beberapa sifat tertentu dari cairannya. Sebagai contoh cairan dengan viskositas tinggi akan memfasilitasi terperangkapnya gelembung gas.
Untuk membuat busa diperlukan bahan aktif permukaan. Bahan aktif permukaan membantu cairan menyebar mengelilingi gas, pembentukan, dan
kestabilan gelembung gas. Adanya surfaktan atau stabiliser yang secara struktural akan berada pada permukaan gelembung gas juga akan menambah kestabilan
busanya. Tekanan uap yang rendah dari cairannya akan menurunkan kemungkinan dari molekul-molekul cairan yang mengelilingi gelembung untuk
menguap dengan mudah yang dapat menyebabkan pecahnya busa Pomeranz, 1985.
Bahan yang berperan dalam pembuatan foaming agent zatbahan pembusa adalah monogliserida atau protein kedelai yang dimodifikasi dengan metil
selulose, ester-ester dari sucrose, tween 80, dan protein putih telur Smith, 1991;Tranggono dkk., 1990.
2.5.1 Putih Telur Albumin
Putih telur adalah cairan kental dari protein-protein yang terdispersi secara koloidal dalam air. Cairan dapat diubah atau dikonversi menjadi busa dengan
pengocokan gelembung-gelembung udara ke dalam cairan tersebut Charley, 1982. Komponen terbesar dalam putih telur selain air adalah protein. Protein
yang terdapat pada putih telur berperan dalam pembentukan buih disebut ovalbumin, ovomusin, dan ovoglobin.
Putih telur mengandung protein utama albumin yang bersifat larut air. Albumin bersifat penstabil antara air dan udara dalam sistim pangan karena struktur globularnya
dapat membentuk struktur yang kaku bila dikocok. Saat pengocokan udara masuk dan protein putih telur membentuk struktur lapisan tipis atau film di sekitar udara tersebut
sehingga terbentuk busa atau foam. Berbagai uji coba menunjukkan bahwa busa terbaik terbentuk bila protein dikocok secukupnya atau tidak berlebihan. Pengocokan yang
berlebihan justru merusak struktur busa Setiawan, 2010.
Protein akan berada pada permukaan udara-air dari gelembung udara dan mengalami denaturasi unfold untuk mendukung struktur busa. Denaturasi lebih
lanjut terjadi ketika pemanasan menyebabkan koagulasi protein sehingga menghasilkan struktur yang lebih stabil. Penambahan gula ketika pengocokan
meningkatkan pembentukan busa karena sifat higroskopik dari gula yang menyimpan air. Gugus hidroksil pada struktur gula akan membentuk ikatan
hidrogen dengan air. Akan tetapi gula akan memperlambat denaturasi. Oleh karenanya pengocokan harus lebih kuat agar diperoleh busa yang sama banyak
Hudayanti, 2009. Pembusaan dapat terjadi apabila ada udara atau gas terperangkap di
dalamnya. Semakin banyak udara atau gas yang terperangkap, pembusaan juga akan semakin baik dan hal ini akan ditunjukkan oleh pengembangan volume dan
kekakuan tekstur putih telur Widianarko, 2000. Menurut Charley 1982, putih telur dengan mudah dapat membentuk busa
yang bagus dengan gelembung-gelembung udara kecil oleh pengadukan atau pengocokan. Pengocokan dapat dilakukan dengan menggunakan mixer pada
kecepatan maksimum selama 10 menit. Apabila pengocokan dilakukan dengan tangan maka gelembung busa yang dihasilkan lebih besar. Bennion 1980, juga
menyatakan bahwa busa dengan pengocokan kurang, mempunyai gelembung gas yang cukup besar dan kurang stabil.
Di dalam putih telur terdapat suatu zat protein yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh negatif bagi tubuh, karena kemampuannya untuk mengikat
biotin suatu vitamin. Biotin akan terikat kuat oleh avidin sehingga tidak dapat diserap oleh usus dan akhirnya dikeluarkan bersama feses. Keracunan oleh avidin
memberikan gejala dermatitis, kebotakan dan kelainan syaraf. Dosis keracunan selain dipengaruhi oleh aktivitas avidin dalam telur
dipengaruhi oleh proses pengolahanpemanasan dan jumlah telur yang dikonsumsi, juga sangat dipengaruhi oleh kadar biotin dari makanan lain yang
dikonsumsi, serta status biotin dalam darah. Sehingga tidak setiap orang yang mengkonsumsi telur akan menderita keracunan. Avidin dapat dihancurkan
aktivitasnya dengan cara memanaskan pada suhu 18
o
C selama 5 menit pada suhu yang lebih tinggi diperlukan waktu pemanasan yang lebih singkat Anonymous,
1990. Salmonella adalah suatu bakteri yang dapat menimbulkan keracunan
Salmonella food poisoning, dengan gejala-gejala seperti mual-mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan, demam, dan diare. Bakteri ini dapat
mengkontaminasi telur sewaktu masih dalam indung telur ayam, tetapi yang paling sering terjadi adalah setelah telur dikeluarkan, terutama apabila kebersihan
kandang dan lingkungan kurang diperhatikan. Salmonella dapat diinaktifkan dengan pemanasan. Untuk menghindari
terjadinya keracunan oleh Salmonella, Departemen Pertanian Amerika serikat
USDA mengharuskan melakukan pemanasan pasteurisasi selama 3,5 menit pada suhu 56,70
o
C atau 6,2 menit pada suhu 55,50
o
C untuk putih telur atau 6,2 menit pada suhu 60
o
C untuk telur utuh campuran putih telur dan kuning telur. Dasar pemikiran penggunaan busa putih telur adalah karena biaya lebih
murah dibandingkan dengan foaming agent lainnya serta mudah untuk didapat, selain itu menurut Raharitsifa 2006, busa putih telur strukturnya lebih kuat,
kapasitas busa lebih tinggi, dan rata-rata diameter gelembungnya lebih kecil daripada busa metilselulosa.
2.6 Bahan Pengisi