Analisis Determinan Ketahanan Pangan di Kota Tebing Tinggi

(1)

LAMPIRAN

1. Data-Data Ketahanan Pangan Kota Tebing Tinggi

Bulan / Tahun Ketersediaan beras Luas Panen

Harga Dasar Beras

Jan-12 5.048,70 858 7.597,64

Feb-12 5.933,40 870 7.667,41

Mar-12 5.724,84 840 7.874,26

Apr-12 5.783,94 869 7.837,11

Mei-12 5.750,82 861 7.900,80

Jun-12 4.834,74 781 7.948,07

Jul-12 4.383,74 731 7.993,27

Agust-12 4.112,84 713 7.954,64

Sep-12 4.751,98 793 7.973,87

Okt-12 4.649,61 763 7.999,07

Nop-12 4.887,97 720 7.890,50

Des-12 4.457,84 701 7.944,79

Jan-13 5.263,45 799 7.988,76

Feb-13 5.236,45 875 8.167,05

Mar-13 5.041,46 884 8.152,78

Apr-13 5.653,13 884 8.113,92

Mei-13 4.968,64 754 8.485,75

Jun-13 4.551,90 732 8.470,79

Jul-13 5.737,84 789 8.484,13

Agust-13 4.170,74 778 8.499,98

Sep-13 4.637,85 732 8.585,72

Okt-13 4.673,94 722 8.598,67

Nop-13 5.260,84 795 8.629,08

Des-13 4.125,74 723 8.775,87

Jan-14 4.876,38 870 8.788,39

Feb-14 4.758,09 815 8.897,16

Mar-14 5.983,15 811 9.663,59

Apr-14 4.776,83 864 9.614,64

Mei-14 4.965,00 790 9.701,73

Jun-14 4.239,98 747 9.734,46

Jul-14 4.897,64 785 9.830,43

Agust-14 4.766,45 701 9.731,94

Sep-14 4.253,64 623 9.800,00

Okt-14 4.152,74 741 9.992,41

Nop-14 5.411,93 890 9.511,22


(2)

2. Hasil Regresi Persamaan Model 1

Dependent Variable: KETERSEDIAAN_BERAS Method: Least Squares

Date: 01/17/16 Time: 01:07 Sample: 2012M01 2014M12 Included observations: 36

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1385.336 1317.244 1.051693 0.3006

Luas_Panen 5.066536 1.020301 4.965726 0.0000 Harga_Dasar_Beras -0.050372 0.094829 -0.531194 0.5988 R-squared 0.473717 Mean dependent var 4923.226 Adjusted R-squared 0.441821 S.D. dependent var 548.3535 S.E. of regression 409.6825 Akaike info criterion 14.94830 Sum squared resid 5538712. Schwarz criterion 15.08026 Log likelihood -266.0694 Hannan-Quinn criter. 14.99435 F-statistic 14.85194 Durbin-Watson stat 2.181071 Prob(F-statistic) 0.000025


(3)

3. Hasil Regresi Persamaan Model 2

Dependent Variable: LUAS_PANEN Method: Least Squares

Date: 01/17/16 Time: 01:32 Sample: 2012M01 2014M12 Included observations: 36

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 1041.844 130.7594 7.967639 0.0000

Harga_Dasar_Beras -0.029869 0.015094 -1.978894 0.0560 R-squared 0.103281 Mean dependent var 784.0833 Adjusted R-squared 0.076907 S.D. dependent var 71.67322 S.E. of regression 68.86198 Akaike info criterion 11.35604 Sum squared resid 161227.1 Schwarz criterion 11.44401 Log likelihood -202.4087 Hannan-Quinn criter. 11.38674 F-statistic 3.916023 Durbin-Watson stat 1.335530 Prob(F-statistic) 0.055974


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Widarjono, Agus, 2006. Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: UI

Mahyudi, Ahmad, 2004. Ekonomi Pembangunan dan Analisis data Empiris. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Suryana, Ahmad. 2003. Kapita Selekta Evolusi Pemikiran Kebijakan Ketahanan pangan. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.

Badan Ketahanan Pangan. Angka Tetap (Atap) Tahun 2012.

_____________________Angka Tetap (Atap) Tahun 2013.

____________________ Angka Tetap (Atap) Tahun 2014.

Badan Pusat Statistik (BPS). Tebing Tinggi Dalam Angka Tahun 2012.

________________________Tebing Tinggi Dalam Angka Tahun 2013.

________________________TebingTinggi Dalam Angka Tahun 2014.

Afrianto, Denny. 2010. Analisis pengaruh Stok beras, Luas Panen, Rata-Rata Produksi,Harga Beras, dan Jumlah Konsumsi Beras Terhadap Ketahanan Pangan di Jawa Tengah. Skripsi.Universitas Diponegoro Semarang.

Derryriadi, 2009. Konsep dan Definisi Lahan Swah dan Bukan Sawah. ( Jurnal Elektronik ) diakses pada tanggal 05 Desember 2010 : Laporan Perekonomian Kota Padangsidimpuan Tahun 2008.


(5)

Dinas Pertanian Sumatera Utara, Program-Program Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura.2006.

Gujarati, Damodar N, 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Edisi ketiga. Jakarta : Erlangga.

Hasyim, Hasman, 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Beras di Sumatera Utara. Thesis, Universitas Sumatera Utara.

Nuraini, Ida, 2005. Pengantar Ekonomi Mikro. Malang : UMM press

Hajam, Muhammad Adnan, 1985. Pengantar Ekonomi Mikro dan Soal-Soal Latihan. Edisi pertama. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta..

Anindita, Ratna, 2008. Pendekatan Ekonomi Untuk Analisis Harga. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Rofiah, 2011. Analisis Determinan Ketahanan Pangan di Padangsidimpuan. Skripsi.Universitas Sumatera Utara.

Simbolon, Sahat, 2007. Teori Ekonomi Mikro. Medan : USU press.

Sukirno, Sadono. 2002. Pengantar Teori Mikroekonomi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Lestari, Tri, 2009. Dampak Konversi Lahan Bagi Taraf Hidup Petani. Makalah Kolokium. Institute Pertanian Bogor.

Pratomo, Wahyu Ario Dan Paidi Hidayat, 2007. Pedoman Praktis Penggunaan Eviews Dalam Ekonometrika, Medan: USU.


(6)

http://www.pdf-searcher.com/pdf/teori-lahan-pertanian-produktif.html


(7)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitia adalah langkah dan prosedur yang akan dilakukan dalam mengumpulkan data tau informasi empiris guna memecahkan permasalah dan menguji hipotesis pada penelitian. Adapun metode penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitan ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif, dimana penelitian drskriptif ini menekankan analisisnya pada data-data numerical (angka) yang diolah dengan metod statistik.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Tebing Tinggi , Sumatera Utara dan dimulai dari bulan oktober 2015.

3.3 Batasan Operasional

Batasan operasional penelitian ini adalah menganalisa pengaruh luas lahan produktif dan harga dasar beras terhadap ketahanan pangan kota Tebing Tinggi dalam kurun waktu 36 bulan selama 3 tahun ( 2012-2014 )

3.4 Definisi Operasional Variabel

1. Ketersediaan beras (Yt) adalah banyaknya beras yang berasal dari gabah

kering giling menjadi produksi beras untuk kota Tebing Tinggi yang tersedia mengatasi permintaan total konsumsi beras dalam satuan ton.


(8)

2. Luas Panen (X1t) adalah luas area atau lahan pertanian yang siap panen untuk

menghasilkan padi sawah di Kota Tebing Tinggi yang diukur dalam satuan Ha.

3. Harga dasar beras (X2t )adalah rata-rata harga eceran tertinggi yang berlaku di

pasar Kota Tebing Tinggi yang diukur dalam satuan Rupiah / kg.

3.5 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk times series yang bersifat kuantitatif yaitu data-data yang berupa angka-angka, sedangkan sumber data diperoleh dari publikasi Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Kota Tebing Tinggi dengan kurun waktu 36 bulan selama 3 tahun ( 2012-2014 ), serta bahan-bahan kepustakaan jurnal, serta website-website yang terkait.

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa tulisan-tulisan ilmiah, jurnal, artikel dan laporan-laporan penelitian yang ada hubungannya dengan topik yang diteliti. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan melakukan pencatatan secara langsung dari sumber informasi yang berkaitan dengan penelitian ini.

3.7 Model Analisis Data

Model analisis yang digunakan dalam menganalisa data dengan menggunakan metode kuadrat terkecil biasa (ordinary least squared ). Data yang


(9)

digunakan dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan analisis statistika yaitu persamaan regresi linier berganda.

Model persamaannya adalah sebagai berikut:

Yt = f (X1t , X2t )………...………...(1) Kemudian fungsi tersebut dispesifikasikan ke dalam bentuk model persamaan regresi linier sebagai berikut:

Yt = ot + β1 X1t +β2 X2t+ μt ………...………..(2) Dimana :

Yt : Ketersediaan beras pada waktu t (ton) t : Intercept / konstan

1 2 : Koefisien regresi

X1t : Luas Panen pada waktu t (Ha)

X2t : Harga dasar beras pada waktu t (Rp/kg)

µt : Term of error (kesalahan pengganggu)

Bentuk hipotesisnya sebagai berikut :

> 0, artinya apabila (Luas Panen ) mengalami kenaikan, maka (ketersediaan beras) juga akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.

> 0, artinya apabila (harga dasar beras) mengalami kenaikan, maka (ketersediaan beras) juga akan mengalami kenaikan, ceteris paribus.


(10)

3.7.1 Uji Kesesuaian (Test Of Goodness Of Fit)

Uji kesesuaian (Test of Goodness Fit) dilakukan untuk mengetahui kesesuian garis regresi sampel mencocokan data. Untuk menganalisa model tersebut dilakukan pengujian sebagai berikut:

1. Uji Koefisien Determinasi ( R-Square )

Uji koefisien determinasi (R2) dilakukan untuk mendeteksi ketepatan paling baik dari garis regresi. Uji ini digunakan untuk melihat sebarapa besar variabel-variabel bebas secara bersama mampu memberikan penjelasan mengenai variabel terikat dimana nilai koefisien determinasi (R2) adalah antara 0 sampai dengan 1 (0≤R2≤1). Koefisien determinasi bernilai nol berarti tidak ada hubungan antara variabel-variabel bebas dengan variabel terikat, sebaliknya nilai koefisien determinasi 1 berarti ada hubungan sempurna antara variabel bebas dengan terikat.

2. Uji t-Statistik (Partial Test)

Uji t merupakan suatu pengujian apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel terikat dengan menganggap variabel bebas lainnya konstan. Nilai t-statistik dapat diperoleh dengan rumus:

Dimana :

bi = Keofisien variabel bebas ke-i b = Nillai hipotesis nol

Sbi = Simpangan baku dari variabel ke-i


(11)

Ho : β1 = 0 Ha : β1 ≠ 0

Dengan ketentuan sebagai berikut: Ho diterima jika tstatistik < ttabel

Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Xi > 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Xi > 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Xi > 0,10 bila α = 10%

Artinya variabel-variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat. Ha diterima jika tstatistik > ttabel

Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Xi < 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Xi < 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Xi < 0,10 bila α = 10%

Artinya variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel terikat.

Ho ditolak Ho diterima Ho ditolak

-t (alpha/2;n-k) t (alpha/2;n-k) Gambar 3.1


(12)

3. Uji F-statistik ( Uji Keseluruhan )

Merupakan pengujian untuk melihat seberapa besar variabel independen secara bersama-sama mempengaruhi variabel dependen. Nilai FStatistik dapat diperoleh melalui rumus berikut ini :

F-Statistik = Dimana :

R² : koefisien determinan

k : jumlah variabel bebas dari intercept n : jumlah sampel

Untuk pengujian ini digunakan hipotesa sebagai berikut : Ho : β1 = β2 =0

Hα : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0

Pengujian ini dilakukan untuk membadingkan nilai FStatistik dengan Ftabel

dengan kriteria sebagai berikut: Ho diterima jika FStatistik < Ftabel

Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Y > 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Y > 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Y > 0,10 bila α = 10%

Artinya seluruh variabel bebas secara nyata mempengaruhi variabel terikat.


(13)

Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Y < 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Y < 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Y < 0,10 bila α = 10%

Artinya seluruh variabel bebas secara nyata mempengaruhi variabel terikat.

Ho diterima Ho ditolak

Gambar 3.2 Kurva Uji F-Statistik

3.7.2 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik a. Multikolinieritas ( Multicolinierity )

Multikolinaeritas adalah uji untuk mengetahui apakah ada hubungan yang kuat (kombinasi linier) diantara variabel bebas. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari nilai R2 dan nilai F-statistik, nilai t-statistik serta standard error. Suatu model regresi linier akan menghasilkan estimasi yang baik apabila model tersebut tidak mengandung multikolinearitas. Multikolinearitas terjadi karena adanya hubungan yang kuat antara sesama variabel bebas dari suatu model estimasi. Adanya multikolinearitas ditandai dengan :

1. Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α = 1%, α = 5%, α = 10%.


(14)

2. R-Square sangat tinggi.

Untuk pengujian dapat diperoleh dengan melakukan beberapa langkah yaitu :

a. Melakukan regresi model Y = f ( X1,…Xn) sehingga diperoleh nilai

R-square.

b. Melakukan regresi X1 terhadap seluruh X lainnya, maka diperoleh nilai -square ( regresi ini disebut auxiliary regression).

c. Membandingkan nilai Ri-square dengan R-square. Hipotesa yang dapat dipakai adalah :

Ho diterima apabila v-square < R-square, artinya model pertama tidak mengalami multikolinearitas.

Ha diterima apabila Ri -square > R-square, artinya model pertama mengalami multikolinearitas.

b. Uji Autokorelasi

Uji ini merupakan hubungan variabel-variabel dari serangkaian yang tersusun dalam rangkaian waktu. Autokorelasi juga menunjukkan hubungan nilai-nilai yang berurutan dari variabel yang sama. Autokorelasi dapat terjadi jika kesalahan pengganggu suatu periode korelasi dengan kesalahan pengganggu periode sebelumnya.

Untuk menguji apakah hasil-hasil estimasi tidak mengandung autokorelasi, maka dipergunakan Uji Durbin-Watson (D.W), dimana terlebih dahulu harus ditentukan besarnya nilai kritis dari du dan dl berdasarkan jumlah pengamatan dari variabel bebasnya.


(15)

Σ(et– et-1)2

d = Σet2

Untuk pengujian ini digunakan hipotesis sebagai berikut: Ho : ρ = 0, tidak ada gejala autokorelasi

Ha : ρ ≠ 0, ada gejala autokorelasi Dengan kriteria sebagai berikut:

Ho diterima jika (du < d < 4 − dl), artinya data pengamatan tidak terdapat autokorelasi.

Ha ditolak jika (d < dl) atau (d > 4 − dl), artinya data pengamatan memiliki gejala autokorelasi.

Auto-korelasi

Positif

Daerah keragu-raguan

Tidak ada autokorelasi

Daerah keragu-raguan

Auto-korelasi

Negatif

0 dl du 4-dl 4-du 4 Gambar 3.3


(16)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Kota Tebing Tinggi

Kira-kira seratus tiga puluh enam tahun yang lalu kota Tebing Tinggi sudah didiami suku bangsa Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari arsip lama, dimana dalam catatan tersebut dinyatakan Tebing Tinggi telah menjadi tempat pemukiman, tepatnya pada tahun 1864. Dari cerita-cerita rakyat yang dikisahkan oleh orang tua dari sebuah bandar kajum, meninggalkan kampung halamannya yang diikuti para mangawal dan inang para pengasuhnya melalui kerajaan padang menuju Asahan. Dalam perjalanan ini tibalah beliau disebuah desa yang pertama di kunjunginya yang bernama Tanjung Marulak yang sekarang menjadi perkebungan PTPN III Kebun Rambutan.

Setelah beberapa tahun Datuk Kajum tinggal di kampung Tanjung Marulak, karena kelihaian Kolonialis Belanda dengan politik pecah belahnya maka timbul sengketa dengan orang-orang dari Kerajaan Raya, yang berdekatan dengan kerajaan padang yang letaknya disebelah Selatan, yang akhirnya meluas menjadi perang saudara. Untuk mempertahankan serangan ini Datuk Bandar Kajum berhasil mencari tempat disebuah dataran di tepi sungai padang, disini dia membangun kampung yang dipagari dengan benteng-benteng pertahanan. Kampung itu sekarang disebut kampung Tebing Tinggi lama.

Dari sinilah berkembangnya kampung itu menjadi tempat pemukiman sabagai asal usul kota Tebing Tinggi. Pada tahun 1887, oleh pemerintah Hindia


(17)

Belanda, Tebing Tinggi di tetapkan sebagai kota pemerintahan di mana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang dilokasikan di sekitar kota Tebing Tinggi (Hinterland). Menjelang persiapan Tebing Tinggi menjadi kota otonom, maka untuk melaksanakan roda pemerintah pada tahun 1904 di dirikan sebuah Badan Pemerintah yang bernama Plaatseliijkke Fonds oleh Cultuur paad Soematera Timoer. Dalam perundang-undangan yang berlaku pada di Dentralisasikan ewet yang di tetapakan pada tanggal 23 Juli 1903.

Pada tahun 1910, sebelum dilaksanakannya Zelf Bestuur Padang (Kerajaan Padang), maka telah dibuat di titik “Pole Gruth” yaitu pusat perkembangan kota sebagai jarak ukur antara Kota Tebing Tinggi dengan kota sekitarnya. Patok Pole Gruth tersebut terletak di tengah-tengah Taman Bunga di lokasi Rumah Sakit Umum Herna. Untuk menunjang jalannya roda pemerintahan makan diadakan kutipan-kutipan berupa Cukai Pekan, iuran penerangan dan lain-lain yang berjalan dengan baik.

Pada masa Tebing Tinggi menjadi Kota Otonoom maka untuk melaksanakan pemerintah selanjutnya dibentuk Badan Gementeraad Tebing Tinggi, yang beranggotakan 9 orang dengan komposisinya 5 orang BangsaEropa, 3 orang Bumiputera, dan 1 orang Bangsa Timur Asing, hal ini didasarkan kepada Akte Perjanjian Pemerintah Belanda dengan Sultan Deli, bahwa dalam lingkungan Zelfbestuur di dudukan orang asing Eropa dan disamakan di tambah dengan orang-orang Timur Asing. Dengan adanya perbedaan golongan penduduk, dalam penguasaan tanah juga terdapat perbedaan hak yang mengaturnya, untuk mengadakan pengutipan-pengutipan yang disebut setoran Retribusi dan pajak


(18)

daerah, di angkatlah pada waktu itu Penghulu Pekan. Tugas Penghulu Pekan ini juga termasuk menyampaikan perintah-perintah atau kewajiban-kewajiban kepada Rakyat Kota Tebing-Tinggi yang masuk daerah Zelfbestuur. Dalam perkembangan selanjutnya Kota Tebing Tinggi sebagai Kota Otonom dapat kita baca dari tulisan J.J.MENDELAAR, dalam “NOTA BERTREFENDE

DEGEMENTE TEBING TINGGI” yang dibuatnya sekitar bulan juli 1930.

Dalam salah satu bab dari tulisan tersebut dinyatakan setelah beberapa tahun dalam keadaan vakum mengenai perluasan pelaksanaan Desentralisasi, maka pada tanggal 1juli 1917 berdasarkan Desentralisiewet berdirilah Gementee Tebing Tinggi dengan Stelings Ordanitie Van Statblaad 1917 yang berlaku 1 juli 1917.

Jadi tanggal 1 juli inilah merupakan hari jadi Kota Tebing Tinggi.

4.1.2 Kondisi Geografis dan Iklim

Kota Tebing Tinggi adalah salah satu dari tujuh kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara, yang berjarak sekitar 78 kilometer dari Kota Medan. Kota Tebing Tinggi terletak pada 30 19’00” – 30 21’00” Lintang Utara dan 980 11’ - 980 21’ Buju Timur. Kota Tebing Tinggi berada dibagian tengah Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai yang dibatasi oleh PTPN III Rambutan di Sebelah Utara, PT Socfindo Kebun Tanah Besih disebelah Timur, PTPN III Kebun Pabutan disebelah Selatan, dan PTPN III Kebung Gunung Pamela Bandar Bejambu disebelah Barat.

Hingga desember 2011, Kota Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kcamatan dan 35 kelurahan dengan luas wilayah 38,438 km2. Kecamatan Padang Hilir merupakan kecamatan yang terluas dengan luas 11.441 km2. Atau 29,76 persen


(19)

dari luas Kota Tebing Tinggi. Sebagian besar (50,86 persen) lahan Kota Tebing Tinggi digunakan sebagai lahan pertanian. Secara administratif Padangsidimpuan berbatasan oleh :

Sebelah Utara : PTPN III Kebun Rambutan , Kabupaten Serdang Bedagai.

Sebelah Selatan : PTPN IV Kebun Pabatu dan Perkebunan Paya Pinang, Kabupaten Serdang Bedagai.

Sebelah Barat : PTPN III Kebun Gunung Pamela, Kebupaten Serdang Bedagai.

Sebelah Timur : PT Socfindo Tanah Besi dan PTPN III Kebun Rambutan, Kabupaten Serdang Bedagai.

Dengan luas Wilayah Kota Tebing Tinggi 38,438 Km2. Kota Tebing Tinggi terdiri dari lima (5) wilayah kecamatan, tiga puluh lima (35) kelurahan/desa. Yaitu :


(20)

Tabel 4.1 :

Jumlah Kelurahan dan Desa di Kota Tebing Tinggi

Sumber : BPS Kota Tebing Tinggi

No. Kecamatan Kelurahan / Desa Keterangan

1. Bejenis 1. Kel. Berohol

2. Kel. Bulian

3. Kel. Pinang Mancung 4. Kel. Teluk Karang 5. Kel. Bandar Sakti 6. Kel. Durian 7. Kel. Pelita

7 kelurahan / desa

2. Padang Hilir 1. Kel. Tambangan 2. Kel. Tebing Tinggi 3. Kel. Bagelen 4. Kel. Damar Sari 5. Kel. Deblod Sundoro 6. Kel. Satria

7. Kel. Tambangan hulu

7 kelurahan / desa

3. Padang Hulu 1. Kel. Lubuk Baru 2. Kel. Pabatu 3. Kel. Lubuk Raya 4. Kel. Padang Merbau 5. Kel. Persiakan 6. Kel. Tualang 7. Kel. Bandarsono

7 kelurahan / desa

4. Rambutan 1. Kel. Karya Jaya

2. Kel. Lalang

3. Kel. Rantau Laban 4. Kel. Mekar Sentosa 5. Kel. Sri Padang 6. Kel. Tanjung Marulak 7. Kel. Tanjung Marulak

Hilir

7 kelurahan / desa

5. Tebing Tinggi Kota

1. Kel. Bandar Utama 2. Kel. Badak Bejuang 3. Kel. Mandailing 4. Kel. Pasar Baru 5. Kel. Pasar Gambir 6. Kel.Tebing Tinggi

Lama

7. Kel. Rambung


(21)

Kota Tebing Tinggi beriklim tropis dengan ketinggian 26-34 m di atas permukaan laut, maka temperatur udara dikota ini cukup panas yang berkisar antara 25oC-27oC. Sebagian besar wilayah kota Kota Tebing Tinggi digunakan sebagian pemukiman yaitu sebesar 41,83%, kemudian untuk lahan pertanian sebesar 40,91%, perhubungan 4,74% dan selebihnya digunakan untuk sarana sosial budaya, industri, dan lain-lainya. Didaerah ini dilintasi oleh aliran sungai besar dan kecil sebanyak 4 (empat) buah, yaitu sungai padang, sungai bahilang, sungai kalembah, dan sungai sibarau. Sungai yang paling besar melintasi daerah ini adalah sungai padang dengan panjang aliran ± 1.500 m dan lebar ± 15 m.

4.1.3 Kondisi Demografi

Hasil sensus penduduk tahun 2010 penduduk Kota Tebing Tinggi berjumlah 145.180 jiwa yang terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 72.845 jiwa dan perempuan berjumlah 73.335 jiwa. Dari hasil sensus penduduk 2010 tersebut juga nampak bahwa jumlah penduduk sebesar berada dikecamatan Bajenis sebensar 22,79 persen.

4.1.4 Potensi Wilayah

Pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas lapangan kerja, mengarahkan pendapatan masyarakat yang semakin merata, meningkatkan hubungan ekonomi regional dan mengusahakan perluasan kegiatan ekonomi dari sektor primer menuju kesektor sekunder dan tersier. Dengan kata lain , arah dari pembangunan ekonomi adalah mempercepat tingkat pertumbuhan


(22)

ekonomi agar pertumbuhan pendapatan masyarakat meningkat serta diikuti oleh pemerataan yang lebih baik.

Sebagai sebuah kota yang termasuk katagori sedang, dalam dua dasawarsa terakhir perekonomian Tebing Tinggi tumbuh dengan cepat seiring dengan perkembangan fasilitas yang ada baik fasilitas ekonomi seperti perdagangan, perbankan, industri, fasilitas pendidikan, kesehatan, komunikasi, serta fasilitas pendudukan lainnya. Perkembangan ekonomi Kota Tebing Tinggi dipacu karena letak strategi Kota Tebing Tinggi yang menjadi jalur lintas Sumatera. Di samping itu karena Tebing Tinggi merupakan daerah hinterland yang berkembang menjadi wilayah kota yang maju.

4.1.5 Potensi Pertanian

Sebagai pusat perkotaan, sudah dapat diperkiraan bahwa areal pertanian bukanlah merupakan sektor yang potensial dan banyak di usahakan oleh masyarakat. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi penyumbang Pendapatan Domestik Regional Bruto ( PDRB) Kota Tebing Tinggi. Sektor pertanian menempati urutan keempat setelah PDRB perkapita , sektor perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa. Seperti yang yang tertera dalam tabel.


(23)

Tabel 4.2 Indikator Ekonomi Kota Tebing Tinggi Tahun 2013 Indikator (1) Satuan (2) Jumlah (3)

PDRB ADH Berlaku Milyar 2,97

PDRB ADH Konstan Milyar 1,33

Pertumbuhan Ekonomi Persen 6,75

Struktur Ekonomi

Perdagangan, hotel dan restoran

Persen 13,64

Jasa-jasa Persen 14,16

Pertanian Persen 8,19

PDRB perkapita Juta 20,06

Tingkat Infasi Persen 5,79

Sumber : BPS Kota Tebing Tinggi

Selain itu pertanian yang ada di Kota Tebing Tinggi terdiri dari tanaman bahan makanan, perkebunan rakyat, perkebunan besar, peternakan, perikanan,dan kehutanan. Untuk tamnaman bahan makanan terdiri dari padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi rambat, kacang tanah, kacangkedelai,kacang hijau,dan tanaman sayur-sayuran.

4.1.6 Perkembangan Ketersediaan Beras

Padi adalah bahan dasar dari beras yang merupakan bahan makan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini,ketersediaan beras dicerminkan berdasarkan pada produksi beras yang dapat dihasilkan. Perkembangan produksi beras di kota Tebing Tinggi dari tahun 2012 hingga 2014 mengalami penurunan. Untuk tahun 2012 produksi beras terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 4.112,84 ton, sedangkan produksi tertinggi ditahun ini terjadi dibulan Februari sebesar 5.933,40 ton. Pada tahun 2013 produksi beras tertinggi terjadi pada bulan Juli sebesar 5.737,84 ton, sedangkan produksi


(24)

terendah terjadi dibulan Desember sebesar 4.125,98 ton. Ditahun 2014 produksi beras tertinggi terjadi di bulan Maret yaitu sebesar 5.983,15 ton, sedangkan produksi beras terendah sebesar 4.152,74 ton dibulan Oktober.

Tabel 4.3

Perkembangan Produksi Beras Kota Tebing Tinggi Tahun 2012-2014

No. Bulan Produksi Beras 2012 (Ton)

Produksi Beras 2013 (Ton)

Produksi Beras 2014 (Ton)

1. Januari 5.048,70 5.263,45 4.876,38

2. Februari 5.933,40 5.236,45 4.758,09

3. Maret 5.724,84 5.041,46 5.983,15

4. April 5.783,94 5.653,13 4.776,83

5. Mei 5.750,82 4.968,64 4.965,00

6. Juni 4.834,74 4.551,90 4.239,98

7. Juli 4.383,74 5.737,84 4.897,64

8. Agustus 4.112,84 4.170,74 4.766,45

9. September 4.751,98 4.637,85 4.253,64

10 Oktober 4.649,61 4.673,94 4.152,74

11. November 4.887,97 5.260,84 5.411,93

12. Desember 4.457,84 4.125,74 4.511,92

Total 60.320,42 59.321,98 57.593,75

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kota Tebigng Tinggi, data diolah,

Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa total produksi beras tertinggi terjadi ditahun 2012 yang mencapai 60.320,42 ton, hal ini mengalami penurunan sebesar 59.321,98 ton dan 57.593,75 ton ditahun 2014.

4.1.7 Perkembangan Luas Panen

Peningkatan luas panen padi dari bulan-kebulan dapat diamati pada tabel 4.4. dimana terlihat bahwa setiap bulannya mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan maupun penurunan luas panen padi, hal ini dapat terjadi akibat iklim yang kurang mendukung serta serta akibat hama yang menyerang. Panen terluas selama kurun waktu tiga tahun (2012-2014) terjadi pada


(25)

bulan November 2014 yang mencapai 890 Ha, sedangkan luas panen terendah terjadi pada bulan Desember 2014 mencapai 623 Ha.

Tabel 4.4

Perkembangan Luas Panen Padi Kota Tebing Tinggi Tahun 2012-2014

No. Bulan Luas Panen Padi 2012 (Ha)

Luas Panen Padi 2013 (Ha)

Luas Panen Padi 2014 (Ha)

1. Januari 858 799 870

2. Februari 870 875 815

3. Maret 840 884 811

4. April 869 884 864

5. Mei 861 754 790

6. Juni 781 732 747

7. Juli 731 789 785

8. Agustus 713 778 701

9. September 793 732 623

10. Oktober 763 722 741

11. November 720 795 890

12. Desember 701 723 623

Total 9.500 9.467 9.260

Sumber : Badan Ketahanan Pangan Kota Tebing Tinggi, data diolah

4.1.8 Perkembangan Harga Dasar Beras

Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga beras yang ada di pasar-pasar tradisional di kota Tebing Tinggi. Harga ini merupakan harga rata-rata dari tiga jenis beras yang dijual di pasar yaitu C-4 , IR-64, AAA. Perkembangan rata-rata harga beras selama tiga tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat nyata, perkembangan rata-rata harga ini dapat dilihat secara bulanan. Dapat dilihat di tabel berikut ini:


(26)

Tabel 4.5

Perkembangan Harga Beras di Kota Tebing Tinggi Tahun 2012-2014

No. Bulan Harga Dasar Beras 2012 (Rp)

Harga Dasar Beras 2013 (Rp)

Harga Dasar Beras 2014 (Rp)

1. Januari 7.597,64 7.988,76 8.788,39

2. Februari 7.667,41 8.167,05 8.897,16

3. Maret 7.874,26 8.152,78 9.663,59

4. April 7.837,11 8.113,92 9.614,64

5. Mei 7.900,80 8.485,75 9.701,73

6. Juni 7.948,07 8.470,79 9.734,46

7. Juli 7.993,27 8.484,13 9.830,43

8. Agustus 7.954,64 8.499,98 9.731,94

9. September 7.973,87 8.585,72 9.800,00

10. Oktober 7.999,07 8.598,67 9.992,41

11. November 7.890,50 8.629,08 9.511,22

12. Desember 7.944,79 8.775,87 9.867,30

Total 94.581,43 100.952,50 115.133,27

Sumber : BPS Tebing Tinggi, diolah

Tabel 4.4 menggambarkan perkembangan harga beras di kota Tebing Tinggi, rata-rata harga beras mengalami perubahan setiap bulannya. Perubahan tersebut dapat meningkat ataupun menurun yang jelas sejak tahun 20012 hingga 2014 harga tertinggi terjadi pada Oktober 2014 yang mencapai Rp 9.992,41.

4.2 Hasil dan Analisa

Analisa pembahasan ini dimaksudkan untuk mengetahui korelasi antara kedua variabel, yaitu variabel dependen (Ketersediaan Beras) dan variabel independen (Luas Panen dan Harga Dasar Beras). Untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut, penulis mengajukan dalam bentuk analisa matematik, sehingga dapat diketahui apakah Ketersediaan Beras di Kota Padangsidimpuan dipengaruhi oleh luas panen dan harga Dasar Beras.

Berdasarkan hasil regresi linier berganda dengan menggunakan program Eviews 7.0 diperoleh estimasi sebagai berikut :


(27)

4.3 Uji Kesesuaian (Test of Goodness of Fit)

Uji kesesuaian (Test of Goodness of Fit) dilakukan untuk mengetahui kesesuian garis regresi sampel mencocokan data. Untuk menganalisa model tersebut dilakukan pengujian sebagai berikut:

Hasil Regresi

Yt = 1385,336 + 5,066536 X1t - 0,050372 X2t Std.Error (1317,244) ( 1,020301) ( 0,094829) t-statistik (4,965726)* (-5,31194)*

R2 0.473717

F-statistik 14,85194 Adjusted R2 0,912053

Prob.Statistik 0,000025 DW-Statistik 2,181071

Keterangan ***) signifikan pada α = 1% **)signifikan pada α =5% *) signifikan pada α =10%

4.3.1 Uji Koefisien Determinasi ( R-Square (R2))

Uji koefisien determinasi (R2) dilakukan untuk mendeteksi ketepatan paling baik dari garis regresi. Uji ini digunakan untuk melihat sebarapa besar variabel-variabel bebas secara bersama mampu memberikan penjelasan mengenai variabel terikat. Dari hasil regresi diperoleh R2 = 0,473717 atau 47%, yang berarti bahwa variabel dependen yaitu Ketersediaan Beras di Kota Tebing Tinggi mampu dijelaskan oleh variabel – variabel independen yaitu Luas Panen dan Harga Dasar


(28)

Beras sebesar 47,37 % dan sisanya 52,63 % dijelaskan oleh variabel lain yang disertakan dalam estimasi.

4.3.2 Uji t-statistik ( Parsial Test )

Uji t merupakan suatu pengujian apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel terikat dengan menganggap variabel bebas lainnya konstan.

Dalam hal ini digunakan hipotesis sebagai berikut:

Ho : β1 = 0 H0 diterima (t-statistik < t-tabel) artinya variabel

independen secara parsial tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap variabel independen.

Ha : β1 ≠ 0 Ha diterima (t-statistik > t-tabel) artinya variabel

independen secara parsial berpengaruh nyata atau signifikan terhadap variabel dependen.

Dengan ketentuan sebagai berikut:

Ho diterima jika t-statistik < ttabel Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Xi > 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Xi > 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Xi > 0,10 bila α = 10%

 Artinya variabel-variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat. Ha diterima jika t-statistik > ttabel

Dalam program Eviews:


(29)

b. Probabilitas Xi < 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Xi < 0,10 bila α = 10%

 Artinya variabel-variabel bebas mempengaruhi variabel terikat.

a. Variabel Luas Panen (X1)

Dari analisa regresi diketahui t-hitung = 4,965726 Dimana : α = 1 %

df = n – k – 1 = 36 – 2 – 1 = 33

Maka t-tabel = 2,733

Dari hasil estimasi diatas menunjukkan bahwa t-statistik > t-tabel (4,965726 > 2,733 ). Dapat diketahui bahwa Luas Panen (X1t) signifikan pada α = 1%, Dengan demikian Ha diterima, artinya variabel Luas Panen (X1t) berpengaruh nyata terhadap variabel Ketersediaan Beras (Yt) pada tingkat kepercayaan 99%.


(30)

Ha diterima Ha diterima

Ho diterima

-2,733 0 2,773 4,066536

Gambar 4.1 Kurva Uji t-statistik Variabel Luas Panen (X1)

b. Variabel Harga Dasar Beras (X2)

Dari analisa regresi diketahui t-hitung = -0,050372 Dimana: α = 1%

df = n – k – 1 = 36 – 2 – 1 = 33

Maka t-tabel = 2,733

Dari hasil estimasi diatas diketahui bahwa t-statistik > t-tabel (-0,050372 < 2,733). Dapat diketahui bahwa Harga Dasar Beras (X2t) tidak signifikan pada

α = 1% . Dengan demikian Ho diterima, artinya variabel Harga Dasar Beras (X2)

tidak berpengaruh nyata terhadap variabel Ketersediaan Beras (Y) pada tingkat kepercayaan 99%.


(31)

Ho diterima

Ha diterima Ha diterima

-2,733 -0,050 0 0,773

Gambar 4.2 Kurva Uji t-statistik Variabel Harga Dasar Beras ( X2 )

4.3.3 Uji F-Statistik

Uji F-statistik adalah pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah variabel independen mampu secara bersama – sama mempengaruhi peningkatan variabel dependen. Untuk pengujian ini digunakan sebagai berikut:

Kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

Ho : β1 = β2 = 0 H0 diterima (F-statistik < F-tabel) artinya variabel

independen secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata atau tidak signifikan terhadap variabel independen.

Ha : β1 ≠ β2 ≠ 0 Ha diterima (F-statistik > F-tabel) artinya variabel

independen secara bersama-sama berpengaruh nyata atau signifikan terhadap variabel dependen.


(32)

Pengujian ini dilakukan untuk membadingkan nilai F-statistik dengan F-tabel dengan kriteria sebagai berikut:

Ho diterima jika F-statistik < F-tabel Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Y > 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Y > 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Y > 0,10 bila α = 10%

 Artinya variabel-variabel bebas tidak mempengaruhi variabel terikat Ha diterima jika F-statistik > F-tabel

Dalam program Eviews:

a. Probabilitas Y < 0,01 bila α = 1% b. Probabilitas Y < 0,05 bila α = 5% c. Probabilitas Y < 0,10 bila α = 10%

 Artinya variabel bebas memepengaruhi variabel terikat Dari hasil analisa regresi diketahui F-statistik = 14,85194 Dimana : α = 1%

df = (k – 1, n – k–1) = (2 – 1, 36 – 2– 1) = (1,33)

Maka F-tabel = 7,49

Berdasarkan perhitungan diatas diperoleh bahwa F-statistik > F-tabel (14,85194 > 7,49). Dengan demikian Ha diterima yang artinya bahwa variabel


(33)

bebas secara keseluruhan berpengaruh terhadap variable terikat pada tingkat kepercayaan 99%.

Ho diterima

Ha diterima

0 7,49 14,85194

Gambar 4.3 Kurva Uji F-Statistik

4.4 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik

4.4.1 Multikolinearitas ( Multicolinierity)

Multikolinearitas adalah suatu kondisi dimana terdapat hubungan variabel independen diantara satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian ini tidak terdapat multikolinearitas diantara variabel independen. Hal ini dapat dilihat dari setiap koefisien masing – masing variabel sesuai dengan hipotesa yang telah ditentukan.

a. Nilai R² dari Variable Bebas (Korelasi Parsial)

Untuk menguji apakah model estimasi apakah terkena gejala multikolinearity maka dapat dilihat dari nilai koefisien determinasi variabel bebasnya.

Dari model analisa yaitu:

Yt = ot + β1 X1t +β2 X2t+ μt ………...………..(1)


(34)

Maka dilakukan pengujian diantara masing – masing variabel independen. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah ada hubungan diantara masing – masing variabel independen.

Luas Panen (X1) = f (Harga Dasar Beras (X2))

X1 = ot + β2 X2t+ μt ………...(2)

Maka dapat diketahui R2 = 0,103281 dari hasil regresi persamaan (2) ini dapat disimpulkan tidak ada multikolinearitas antara variabel independen. Karena R2 persamaan (2) lebih kecil dari R2 model analisa persamaan (1) yaitu (0,10 < 0,47).

b. Korelasi Antar Variabel

Hubungan keeratan antara variabel bebas juga dapat dilihat melalui program e-views7.0 dengan menggunakan uji korelasi antar variabel, yang hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 4.7 Correlation Matrix

Luas Panen Harga Dasar Beras

Luas Panen 1.000000 -0.321374

Harga Dasar Beras -0.321374 1.000000

Sumber : Eviews 7.0 , data diolah

Hasil diatas menunjukkan bahwa korelasi antar variabel tidak kuat, karena nilainya tidak ada yang melebihi 0,80 ( r < 0,80). Hal ini berarti bahwa variabel bebas yang ada pada model tidak mengalami multikolinearitas.


(35)

4.2.2 Uji Autokorelasi

Uji Durbin-Watson (Uji D-W) digunakan untuk mengetahui apakah didalam model yang digunakan terdapat autokorelasi diantara variabel – variabel yang diamati.

Hipotesanya yaitu:

Ho : ρ = 0, artinya tidak ada autokorelasi. Ha : ρ ≠ 0, artinya ada autokorelasi.

Dari hasil analisa regresi diketahui DW-hitung = 2,181071 Dimana : K = 2 , n = 36, α = 5%, dl = 1,35 , du = 1,59

4 – dl = 4 – 1,35 = 2,65 4 – du = 4 – 1,59

= 2,41

Berdasarkan hasil regresi dapat diperoleh bahwa DW-hitung = 1,699664 berada pada posisi du < d < 4 – dl (1,59 < 2,181071 < 2,65). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada autokorelasi dalam pengujian dengan tingkat kepercayaan 95%.


(36)

Autokorelasi Positif

Daerah

keragu-raguan

Tidak ada Autokorelasi

Daerah

keragu-raguan

Autokorelasi Negatif

0 1,35 1,59 2,181071 2,41 2,65 4 Gambar 4.4

Kurva Uji Durbin Watson

4.5 Hasil Interpretasi Regresi

Dari model estimasi dapat ditentukan variabel luas panen (X1) berpengaruh positif terhadap variabel ketersdiaan beras (Y) , dengan koefesien menunjukkan 5,0665 (X1), apabila tingkat luas panen di tingkatkan sebesar 100 dengan menganggap faktor lain tetap , maka tingkat ketersediaan beras naik sebesar 506 dan variabel harga dasar beras (X2) berpengaruh negatif terhadap ketersediaan beras (Y) di Kota Tebing Tinggi.

4.5.1 Pengaruh Luas Panen Terhadap Ketersediaan Beras

Nilai koefisien Luas panen memiliki tanda koefisien regresi yang positif yaitu sebesar 5,066536 terhadap Ketersediaan Beras. Hal ini menunjukkan apabila luas panen mengalami peningkatan sebesar 1 % maka akan meningkatkan ketersediaan beras sebesar 5,0 % setiap bulan, ceteris paribus. Sehingga luas panen mempunyai pengaruh nyata terhadap ketersediaan beras. Hal ini,telah


(37)

sesuai dengan hipotesis dan teori yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa luas panen mempunyai pengaruh yang positif terhadap ketersediaan beras.

4.5.2 Pengaruh Harga Dasar Beras Terhadap Ketersediaan Beras

Nilai koefisien Harga Dasar Beras memiliki tanda koefisien regresi yang negatif yaitu sebesar -0,531194 terhadap Ketersediaan Beras. Setiap peningkatan harga dasar beras sebesar 1% akan menyebabkan penurunan rasio ketersediaan beras sebesar 0,5% . Variabel harga dasar beras berpengaruh negatif karena beras merupakan barang primer dan bersifat inelastic, sehingga konsumen tetap harus membeli beras berapun tingkat harga yang berlaku.

4.5.3 Pembahasan Model

Untuk uji kesesuaian R2 mempunyai nilai sebesar 0,473717 ini berarti bahwa seluruh variabel independen ( Luas Panen dan Harga Dasar Beras ) mampu menjelaskan variabel dependen sebesar 47,37 % dan sisanya sebesar 52,63 % dijelaskan oleh variabel lain diluar model.

Untuk luas panen menunjukkan bahwa nilai t-hitung lebih besar dibandingkan dengan nilai t-tabel nilainya menunjukkan 5,066536 > 2,733, signifikan pada α 1%. Ini telah sesuai dengan toeri ekonomi yang menyebutkan bahwa besar kecilnya output produksi sangat dipengaruhi oleh input produksi yang digunakan. Disini dapat dilihat bahwa luas panen yang dijadikan gabah kering giling sebagai input untuk memproduksi beras mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ketersediaan beras.


(38)

Harga dasar beras menunjukkan bahwa nilai t-hitung lebih kecil dibandingkan dengan nilai t-tabel -0,531194 < 2,733 tidak signifikan pada α 1%. Untuk uji keseluruhan ( F-statistik ) menunjukkan bahwa variabel luas panen dan harga dasar beras secara bersama-sama mempengaruhi ketersediaan beras dengan F-statistik lebih besar dari F-tabel 14,8519 > 7,49.

Untuk uji asumsi klasik, model tidak terdapat multikolinieritas maupun autokorelasi.


(39)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh luas panen dan harga dasar beras terhadap ketersediaan beras di kota Tebing Tinggi , maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Luas Penen mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Ketersediaan Beras di Kota Tebing Tinggi, hal ini berarti hipotesis pertama diterima dan dapat diartikan bahwa apabila terjadi peningkatan Luas Panen akan menyebabkan peningkatan Ketersediaan Beras.

2. Harga Dasar Beras mempunyai pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap Ketersediaan Beras di Kota Tebing Tinggi, Nilai koefisien Harga Dasar Beras sebesar -0,531194 terhadap Ketersediaan Beras. Setiap peningkatan harga dasar beras sebesar 1% akan menyebabkan penurunan rasio ketersediaan beras sebesar 0,5% . Variabel harga dasar beras berpengaruh negatif karena beras merupakan barang primer dan bersifat inelastic, sehingga konsumen tetap harus membeli beras berapun tingkat harga yang berlaku.


(40)

5.2 Saran

1. Terdapatnya pengaruh yang signifikan antara luas panen dengan ketersediaan beras. Dalam hal ini disarankan supaya luas panen dapat ditingkatkan lagi, dengan cara memanfaatkan luas lahan yang ada agar nantinya ketersediaan beras dapat meningkat, dengan menjaga kualitas dan kuantitas lahan. Menjaga kualitas lahan dapat dilakukan melalui penggunaan teknologi tanam dan perawatan lahan sedangkan kuantitas lahan data dilakukan dengan menjaga lahan dari alih fungsi lahan pertanian.

2. Demikian juga dengan harga dasar beras mempunyai pengaruh yang positif terhadap ketersediaan beras. Kestabilan harga menjadi faktor yang berpengaruh bagi para petani untuk menanam padi. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan turut campur dalam menjaga kestabilan harga baik dimusim panen maupun pada musim tanam.


(41)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan

Pengertian pangan sendiri memiliki dimensi yang luas. Mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain); serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya, seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan dan sebagainya. Dengan demikian, pangan tidak hanya berarti pangan pokok, dan jelas tidak hanya berarti beras, tetapi pangan yang terkait dengan berbagai hal lain. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), sebagaimana tertuang dalam Deklarasi HAM Universal (Universal Declaration of Human Right) tahun 1948, serta UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Pengertian pangan dalam Suharjo (1988) adalah bahan-bahan yang dimakan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja, penggantian jaringan dan mengatur proses-proses di dalam tubuh. Selain itu ada pula pengertian yang dimaksud pangan pokok, yaitu bahan pangan yang dimakan secara teratur oleh sekelompok penduduk dalam jumlah cukup besar, untuk menghasilkan sebagian besar sumber energi. Pangan dikonsumsi manusia untuk mendapatkan energi yang berupa tenaga untuk melakukan aktivitas hidup (antara lain bernapas, bekerja, membangun, dan mengganti jaringan yang rusak). Pangan merupakan bahan bakar yang berfungsi sebagai sumber energi.


(42)

2.1.2 rogram Peningkatan Ketahanan Pangan

Program ini bertujuan untuk :

1. Meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan dan konsumsi pangan bersumber dari tanaman pangan, holtikultura serta produk-produk olahannya.

2. Mengembangkan kelembagaan produksi pangan yang mendukung peningkatan ketersediaan dan distribusi, serta konsumsi pangan.

3. Mengembangkan kelembagaan produksi pangan yang mendukung peningkatan ketersediaan dan distribusi, serta konsumsi pangan.

4. Menjamin ketersediaan pangan dan gizi yang baik bagi masyarakat. Sasaran program ini adalah :

1. Meningkatnya produksi dan ketersediaan pangan, beras secara berkelanjutan serta mempertahankan swasembada pangan.

2. Meningkatnya keaneka ragaman dan kualitas konsumsi pangan masyarakat perkapita dan menurunnya konsumsi beras.

3. Meningkatnya sektor mutu pola pangan harapan dan berkurangnya keluarga rawan pangan dan gizi.

4. Meningkatnya pemanfaatan tehnologi produksi pangan dan pengolahan bahan pangan.

5. Meningkatnya kuantitas dan kualitas pangan yang dipasarkan

6. Meningkatnya partisipasi masyarakat dan investasi swasta dalam pengembangan bisnis pangan.


(43)

2.1.3 Kebijakan Pertanian

Sistem otonomi daerah dan desentralisasi mendominasi serta populer dalam pelaksanaan tata kepemerintahan. Kewenangan tata kepemerintahan sebagian besar dilimpahkan kepada daerah. Sebuah pelimpahan kewenangan yang besar ini juga disertai tanggung jawab yang besar pula. Amanah UU No 22 tahun 1999 menegaskan pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dalam pemberian wewenang yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional melalui pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta dilandasi prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Kebijakan pertanian tesebut meliputi pengembangkan pertanian berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif dengan optimalisasi sumber daya pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan serta mewndorong usaha-usaha pertanian yang efesien, berkeadilan dan kondusif terhadap investasi dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat dan PAD. Pembangunan Pertanian berperan besar dalam rangka penyediaan pangan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan menyumbang penerimaan devisa dan pendapatan produk domestik bruto daerah (PDRB). Revitalisasi pembangunan pertanian yang akan menentukan kondisi keamanan pangan amat tergantung kepada masalah sarana produksi termasuk pupuk. Di hampir seluruh Kabupaten/Kota di Sumatera Utara program pupuk bersubsidi masih bermasalah. Hal ini harus segera diakhiri


(44)

dengan menindak tegas para pelaku penyimpangan agar program yang vital ini tidak gagal.

2.1.4 Ketersediaan Beras 2.1.4.1 Produksi Beras

Beras merupakan bahan makanan pokok hampir seluruh masyarakat Indonesia. Yang ketersediaannya sangat diharapkan untuk mencapai ketersediaan beras yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Hal tersebut tercipta dari produksi padi yang siap untuk diproduksi menjadi beras. Menurut Suryana ( 2004:93)Terwujudnya ketahanan pangan menuntut agar seluruh rumah tangga dapat menjangkau kebutuhan pangannya dalan jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu.

2.1.4.2 Teori Produksi

Produksi merupakan proses pengolahan input menjadi output. Produksi pertanian merupakan kemampuan para petani dalam menghasilkan produk pertanian dengan menggunakan faktor produksi yang dimiliki . Dalam proses produksi yang bertujuan menghasilkan output harus menggunakan berbagai input. Menurut Kadariah ( 1994 : 99 )Dalam pengambilan keputusan produksi terbagi menjadi tiga jangka waktu yaitu :

1. Keputusan jangka pendek merupakan keputusan tentang bagaimana memanfaatkan pabrik dan alat-alat produksi yang ada dengan sebaik-baiknya. 2. Keputusan jangka panjang merupakan keputusan tentang pemilihan pabrik dan alat-alat produksi dan proses produksi baru dengan melihat kemungkinan-kemungkinan teknik yang diketahui.


(45)

3. Keputusan jangka sangat panjang merupakan keputusan tentang bagaimana memberanikan diri atau menyesuaikan diri dengan penemuan-penemuan baru.

Pada dasarnya faktor produksi dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu :

1. Fixel input yaitu faktor-faktor produksi yang tidak dapat diubah dengan segera untuk memenuhi perubahan produksi yang diminta oleh pasar. Namun dalam jangka panjang input ini dapat diubah.

2. Variabel input yaitu faktor-faktor produksi yang dapat diubah dengan segera sesuai dengan perubahan produksi yang diminta oleh pasar.

2.1.4.3 Fungsi Produksi

Fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan antara tingkat output dengan input yang digunakan. Suatu fungsi produksi akan menggambarkan tentang metode produksi yang efisien secara teknis, dalam arti dalam metode produksi tertentu kualitas input yang digunakan adalah minimal dan begitu juga barang modal yamg lain. Metode produksi yang minimal merupakan hal yang diharapkan oleh semua produsen. Petani sebagai produsen hasil pertanian mengharapkan hasil yang diperoleh lebih besar dibandingkan dengan modal yang telah dikeluarkan.

Secara umum fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah hasil produksi tergantung pada jumlah dan kualitas faktor produksi yang digunakan. Fungsi produksi dapat dinyatakan sebagai berikut :

Q = f ( K,L,R,T ) Dimana:


(46)

Q : Output

K : Kapital / modal L : Labour / Tenaga kerja R : Resources / sumber daya T : Teknologi

Persamaan tersebut merupakan suatu pernyataan matematik yang pada dasarnya berarti bahwa tingkat produksi suatu barang tergantung pada jumlah modal, jumlah tenaga kerja, jumlah sumberdaya alam, dan tingkat teknologi yang digunakan. Jumlah produksi yang berbeda-beda dengan sendirinya akan memerlukan berbagai faktor produksi yang berbeda-beda pula. Disamping itu, untuk tingkat suatu produksi tertentu, dapat pula digunakan gabungan factor produksi yang berbeda. Untuk produksi sejumlah hasil pertanian tertentu perlu digunakan tanah yang lebih luas apabila bibit unggul dan pupuk tidak digunakan; tetapi luas lahan dapat dikurangi apabila pupuk dan bibit unggul dan teknik bercocok taman modern digunakan.

Fungsi produksi terbagi menjadi dua jangka waktu yaitu :

1. Fungsi produksi jangka pendek merupakan fungsi yang menunjukkan bahwa hanya variabel input yang dapat berubah untuk merubah output, sedangkan input tetap tidak dapat berubah. Dalam produksi jangka pendek dapat didefinisikan tiga konsep produksi yaitu :

Total Product ( TP = Q ) yaitu total output yang dihasilkan oleh produsen dengan menggunakan input tertentu sedangkan input lain dianggap tetap. Sehingga :


(47)

TP = f ( L )

Average Product ( AP ) yaitu rata-rata output yang dihasilkan oleh produsen dengan menggunakan input tertentu. Secara matematis APL Dapat dituliskan :

APL= TP/L

Marginal Product ( MP ) yaitu pertambahan terhadap total produk sebagai akibat pertambahan satu unit input yang dipakai sedangkan input lain dianggap konstan. Secara matematis dapat diformulasikan menjadi :

MP= ∆TP/∆ L

2. Fungsi produksi jangka panjang. Dalam fungsi produksi jangka panjang telah menggunakan dua input produksi, baik input variabel maupun input fixel keduanya dapat mengalami perubahan. Hal ini dapat dituliskan :

Q = f ( K, L ) K = Modal L = Tenaga kerja

Penggunaan dua macam input produksi yaitu K dan L dapat diperoleh kurva Isoquant atau Isokuan disebut juga Isoproduk. Kurva Isoquant suatu kurva yang menunjukkan kombinasi dua jenis input K dan L yang dapat memberikan tingkat output yang sama ( Simbolon,2007 : 97).


(48)

K

IQ3

IQ2

IQ1

L

Gambar 2.1 Kurva Isoquant

Pada gambar 2.1 ( yang dapat diukur dengan pengertian kardinal ) dapat dihasilkan dengan menggunakan input K sebesar K1 dan input L sebesar L1 atau menggunakan input K sebesar K2 dan input L sebesar L2. apabila dihubungkan dengan titik-titik kombinasi, antara K dan L atau ditarik suatu garis dari A ke B ini disebut kurva Isoquant (lq1). Jumlah produk yang paling besar ditunjukkan pada isoquant yang paling tinggi seperti lq2. Untuk menghasilkan lq2 digunakan

input K sebear k’ dan L sebesar L’ atau input K sebesar K’’ dan L sebesar L’’. hal

ini akan menunjukkan output yang sama. Ciri-ciri dari kurva isoquant yaitu :

1. Mempunyai garis dari kiri atas kekanan bawah dengan kemiringan negatif. 2. Kurva cembung kearah titik origin.


(49)

Isoquant dari fungsi produksi akan menunjukkan jenis teknologi yang digunakan dalam proses produksi. Pada kurva isoquant dapat digambarkan dengan

menggunakan fungsi produksi “ Cobb-Douglas” dengan rumus sebagai berikut :

Q = F ( K,L ) = AKaLb A,a,b = bilangan konstan yang positif.

2.1.4.4 Tahap-Tahap produksi

Hukum penambahan hasil yang semakin berkurang dalam produksi jangka pendek dikatakan bahwa ada faktor produksi yang bersifat tetap ( fixel input) dan ada faktor produksi yang yang bersifat berubah ( variable input). Jika faktor produksi yang bersifat variabel tersebut terus menerus ditambah maka produksi total akan semakin meningkat hingga sampai pada suatu tingkat tertentu ( titik maksium), dan apabila sudah pada tingkat maksimum tersebut faktor produksinya terus ditambah produksi total akan semakin menurun. Ini berarti bahwa hukum tambahan hasil yang semakin berkurang ( The Low Of Diminishing Return ) mulai berlaku.

Hukum hasil lebih yang semakin berkurang menyatakan bahwa apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya ( misalnya tenaga kerja) terus menerus ditambah sebanyak satu unit, pada mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah mencapai suatu tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya akan mencapai nilai negatif. Sifat pertambahan produksi seperti ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya ia mencapai tingkat yang maksimum dan kemudian menurun (Sukirno, 193).


(50)

TP I II III

AP

L

MP

Gambar 2.2 Kurva Tahapan-Tahapan Produksi 2.1.4.5 Biaya Produksi

Biaya produksi merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan output baik biaya implisit maupun biaya eksplisit.

Biaya produksi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :

1. Biaya produksi jangka pendek ( short run) yaitu suatu jangka waktu perencanaan yang cukup singkat sehingga produsen tidak mampu mengubah biaya-biaya produksi tetap ( fixel cost ) tetapi hanya dapat mengubah biaya variabel ( variable cost ). Analisis biaya jangka pendek terdiri dari dua konsep yaitu konsep total dan konsep sacara rata-rata dan marginal. Konsep total terdiri dari :

a. Total fixel cost (TFC) atau biaya total tetap yaitu total biaya yang tetap jumlahnya dibayar oleh produsen walaupun berapa tingkat outputnya. Biaya ini juga dikeluarkan walaupun produsen tidak melakukan produksi.


(51)

b. Total variable cost (TVC) atau biaya variabel total yaitu total biaya yang dikeluarkan produsen untuk membayar input produksi yang jumlahnya berubah sesuai dengan perubahan output yang diproduksi.

c. Total cost (TC) atau biaya total merupakan penjumlahan dari biaya tetap total dengan biaya variabel total.

TC = TFC + TVC

Untuk konsep rata-rata dan marginal terdiri dari :

Average fixel cost (AFC) atau biaya tetap rata-rata merupakan biaya tetap yang dibebankan pada setiap unit output yang dihasilkan. Untuk memperoleh nilai ini TFC dibagi dengan output yang dihasilkan.

AFC =

Average variable cost (AVC) atau biaya rata-rata merupakan total variabel cost yang yang dibagi dengan output yang dihasilkan atau semua biaya-biaya lain yang dibebankan pada setiap unit output yang dihasilkan.

AVC =

Average total cost (ATC) atau biaya total rata-rata merupakan biaya produksi dari setiap unit output yang dihasilakan.

ATC =

Marginal cost (MC) atau biaya marginal merupakan pertambahan terhadap biaya total sebagai akibat pertambahan satu unit output yang dihasilakn.


(52)

MC =

2. Biaya produksi jangka panjang (Long run) yaitu suatu jangka waktu perencanaan yang cukup panjang bagi produsen sehingga baik fixel cost maupun variable cost dapat dirubah.

2.1.5 Luas Panen

2.1.5.1 Pengertian Luas Panen

Luas areal panen padi adalah jumlah seluruh lahan yang dapat memproduksi padi. Areal panen yang memadai merupakan salah satu syarat untuk terjaminnya produksi beras yang mencukupi. Peningkatan luas areal panen padi secara tidak langsung akan meningkatkan produksi padi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi alam yang terjadi pada suatu musin tanam. Apabila kondisi alam bersahabat dalam artian tidak terjadi kekeringan maupun kabanjiran, maka dapat diharapkan terjadi peningkatan dalam luas areal panen padi, sehingga berpengaruh terhadap produksi beras.

2.1.5.2 Pengertian Lahan

Menurut Sutanto (1979), lahan diperlakukan sebagai ruang atau tempat di permukaan bumi yang dipergunakan oleh manusia untuk melakukan segala macam kegiatan. Lahan menurut Supraptoharjo (1975), adalah suatu daerah tertentu di permukaan bumi termasuk ke dalamnya atmosfir, tanah, geologi, topografi, hidrologi, tumbuh-tumbuhan, dan hewan serta kegiatan manusia masa lalu dan masa sekarang yang mempunyai pengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia sekarang dan masa yang akan datang ( http://www.pdf-searcher.com/pdf/teori-lahan-produktif.html ).


(53)

Dalam praktek budidaya pertanian sendiri sering menimbulkan dampak pada degradasi lahan sehingga dapat mengurangi produksi pertanian. Dua faktor penting dalam usaha pertanian yang potensial menimbulkan dampak pada

sumberdaya lahan, yaitu tanaman dan manusia (sosio kultural) yang menjalankan pertanian. Diantara kedua faktor, faktor manusialah yang berpotensi berdampak positif atau negatif pada lahan, tergantung cara menjalankan pertaniannya. Apabila dalam menjalankan pertaniannya benar maka akan berdampak positif, namun apabila cara menjalankan pertaniannya salah maka akan berdampak negatif. Kegiatan menjalankan pertanian atau cara budidaya pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah lingkungan (pupuk dan insektisida) serta sistem budidaya termasuk pola tanam yang digunakan oleh para petani.

2.1.6 Jenis-Jenis Lahan Pertanian

Jenis-jenis lahan pertanian terbagi menjadi dua bagian yaitu :

1. Lahan sawah

Yang dimaksud dengan lahan sawah adalah lahan pertanian yang berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang ( galengan ), saluran untuk menahan/menyalurkan air, yang biasanya ditanami padi sawah tanpa memandang dari mana diperolehnya atau status tanah tersebut. Termasuk di sini lahan yang terdaftar di Pajak Hasil Bumi, Iuran Pembangunan Daerah, lahan bengkok, lahan serobotan, lahan rawa yang ditanami padi dan lahan-lahan bukaan baru (transmigrasi dan sebagainya).


(54)

1. Lahan Sawah Berpengairan (Irigasi).

Yaitu lahan sawah yang memperoleh pengairan dari sistem irigasi, baik yang bangunan penyadap dan jaringan-jaringannya diatur dan dikuasai dinas pengairan PU maupun dikelola sendiri oleh masyarakat.

Lahan sawah irigasi terdiri atas :  Lahan sawah irigasi teknis.

 Lahan sawah irigasi setengah teknis.  Lahan sawah irigasi sederhana.  Lahan sawah irigasi non PU

2. Lahan Sawah Tak Berpengairan (Non Irigasi) Yaitu lahan sawah yang tidak memperoleh pengairan dari sistem irigasi tetapi tergantung pada air alam seperti : air hujan, pasang surutnya air sungai/laut dan air rembesan. Lahan sawah non irigasi meliputi :

 Lahan sawah tadah hujan.  Lahan sawah pasang surut.

 Lahan sawah lainnya (lebak, polder, rembesan, lahan rawa yang dapat ditanami padi dan lain-lain).

2. Lahan Bukan Sawah

Yang dimaksud dengan lahan bukan sawah adalah semua lahan selain lahan sawah seperti lahan pekarangan, huma, ladang, tegalan/kebun, lahan perkebunan, kolam, tambak, danau, rawa, dan lainnya. Lahan yang berstatus lahan sawah yang sudah tidak berfungsi sebagai lahan sawah lagi, dimasukkan dalam lahan bukan sawah.


(55)

2.1.7 Konversi Lahan Pertanian

Sektor pertanian merupakan sektor yang strategis dan berperan penting dalam perekonomian nasional dan kelangsungan hidup masyarakat, terutama dalam sumbangannya terhadap PDB, penyediaan lapangan kerja dan penyediaan pangan dalam negeri. Kesadaran terhadap peran tersebut menyebabkan sebagian besar masyarakat masih tetap memelihara kegiatan pertanian mereka meskipun negara telah menjadi negara industri.

Sehubungan dengan itu, pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian social ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multifungsi lahan pertanian. Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian, terutama lahan sawah, telah berlangsung sejak dasawarsa 90-an. Akan tetapi sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian belum berhasil diwujudkan. Selama ini berbagai kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian konversi lahan sawah sudah banyak dibuat. Setidaknya ada 10 peraturan/perundangan yang berkenaan dengan masalah tersebut.


(56)

Tabel 2.1

Peraturan/perundangan terkait dengan alih-guna lahan pertanian No. Peraturan

/Perundangan

Garis besar isi, khususnya yang terkait dengan alih guna lahan pertanian

1. UU no. 24/1992 Penyusunan RTRW harus mempertimbangkan budidaya pangan/ SIT

2. Kepres No.

53/1989

Pembangunan kawasan industry, tidak boleh konversi SIT/ tanah pertanian subur

3. Kepres No.33/1990 Pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basah dan pengairan beririgasi bagi kawasan pembangunan kawasan industry

4. SE MNA/KPPN 410-1851/1994

Pencegahan penggunaan tanah sawah beririgasi teknis untuk penggunaannon pertanian melalui penyusunan RTR

5. SE MNA/KPPN 410-2261/1994

Izin lokasi tidak boleh mengkonversi sawah irigasi teknis (SIT)

6. SE/KBAPPENAS 5335/MK/9/1994

Pelarangn konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian

7. SE MNA/KBPN 5335/MK/1994

Penyusunan RTRW Dati II melarang konversi lahan sawah irigasi teknis untuk non pertanian

8. SE MNA/KBPN 5417/MK/10/1994

Efisiensi pemanfaatan lahan bagi pembangunan perumahan

9. SE MENDAGRI 474/4263/SJ/1994

Mempertahankan sawah irigasi teknis untuk mendukung swasembada pangan

10. SE MNA/KBPN 460-1594/1996

Mencegah konversi dan irigasi teknis mnjadi tanah kering

Sumber : www.bappenas.go.id

Seiring dengan proses pembangunan di Indonesia, masalah ketersediaan sumber daya lahan semakin terbatas. Prioritas kebijakan pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan investasi justru makin memacu proses industrialisasi dan memarjinalkan sektor pertanian. Karena ada anggapan pembangunan sektor industri lebih menguntungkan untuk berinvestasi dan memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat, sehingga pembangunan sektor pertanian terabaikan dan dianggap sektor yang inferior yang kurang menguntungkan.


(57)

Kondisi ini terus berjalan sampai dengan saat ini, di mana para pembuat kebijakan maupun perencana pembangunan cenderung lebih banyak mengadopsi teori-teori barat dengan berdasarkan pengalaman keberhasilan negara-negara Eropa dan Amerika. Hal ini berakibat sektor pertanian yang sebenarnya lebih cocok dengan iklim dan budaya masyarakat Indonesia (mayoritas tinggal di perdesaan) semakin terdesak, termasuk dalam penggunaan sumber daya lahannya. Kondisi ini dapat dilihat di dunia nyata bahwa makin pesatnya laju konversi lahan pertanian suburban dan produktif beralih fungsi ke penggunaan non pertanian seperti industri dan permukiman.

Proses terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian disebabkan oleh beberapa faktor. Kustiwan (1997) dalam Lestari (2009) menyatakan bahwa setidaknya ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

1. Faktor Eksternal. Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan (fisik maupun spasial), demografi maupun ekonomi. 2. Faktor Internal. Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi

sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan. Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian.

Pasandaran dalam Lestari ( 2009) menjelaskan paling tidak ada tiga faktor, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang merupakan determinan konversi lahan sawah, yaitu:


(58)

1. Kelangkaan sumberdaya lahan dan air 2. Dinamika pembangunan

3. Peningkatan jumlah penduduk

2.1.8 Harga Dasar Beras

Menurut Ratna Anindita (2008), harga produk dibidang pertanian berbeda dengan harga produk dibidang industri dimana harga produk dibidang industri relatif konstan atau lebih banyak ditentukan oleh perusahaan, sedangkan harga produk pertanian relatif berfluktuasi karena produk pertanian mempunyai beberapa sifat yaitu:

1. Keadaan biologi di lingkungan pertanian, seperti hama dan penyakit begitu juga iklim menyebabkan output pertanian bersifat musiman dan tidak kontinu.

2. Adanya time lags (waktu yang terlambat ketika keputusan dalam menggunakan input dan menjual output) dibidang industri waktu ini sangat dekat.

3. Keadaan pasar, khususnya struktur pasar dan berbagai anggapan tentang pasar pertanian yang menyebabkan semakin tidak menentunya harga dibidang pertanian.

4. Dampak dari institusi, seperti BULOG dan komitmen perdagangan (antara lain pengurangan tarif dan lain-lain).


(59)

2.1.9 Kebijakan Harga

Kebijakan harga dan non-harga untuk komoditas pangan telah lama dikenal dalam literatur ekonomi pertanian. Namun, kebijakan harga bagi kepentingan petani padi dan beras pertama sekali diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1969. Sejak itu, kebijakan harga dan non-harga dilaksanakan secara bersamaan, sehingga Indonesia mampu meningkatkan produksi gabah yang tinggi. Kualitas gabah dan beras adalah salah satu kunci daya saing industri padi dan beras nasional. Oleh karena itu, kebijakan harga dan insentif pendukung lainnya perlu dirancang untuk saling memperkuat keterkaitan tersebut, sehingga mampu memperkuat industri primer (padi) dan industri sekunder (beras).

Pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi melalui program bimbingan massal (BIMAS) pada pertengahan 1960an.

Pada awalnya, pemerintah mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi melalui kebijakan non-harga, seperti memperkenalkan varietas unggul padi, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, perbaikan pengairan, dan perbaikan teknik pertanian. Namun kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup ampuh untuk mendorong petani meningkatkan produksi, karena harga gabah/beras yang diterima petani seringkali di bawah biaya produksi Pemerintah melalui Inpres no. 9 tahun 2001 mengganti kebijakan HDG( harga dasar gabah) menjadi Harga Dasar Pembelian Pemerintah ( HDPP ), dan selanjutnya diubah lagi menjadi Harga Pembelian Pemerintah ( HPP ) melalui Inpres No.2 tahu 2005. Kebijakan HPP memang berbeda dengan kebijakan HDG,walaupun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yaitu menyangga harga


(60)

gabah supaya tidak anjlok utamanya pada musim panen raya melalui intervensi peningkatan permintaan pembelian harga gabah.

Volume pembelian dan harga gabah pada kebijaka HPP telah ditentukan dengan kemampuan menajemen pemerintah (misalnya 2 juta ton beras dengan harga Rp 3550 per kg), sehingga diharapkan dengan jumlah pembelian sebesar itu, tekanan terhadap anjloknya harga gabah pada musim panen raya dapat dikurangi. Dengan demikian kebijakan HPP tidak menjamin bahwa harga gabah di pasar, utamanya pada panen raya, di atas HPP yang telah ditetapkan pemerintah.

Kebijakan harga melalui jaminan harga dasar dapat memperkecil resiko dalam berusahatani, karena petani terlindungi dari kejatuhan harga jual gabah/beras di bawah ongkos produksi, yang sering terjadi dalam musim panen raya. Manakala resiko suatu usaha dapat ditekan sekecil mungkin, maka ketersediaan beras dari produksi dalam negeri lebih terjamin.


(61)

2.1.10 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.2

Ringkasan penelitian terdahulu

No. Nama penelitian Judul penelitian Hasil penelitian 1. Rofiah

(2011)

Analisisi Determinasi

Ketahanan Pangan di Kota

Padangsidimpuan

variabel Luas Panen dan Harga Dasar Beras mempunyai pengaruh yang positif terhadap Ketersediaan Beras yang mewakili Ketahanan Pangan di Kota Padangsidimpuan dan masing-masing signifikan pada tingkat kepercayaan 1% untuk Luas Panen dan 10% untuk vareabel Harga Dasar Beras, dan nilai R-Square sebesar 0,9170 2. Doni Silalahi,

Rachmad Sitepu, Gim Tarigan

Analisis Ketahanan Pangan Provinsi Sumaetera Utara

Bahwa variabel luas areal panen padi dan produktivitas lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, jumlah konsumsi beras berpengaruh negatif dan signifikan, sedangkan stok beras berpengauh positif namun tidak signifikan , dan harga beras berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras di sumatera utara.

3. Denny Afrianto (2010)

Analisis Pengaruh Stok Beras, Luas Panen, Rata-Rata Produksi, Harga Beras, dan Jumlah Konsumsi Terhadap Ketahanan Panan Di Jawa Tengah

Bahwa variabel stok beras berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras , luas panen rata-rata produksi berpengaruh posotif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras,a harga beras berpengaruh negatif namun tidak signifikan terhadap rasio ketersediaan beras, dan jumlah konsumsi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap rasio ketersediaan beras.


(62)

2.2 Kerangka Konseptual

Beras sebagai makanan pokok masyarakat Indonesia, memegang peranan penting dalam menyokong terwujudnya ketahanan pangan nasional. Namun ketersediaan beras juga tergantung pada beberapa faktor, seperti luas areal panen padi, dan harga beras di tiap kabupaten/kota. Secara matematis kerangka pemikiran ini dapat dirumuskan sebagai berikut :

Y = f (LP , HDB ) Dimana :

Y = rasio ketersediaan beras LP = luas panen padi

HDB = harga dasar beras

Kerangka pemikiran teoritis dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :

Ketersediaan beras ton Luas panen Ha


(63)

2.3 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, dimana tingkat kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris.

Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan diatas, maka hipotesis yang dapat dibuat penulis adalah:

1. Luas panen berpengaruh positif terhadap persediaan pangan beras,ceteris paribus.

2. Harga dasar beras berpengaruh positif terhadap Ketersediaan pangan beras, ceteris paribus


(64)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Undang-Undang No. 7 tahun 1996, “Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk

melaksanakan pembangunan nasional”. Ketahanan pangan menurut Food and

Agriculture Organization (FAO), 2002 adalah kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang baik dalam jumlah maupun mutu pada setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Sedangkan menurut Gross (2000) dan Weingarter (2004) dalam Hanani (2012) ketahanan pangan terdiri dari empat subsistem atau aspek utama yaitu: ketersediaan (food availibility), akses pangan (food acces), penyerapan pangan (food utilization), stabilitas pangan (food stability), sedangkan status gizi (nutritional status) merupakan outcome ketahanan pangan. Dimana stabilitas pangan dalam suatu masyarakat akan terbentuk apabila ketiga aspek ketahanan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, dan penyerapan pangan mampu terwujud dan terintegrasi dengan baik.

Bagi Indonesia, Pangan diidentikkan dengan suatu jenis hasil tanaman yaitu beras, karena pangan jenis ini merupakan makanan yang dijadikan bahan makanan pokok utama. Beras dijadikan hampir seluruh penduduk indonesia sebagai pemenuhan kebutuhan kalori harian. Sehingga tidak salah jika penggunaan istilah pangan disini mengacu pada perberasan nasional.

Dengan pertimbangan pentingnya beras secara ekonomi dan politik tersebut pemerintah selalu berupaya agar ketersediaan beras tersebut mencukupi


(65)

dan tentu saja harus juga dibarengi oleh keterjangkauan daya beli oleh masyarakat. Pertimbangan tersebut semakin penting bagi kondisi bangsa ini mengingat jumlah penduduknya yang semakin besar dengan sebaran populasi yang meyebar dan cakupan geografis yang luas dan tersebar pula.

Dalam pemenuhan akan kebutuhan beras pemerintah selalu berusaha mengupayakan pengadaan dan produksi dalam negeri dan hal tersebut dapat sukses dilakukan oleh Indonesia pada dekade tahun 1980-an yang mengantarkan Indonesia Swasembada Pangan. Dengan Swasembada Pangan tersebut menyebabkan perekonomian yang stabil, ketersediaan lapangan pekerjaan khususnya dipedesaan, dan tentu terciptanya ketahanan pangan.

Namun kondisi tahun-tahun setelahnya, swasembada pangan telah mengalami perubahan. Produksi beras dalam negeri terus mengalami kemerosotan sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan jumlah penduduk yang terus meningkat. Kondisi ini pun akhirnya memaksa kita untuk melakukan pemenuhan pangan nasional yang berasal dari pengadaan luar negeri atau sering diistilahkan sebagai impor beras. Kondisi ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang mulai mengenyampingkan sektor pertanian dan lebih terfokus pada pembangunan yang berbasis industri.

Lahan-lahan produktif pertaniaan banyak yang beralih fungsi sebagai pabrik dan pemukiman, para petani lebih memilih berpindah ke kota untuk mengadu nasib dari pada mengaharapkan hasil dari pertaniannya yang sudah tidak kompetitif dan menguntungkan. Sehingga dari tahun-ketahun pengadaan luar negeri/impor beras selalu menambah daftar ketahanan pangan nasional.


(66)

Permasalahan yang timbul dari impor beras adalah terdapatnya ketergantungan Indonesia terhadap beras dari negara lain. Karena bantuan pangan sering kali dijadikan sebagai alat penekanan politik dan ekonomi oleh negara pengekspor kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan pangan.

Dalam Pasal 1 PP No.68 tahun 2002 menerangkan bahwa Ketahanan Pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin pada tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan berarti adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk mempertahankan kehidupan yang sehat. Lebih jauh lagi, dalam konteks sebuah Negara, kedaulatan pangan berarti terpenuhinya hak masyarakat untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Dari pengertian diatas dapat terlihat bahwa kemampuan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan merupakan hal yang amat penting disamping ketersediaan pangan itu sendiri.

Seiring dengan proses otonomi daerah yang diataur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2000 Tentang Otonomi Daerah yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000, peranan daerah dalam meningkatkan ketahanan pangan di wilayahnya menjadi semakin meningkat. Searah dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat berperan aktif dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan di wilayah kerjanya ( Suryana,2004: 79).

Dengan adanya otonomi daerah tersebut kota Tebing Tinggi sebagai kabupaten kota mempunyai kewajiban untuk dapat memenuhi pangan daerahnya


(1)

1. Bapak prof. Dr. Azhar Maksum, M.Ec, Ac.Ak, CA, selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec sebagai ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Syahrir Hakim Nasution, M.Si selaku sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Irsyad Lubis, SE, Msoc, Sc, PhD selaku Ketua Program Studi S-1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universutas Sumatera Utara dan Bapak Paidi Hidayat, SE. M,Si selaku Sekretaris Program Studi S-1 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, SE, MEc selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, memberi bimbingan dan masukan dari awal pengerjaan sampai dengan selesainya skripsi ini.

7. Bapak Dr. Rujiman, MA dan Ibu Inggrita Gusti Sari Nasution,SE, Msi selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan untuk penyempurnaan skripsi ini.

8. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Fakultas Ekonomi terkhusus Departemen Ekonomi Pembangunan atas pengajaran, bimbingan, dan bantuannya kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.


(2)

v DAFTAR ISI

ABSRACT ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUANPUSTAKA ... 7

2.1 Landasan Teori ... 7

2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan ... 7

2.1.2 Program Peningkatan Ketahanan Pangan ... 8

2.1.3 Kebijakan pertanian ... 9

2.1.4 Ketersediaan Beras ... 10

2.1.5 Luas Panen ... 18

2.1.6 Jenis-Jenis Lahan Pertanian ... 19

2.1.7 Konversi Lahan Pertanian ... 21

2.1.8 Harga Dasar Beras ... 24

2.1.9 Kebijakan Harga ... 25

2.1.10 Penelitian Terdahulu ... 27

2.2 Kerangka Konseptual ... 28

2.3 Hipotesis ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

3.1 Jenis Penelitian ... 30

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 30

3.3 Batasan Operasional ... 30

3.4 Definisi Operasioal Variabel ... 30

3.5 Jenis dan Sumber Data ... 31

3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 31

3.7 Model Analisis Data ... 31

3.7.1 Uji Kesesuaian (Test Of Goodness Of Fit) ... 33

3.7.2 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian ... 39

4.1.1 Sejarah Singkat Kota Tebing Tinggi ... 39

4.1.2 Kondisi Geografis dan Iklim... 41


(3)

4.1.3 Kondisi Demografis ... 44

4.1.4 Potensi Wilayah ... 44

4.1.5 Potensi Pertanian ... 45

4.1.6 Perkembangan Ketersediaan Beras ... 46

4.1.7Perkembangan Luas Panen ... 47

4.2 Hasil dan Analisi ... 49

4.3 Uji Kesesuian (Test of Goodness of Fit) ... 50

4.3.1 Uji Koefisien Determinasi (R-Square (R2)) ... 51

4.3.2 Uji t-statistik (Parsial Test) ... 51

4.3.3 Uji F-Statistik ... 54

4.4 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 56

4.4.1 Multikolinearitas (Multicolnierity) ... 56

4.4.2 Uji Autokorelasi ... 58

4.5 Hasil Interpretasi Regresi ... 59

4.5.1 Pengaruh Luas Panen Terhadap Ketersediaan Beras ... 59

4.5.2 Pengaruh Harga Dasar Beras Terhadap Ketersediaan Beras .. 60

4.5.3 Pembahasan Model ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

5.1 Kesimpulan ... 62

5.2 Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(4)

vii DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Peraturan/Perundangan Terkait dengan Ahli Guna

Lahan Pertanian... ...22

Tabel 2.2 Ringkasan Penelitian ...27

Tabel 4.1 Jumlah Kelurahan dan Desa Kota Tebing Tinggi ...43

Tabel 4.2 Indikator Ekonomi Kota Tebing Tinggi Tahnun 2013 ...46

Tabel 4.3 Perkembangan Produksi Beras Kota Tebing Tinggi...47

Tabel 4.4 Perkembangan Luas Panen Padi Kota Tebing Tinggi...48

Tabel 4.5 Perkembangan Harga Dasar Beras Kota Tebing Tinggi ...49

Tabel 4.6 Hasil Regresi...50

Tabel 4.7 Correlation Matrix...57


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kurva Isoquant ...14

Gambar 2.2 Kurva Tahap-tahap Produksi ...16

Gambar 3.1 Kurva Uji T-Statistik ...34

Gambar 3.2 Kurva Uji F-Statistik ...36

Gambar 3.3 Kurva Uji Durbin Watson ...38

Gambar 4.1 Kurva Uji T-Statistik Variable Luas Panen (X1)...53

Gambar 4.2 Kurva Uji T-Statistik Variable Harga Dasar Beras (x2)...54

Gambar 4.3 Kurva Uji F-Statistik ...56


(6)

ix DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Katahanan Pangan...67 2. Hasil Regres Model Persamaan 1 ...68 3. Hasil Regres Model Persamaan 2 ...69