2.1.2.3 Objek kajian Pendidikan Kewarganegaraan
Soemantri menyatakan bahwa objek kajian studi
civics
dan
civic education
adalah warga Negara dalam hubungannya dengan organisasi kemasyarakatan, sosial ekonomi, agama, kebudayaan, dan
Negara. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Soemantri, Sapriya juga mengemukakan bahwa objek kajian PKN adalah perilaku
warga Negara dalam Wahab dan Sapriya, 2011:316. Berdasarkan dua pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa
objek kajian dari mata pelajaran PKn di Indonesia adalah warga Negara yang meliputi hubungan antara warga Negara dan dengan
negaranya.
2.1.3. Kesadaran
2.1.3.1 Pengertian Kesadaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, 2005: 570, kesadaran berasal dari kata sadar yang mendapat imbuhan ke-an yang
berarti insyaf; yakin; merasa; tahu; dan mengerti. Kesadaran berarti 1 keadaan mengerti; akan harga dirinya timbul karena ia diperlakukan
secara tidak adil; 2 hal yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Suhatman 2009: 27 mendefinisikan kesadaran sebagai
keadaan sadar akan perbuatan. Sadar berarti merasakan atau ingat pada keadaan yang sebenarnya, tahu dan mengerti. Kesadaran
merupakan unsur dalam manusia dalam memahami realitas dan bagaimana cara bertindak atau menyikapi suatu realitas. Refleksi
merupakan bentuk dari pengungkapan kesadaran yang mana ia dapat memberikan atau bertahan dalam situasi dan kondisi tertentu dalam
lingkungan. Bedasarkan kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa
kesadaran adalah keadaan mengerti ataupun merasakan yang berguna bagi manusia untuk memahami realitas bagaimana cara bertindak atau
menyikapi suatu realitas.
2.1.3.2 Tujuan Kesadaran
Given 2012:213-214 menjelaskan bahwa tujuan dari kesadaran adalah agar dapat mengambil tindakan atau suatu keputusan
yang dipilih melalui cara yang selektif dan berani menentukan arah tujuan dengan mempertimbangkan sisi positif dan negatif. Kesadaran
memiliki tujuan untuk mempertimbangkan suatu tindakan atau keputusan yang akan diambil dari sisi positif maupun negatifnya
sehingga dari pertimbangan tersebut seseorang dapat mengarah pada tujuan yang telah ditentukan.
2.1.3.3 Klasifikasi Kesadaran
Fakih mengungkapakan bahwa Freire dalam Yunus, 2004: 49- 50 selalu berusaha mengarahkan pendidikan sebagai usaha untuk
menghumanisasi diri dan sesama, yaitu melalui tindakan sadar untuk mengubah dunia. Dalam rangka pemanusiaan dan pembebasan itulah,
Freire melihat penyadaran
conscientizacao
sebagai inti pendidikan. Freire sendiri menganalogikan kesadaran manusia menjadi kesadaran
magis, naïf, dan kritis. Berikut merupakan penjabaran dari ketiga analogi yang diungkapkan Freire dalam Yunus, 2004: 50-51.
1. Kesadaran Magis
magical consciousness
Kesadaran magis adalah kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya.
Kesadaran magis lebih melihat faktor dari luar manusia natural maupun supranatural sebagai penyebab dari ketidaberdayaannya.
Proses pendidikan yang menggunakan logika ini tidak memberikan kemampuan analisis yang berkaitan antara sistem dan
struktur terhadap suatu permasalahan masyarakat. Siswa dalam hal ini menerima “keberanian” dari guru, tanpa ada mekanisme untuk
memahami “makna” ideologi dari setiap konsepsi ataas kehidupan
masyarakat.
2. Kesadaran naif
naival consciousness
Kesadaran naïf adalah kesadaran yang menitik beratkan pada aspek manusia menjadi akar permasalahan dalam
masyarakat. Kesadaran ini menganggap bahwa masalah etika, kreatifitas,
need for achievement
sebagai penentu perubahan sosial. Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem
dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sdah baik dan benar yang merupakan faktor
given,
oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan lagi. Tugas pendidikan adalah bagaimana
membuat dan mengarahkan agar siswa dapat masuk dan beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
3. Kesadaran kritis
critical consciousness
Kesadaran kritis yang merupakan kesadaran terpenting bagi Freire, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur
sebagai sumber masalah. Pendekatan stuktural menghindari
blaming the victims
dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya, dan implikasi pada
masyarakat. Paradigm kritis dalam pendidikan, yaitu agar siswa mampu mengidentifikasi ketidakadilan dalam sistem dan struktur
yang ada, kemudian mampu menganalisis bagaimana sistem struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya.
Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar sisa terlibat dalam proses penciptaan
struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Analogi yang diungkapkan oleh Freire dalam Yunus, 2004:
51 diatas dapat membeikan gambaran tentang tindakan manusia yang trgantung pada pemahaman mereka tentang kenyataan. Setiap
tindakan pemahaman mnentukan setiap setiap tindakan tanggapan. Jika manusia mempunyai kesadaran magis, mereka akan bertindak
secara magis dan gagal untuk keluar dari penindasan. Jika pemahaman mereka naïf, tindakan-tindakan mereka dapat dengan
mudah direduksi menjadi irasional. Jika pemahaman mereka atas kenyataan adalah pemahaman kritis maka tanggapan mereka dapat
menjadi transitif, yaitu kombinasi dari refleksi dan tindakan dalam praksis yang autentik.
2.1.3.4 Menumbuhkan Kesadaran Kritis