PEMBUATAN INULIN BUBUK DARI UMBI GEMBILI (Dioscorea esculenta) DENGAN METODE FOAM MAT DRYING.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Jurusan Teknologi Pangan

Oleh :

Karunia Ganis Wilujeng

NPM. 0633010048

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR SURABAYA


(2)

DENGAN METODE FOAM MAT DRYING

Oleh :

Karunia Ganis Wilujeng

NPM. 0633010048

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal : 26 November 2010

Tim Penguji : Pembimbing :

1.

Ir. Latifah, MS

NIP. 19570307 198603 2 001

2.

Ir. Sri Winarti, MP

NIP. 19630708 198903 2 002 1.

Ir. Tri Mulyani S., MS NIP. 030 181 513

2.

Ir. Ulya Sarofa, MM

NIP. 19630516 198803 2 001

3.

Ir. Murtiningsih NIP. 030 191 334

Mengetahui

Dekan Fakultas Teknologi Industri

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Ir. Sutiyono, MT

NIP. 19600713 198703 1 002


(3)

semesta alam yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya selama pelaksanaan penyusunan skripsi dengan judul “Pembuatan Inulin Bubuk Dari Umbi Gembili (Dioscorea esculenta) Dengan Metode Foam Mat Drying” hingga terselesaikannya pembuatan laporan skripsi ini. Skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan.

Kemudahan dan kelancaran pelaksanaan skripsi serta penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini dengan penuh rasa hormat dan rendah hati, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada :

1. Bapak Ir. Sutiyono, MT selaku Dekan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.

2. Ibu Ir. Latifah, MS selaku Ketua Program Studi Teknologi Pangan UPN “Veteran” Jatim dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Ir. Sri Winarti, MP selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Ir. Dedin F. Rosida, STP. MKes dan Bapak Ir. Rudi Nurismanto, Msi selaku Dosen Penguji seminar proposal dan hasil penelitian, yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan serta saran dalam penulisan skripsi ini.


(4)

6. Seluruh Dosen dan Staf di Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Industri UPN “Veteran” Jatim.

7. Kedua orang tua dan segenap keluarga penulis yang telah memberikan motivasi, kesabaran, dukungan material, dan spiritual sehingga dapat terselesaikan skripsi ini.

8. Sahabat penulis, dan teman-teman seperjuangan angkatan 2006 yang telah memberikan motivasi, inspirasi, semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan mahasiswa di Program Studi Teknologi Pangan pada khususnya dan bagi pihak-pihak yang memerlukan pada umumnya. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat obyektif dan membangun guna kesempurnaan skripsi ini.

Penulis


(5)

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...iii

DAFTAR TABEL ...v

DAFTAR GAMBAR ...vi

DA FTAR LAMPIRAN ...vii

INTISARI………viii

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar belakang ...1

1.2 Tujuan Penelitian ...5

1.3 Manfaat Penelitian ...5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...6

2.1 Inulin ...6

2.2 Ekstraksi dan Presipitasi Inulin ...8

2.2.1 Tahap Ekstraksi dan Presipitasi Inulin...11

2.3 Sumber Inulin ...12

2.3.1 Gembili (Dioscorea esculenta) ...13

2.4 Metode Pengeringan Busa (Foam Mat Drying) ...15

2.5 Bahan Pembusa ...18

2.5.1 Putih Telur ...19

2.6 Bahan Pengisi ...22

2.6.1 Dekstrin ...23

2.6.2 Maltodekstrin ...24

2.6.3 Na-CMC ...26

2.7 Analisis Keputusan...28

2.8 Analisis Kelayakan Finansial ...28

2.8.1 Break Event Point (BEP)...29

2.8.2 Net Present Value (NPV) ...29

2.8.3 Internal Rate of Return (IRR) ...30


(6)

BAB III METODE PENELITIAN ...36

3.1Tempat dan Waktu Penelitian ...36

3.2Bahan Penelitian ...36

3.2.1 Bahan Baku ...36

3.2.2 Bahan Tambahan ...36

3.2.3 Bahan Untuk Analisa ...36

3.3Alat Penelitian ...37

3.4Metode Penelitian...37

3.5Parameter Yang Diamati ...41

3.6Prosedur Pembuatan ...41

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...47

4.1 Hasil Analisa Inulin Bubuk Dari Umbi Gembili ...47

4.1.1 Rendemen ...47

4.1.2 Kadar Air ...49

4.1.3 Daya Larut ...52

4.1.4 Daya Serap Uap Air ...55

4.1.5 Kadar Inulin ...58

4.2 Analisa Keputusan ...59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...61

A. Kesimpulan ...61

B. Saran ...62

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(7)

Tabel 2. Kandungan gizi gembili ...15 Tabel 3. Nilai rata-rata rendemen inulin bubuk dengan perlakuan

jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur ...47 Tabel 4. Nilai rata-rata kadar air inulin bubuk dengan perlakuan

jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur ...50 Tabel 5. Nilai rata-rata daya larut inulin bubuk dengan

perlakuan jenis bahan pengisi konsentrasi putih telur...53 Tabel 6. Nilai rata-rata daya serap uap air inulin bubuk dengan

perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur ...56 Tabel 7. Nilai rata-rata kadar inulin bubuk berdasarkan

perlakuan jenis bahan pengisi...58 Tabel 8. Nilai rata-rata kadar inulin bubuk berdasarkan

perlakuan konsentrasi putih telur ...59 Tabel 9. Hasil analisa inulin bubuk ...60


(8)

Gambar 2. Umbi gembili ... 14

Gambar 3. Daun gembili... 14

Gambar 4. Gembili setelah dikukus... 14

Gambar 5. Daging gembili setelah dikukus... 14

Gambar 6. Struktur kimia dekstrin... 23

Gambar 7. Struktur kimia maltodekstrin ... 24

Gambar 8. Struktur kimia Na-CMC...……...… 26

Gambar 9. Diagram alir proses ekstraksi dan presipitasi inulin dari umbi gembili ...45

Gambar 10.Diagram alir proses pembuatan inulin bubuk dari umbi gembili…...46

Gambar 11. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap rendemen inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ...48

Gambar 12. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap kadar air inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ... 51

Gambar 13. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap daya larut inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ... 54

Gambar 14. Grafik hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap daya serap uap air inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili ... 57 Gambar 15. Grafik Titik Impas (Break Event Point)


(9)

vii Lampiran 1. Prosedur Analisa.

Lampiran 2. Parameter Rendemen. Lampiran 3. Parameter Kadar air Lampiran 4. Parameter Daya larut

Lampiran 5. Parameter Daya serap uap air Lampiran 6. Parameter Kadar inulin Lampiran 7. Analisa Kelayakan Finansial Lampiran 8. Perhitungan Modal Perusahaan

Lampiran 9. Perkiraan Biaya Produksi Perusahaan Tiap Tahun Lampiran 10. Perhitungan Keuntungan Produksi Inulin Dari Gembili Lampiran 11. Perhitungan Payback Periode dan Break Event Point Lampiran 12. Perhitungan NPV

Lampiran 13. Perhitungan Laju Pengembalian Modal


(10)

KARUNIA GANIS WILUJENG NPM : 0633010048

INTISARI

Inulin adalah salah satu karbohidrat yang berfungsi sebagai prebiotik. Salah satu jenis tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan mengandung inulin dalam jumlah yang cukup tinggi adalah Dioscorea spp. (jenis uwi-uwian) antara lain gembili (Dioscorea esculenta). Pemanfaatan inulin menjadi produk bubuk memiliki kelebihan antara lain lebih praktis, mudah dimasukkan dalam bahan sebagai suplemen pangan, dan lebih awet, namun permasalahan yang ditimbulkan pada pembuatan inulin bubuk dengan metode pengeringan oven adalah penampakan yang kurang bagus, lengket, dan sukar larut dalam air, oleh sebab itu digunakan metode foam mat drying dengan kajian perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap inulin bubuk yang dihasilkan.

Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor dengan dua kali ulangan. Faktor pertama adalah jenis bahan pengisi (dekstrin, maltodekstrin, dan Na-CMC) dan faktor kedua adalah konsentrasi putih telur (2; 4 ; 6; 8 ; dan 10% b/b) .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik terdapat pada perlakuan jenis bahan pengisi maltodekstrin dan konsentrasi putih telur 6%, yang menghasilkan inulin bubuk dengan rendemen 3,7883%, kadar air 8,8516%, daya larut 99,9496%, daya serap uap air 72,4339%, dan kadar inulin 86,75%. Analisa finansial dari perlakuan terbaik menunjukkan nilai BEP sebesar 38,28% dari total produksi, NPV sebesar Rp. 236.015.631, dan Payback Periode 5 tahun 3 bulan

dengan Benefit Cost Ratio sebesar 1,43 serta IRR 12,657% (dengan tingkat suku bunga 20%).

viii   


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inulin adalah salah satu karbohidrat yang berfungsi sebagai prebiotik yang efektif, yaitu didefinisikan sebagai komponen pangan yang tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan sehingga mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan struktur dan dapat menstimulasi secara selektif pertumbuhan dan aktivitas bakteri yang menguntungkan di dalam saluran pencernaan (Roberfroid, 1995).

Peran mikroflora atau bakteri saluran pencernaan sangat penting bagi kesehatan seseorang. Menurut Pompei et.al.,(2008), di dalam saluran pencernaan bawah (gastrointestinal) merupakan ekosistem yang kompleks mengandung lebih dari 1011 CFU bakteri per gram.

Penyakit degeneratif sangat dipengaruhi oleh ekosistem mikroflora usus. Untuk mencapai kesehatan tubuh yang optimal harus dilakukan manajemen mikroflora usus yaitu proporsi bakteri ‘baik’ yakni bakteri usus yang dapat meningkatkan kesehatan dan bakteri ‘jahat’ yakni bakteri yang merugikan kesehatan ditekan jumlahnya, dengan cara mengkonsumsi probiotik dan menyediakan nutrisi yang sesuai untuk bakteri probiotik yang disebut prebiotik (Anonymous, 2008).

Inulin dapat meningkatkan pertumbuhan bakteri probiotik antara lain :

Bifidobacterium adolesentis, Bifidobacterium infantis, Bifidobacterium breve,


(12)

Bifidobacterium longum, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus rhamnosus, Lactobacillus reuteri, Lactobacillus delbruechii dan dapat menghambat

pertumbuhan bakteri yang merugikan kesehatan seperti E.coli dan Clostridia (Pompei et.al., 2008).

Di luar negeri seperti di negara Amerika dan Inggris, inulin dapat diproduksi secara komersial dari umbi tanaman chicory (Cichorium intybus). Tanaman chicory tidak ditemukan di Indonesia, selain itu inulin belum diproduksi di Indonesia sehingga kebutuhan inulin baik untuk industri maupun untuk penelitian masih diimport, oleh karena itu produksi inulin di Indonesia dari bahan baku lokal sangat diperlukan. Salah satu jenis tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan mengandung inulin dalam jumlah yang cukup tinggi adalah uwi atau Wild Yam (Dioscorea spp.) (Anonymous, 2009).

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya terhadap kadar inulin dari sepuluh varietas umbi uwi yakni D. alata (uwi putih), D. pinthaphylla (uwi putih besar), D. hispida (gadung), D. alata (uwi kuning kulit ungu), D. alata (uwi ungu), D. esculenta (gembili), D. alata (uwi kuning), D. villosa (uwi putih kulit kuning), D. bulbifera (gembolo), D. rotundata (uwi kuning kulit coklat) yang diperoleh dari daerah Surabaya, Pacet, Malang, dan Nganjuk sehingga didapat satu varietas uwi yang memiliki kadar inulin tertinggi yang akan digunakan pada pembuatan inulin bubuk ini, yaitu uwi jenis Dioscorea

esculenta atau gembili dengan kadar inulin pada umbi segar sebesar 14,629%

(bk).


(13)

Permasalahan yang ditimbulkan dalam pembuatan inulin bubuk adalah jika inulin dikeringkan dengan metode pemanasan oven akan lengket, kurang remah, dan penampakan fisik kurang bagus (mengkristal), oleh karena itu perlu dilakukan suatu metode pengeringan yang dapat memperbaiki karakteristik inulin bubuk tersebut.

Salah satu metode pengeringan mudah dan murah yang akan digunakan dalam pembuatan inulin bubuk ini adalah metode pengeringan busa (foam mat

drying). Foam mat drying merupakan cara pengeringan bahan berbentuk cair yang

sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembusa untuk bahan yang peka terhadap panas dan merupakan salah satu pengeringan yang digunakan terhadap senyawa yang menyebabkan lengket jika dikeringkan dengan cara lain (Andriastuti, 2003).

Pada metode foam mat drying perlu ditambahkan bahan pembusa untuk mempercepat pengeringan, menurunkan kadar air, dan menghasilkan produk bubuk yang remah. Menurut Kumalaningsih dkk (2005), dengan adanya busa maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 50-80°C dapat menghasilkan kadar air 2-3%. Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai densitas atau kepadatan yang rendah (ringan) dan bersifat remah.

Bahan pengisi yang ditambahkan pada metode foam mat drying bertujuan untuk memperbaiki karakteristik inulin bubuk yang bersifat sangat higroskopis (menyerap uap air dari sekitarnya), meningkatkan kelarutan, dan membentuk padatan terhadap bubuk yang dihasilkan. Menurut Koswara (2005), bahan pengisi


(14)

dapat mengurangi sifat higroskopis bahan, membentuk padatan yang baik, dan memudahkan bahan larut dalam air.

Konsentrasi bahan pembusa (foaming agent) dan jenis bahan pengisi sangat berpengaruh terhadap produk bubuk yang dihasilkan dari metode foam mat

drying, oleh karena itu dalam penelitian ini akan dikaji pengaruh konsentrasi

bahan pembusa dan jenis bahan pengisi yang paling baik.

Metode foam mat drying telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain oleh Razkumar et.al., (2006), pada pembuatan bubuk buah alphonso, menggunakan bahan pembusa (foaming agent) putih telur 10% dan metil selulosa 0,5% sebagai stabilizer.

Raharitsifa et.al., (2006), pada pembuatan bubuk jus apel dengan membandingkan 2 jenis foaming agent protein putih telur dan polisakarida metilselulosa pada waktu pengocokan yang berbeda. Perlakuan terbaik dari penelitian tersebut adalah dengan menggunakan metilselulosa 0,5% dan putih telur 2-3%. Semakin lama pengocokan hanya dapat meningkatkan stabilitas busa yang terbentuk.


(15)

         

1.2 Tujuan

1. Mengetahui pengaruh perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan pembusa putih telur terhadap inulin bubuk yang dihasilkan.

2. Menemukan perlakuan terbaik dari jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan pembusa putih telur terhadap produk inulin bubuk yang dihasilkan.

1.3 Manfaat

1. Peningkatan nilai ekonomis umbi gembili (Dioscorea esculenta) sebagai penghasil komponen prebiotik inulin

2. Memberikan informasi bahwa inulin bubuk dapat dimanfaatkan sebagai suplemen pangan yang dapat dimasukkan ke dalam bahan pangan seperti susu, biskuit, es krim, dan produk olahan lainnya.

3. Memberikan inspirasi ilmiah dan menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya komponen prebiotik inulin bagi tubuh.


(16)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Inulin

Inulin adalah prebiotik, merupakan senyawa karbohidrat yang banyak terdapat pada bagian tanaman. Inulin dapat larut dalam air namun tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim dalam sistem pencernaan mamalia sehingga mencapai usus besar tanpa mengalami perubahan struktur (Roberfroid, 1995).

Di dalam usus besar inulin difermentasi oleh bakteri-bakteri yang terdapat di dalam usus besar sehingga berpengaruh positif terhadap kesehatan inangnya, karena sifat tersebut inulin dapat dikombinasikan dengan sediaan probiotik (bakteri hidup yang ditambahkan pada makanan inang untuk meningkatkan kesehatan) (Anonymous, 2008a).

Inulin juga berperan dalam proses pencernaan yang memberikan efek fisiologis sama dengan dietary fiber. Konsumsi inulin dapat meningkatkan secara nyata bakteri yang bermanfaat yaitu bifidobakteria (Silva, 1996), dengan demikian inulin dapat dikatakan sebagai komponen fungsional.

Sifat fungsional inulin sebagai serat makanan dapat larut (soluble dietary fiber) sangat bermanfaat bagi pencernaan dan kesehatan tubuh (Sardesai, 2003). Sifat inulin sebagai serat makanan berpengaruh pada fungsi usus dan perbaikan parameter lemak dalam darah. Inulin mempengaruhi fungsi usus dengan meningkatkan massa feses dan meningkatkan frekuensi defekasi terutama pada penderita konstipasi. Perbaikan parameter lemak dalam darah yang pernah


(17)

dilaporkan antara lain penurunan kadar trigliserida serum dan kolesterol darah pada penderita hiperkolesterolemik (Anonymous, 2009a).

Inulin telah dibuktikan secara klinis dapat meningkatkan bifidobakteria sehat di perut. Studi yang sama juga membuktikan bahwa inulin dapat membantu sistem daya tahan tubuh dan membantu penyerapan vitamin (Anonymous, 2009a). Di dalam usus besar, hampir seluruh inulin difermentasi menjadi asam-asam lemak rantai pendek dan beberapa mikroflora spesifik menghasilkan asam-asam laktat, hal ini menyebabkan penurunan pH kolon sehingga pertumbuhan bakteri patogen terhambat. Mekanisme seperti ini berimplikasi pada peningkatan kekebalan tubuh. Asam laktat yang dihasilkan juga merangsang gerak peristaltik usus sehingga mencegah konstipasi dan meningkatkan penyerapan kalsium untuk mencegah osteoporosis. Untuk mendapatkan manfaat di atas, inulin telah digunakan dalam beberapa produk susu. Manfaat penting peningkatan kekebalan tubuh lebih diarahkan untuk anak-anak, sedangkan mencegah osteoporosis ditujukan bagi wanita usia menopause (Widowati, 2006).

Inulin sangat luas penggunaannya di dalam industri pangan, baik di Eropa, USA maupun Canada. Akhir-akhir ini inulin digunakan sebagai komponen (ingredient) dari diet dan produk-produk rendah lemak serta penurun kalori makanan seperti es krim, produk susu, dan roti (Toneli, et.al., 2008).

Inulin merupakan salah satu polisakarida yang tersusun atas polimer dari unit-unit fruktosa dengan gugus terminal glukosa. Unit-unit fruktosa dalam inulin dihubungkan oleh ikatan β(21)glikosidik. Inulin dari tanaman biasanya mengandung 20 sampai beberapa ribu unit fruktosa. Molekul yang lebih kecil dari


(18)

inulin disebut fruktooligosakarida yang mengandung 2 molekul fruktosa dan 1 molekul glukosa (Anonymous, 2009b). Struktur inulin dapat dilihat pada gambar1.

Gambar 1. Struktur inulin (Anonymous, 2009b)

Adapun karakteristik fisiko-kimia dari chicory inulin dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 1. Karakteristik fisiko-kimia chicory inulin

No Keterangan Inulin

Standar High-Performance Inulin 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Struktur kimia

Rata-rata derajat polimerisasi Kadar bahan kering

Kandungan inulin pH (10% b/b)

Kadar logam (ppm b.k) Penampakan

Rasa

Kemanisan (vs sukrosa =100%) Kelarutan dalam air (25oC (g/L))

Viskositas dalam air (5%) pada suhu 10oC (mPa.s)

GFn (2≤n≤60) 12

≥ 95 92 5-7 < 0,2 Bubuk putih Netral 10% 120 1,6

GFn (10≤n≤60) 25

≥ 95

≥ 99,5 5-7 < 0,2 Bubuk putih Netral - 25 2,4

Sumber : Franck (2002)

2.2 Ekstraksi dan Presipitasi Inulin

Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Pada ekstraksi padat cair, satu atau beberapa


(19)

komponen yang dapat larut dipisahkan dari bahan padat dengan bantuan pelarut. Dalam ekstraksi, suhu sering kali memegang peranan penting, semakin tinggi suhu, semakin kecil viskositas fasa cair dan semakin besar kelarutan ekstrak dalam pelarut (Bernasconi, 1995).

Menurut Suyitno (1989), ekstraksi dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi umumnya dengan menggunakan pelarut. Prinsip ekstraksi dengan pelarut berdasarkan kelarutan komponen terhadap komponen lain dalam campuran. Pada ekstraksi tersebut terjadi pemisahan antara komponen yang mempunyai kelarutan lebih kecil dalam pelarut yang digunakan. Produk utama dalam proses ekstraksi adalah ekstraknya, yaitu pelarut dengan komponen yang larut.

Prinsip kerja ekstraksi yaitu mengambil salah satu komponen dari partikel padat atau cair dengan jalan menambahkan zat pelarut tertentu yang dapat melarutkan komposisi tersebut (Geankoplis, 1997).

Proses ekstraksi mula-mula terjadi penggumpalan ekstrak dalam pelarut, terjadi kontak antara bahan dengan pelarut, sehingga pada bidang antar muka bahan ekstraksi terjadi pengendapan massa dengan cara difusi. Bahan ekstraksi yang telah tercampur menyebabkan pelarut menembus kapiler-kapiler dalam bahan padat dapat melarutkan ekstrak. Larutan ekstrak dengan konsentrasi yang tinggi terbentuk di bagian dalam bahan ekstraksi. Dengan cara difusi akan terjadi kesetimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dengan larutan di luar bahan padat (Bernasconi, 1995).

Inulin merupakan senyawa yang larut dalam air, dimana kelarutannya tergantung pada suhu. Pada suhu 10°C kelarutannya sekitar 6%, sedangkan suhu


(20)

90°C kelarutannya 35% (Silva, 1996). Menurut Kim et.al., (2001), pada suhu 25°C inulin hampir tidak larut dalam air, tetapi kelarutannya meningkat secara nyata sejalan dengan meningkatnya suhu.

Berghofer et.al (1993), melaporkan bahwa larutan konsentrat inulin tanpa pengadukan (40% dari berat) yang didinginkan dari 95°C sampai 4°C selama lebih dari 30 jam, inulin akan mengendap atau mengkristal sebagai senyawa tak berwarna/pucat yang dapat dipisahkan dengan penyaringan.

Kim et.al (2001), mengatakan bahwa gel inulin akan terbentuk oleh pemotongan atau pemanasan/pendinginan larutan inulin. Pemanasan larutan inulin dapat melarutkan inulin dan pendinginan menyebabkan inulin terlarut mengalami presipitasi. Gel terbentuk pada proses pemanasan-pendinginan, rasio gel yang terbentuk dari total volume dipengaruhi oleh suhu pemanasan, konsentrasi inulin, pH dan penambahan pelarut.

Menurut Leite et.al (2004), kelarutan inulin rendah pada suhu rendah, larutan ekstrak inulin mengalami fase pemisahan ketika didinginkan atau dibekukan. Fase pengendapan paling pekat sebagai endapan yang menempel, dengan konsentrasi inulin lebih tinggi.

Pengendapan (presipitasi) adalah suatu proses pemisahan diri suatu fase padat keluar dari larutan, endapannya mungkin berupa kristal atau koloid dan dapat dikeluarkan dari larutan dengan penyaringan atau pemusingan (sentrifugasi) (Vogel, 1985).

Prinsip presipitasi adalah jika larutan sudah terlalu jenuh dengan zat yang bersangkutan, maka endapan akan terbentuk (Vogel, 1985). Proses presipitasi


(21)

mula-mula akan terjadi pembentukan presipitat atau partikel yang melayang-layang dalam larutan dan dapat mengendap dalam waktu lama. Presipitat tersebut akan saling tergabung membentuk agregat (partikel yang lebih besar dari presipitat sebelum mengendap. Jika jumlah agregat terus bertambah maka akan saling membentuk endapan yang kemudian turun menempel pada dasar tabung reaksi (Anonymous, 2008b).

2.2.1 Tahap-Tahap Ekstraksi dan Presipitasi Inulin

Menurut Toneli et.al.(2008), tahap-tahap proses ekstraksi inulin adalah sebagai berikut :

1. Tahap pertama adalah pencucian dengan air mengalir untuk menghilangkan tanah dan kotoran-kotoran lain yang menempel pada umbi (Anonymous, 2007).

2. Pengirisan untuk memperkecil ukuran agar proses penggilingan lebih mudah dilakukan.

3. Tahap ketiga adalah penggilingan. Penggilingan dilakukan dengan

penambahan air panas suhu 90oC. Penggilingan bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel zat terlarut sehingga luas singgungan antara zat terlarut dengan pelarut semakin luas, maka larutan ekstrak yang diperoleh akan semakin banyak (Ranggana, 1975).

4. Ekstraksi dengan menggunakan air panas suhu 70–80°C selama 1 jam. Pemanasan ini bertujuan untuk melarutkan inulin yang terkandung dalam umbi (Widowati, 2005).


(22)

5. Tahap selanjutnya adalah penyaringan. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan antara filtrat yang mengandung inulin dengan ampas umbi (Leite

et.al., 2004).

6. Presipitasi (pengendapan) dengan pendinginan atau pembekuan. Menurut Leite et.al., (2004), larutan ekstrak inulin mengalami fase pemisahan ketika didinginkan atau dibekukan. Pembekuan dalam freezer dilakukan pada suhu -10oC selama 18 jam (Widowati, 2005).

7. Setelah dibekukan, larutan dikeluarkan dari freezer dan dicairkan pada suhu ruang kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit sampai diperoleh endapan putih inulin (Widowati, 2005).

2.3 Sumber Inulin

Inulin dapat ditemukan di lebih dari 30.000 jenis tanaman (Leite et.al.,

2004). Di Indonesia, sumber inulin dapat dijumpai pada tanaman jenis uwi-uwian (Dioscorea spp.). Menurut Anonymous (2009b), terdapat lebih dari 600 spesies dari genus Dioscorea spp., antara lain Dioscorea hispida (gadung), Dioscorea esculenta (gembili), Discorea bulbifera (gembolo), Dioscorea alata (uwi ungu/purple yam), Dioscorea opposita (uwi putih), Dioscorea villosa, Dioscorea altassima, Dioscoreaelephantipes dan lain-lain.

Berdasarkan penelitian Yuniar (2010), kadar inulin dari sepuluh varietas umbi uwi segar yang diperoleh dari daerah Surabaya, Pacet, Malang, dan Nganjuk sebagai berikut : Diocorea alata (uwi putih) sebesar 3,542% ; Dioscorea pinthaphylla (uwi putih besar) sebesar 2,213% ; Dioscorea hispida (gadung) sebesar 4,859% ; Dioscorea alata (uwi kuning kulit ungu) sebesar 8,209% ;


(23)

Dioscorea alata (uwi ungu) sebesar 7,227% ; Dioscorea esculenta (gembili) sebesar 14,629% ; Dioscorea alata (uwi kuning) sebesar 12,528% ; Dioscorea villosa (uwi putih kulit kuning) sebesar 9,164% ; Dioscorea bulbifera (gembolo) sebesar 11,042% ; Dioscorea rotundata (uwi kuning kulit coklat) sebesar 13,723% (bk),

2.3.1 Gembili (Dioscorea esculenta)

Menurut Yuniar (2010), jenis Dioscorea yang memiliki kandungan inulin tertinggi dari beberapa varietas yang ada adalah Dioscorea esculenta (gembili) sebesar 14,629% (bk).

Gembili (Dioscorea esculenta L., suku gadung-gadungan atau

Dioscoreaceae) merupakan tanaman umbi-umbian yang sekarang sudah sulit dijumpai di pasar. Penanamannya masih cukup luas di pedesaan walaupun juga semakin terancam pembudidayaannya (Anonymous, 2009).

Gembili menghasilkan umbi yang dapat dimakan. Umbi biasanya direbus dan bertekstur kenyal. Umbi gembili serupa dengan umbi gembolo, namun berukuran lebih kecil. Tumbuhan gembili merambat dan rambatannya berputar ke arah kanan (searah jarum jam jika dilihat dari atas). Gembili dianggap sebagai tumbuhan berpotensi besar di masa depan. Berbagai penelitian untuk melestarikan keragaman hayati dan pengolahan umbinya (dibuat menjadi etanol atau minuman beralkohol) telah dilakukan (Anonymous, 2009c).

Gembili adalah jenis umbi yang tumbuh merambat dengan daun berwarna hijau dan batang agak berduri. Buahnya menyerupai ubi jalar dengan ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa. Berwarna coklat muda dengan kulit tipis.


(24)

Umbi gembili biasanya dimasak dengan cara direbus. Kulit gembili yang sudah direbus akan menjadi kering. Umbinya berwarna putih bersih dengan tekstur menyerupai ubi jalar dan rasa yang khas (Riawan, 2007). Berikut disajikan gambar gembili :

Gambar 2. Umbi gembili Gambar 3. Daun gembili

Gambar 4. Gembili setelah dikukus Gambar 5. Daging gembili setelah dikukus

Gembili dikonsumsi dalam bentuk gembili rebus atau bakar, meskipun dapat pula diolah menjadi berbagai kue atau kolak gembili. Gembili belum dikembangkan sebagai usaha industri rumah tangga, karena selain produksinya terbatas, pengetahuan petani dalam penganekaragaman produk gembili masih rendah (Rauf, 2009).

Gembili biasanya ditanam dalam jumlah terbatas, meskipun penduduk sangat menyukainya, hal ini disebabkan ketersediaan bibit terbatas dan umur


(25)

panennya agak lama, yaitu 7−9 bulan (Rumawas, 2004). Kandungan gizi umbi gembili dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 2. Kandungan Gizi dalam 100 g Umbi Gembili Segar

Zat Gizi Satuan Jumlah

Energi Protein Lemak Karbohidrat Serat Abu Kalsium Fosfor Besi Karoten Total Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air Kkal g g g g g mg mg mg mg SI mg mg g 131 1,1 0,2 31,3 1,1 1,0 14 56 0,6 - - 0,08 4 66,4 Sumber : Hardinsyah dan Briawan, 1994.

2.4 Metode Pengeringan Busa (Foam Mat Drying)

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air bahan yang dikandung melalui penggunaan energi tinggi. Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut dan uap air yang diambil berasal dari semua permukaan bahan tersebut (Winarno, 1993).

Metode pengeringan produk bubuk contohnya adalah freeze drying

(pengeringan beku), foam mat drying (pengeringan busa) dan spray drying

(pengeringan semprot). Cara pengeringan untuk menghasilkan bubuk yang mudah dilakukan adalah dengan menggunakan metode pengeringan busa (foam mat drying) (Kumalaningsih dkk, 2005).


(26)

Menurut Desrosier (1988), foam mat drying merupakan cara pengeringan bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok, kemudian ditebarkan diatas loyang atau wadah, lalu dikeringkan sampai larutan benar-benar kering.

Foam mat drying untuk bahan yang peka terhadap panas dan merupakan salah satu pengeringan yang digunakan terhadap senyawa yang menyebabkan lengket jika dikeringkan dengan cara lain (Andriastuti, 2003).

Foam (busa) didefinisikan sebagai suatu sistem yang terbentuk oleh dua fase, yaitu udara sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase kontinyu. Salah satu metode yang telah digunakan dan paling sering digunakan untuk membentuk foam

adalah metode pengocokan menggunakan mixer (Baniel dkk., 1997).

Menurut Karim dan Wai (1998), metode pengeringan busa diaplikasikan pada bahan pangan yang sensitif terhadap panas. Setelah dilakukan pemanasan, bahan dihancurkan menjadi bentuk bubuk.

Keuntungan pengeringan menggunakan metode foam mat drying menurut Kumalaningsih dkk., (2005) antara lain:

1. Dengan bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses

pengocokan dan pencampuran sebelum dikeringkan.

2. Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi, suhu yang digunakan sekitar 50-80°C dan dapat menghasilkan kadar air hingga 3%, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 71°C dapat menghasilkan kadar air 2%.


(27)

3. Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai kualitas warna dan rasa yang bagus, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh suhu penguapan yang tidak terlalu tinggi sehingga warna produk tidak rusak, zat aroma, dan rasa tidak banyak yang hilang.

4. Biaya lebih murah bila dibandingkan dengan proses produk siap saji lainnya sebab tidak terlalu rumit dan cepat dalam proses pengeringan sehingga energi yang dibutuhkan lebih kecil dan waktunya lebih singkat.

5. Produk bubuk yang dihasilkan lebih stabil selama proses penyimpanan sehingga umur produk lebih tahan lama.

6. Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai densitas atau kepadatan yang rendah (ringan)/porous, dengan banyak gelembung gas yang terkandung pada produk kering sehingga mudah dilarutkan dalam air.

Menurut Desrosier (1988), konsentrasi busa yang semakin banyak akan meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur busa pada bahan sehingga akan meningkatkan kecepatan pengeringan.

Andriastuti (2002), menyatakan bahwa lapisan pada pengeringan busa lebih cepat kering daripada lapisan tanpa busa pada kondisi yang sama, hal ini disebabkan cairan lebih mudah bergerak melalui struktur busa daripada melalui lapisan padat pada bahan yang sama, keuntungan lain dari metode pengeringan

foam mat drying adalah menurunkan waktu pengeringan sepertiga dari waktu yang digunakan.

Keberhasilan teknik pengeringan busa sangat ditentukan oleh ketepatan pengeringan yang dapat dilakukan dengan cara pengaturan suhu, konsentrasi


(28)

bahan pembusa, dan bahan pengisi yang tepat, oleh sebab itu dalam penelitian ini akan diteliti jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan pembusa yang tepat sehingga diperoleh karateristik inulin bubuk yang baik.

Metode foam mat drying telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain oleh Razkumar, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk buah alphonso, perlakuan terbaik diperoleh pada penggunaan bahan pembusa (foaming agent) albumin telur 10% dan metil selulosa 0,5% sebagai stabilizer.

Raharitsifa, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk jus apel dengan membandingkan 2 jenis foaming agent protein putih telur dan polisakarida metilselulosa pada waktu pengocokan yang berbeda. Perlakuan terbaik dari penelitian tersebut adalah dengan menggunakan metilselulosa 0,5% dan putih telur 2-3%. Semakin lama pengocokan hanya dapat meningkatkan stabilitas busa yang terbentuk.

Kudra dan Ratti (2006), menghitung efisiensi kebutuhan energi dan biaya pada pembuatan bubuk buah dengan metode foam mat drying, dan ternyata metode ini hanya memerlukan energi 0,2 dibandingkan pengeringan biasa dan menurunkan biaya 11% dibanding belt conveyor drying, serta menurunkan biaya 10% dibandingkan menggunakan drumdryer.

2.5 Bahan Pembusa

Bahan pembusa adalah suatu bahan tambahan yang digunakan untuk membentuk busa. Busa adalah dispersi koloid dari gelembung gas yang terperangkap dalam cairan. Untuk menghasilkan busa yang stabil diperlukan


(29)

beberapa sifat tertentu dari cairannya. Sebagai contoh cairan dengan viskositas tinggi akan memfasilitasi terperangkapnya gelembung gas.

Untuk membuat busa diperlukan bahan aktif permukaan. Bahan aktif permukaan membantu cairan menyebar mengelilingi gas, pembentukan, dan kestabilan gelembung gas. Adanya surfaktan atau stabiliser yang secara struktural akan berada pada permukaan gelembung gas juga akan menambah kestabilan busanya. Tekanan uap yang rendah dari cairannya akan menurunkan kemungkinan dari molekul-molekul cairan yang mengelilingi gelembung untuk menguap dengan mudah yang dapat menyebabkan pecahnya busa (Pomeranz, 1985).

Bahan yang berperan dalam pembuatan foaming agent (zat/bahan pembusa) adalah monogliserida atau protein kedelai yang dimodifikasi dengan metil selulose, ester-ester dari sucrose, tween 80, dan protein putih telur (Smith, 1991;Tranggono dkk., 1990).

2.5.1 Putih Telur (Albumin)

Putih telur adalah cairan kental dari protein-protein yang terdispersi secara koloidal dalam air. Cairan dapat diubah atau dikonversi menjadi busa dengan pengocokan gelembung-gelembung udara ke dalam cairan tersebut (Charley, 1982). Komponen terbesar dalam putih telur selain air adalah protein. Protein yang terdapat pada putih telur berperan dalam pembentukan buih disebut ovalbumin, ovomusin, dan ovoglobin.

Putih telur mengandung protein utama albumin yang bersifat larut air. Albumin bersifat penstabil antara air dan udara dalam sistim pangan karena struktur globularnya


(30)

dapat membentuk struktur yang kaku bila dikocok. Saat pengocokan udara masuk dan protein putih telur membentuk struktur lapisan tipis atau film di sekitar udara tersebut sehingga terbentuk busa atau foam. Berbagai uji coba menunjukkan bahwa busa terbaik terbentuk bila protein dikocok secukupnya atau tidak berlebihan. Pengocokan yang berlebihan justru merusak struktur busa (Setiawan, 2010).

Protein akan berada pada permukaan udara-air dari gelembung udara dan mengalami denaturasi (unfold) untuk mendukung struktur busa. Denaturasi lebih lanjut terjadi ketika pemanasan menyebabkan koagulasi protein sehingga menghasilkan struktur yang lebih stabil. Penambahan gula ketika pengocokan meningkatkan pembentukan busa karena sifat higroskopik dari gula yang menyimpan air. Gugus hidroksil pada struktur gula akan membentuk ikatan hidrogen dengan air. Akan tetapi gula akan memperlambat denaturasi. Oleh karenanya pengocokan harus lebih kuat agar diperoleh busa yang sama banyak (Hudayanti, 2009).

Pembusaan dapat terjadi apabila ada udara atau gas terperangkap di dalamnya. Semakin banyak udara atau gas yang terperangkap, pembusaan juga akan semakin baik dan hal ini akan ditunjukkan oleh pengembangan volume dan kekakuan tekstur putih telur (Widianarko, 2000).

Menurut Charley (1982), putih telur dengan mudah dapat membentuk busa yang bagus dengan gelembung-gelembung udara kecil oleh pengadukan atau pengocokan. Pengocokan dapat dilakukan dengan menggunakan mixer pada kecepatan maksimum selama 10 menit. Apabila pengocokan dilakukan dengan tangan maka gelembung busa yang dihasilkan lebih besar. Bennion (1980), juga


(31)

menyatakan bahwa busa dengan pengocokan kurang, mempunyai gelembung gas yang cukup besar dan kurang stabil.

Di dalam putih telur terdapat suatu zat protein yang dapat memberikan pengaruh-pengaruh negatif bagi tubuh, karena kemampuannya untuk mengikat biotin (suatu vitamin). Biotin akan terikat kuat oleh avidin sehingga tidak dapat diserap oleh usus dan akhirnya dikeluarkan bersama feses. Keracunan oleh avidin memberikan gejala dermatitis, kebotakan dan kelainan syaraf.

Dosis keracunan selain dipengaruhi oleh aktivitas avidin dalam telur (dipengaruhi oleh proses pengolahan/pemanasan) dan jumlah telur yang dikonsumsi, juga sangat dipengaruhi oleh kadar biotin dari makanan lain yang dikonsumsi, serta status biotin dalam darah. Sehingga tidak setiap orang yang mengkonsumsi telur akan menderita keracunan. Avidin dapat dihancurkan aktivitasnya dengan cara memanaskan pada suhu 18oC selama 5 menit (pada suhu yang lebih tinggi diperlukan waktu pemanasan yang lebih singkat) (Anonymous, 1990).

Salmonella adalah suatu bakteri yang dapat menimbulkan keracunan

(Salmonella food poisoning), dengan gejala-gejala seperti mual-mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan, demam, dan diare. Bakteri ini dapat mengkontaminasi telur sewaktu masih dalam indung telur ayam, tetapi yang paling sering terjadi adalah setelah telur dikeluarkan, terutama apabila kebersihan kandang dan lingkungan kurang diperhatikan.

Salmonella dapat diinaktifkan dengan pemanasan. Untuk menghindari terjadinya keracunan oleh Salmonella, Departemen Pertanian Amerika serikat


(32)

(USDA) mengharuskan melakukan pemanasan (pasteurisasi) selama 3,5 menit pada suhu 56,70oC atau 6,2 menit pada suhu 55,50oC untuk putih telur atau 6,2 menit pada suhu 60oC untuk telur utuh (campuran putih telur dan kuning telur).

Dasar pemikiran penggunaan busa putih telur adalah karena biaya lebih murah dibandingkan dengan foaming agent lainnya serta mudah untuk didapat, selain itu menurut Raharitsifa (2006), busa putih telur strukturnya lebih kuat, kapasitas busa lebih tinggi, dan rata-rata diameter gelembungnya lebih kecil daripada busa metilselulosa.

2.6 Bahan Pengisi

Bahan pengisi adalah bahan yang ditambahkan pada proses pengolahan pangan untuk melapisi komponen-komponen flavour, meningkatkan jumlah total padatan, memperbesar volume, mempercepat proses pengeringan dan mencegah kerusakan bahan akibat panas (Murtala, 1999).

Pada umumnya bahan yang bersifat hidrokoloid sering digunakan sebagai bahan pengisi karena dapat memberikan kestabilan dalam suatu emulsi, suspensi, dan buih (foam). Banyak stabilizer dan bahan pengisi berasal dari polisakarida seperti gum arab, Na-CMC, dekstrin, karagenan, agar, dan jenis pati termodifikasi lainnya (Fennema, 1985).

Bahan pengisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Na-CMC, dekstrin, dan maltodekstrin, karena mudah larut dalam air dan memiliki kekentalan yang relatif rendah dibandingkan pati (BeMiller, 1993).


(33)

2.6.1 Dekstrin

Dekstrin adalah golongan karbohidrat dengan berat molekul rendah yang dibuat dari hidrolisa pati dengan asam. Dekstrin merupakan gabungan polimer dari unit-unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dan memiliki rantai cabang α-(1,6) glikosidik (Anonymous, 2010a). Berat molekul dekstrin sebesar 50.000 Dal (Winarno, 2002)

Dalam pembuatan dekstrin rantai panjang pati mengalami pemutusan oleh enzim atau asam menjadi dekstrin dengan molekul yang lebih pendek, yaitu 6-10 unit glukosa dengan rumus molekul (C6H10O5)n. Berkurangnya panjang rantai

menyebabkan terjadinya perubahan sifat pati yang tidak larut dalam air menjadi dekstrin yang mudah larut dalam air lebih cepat terdispersi, memiliki kekentalan yang lebih rendah serta lebih stabil daripada pati (BeMiller, 1993).

Gambar 6. Gambar struktur kimia dekstrin (Anonymous, 2010a)

Dekstrin memiliki struktur molekul berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavour akan terperangkap di dalam struktur spiral helix, dengan demikian penambahan dekstrin dapat menekan kehilangan komponen volatil


(34)

selama proses pengolahan dan bersifat stabil terhadap panas dan oksidasi (Lastriningsih, 1997). Dekstrin juga berfungsi sebagai bahan pencegah pengendapan pada produk bubuk kering dan sebagai bahan pendispersi (Pulungan dkk., 2003).

Dekstrin memiliki viskositas yang relatif rendah, oleh karena itu pemakaian dekstrin dalam batas jumlah sebanyak 15 g/kg menurut permenkes RI dalam Cahyadi (2006), masih diijinkan. Pemakaian dekstrin dimaksudkan sebagai bahan pengisi (filler) menguntungkan, karena dapat meningkatkan berat produk dalam bentuk bubuk yang dihasilkan (Warsiki dkk, 1995).

2.6.2 Maltodekstrin

Maltodekstrin pada dasarnya merupakan senyawa hasil hidrolisis pati yang tidak sempurna atau disebut hidrolisis parsial yang dibuat dengan penambahan asam atau enzim (Anonymous, 2010b).

Berdasarkan struktur kimianya, maltodekstrin tersusun dari unit-unit α -D-glukosa 2-20 unit yang sebagian besar terikat melalui ikatan α-(1,4) glikosidik. Rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] (Luthana, 2008). Berat

molekul maltodekstrin sebesar 1800 Dal (Jacson and Lee, 1991).


(35)

Sifat-sifat maltodekstrin bergantung pada DE (Dextrose Equivalents) dan mempunyai DE antara 3 hingga 20. DE merupakan ukuran kuantitatif derajat hidrolisa polimer pati (Semakin tinggi nilai DE, semakin pendek rantai glukosa, semakin tinggi tingkat kemanisan dan hidrolisa pati) (DeMan, 1988). FDA (Food and Drugs Administration) mendefinisikan maltodekstrin sebagai produk yang memiliki DE kurang dari 20 dan dinyatakan aman untuk campuran bahan pangan (Anonymous, 2010c).

Maltodekstrin berbentuk bubuk kering merupakan pembentuk padatan yang baik untuk produk standard dan rendah lemak, efektif dalam pengeringan flavour, jus buah, dan produk yang sulit kering lainnya dengan menggunakan pengering semprot (Linden Guy and D.Lorient, 1999).

Hui (1992), menjelaskan bahwa maltodekstrin dapat digunakan pada makanan karena maltodekstrin memiliki sifat-sifat spesifik tertentu. Sifat-sifat ini antara lain proses dispersi yang cepat, daya larut yang tinggi, mampu membentuk film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, mampu menghambat kristalisasi, daya ikat yang baik, proses browning rendah, dan mampu membentuk ‘body’.

Firdaus (2005), menggunakan maltodekstrin sebagai bahan pengisi bubuk sari buah nangka menggunakan metode foam mat drying dengan konsentrasi 5% ; 7,5% ; 10%, dan Wardhani (2005), menggunakan konsentrasi maltodekstrin 5% ; 10% ; 15% sebagai bahan pengisi serbuk sambiloto. Perlakuan terbaik keduanya didapatkan pada perlakuan konsentrasi maltodekstrin sebesar 5%.


(36)

2.6.3 Na-CMC (Natrium Carboxymethyl Celullose)

Natrium Karboksimetil selulosa merupakan eter polimer selulosa linear dan berupa senyawa anion, tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam larutan organik (Wings, 2008).

Na-CMC (Natrium Carboxymethyl Celullose) yang banyak digunakan dalam industri makanan adalah garam Na yang dalam bentuk murninya disebut gum selulosa. Pembuatan Na-CMC ini dengan cara mereaksikan NaOH dengan selulosa murni kemudian ditambahkan Na kloroasetat, karena Na-CMC mempunyai gugus karboksil maka viskositas larutan Na-CMC dipengaruhi oleh pH larutan dan bila pH terlalu rendah (<3), Na-CMC akan mengendap (Winarno,2002).

Na-CMC merupakan makromolekul, dengan berat molekul yang sangat besar yakni lebih besar dari 17.000 Dal atau jumlah rantai (n) hingga 100. Rumus struktur kimianya adalah [C6H7O2(OH)x(OCH2COONa)y]n, jumlah rantai (n)

hingga 100, x=2 dan y=1


(37)

Batas penggunaan secara umum dari Na-CMC dalam minuman dan makanan yang berbentuk cair ataupun padatan berupa bubuk yang diijinkan oleh JECFA International adalah tidak lebih dari 2 mg/kg. Pada batas penggunaan tertentu, Na-CMC akan memberikan tekstur tertentu terhadap bahan, karena peranan natrium karboksi metil selulosa adalah sebagai pengikat air, pengental, dan stabilisator campuran (Anonymous, 2000).

Warsiki dkk (1995), menyatakan bahwa konsentrasi Na-CMC yang makin meningkat ternyata diikuti dengan peningkatan rendemen, kadar air, dan total padatan terlarut.

Winarno (1992), menyatakan bahwa proses mekanisme Na-CMC sebagai

stabilizer yaitu mula-mula Na-CMC yang membentuk garam natrium

karboksimetil selulosa akan terdispersi di dalam air, butir-butir CMC yang bersifat hidrofilik akan menyerap air. Peranan Na-CMC adalah menyelubungi partikel-partikel terdispersi.

Razkumar, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk buah alphonso, menggunakan bahan pembusa (foaming agent) albumin telur 10% dan metil selulosa 0,5% sebagai stabilizer.

Raharitsifa, et.al., (2006), pada pembuatan bubuk jus apel dengan membandingkan 2 jenis foaming agent protein putih telur dan polisakarida metilselulosa pada waktu pengocokan yang berbeda. Perlakuan terbaik dari penelitian tersebut adalah dengan menggunakan metilselulosa 0,5% dan putih telur 2-3%. Semakin lama pengocokan hanya dapat meningkatkan stabilitas busa yang terbentuk.


(38)

2.7 Analisis Keputusan

Keputusan adalah suatu kesimpulan dari suatu proses untuk memilih tindakan yang terbaik dari sejumlah alternatif yang ada. Pengambilan keputusan adalah proses yang mencakup semua pemikiran dan kegiatan yang diperlukan guna membuktikan dan memperlihatkan pilihan terbaik tersebut (Siagian, 1997).

Analisa keputusan pada dasarnya adalah suatu prosedur yang logis dan kuantitatif yang tidak hanya menerangkan mengenai pengambilan keputusan, tetapi juga merupakan suatu cara untuk membuat keputusan (Susanto dan Saneto, 1994).

Analisis keputusan adalah untuk memilih alternatif terbaik yang dilakukan antara aspek kualitas, kuantitas, dan aspek finansial dari produk yang dihasilkan dari kombinasi setiap perlakuan, kemudian ditentukan alternatif yang terbaik (Susanto dan Saneto, 1994).

2.8 Analisis Kelayakan Finansial

Tujuan dari analisis finansial adalah untuk mengetahui laba rugi dalam suatu perusahaan. Data yang diperoleh dari analisis mutu kemudian diuji dengan analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan-perlakuan terhadap produk yang dihasilkan.

Data sekunder berupa harga-harga baik bahan baku maupun produk yang dihasilkan. Analisa finansial yang dilakukan meliputi : analisis nilai uang dengan metode Break Event Point (BEP), Net Present Value (NPV), Rate of Return dengan metode Internal Rate of Return (IRR) dan Payback Periode (PP) (Susanto dan Saneto, 1994).


(39)

2.8.1 Break Event Point (BEP) (Susanto dan Saneto, 1994)

Break Event Point (BEP) atau titik impas adalah suatu keadaan tingkat produksi tertentu menyebabkan besarnya biaya produksi keseluruhan sama dengan besarnya nilai atau hasil penjualan, jadi pada keadaan tersebut perusahaan tidak mendapatkan keuntungan dan juga tidak mengalami kerugian. Perhitungan BEP dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

1) Biaya titik impas

BEP (Rp) = FC 1 – ( Vc / P )

2) Presentase titik impas

BEP (%) = BEP (Rp) x 100 %

P

3) Kapasitas titik impas

Kapasitas titik impas adalah jumlah produksi yang harus dilakukan untuk mencapai titik impas.

BEP (unit) = FC

P – Vc

Keterangan : FC = Biaya tetap

P = Pendapatan

Vc = Biaya tidak tetap

2.8.2 Net Present Value (NPV) (Susanto dan Saneto, 1994)

Net Present Value (NPV) adalah selisih antara nilai investasi saat sekarang dengan nilai penerimaan kas bersih di masa yang akan datang. Bila dalam analisa


(40)

diperoleh N > 0 berarti proyek layak dilaksanakan, dan sebaliknya bila NPV < 0 maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan.

Berikut rumus untuk menghitung NPV : n Bt - Ct

NPV =

Σ

t - 1 ( 1 + i )

Keterangan :

Bt = penerimaan pada tahun t

Ct = pengeluaran pada tahun t

t = 1, 2, 3, ..., n

n = umur ekonomis proyek

i = suku bunga bank

2.8.3 Internal Rate of Return (IRR) (Susanto dan Saneto, 1994)

Internal Rate of Return (IRR) merupakan tingkat suku bunga yang menunjukkan persamaan antara nilai jumlah investasi sekarang dengan jumlah investasi (modal) awal dari suatu proyek yang sedang dikerjakan. Dengan kata lain IRR adalah tingkat suku bunga yang akan menyebabkan NPV = 0. Bila nilai IRR suatu proyek lebih besar dari suku bunga yang berlaku, maka proyek dinyatakan layak untuk dilaksanakan. Rumus perhitungan IRR sebagai berikut : IRR = i’ + NPV” x i” - i’

NPV’ - NPV”

Keterangan :

i’ = Tingkat suku bunga sekarang


(41)

NPV’ = NPV positif hasil percobaan nilai

NPV” = NPV negatif hasil percobaan nilai

2.8.4 Gross Benefit Ratio (Gross B/C Ratio)

Gross Benefit Ratio merupakan perbandingan antara penerimaan kotor dengan biaya kotor yang telah dirupiahkan di masa sekarang atau dipresentvaluekan. Kriteria ini memberikan pedoman bahwa proyek akan dipilih apabila Gross B/C > 1, sebaliknya bila proyek mempunyai Gross B/C < 1 tidak akan dipilih.

∑ Bt t - 1 (1 + i)’

Gross B/C = n

∑ Ct t – 1 (1 + i)’

Keterangan :

Bt = Penerimaan pada tahun ke-t

Ct = Biaya pada tahun ke-t

n = Umur ekonomis proyek

i = Suku bunga bank

2.8.5 Payback Periode ( PP ) (Susanto dan Saneto, 1994)

Payback Periode merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan untuk pengembalian modal yang ditanam pada proyek, nilai tersebut berupa presentase maupun waktu (baik tahun maupun bulan). Payback Periode tersebut harus lebih kecil dari nilai ekonomis proyek. Kriteria ini memberikan nilai bahwa


(42)

proyek yang akan dipilih jika mempunyai waktu Payback Periode yang paling cepat.

Rumus Payback Periode adalah sebagai berikut : PP = I

Ab

Keterangan :

I = Jumlah modal

Ab = Penerimaan bersih

2.9 Landasan Teori

Inulin adalah komponen prebiotik, berperan dalam proses pencernaan yang memberikan efek biologis sama dengan dietary fiber (Silva, 1996). Di Indonesia, sumber inulin dapat diperoleh dari jenis uwi-uwian (Dioscorea spp.). Menurut Yuniar (2010), uwi yang memiliki kadar inulin tertinggi adalah gembili (Dioscorea esculenta) sebesar 14,629% (bk). Untuk memperpanjang masa simpan inulin serta menambah nilai ekonomis gembili, inulin dapat diproses menjadi produk kering.

Pengeringan merupakan suatu metode untuk menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut dengan bantuan energi panas. Istianah (2010), melakukan pengeringan inulin dengan menggunakan metode pengeringan oven. Produk inulin yang dihasilkan kurang remah, memiliki kenampakan kurang bagus (seperti kristal bening) dan daya larutnya rendah. Berdasarkan penelitian pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya dengan metode pengeringan oven diperoleh tekstur inulin yang keras dan lengket pada


(43)

loyang, oleh sebab itu diperlukan suatu metode pengeringan yang dapat menghasilkan inulin dengan karakteristik yang lebih baik.

Penanganan inulin dari uwi gembili dalam bentuk bubuk merupakan alternatif utama. Menurut Kumalaningsih (2005), produk bubuk adalah produk olahan pangan yang berbentuk serbuk, ukuran partikel kecil/porous, kadar air rendah, mudah dilarutkan dalam air, dan memiliki daya simpan yang lama. Salah satu metode pengeringan yang paling cocok dalam pembuatan produk bubuk inulin dari uwi gembili adalah foam mat drying.

Menurut Desrosier (1988), foam mat drying merupakan cara pengeringan bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok, kemudian ditebarkan diatas loyang atau wadah, lalu dikeringkan sampai larutan benar-benar kering.

Pada metode foam mat drying perlu ditambahkan bahan pembusa untuk mempercepat pengeringan, menurunkan kadar air, dan menghasilkan produk bubuk yang remah. Menurut Kumalaningsih dkk (2005), dengan adanya busa maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 50-80°C dapat menghasilkan kadar air 2-3%. Bubuk hasil dari metode foam mat drying

mempunyai densitas atau kepadatan yang rendah (ringan) dan bersifat remah. Menurut Koswara (2005), bahan pengisi dapat mengurangi sifat higroskopis bahan, membentuk padatan yang baik, dan memudahkan bahan larut dalam air.

Mekanisme foam mat drying adalah pemasukan udara dengan pengocokan terhadap bahan pembusa untuk membuat massa gelembung gas sehingga dapat


(44)

meningkatkan luas permukaan partikel dan memudahkan panas bergerak dalam struktur busa tersebut. Bahan pembusa yang ditambahkan berfungsi mendorong pembentukan busa, dengan adanya busa maka terbentuk gelembung gas yang terisi oleh udara, sehingga larutan yang akan dikeringkan dan bahan pengisi dapat masuk dan terikat dalam struktur busa, dengan demikian kadar air dalam partikel lebih mudah diuapkan.

Konsentrasi penambahan bahan pembusa akan mempengaruhi produk inulin bubuk yang dihasilkan. Menurut Desrosier (1988), konsentrasi busa yang semakin banyak akan meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur busa pada bahan sehingga akan meningkatkan kecepatan pengeringan dan kadar air dalam bahan menurun.

Dekstrin merupakan gabungan polimer dari unit-unit D-glukosa 6-10 unit glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) atau α-(1,6) glikosidik dengan rumus molekul (C6H10O5)n. (Anonymous, 2010). Dekstrin memiliki struktur

molekul berbentuk spiral sehingga molekul-molekul flavour akan terperangkap di dalam struktur spiral helix, dengan demikian penambahan dekstrin dapat melindungi senyawa yang peka terhadap oksidasi atau panas, karena molekul dekstrin bersifat stabil terhadap panas dan oksidasi selama pengeringan (Lastriningsih, 1997). Dekstrin juga berfungsi sebagai bahan pencegah pengendapan pada produk bubuk kering dan sebagai bahan pendispersi (Pulungan dkk., 2003).

Maltodekstrin mempunyai struktur rantai ikatan lurus, tersusun dari unit-unit α-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan α-(1,4) glikosidik


(45)

dengan jumlah unit glukosa antara 2 sampai 20 unit (Anonymous, 2010b). Rumus umum maltodekstrin adalah [(C6H10O5)nH2O)] (Luthana, 2008).

Hui (1992), menjelaskan bahwa maltodekstrin dapat digunakan pada makanan karena maltodekstrin memiliki sifat-sifat spesifik tertentu. Sifat-sifat ini antara lain proses dispersi yang cepat, daya larut yang tinggi, mampu membentuk film, memiliki sifat higroskopis yang rendah, mampu menghambat kristalisasi, daya ikat yang baik, dan proses browning rendah.

Menurut Winarno (2002), Na-CMC merupakan turunan selulosa yang digunakan secara luas oleh industri makanan untuk mendapatkan tekstur yang baik. Na-CMC merupakan makromolekul, dengan berat molekul yang sangat besar yakni lebih besar dari 17.000. Rumus struktur kimianya adalah [C6H7O2(OH)x(OCH2COONa)y]n, jumlah rantai (n) hingga 100, x=2 dan y=1

(Anonymous, 2010c).

Peranan natrium karboksi metil selulosa adalah sebagai pengikat air, pengental, dan stabilisator campuran. Mekanisme Na-CMC sebagai stabilizer

yaitu mula-mula Na-CMC yang membentuk garam natrium karboksimetil

selulosa akan terdispersi di dalam air, butir-butir Na-CMC yang bersifat hidrofilik akan menyerap air. Peranan Na-CMC adalah menyelubungi partikel-partikel terdispersi.

2.10 Hipotesis

Diduga terdapat pengaruh nyata antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap produk inulin bubuk yang dihasilkan.


(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Analisa Pangan dan Teknologi Pengolahan Pangan Jurusan Teknologi Pangan UPN ‘Veteran’ Jawa Timur. Penelitian dimulai pada bulan Februari sampai Oktober 2010.

3.2 Bahan

3.2.1 Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah umbi gembili segar yang diperoleh dari Pasar Soponyono, Rungkut, Surabaya.

3.2.2 Bahan Tambahan

Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan inulin bubuk adalah bahan pembentuk busa (foaming agent) yaitu putih telur ayam yang diperoleh dari Pasar Soponyono Surabaya. Bahan pengisi yakni dekstrin diperoleh dari toko bahan kimia di daerah Tidar Surabaya, sedangkan maltodekstrin dan Natrium Carboxymethyl Celullose (Na-CMC) diperoleh dari toko bahan kimia di daerah Rungkut, Surabaya.

3.2.3 Bahan untuk Analisa

Bahan-bahan untuk analisa yang digunakan meliputi aquades dan aquabides yang diperoleh dari apotek di daerah Rungkut Surabaya, sistein dan inulin standar diperoleh dari UGM Yogyakarta, karbazol diperoleh dari Amerika Serikat


(47)

(SIGMA-ALDRICH), sedangkan etanol dan H2SO4 diperoleh dari toko bahan

kimia di daerah Tidar Surabaya.

3.3 Alat

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan inulin bubuk adalah pisau, timbangan analitik, timbangan digital, blender, alat-alat gelas, kompor listrik, shaker waterbath, pengaduk, kain saring, sentrifuge, sendok, baskom, mixer, loyang, dan pengering kabinet.

Peralatan yang digunakan untuk analisa inulin bubuk adalah oven, timbangan digital, desikator, alat-alat gelas, kertas saring, waterbath, Spektrofotometer Spectronic 21D.

3.4 Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) menggunakan pola faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama (A) terdiri dari 3 level yakni jenis bahan pengisi dekstrin, maltodekstrin, dan Na-CMC masing-masing sebanyak 0,5% (b/b). Faktor kedua (B) adalah konsentrasi bahan pembusa dengan 5 level yakni 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10% (b/b). Sehingga diperoleh 15 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 2 kali. 3.4.1 Variabel berubah terdiri dari 2 faktor yaitu :

Faktor I = Jenis bahan pengisi (A) terdiri dari 3 level, yaitu : A1 = Dekstrin 0,5 % (b/b)

A2 = Maltodekstrin 0,5% (b/b) A3 = Na-CMC 0,5% (b/b)


(48)

Faktor II = Konsentrasi bahan pembusa (B) terdiri dari 5 level, yaitu: B1 = putih telur 2% (b/b)

B2 = putih telur 4% (b/b) B3 = putih telur 6% (b/b) B4 = putih telur 8% (b/b) B5 = putih telur 10% (b/b)

3.4.2 Variabel Tetap

a. Uwi segar = 50 gram b. Air = 1000 ml c. Suhu pemanasan = 90oC d. Waktu pemanasan = 1 jam

e. Kecepatan pengadukan = konstan f. Waktu sentrifugasi = 15 menit g. Kecepatan sentrifugasi = 1500 rpm h. Suhu presipitasi = -10oC i. Waktu presipitasi = 18 jam j. Waktu pencampuran = 5 menit k. Suhu pengeringan = 60oC l. Waktu pengeringan = 3 jam


(49)

Kombinasi dari kedua faktor di atas menghasilkan 15 kombinasi perlakuan sebagai berikut :

B

A B1 B2 B3 B4 B5

A1 A1B1 A1B2 A1B3 A1B4 A1B5 A2 A2B1 A2B2 A2B3 A2B4 A2B5 A3 A3B1 A3B2 A3B3 A3B4 A3B5

Keterangan :

A1B1 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 2% A1B2 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 4% A1B3 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 6% A1B4 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 8% A1B5 = Dekstrin 0,5% dan putih telur 10% A2B1 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 2% A2B2 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 4% A2B3 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 6% A2B4 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 8% A2B5 = Maltodekstrin 0,5% dan putih telur 10% A3B1 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 2% A3B2 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 4% A3B3 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 6% A3B4 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 8% A3B5 = Na-CMC 0,5% dan putih telur 10%


(50)

Menurut Gasperz (1991), model matematika untuk percobaan faktorial yang terdiri dari 2 faktor dengan menggunakan dasar Rancangan Acak Lengkap (RAL) adalah :

Yijk = µ + αi + βj = ( αβ )ij + Σijk

e-i Keterangan :

Yijk = Hasil pengamatan faktor A pada level ke-i, faktor B level ke-j, dan perulangan ke-k

µ = Nilai tengah umum

αi = Pengaruh faktor A pada level k

βj = Pengaruh faktor B pada level ke-j

( αβ )ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B

Σijk = Pengaruh kesalahan galat dari suatu percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi dari perlakuan ij.

i = 1, 2, 3, ..., a (level faktor a) j = 1, 2, 3, ..., b (level faktor b) k = 1, 2, 3, ..., n (banyaknya ulangan)

Data yang diperoleh selanjutnya dihitung dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA), jika diketahui adanya perbedaan diantara perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan (DMRT) pada taraf 5%.


(51)

3.5 Parameter Yang Diamati

Produk akhir (inulin bubuk) :

1. Rendemen (Sudarmadji dkk., 1997)

2. Kadar air metode pemanasan (Sudarmadji dkk., 1997) 3. Daya kelarutan (Widowati, 2005)

4. Daya serap uap air (Yuwono dan Susanto, 1998)

5. Kadar inulin dalam produk inulin bubuk dengan spektrofotometer (Kierstan, 1980)

3.6 Proses Pembuatan Inulin Bubuk :

Proses pembuatan inulin bubuk meliputi beberapa tahap sebagai berikut : 1. Sortasi dan pencucian

Pemilihan uwi yang baik berdasarkan warna daging, kesegaran, dan tekstur. Uwi yang dipilih berwarna daging putih, segar, tidak busuk, serta tekstur padat. Setelah disortasi dilakukan pencucian menggunakan air bersih untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada kulit.

2. Pengupasan dan pemotongan

Jika sudah bersih, uwi dikupas kulitnya menggunakan pisau. Kemudian dipotong kecil-kecil.

3. Penimbangan dan penghancuran

Dilakukan penimbangan uwi sebanyak 50 gram yang kemudian dilanjutkan dengan penghancuran menggunakan blender. Uwi diblender bersama air panas suhu 90oC dengan perbandingan bahan dan air yakni 1 : 20. Penghancuran dilakukan sampai menjadi cairan.


(52)

4. Pengekstraksian dan pemanasan

Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan dari suatu padatan atau cairan dengan bantuan pelarut. Prinsip kerja ekstraksi yaitu mengambil salah satu komponen dari partikel padat atau cair dengan jalan menembahkan zat pelarut tertentu yang dapat melarutkan komposisi tersebut (Geankoplis, 1997).  

Pada tahap ekstraksi ini dilakukan dengan cara uwi yang sudah diblender dimasukkan erlenmeyer dan ditutup menggunakan aluminium foil kemudian diekstraksi sekaligus dipanaskan menggunakan shakerwaterbath pada suhu 80oC selama 1 jam. Pemanasan ini bertujuan untuk melarutkan inulin yang terkandung dalam uwi (Widowati, 2005). 5. Penyaringan

Ekstrak disaring menggunakan kain saring sehingga didapatkan filtratnya (larutan ekstrak inulin). Penyaringan bertujuan untuk memisahkan antara filtrat yang mengandung inulin dengan ampas umbi (Leite et.al., 2004).

6. Presipitasi

Pengendapan (presipitasi) adalah suatu proses pemisahan diri suatu fase padat keluar dari larutan, endapannya mungkin berupa kristal atau koloid dan dapat dikeluarkan dari larutan dengan penyaringan atau pemusingan (sentrifugasi) (Vogel, 1985). Menurut Leite et.al (2004), larutan ekstrak inulin mengalami fase pemisahan ketika didinginkan atau dibekukan.


(53)

Presipitasi dilakukan dengan cara larutan ekstrak inulin dimasukkan wadah botol plastik kemudian dimasukkan dalam freezer pada suhu -10oC selama 18 jam.

7. Pencairan pada suhu ruang (thawing)

Konsentrat yang telah beku dicairkan pada suhu ruang hingga cair, hal ini bertujuan memudahkan filtrat untuk disentrifugasi.

8. Pemisahan konsentrat

Pemisahan konsentrat dari air dilakukan dengan cara disentrifugasi pada kecepatan sentrifuge 1500 rpm selama 15 menit, hingga diperoleh endapan putih yang dapat dipisahkan. Endapan putih ini merupakan inulin.

9. Pengukuran berat endapan inulin

Endapan inulin ditempatkan pada gelas arloji kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik digital untuk mengetahui beratnya.

10.Penambahan bahan pembusa dan bahan pengisi

Penambahan bahan pembusa bertujuan untuk mendorong pembentukan busa sehingga porositas produk meningkat dan mudah larut dalam air, sedangkan penambahan bahan pengisi bertujuan untuk membantu produk agar cepat larut dalam air.

Endapan inulin ditambah dengan foaming agent putih telur (kajian konsentrasi yaitu 2%, 4%, 6%, 8%, 10% b/b) dan jenis bahan pengisi yaitu dekstrin, maltodekstrin, Na-CMC masing-masing 0,5% (b/b)


(54)

kemudian dilakukan pengocokan menggunakan mixer selama 5 menit hingga tercampur merata.

11.Pengeringan

Pengeringan dilakukan dengan menggunakan pengering kabinet pada suhu 60oC selama 3 jam hingga dihasilkan inulin kering.

12.Penghancuran dan Pengayakan

Penghancuran bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel dari inulin kering hingga menjadi bubuk. Setelah dihancurkan menggunakan blender kemudian dilakukan pengayakan 80 mesh untuk memperoleh inulin bubuk.

13.Penganalisaan inulin bubuk

Produk akhir yakni inulin bubuk yang dihasilkan kemudian dianalisa kadar air, rendemen, daya kelarutan, daya serap uap air, dan kadar inulin.

Diagram alir proses pembuatan inulin bubuk dapat dilihat pada gambar 6. halaman berikut :


(55)

air panas suhu 90oC

ampas

air

Gambar 6. Diagram alir proses ekstraksi dan presipitasi inulin dari umbi gembili

menurut Widowati dkk, (2005); Toneli et.al.,(2008)

Sortasi dan pencucian Pengupasan dan pemotongan

Pengekstraksian menggunakan shaker waterbath, suhu 80oC, kecepatan pengadukan konstan, 1 jam

Pemisahan menggunakan sentrifuge 1500 rpm, 15menit

Endapan putih inulin Penimbangan bahan 50 gram

Penghancuran menggunakan blender bahan : air = 1 : 20

Penyaringan menggunakan kain saring

Pencairan dalam suhu kamar (thawing) hingga cair Filtrat inulin


(56)

Bahan pengisi : Bahan pembusa : 1. Dekstrin 0,5% putih telur

2. Maltodekstrin 0,5% 2%,4%,6%,8%,10%

3. Na-CMC 0,5% (b/b)

(b/b)

Gambar 7. Diagram alir proses pembuatan inulin bubuk dari umbi gembili Pencampuran

menggunakan mixer selama 5 menit

Pengeringan 60oC, 3 jam

Pengayakan 80 mesh Endapan putih inulin

Pengukuran berat

Penghancuran menggunakan blender

Karakterisasi inulin bubuk :

Inulin bubuk Rendemen, k.air, daya larut,

daya serap uap air, dan k.inulin.


(57)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil Analisa Inulin Bubuk dari Umbi Gembili

1. Rendemen

Berdasarkan analisis ragam rendemen (lampiran 2) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terdapat interaksi yang nyata (p<0,05). Demikian juga antara masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap rendemen inulin bubuk dari umbi gembili yang dihasilkan.

Nilai rata-rata rendemen inulin bubuk dari umbi gembili dengan perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai rata-rata rendemen inulin bubuk dengan perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur

Perlakuan Jenis Bahan Pengisi Konsentrasi Putih Telur Rendemen (%) DMRT Notasi Dekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 6,5281 6,3455 5,8618 5,7984 4,9771 - 0,2623 0,2753 0,2832 0,2884 a a b b c Maltodekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 4,1911 3,9295 3,7883 2,0455 1,6800 0,2928 0,2971 0,3006 0,3016 0,3019 d e e g g Na-CMC 2% 4% 6% 8% 10% 4,0683 3,8600 3,4112 3,3389 3,3039 0,2954 0,2989 0,3009 0,3011 0,3014 d e f f f

Keterangan : Nilai rata-rata yang disertai dengan notasi yang sama menyatakan tidak berbeda nyata

47   


(58)

Dari Tabel 3. diketahui bahwa nilai rata-rata rendemen inulin bubuk berkisar antara 1,68%-6,5281%. Kombinasi perlakuan penambahan dekstrin dan konsentrasi putih telur 2% memberikan rendemen tertinggi, sedangkan perlakuan penambahan maltodekstrin dan konsentrasi putih telur 10% memberikan rendemen terendah.

Hubungan perlakuan kombinasi antara jenis bahan pengisi dan putih telur terhadap rendemen inulin bubuk yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap rendemen inulin bubuk yang dihasilkan dari umbi gembili.

Pada Gambar 11. menunjukkan bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi putih telur dan perbedaan jenis bahan pengisi, maka pada penambahan bahan pengisi dekstrin menghasilkan rendemen tertinggi. Hal ini disebabkan kemampuan dekstrin mengikat gugus polar dari putih telur dan dispersi dengan bahan yang mengandung molekul air lebih sulit dibandingkan maltodekstrin dan Na-CMC sehingga air yang terikat pada bahan masih banyak mengakibatkan

48   


(59)

kadar air tinggi dan produk yang dihasilkan lebih berat, dengan demikian rendemen yang diperoleh juga lebih besar daripada maltodekstrin dan Na-CMC.

Menurut Suryanto dkk (2001), perbedaan kadar air pada produk bubuk juga dapat menyebabkan perbedaan rendemen, dimana semakin tinggi dekstrin, kadar air cenderung semakin tinggi.

Pada saat pengeringan, putih telur (albumin) mendorong pembentukan busa dan dalam bentuk busa partikel akan membesar sehingga sebagian air dan udara menembus masuk ke dalam partikel. Pada saat itu dekstrin yang memiliki ikatan cabang α-(1,6) glikosidik, dimana gugus hidroksil (OH) bebas lebih sedikit sehingga dekstrin kurang mampu berikatan dengan gugus polar dari albumin dan air dalam bahan, oleh sebab itu hanya sebagian air yang dapat menguap dalam struktur busa tersebut.

Dekstrin merupakan gabungan polimer dari unit-unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dan memiliki rantai cabang α-(1,6) glikosidik (Anonymous, 2010a). Menurut Winarno (2002), struktur cabang dengan ikatan α -(1,6) glikosidik memiliki sifat sukar larut dalam air.

2. Kadar Air

Berdasarkan analisis ragam kadar air (lampiran 3) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terdapat interaksi yang nyata (p<0,05). Demikian juga antara masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar air inulin bubuk dari umbi gembili yang dihasilkan.

49   


(60)

Nilai rata-rata kadar air inulin bubuk dari umbi gembili dengan perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai rata-rata kadar air inulin bubuk dengan perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur

Perlakuan Jenis Bahan Pengisi Konsentrasi putih telur Kadar Air (%) DMRT Notasi Dekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 12,7667 10,5594 10,7685 10,7383 10,2440 - 0,7996 0,7808 0,7926 0,8091 a bc bc bc c Maltodekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 11,1959 9,2939 8,8516 8,3989 6,9190 0,7454 0,8091 0,8159 0,8166 0,8173 b d d de f Na-CMC 2% 4% 6% 8% 10% 11,6118 10,9229 11,2334 10,5387 10,2254 0,7100 0,7666 0,8138 0,8044 0,8145 b bc c bc c

Keterangan : Nilai rata-rata yang disertai dengan notasi yang sama menyatakan tidak berbeda nyata

Dari Tabel 4. diketahui bahwa nilai rata-rata kadar air inulin bubuk berkisar antara 6,9190%-12,7667%. Kombinasi perlakuan penambahan dekstrin dan konsentrasi putih telur sebanyak 2% memberikan kadar air tertinggi, sedangkan perlakuan penambahan maltodekstrin dan konsentrasi putih telur sebanyak 10% memberikan kadar air terendah.

Hubungan perlakuan kombinasi antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap kadar air inulin bubuk yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 12.

50   


(61)

Gambar 12. Hubungan antara jenis bahan pengisi dengan konsentrasi putih telur terhadap kadar air inulin bubuk yang dihasilkan

Pada Gambar 12. diketahui bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi putih telur dan perbedaan jenis bahan pengisi, maka pada penambahan bahan pengisi dekstrin menghasilkan kadar air tertinggi. Hal ini disebabkan kemampuan dekstrin mengikat gugus polar dari putih telur dan dispersi dengan bahan yang mengandung molekul air lebih sulit dibandingkan maltodekstrin dan Na-CMC sehingga air yang terikat pada bahan masih banyak mengakibatkan kadar air produk yang dihasilkan lebih tinggi daripada maltodekstrin dan Na-CMC.

Dekstrin merupakan gabungan polimer dari unit-unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dan memiliki rantai cabang α-(1,6) glikosidik (Anonymous, 2010a). Menurut Winarno (2002), struktur cabang dengan ikatan α -(1,6) glikosidik memiliki sifat sukar larut dalam air.

Pada saat pengeringan, putih telur (albumin) mendorong pembentukan busa dan dalam bentuk busa partikel akan membesar sehingga sebagian air dan udara menembus masuk ke dalam partikel. Pada saat itu dekstrin yang memiliki ikatan

51   


(62)

cabang α-(1,6) glikosidik, dimana gugus hidroksil (OH) bebas lebih sedikit sehingga dekstrin kurang mampu berikatan dengan gugus polar dari albumin dan air dalam bahan, oleh sebab itu hanya sebagian air yang dapat menguap dalam struktur busa tersebut.

Menurut Desrosier (1988), konsentrasi busa yang semakin banyak akan meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur berpori pada bahan sehingga memungkinkan terjadinya pemanasan di semua bagian bahan sehingga proses penguapan air lebih cepat.

3. Daya Larut

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terdapat interaksi yang

nyata (p≤0,05). Demikian juga antara masing-masing perlakuan berpengaruh nyata

terhadap daya larut inulin bubuk dari umbi gembili yang dihasilkan.

Nilai rata-rata daya larut inulin bubuk dari umbi gembili berdasarkan perlakuan jenis bahan pengisi dapat dilihat pada Tabel 5.

52   


(63)

Tabel 5. Nilai rata-rata daya larut inulin bubuk dengan perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur

Perlakuan Jenis Bahan Pengisi Konsentrasi putih telur Daya Larut (%) DMRT Notasi Dekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 96,3656 98,6079 99,2745 99,6165 99,4544 1,2261 1,2250 1,2239 1,2137 1,2218 c b ab a a Maltodekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 99,9704 99,9306 99,9496 99,9748 100 1,150 1,889 1,1712 1,1181 - a a a a a Na-CMC 2% 4% 6% 8% 10% 99,3685 99,4650 99,8575 99,8685 99,9783 1,2229 1,2208 1,2066 1,1995 1,0651 a a a a a

Keterangan : Nilai rata-rata yang disertai dengan notasi yang sama menyatakan tidak berbeda nyata

Dari Tabel 5. diketahui bahwa nilai rata-rata daya larut inulin bubuk berkisar antara 96,3656%-100%. Kombinasi perlakuan penambahan maltodekstrin dan konsentrasi putih telur sebanyak 10% menghasilkan daya larut tertinggi, sedangkan perlakuan penambahan dekstrin dan konsentrasi putih telur sebanyak 2% menghasilkan daya larut terendah.

Hubungan perlakuan kombinasi antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap daya larut inulin bubuk yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 13.

53   


(64)

Gambar 13. Hubungan antara jenis bahan pengisi dengan konsentrasi putih telur terhadap daya larut inulin bubuk yang dihasilkan.

Pada Gambar 13. diketahui bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi putih telur dan perbedaan jenis bahan pengisi, maka kelarutan inulin bubuk pada penambahan bahan pengisi maltodekstrin menghasilkan daya larut tertinggi, sedangkan dekstrin menghasilkan daya larut terendah. Hal ini disebabkan maltodekstrin lebih mudah terdispersi dalam air karena gugus hidroksil bebas dari maltodekstrin lebih banyak dibandingkan dengan dekstrin sehingga air yang terikat juga semakin banyak.

Struktur kimia maltodekstrin merupakan rantai lurus dengan ikatan α-(1,4) glikosidik (Anonymous, 2010b) dimana gugus hidroksil (OH) bebasnya lebih banyak sehingga dapat mengikat molekul air lebih banyak. Dekstrin merupakan gabungan polimer dari unit-unit D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,4) dan memiliki cabang α-(1,6) glikosidik (Anonymous, 2010a), bentuk rantai ikatannya heliks (melingkar) karena pada ikatan α-(1,6) glikosidik gugus hidroksil

54   


(65)

bebasnya telah berikatan dengan sesama rantai monomer glukosa dari dekstrin sehingga kelarutan dekstrin lebih kecil dibandingkan maltodekstrin.

Menurut Winarno (2002), struktur lurus dengan ikatan α-(1,4) glikosidik mempunyai sifat mudah larut dalam air sedangkan ikatan α-(1,6) glikosidik merupakan struktur bercabang dengan sifat tidak mudah larut dalam air.

Kelarutan berhubungan dengan kadar air bahan, dimana semakin tinggi kadar air kelarutan cenderung semakin kecil, karena jika kadar air tinggi terbentuk gumpalan-gumpalan sehingga dibutuhkan waktu yang lama untuk memecah ikatan antar partikel dan kemampuan produk untuk larut menurun sebagai akibat total padatan yang tersaring pada kertas saring meningkat (Yunizal, J.M dkk.,1999).

4. Daya Serap Uap Air

Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terjadi interaksi yang nyata (p≤0,05) terhadap daya serap uap air inulin bubuk dari umbi gembili. Demikian juga masing-masing perlakuan berpengaruh nyata terhadap inulin bubuk dari umbi gembili yang dihasilkan.

Nilai rata-rata daya serap uap air inulin bubuk dari umbi gembili berdasarkan perlakuan jenis bahan pengisi dapat dilihat pada Tabel 6.

55   


(66)

Tabel 6. Nilai rata-rata daya serap uap air inulin bubuk dengan perlakuan jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur

Perlakuan Jenis Bahan Pengisi Konsentrasi Putih Telur DayaSerap Uap Air (%) DMRT Notasi Dekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 34,3898 42,1566 42,7198 44,0699 49,9293 3,4871 3,4841 3,4811 3,4780 3,4750 g f b f e Maltodekstrin 2% 4% 6% 8% 10% 63,0195 68,6102 72,4339 75,6522 76,7116 3,4720 3,3311 3,2707 3,0292 - d b c a a Na-CMC 2% 4% 6% 8% 10% 63,1341 65,6696 65,7341 66,5650 72,7890 3,4519 3,4317 3,4116 3,3600 3,1801 c f c c ab

Keterangan : Nilai rata-rata yang disertai dengan notasi yang sama menyatakan tidak berbeda nyata

Dari Tabel 5. diketahui bahwa nilai rata-rata serap uap air inulin bubuk berkisar antara 34,3898%-76,7116%. Kombinasi perlakuan penambahan maltodekstrin dan konsentrasi putih telur sebanyak 10% menghasilkan daya serap uap air tertinggi, sedangkan perlakuan penambahan dekstrin dan konsentrasi putih telur sebanyak 2% menghasilkan daya serap uap air terendah.

Hubungan perlakuan kombinasi antara jenis bahan pengisi dan konsentrasi putih telur terhadap daya serap uap air inulin bubuk yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 14.

56   


(67)

Gambar 14. Hubungan antara jenis bahan pengisi dengan konsentrasi putih telur terhadap daya serap uap air inulin bubuk yang dihasilkan.

Pada Gambar 14. diketahui bahwa semakin tinggi penambahan konsentrasi putih telur dan perbedaan jenis bahan pengisi, maka daya serap uap air inulin bubuk pada penambahan bahan pengisi maltodekstrin menghasilkan daya serap uap air tertinggi, sedangkan dekstrin menghasilkan daya serap uap air terendah. Hal ini disebabkan putih telur memiliki gugus polar dan gugus hidroksil bebas dari maltodekstrin lebih banyak dibandingkan dengan dekstrin sehingga kemampuan mengikat molekul air dari luar semakin tinggi.

Maltodekstrin memiliki gugus hidroksil (OH) bebas lebih banyak karena memiliki struktur lurus melalui ikatan α-(1,4) glikosidik yang bersifat mudah mengikat air sehingga daya serap terhadap uap air disekitarnya semakin besar dibandingkan dekstrin dan NaCMC. Menurut Firdaus (2003), gugus hidroksil dalam jumlah banyak dapat meningkatkan kemampuan dalam mengikat air dalam senyawa tersebut.

57   


(1)

Gambar 15. Grafik BEP produksi inulin bubuk dari umbi gembili dengan metode

foam mat drying

Keterangan :

S = Pendapatan / total penjualan

TVC = Total Production Cost (Total biaya produksi) FC = Biaya tetap


(2)

Lampiran 13. Laju Pengembalian Modal Tabel Laju Pengembalian Modal

I = 10% I = 30%

tahun Cash Flow

Df P.V (Y1) Df P.V (Y1) 1

47.616.480 0,9091 43.288.142 0,7693 36.631.358 2

74.976.009 0,8264 61.960.174 0,5917 44.363.305 3

102.335.538 0,7513 76.884.690 0,4552 46.583.137 4

107.258.697 0,6830 73.257.690 0,3501 37.551.270 5

112.181.855 0,6209 69.653.714 0,2693 30.210.574

325.044.410 195.339.643

IRR = 10% + x 30% - 10%

325.044.410 – 307.697.393 325.044.410 – 195.339.643


(3)

Lampiran 1. Prosedur Analisa

1. Penentuan Rendemen (Sudarmadji dkk, 1997) :

Rendemen ditentukan sebagai persentase perbandingan berat inulin bubuk yang diperoleh dari filtrat inulin kental Dioscorea terpilih.

Berat akhir

% Rendemen = __________________ x 100 % Berat awal

2. Penentuan Kadar Air Cara Pemanasan (Sudarmadji dkk, 1997) :

a. Ditimbang sampel yang telah berupa serbuk atau bahan yang telah dihaluskan sebanyak 2 g dalam botol yang telah diketahui beratnya.

b. Dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 3-5 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan diulang sampai mencapai berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg).

c. Pengurangan berat merupakan banyaknya air dalam bahan. d. Rumus perhitungan :

Berat awal – berat akhir

% kadar air = _____________________________ x 100 % Berat awal

3. Analisa kadar inulin dengan spektrofotometer (Kierstan, 1980; Widowati, 2005)

Pembuatan Kurva Standar

 Siapkan larutan standar inulin yang mengandung > 20 µg /ml yaitu 20 µ/ml, 40 µ/ml, 60 µ/ml, 80 µ/ml dan 100 µ/ml


(4)

 Ambil masing-masing konsentrasi sebanyak 1ml, kemudian ditambah 0,2 ml sistein 1,5% dan 6 ml H2SO4 70% campuran dikocok lalu ditambah 0,2 karbazol 0,12% dalam larutan etanol.

 Larutan dipanaskan pada suhu 60°C selama 10 menit. Setelah dingin absorbansinya diukur pada panjang gelombang 560 nm.

 Gambar Absorbasinya (pada sumbu Y) vs ( konsentrasi pada sumbu X). Pengukuran Kadar Inulin Pada Inulin Bubuk

• Inulin bubuk ditimbang sebanyak 0,1 gram • Lakukan pengenceran 100.000 kali dengan cara :

1. 0,1 gram inulin bubuk dilarutkan dalam 100 ml air

2. Dari larutan pertama, diambil 1 ml lalu diencerkan ke dalam 100 ml air  Diambil 1 ml sampel, kemudian ditempatkan dalam botol kaca kecil. • Satu ml sampel dalam botol kecil tersebut kemudian ditambahkan 0,2 ml

sistein 1,5% dan 6 ml H2SO4 70% campuran dikocok, lalu ditambah 0,2 ml karbazol 0,12% dalam larutan etanol. Kemudian dipanaskan pada suhu 60°C selam 10 menit. Setelah dingin absorbansinya diukur pada panjang gelombang 560 nm.

• Bila dalam sampel terlalu tinggi kadar inulinnya maka dapat diencerkan sampai dapat ditera absorbansinya.


(5)

4. Uji Kelarutan (Widowati, 2005) a. Sampel ditimbang sebanyak 20 g.

b. Sampel yang telah ditimbang kemudian dimasukkan dalam erlenmeyer dan ditambahkan aquades sebanyak 200 ml secara bertahap.

c. Dilakukan pengadukan secara bertahap setiap penambahan aquades 50 ml. d. Campuran dibiarkan selama 40 menit kemudian disaring beberapa kali

sampai filtrat terlihat jernih.

e. Sebanyak 20 ml filtrat dimasukkan ke cawan yang telah diketahui beratnya f. Dikeringkan dalam oven pada suhu 100oC

g. Setelah kering, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai berat tetap.

h. Kelarutan dihitung dengan rumus :

{(S x Tp) – (K2 - K1)} x 100 % Kelarutan (%) = ___________________________________

( S x Tp ) Keterangan :

S = Berat sampel (g)

Tp = Total padatan terlarut (g)

K1 = Berat kertas saring (g) sebelum digunakan menyaring K2 = Berat kertas saring (g) setelah digunakan menyaring

5. Pengujian Daya Serap Uap Air (Yuwono dan Susanto, 1998) a. Disiapkan toples kaca yang diisi air setengah dari tingginya.


(6)

b. Sampel seberat 1,5 g diikat dengan menggunakan benang jahit.

c. Sampel yang telah diikat tersebut digantung dalam toples kaca yang telah diisi air. Sampel tidak boleh kontak dengan air, kemudian toples ditutup rapat.

d. Setelah 4 jam sampel diambil dan ditimbang. e. Rumus perhitungan :

Berat akhir – berat awal

Penyerapan air = _____________________________ x 100 % Berat awal