terutama bila mengandung nilai seni. Kedua, bagaimana menghadapi hak akan informasi. Dan ketiga , bagaimana menjamin hak untuk memenuhi pilihan pribadi, bila nilai seni dan pendidikannya dianggap meragukan. (Haryatmoko, 2007: 96)

Menghadapi masalah tersebut langkah yang dilakukan adalah menentukan batasan pornografi, selanjutnya Haryatmoko (2007: 97) menyatakan bahwa:

relativisme bila

acuan: pertama , mempertimbangkan konsepsi umum tentang seni. Dalam hal ini perlu diperhitungkan peran maksud pengarang dalam penentuan ciri- ciri karya seni, hakikat semua apresiasi yang masuk akal tentang karya seni. Kedua, mempertimbangkan konsepsi moral. Dasar ukuran moral umum ialah apakah mengakibatkan dehumanisasi atau terjadi pengobjekkan manusia. Ketiga, perlu diperhitungkan reaksi emosional yang ditimbulkan. Reaksi emosional macam apa yang ditimbulkan oleh karya tersebut (senang, jijik atau rangsangan seksual). Keempat, perlu dipertimbangkan pandangan dari berbagai teori psikologi (cartharsis, imitasi, dan pembiasaan). Dari keempat pertimbangan itu, penting untuk mendefinisikan secara lebih bertanggung jawab pembedaan seni dan pornografi, termasuk pembedaan antara pornografi dan erotisme.

Secara umum dalam ECPAT Internasional (2006: 7) menyebutkan ada dua kategori pornografi yaitu “Pornografi yang tidak eksplisit secara seksual tetapi mengandung gambar anak-anak yang telanjang dan menggairahkan serta pornografi yang menyajikan gambar anak- anak yang terlibat dalam kegiatan seksual”. Pengunaan gambar anak

cara. Anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan seksual untuk pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambar- gambar tersebut dibuat dalam proses pengeksploitasian seorang anak secara seksual tanpa sepengetahuan anak tersebut. Gambar-gambar ini kemudian disebarkan, dijual atau diperdagangkan. Kedua, orang-orang yang “mengkonsumsi” dan/ atau memiliki gambar anak-anak tersebut terus mengeksploitasi anak-anak ini. Permintaan mereka atas gambar anak-anak tersebut menjadi perangsang untuk membuat bahan-bahan porno tersebut. Ketiga, para pembuat bahan-bahan pornografi biasanya menggunakan produk-produk mereka untuk memaksa, mengancam atau memeras anak-anak yang dimanfaatkan untuk pembuatan produk-produk tersebut. Pemanfaatan pornografi anak yang paling jelas adalah untuk menimbulkan gairah dan kepuasan seksual.

Terlepas bagaimana pornografi itu diproduksi, penggunaan pornografi anak meningkatkan resiko anak untuk dijadikan obyek kekerasan seksual. Artinya pembuat atau pelanggan akan terpengaruh oleh hobinya untuk mencari anak dan memperlakukannya seperti yang dilihat atau didengarnya dari produk pornografi anak tersebut. Oleh karena itulah, pornografi anak merupakan ancaman yang sangat serius terhadap keselamatan dan kesejahteraan anak.

Ditingkat masyarakat, pornografi anak apakah itu gambar- gambar anak yang nyata atau eksplisit selalu berhasil menuai permintaan yang melibatkan eksploitasi dan kekerasan seksual terhadap anak dan terkait dengan pelacuran anak, perdagangan anak untuk tujuan seksual.

Pornografi anak sering dibuat dan disebarkan dengan menggunakan teknologi informasi (IT) dan internet. Teknologi-teknologi baru dan pertumbuhan fasilitas internet menciptakan lebih banyak kesempatan bagi para pelaku eksploitasi seksual anak dan pembuat pornografi anak, memfasilitasi perkembangan dan memperluas jaringan Pornografi anak sering dibuat dan disebarkan dengan menggunakan teknologi informasi (IT) dan internet. Teknologi-teknologi baru dan pertumbuhan fasilitas internet menciptakan lebih banyak kesempatan bagi para pelaku eksploitasi seksual anak dan pembuat pornografi anak, memfasilitasi perkembangan dan memperluas jaringan