Dioscorea alata uwi ungu sebesar 7,227 ; Dioscorea esculenta gembili sebesar 14,629 ; Dioscorea alata uwi kuning sebesar 12,528 ; Dioscorea
villosa uwi putih kulit kuning sebesar 9,164 ; Dioscorea bulbifera gembolo sebesar 11,042 ; Dioscorea rotundata uwi kuning kulit coklat sebesar
13,723 bk,
2.3.1 Gembili Dioscorea esculenta
Menurut Yuniar 2010, jenis Dioscorea yang memiliki kandungan inulin tertinggi dari beberapa varietas yang ada adalah Dioscorea esculenta gembili
sebesar 14,629 bk. Gembili Dioscorea esculenta L., suku gadung-gadungan atau
Dioscoreaceae merupakan tanaman umbi-umbian yang sekarang sudah sulit dijumpai di pasar. Penanamannya masih cukup luas di pedesaan walaupun juga
semakin terancam pembudidayaannya Anonymous, 2009. Gembili menghasilkan umbi yang dapat dimakan. Umbi biasanya direbus
dan bertekstur kenyal. Umbi gembili serupa dengan umbi gembolo, namun berukuran lebih kecil. Tumbuhan gembili merambat dan rambatannya berputar ke
arah kanan searah jarum jam jika dilihat dari atas. Gembili dianggap sebagai tumbuhan berpotensi besar di masa depan. Berbagai penelitian untuk melestarikan
keragaman hayati dan pengolahan umbinya dibuat menjadi etanol atau minuman beralkohol telah dilakukan Anonymous, 2009
c
. Gembili adalah jenis umbi yang tumbuh merambat dengan daun berwarna
hijau dan batang agak berduri. Buahnya menyerupai ubi jalar dengan ukuran sebesar kepalan tangan orang dewasa. Berwarna coklat muda dengan kulit tipis.
Umbi gembili biasanya dimasak dengan cara direbus. Kulit gembili yang sudah direbus akan menjadi kering. Umbinya berwarna putih bersih dengan tekstur
menyerupai ubi jalar dan rasa yang khas Riawan, 2007. Berikut disajikan gambar gembili :
Gambar 2. Umbi gembili Gambar 3. Daun gembili
Gambar 4. Gembili setelah dikukus Gambar 5. Daging gembili setelah dikukus
Gembili dikonsumsi dalam bentuk gembili rebus atau bakar, meskipun dapat
pula diolah menjadi berbagai kue atau kolak gembili. Gembili belum dikembangkan sebagai usaha industri rumah tangga, karena selain produksinya
terbatas, pengetahuan petani dalam penganekaragaman produk gembili masih rendah Rauf, 2009.
Gembili biasanya ditanam dalam jumlah terbatas, meskipun penduduk sangat menyukainya, hal ini disebabkan ketersediaan bibit terbatas dan umur
panennya agak lama, yaitu 7 −9 bulan Rumawas, 2004. Kandungan gizi umbi
gembili dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2. Kandungan Gizi dalam 100 g Umbi Gembili Segar
Zat Gizi Satuan
Jumlah Energi
Protein Lemak
Karbohidrat Serat
Abu Kalsium
Fosfor Besi
Karoten Total Vitamin A
Vitamin B1 Vitamin C
Air Kkal
g g
g g
g
mg mg
mg mg
SI mg
mg g
131 1,1
0,2 31,3
1,1 1,0
14 56
0,6 -
- 0,08
4 66,4
Sumber : Hardinsyah dan Briawan, 1994. 2.4 Metode Pengeringan Busa Foam Mat Drying
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air bahan yang dikandung melalui penggunaan energi tinggi.
Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap tempat dari bahan tersebut dan uap air yang diambil berasal dari semua
permukaan bahan tersebut Winarno, 1993. Metode pengeringan produk bubuk contohnya adalah freeze drying
pengeringan beku, foam mat drying pengeringan busa dan spray drying pengeringan semprot. Cara pengeringan untuk menghasilkan bubuk yang mudah
dilakukan adalah dengan menggunakan metode pengeringan busa foam mat drying Kumalaningsih dkk, 2005.
Menurut Desrosier 1988, foam mat drying merupakan cara pengeringan bahan berbentuk cair yang sebelumnya dijadikan busa terlebih dahulu dengan
menambahkan zat pembusa dengan diaduk atau dikocok, kemudian ditebarkan diatas loyang atau wadah, lalu dikeringkan sampai larutan benar-benar kering.
Foam mat drying untuk bahan yang peka terhadap panas dan merupakan salah satu pengeringan yang digunakan terhadap senyawa yang menyebabkan
lengket jika dikeringkan dengan cara lain Andriastuti, 2003. Foam busa didefinisikan sebagai suatu sistem yang terbentuk oleh dua
fase, yaitu udara sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase kontinyu. Salah satu metode yang telah digunakan dan paling sering digunakan untuk membentuk foam
adalah metode pengocokan menggunakan mixer Baniel dkk., 1997. Menurut Karim dan Wai 1998, metode pengeringan busa diaplikasikan
pada bahan pangan yang sensitif terhadap panas. Setelah dilakukan pemanasan, bahan dihancurkan menjadi bentuk bubuk.
Keuntungan pengeringan menggunakan metode foam mat drying menurut Kumalaningsih dkk., 2005 antara lain:
1. Dengan bentuk busa maka penyerapan air lebih mudah dalam proses
pengocokan dan pencampuran sebelum dikeringkan. 2.
Suhu pengeringan tidak terlalu tinggi sebab dengan adanya busa maka akan mempercepat proses penguapan air walaupun tanpa suhu yang terlalu tinggi,
suhu yang digunakan sekitar 50-80°C dan dapat menghasilkan kadar air hingga 3, produk yang dikeringkan menggunakan busa pada suhu 71°C
dapat menghasilkan kadar air 2.
3. Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai kualitas warna dan rasa
yang bagus, sebab hal tersebut dipengaruhi oleh suhu penguapan yang tidak terlalu tinggi sehingga warna produk tidak rusak, zat aroma, dan rasa tidak
banyak yang hilang. 4.
Biaya lebih murah bila dibandingkan dengan proses produk siap saji lainnya sebab tidak terlalu rumit dan cepat dalam proses pengeringan sehingga energi
yang dibutuhkan lebih kecil dan waktunya lebih singkat. 5.
Produk bubuk yang dihasilkan lebih stabil selama proses penyimpanan sehingga umur produk lebih tahan lama.
6. Bubuk hasil dari metode foam mat drying mempunyai densitas atau
kepadatan yang rendah ringanporous, dengan banyak gelembung gas yang terkandung pada produk kering sehingga mudah dilarutkan dalam air.
Menurut Desrosier 1988, konsentrasi busa yang semakin banyak akan meningkatkan luas permukaan dan memberi struktur busa pada bahan sehingga
akan meningkatkan kecepatan pengeringan. Andriastuti 2002, menyatakan bahwa lapisan pada pengeringan busa lebih
cepat kering daripada lapisan tanpa busa pada kondisi yang sama, hal ini disebabkan cairan lebih mudah bergerak melalui struktur busa daripada melalui
lapisan padat pada bahan yang sama, keuntungan lain dari metode pengeringan foam mat drying adalah menurunkan waktu pengeringan sepertiga dari waktu
yang digunakan. Keberhasilan teknik pengeringan busa sangat ditentukan oleh ketepatan
pengeringan yang dapat dilakukan dengan cara pengaturan suhu, konsentrasi
bahan pembusa, dan bahan pengisi yang tepat, oleh sebab itu dalam penelitian ini akan diteliti jenis bahan pengisi dan konsentrasi bahan pembusa yang tepat
sehingga diperoleh karateristik inulin bubuk yang baik. Metode foam mat drying telah diteliti oleh beberapa peneliti antara lain oleh
Razkumar, et.al., 2006, pada pembuatan bubuk buah alphonso, perlakuan terbaik diperoleh pada penggunaan bahan pembusa foaming agent albumin telur 10
dan metil selulosa 0,5 sebagai stabilizer. Raharitsifa, et.al., 2006, pada pembuatan bubuk jus apel dengan
membandingkan 2 jenis foaming agent protein putih telur dan polisakarida metilselulosa pada waktu pengocokan yang berbeda. Perlakuan terbaik dari
penelitian tersebut adalah dengan menggunakan metilselulosa 0,5 dan putih telur 2-3. Semakin lama pengocokan hanya dapat meningkatkan stabilitas busa
yang terbentuk. Kudra dan Ratti 2006, menghitung efisiensi kebutuhan energi dan biaya
pada pembuatan bubuk buah dengan metode foam mat drying, dan ternyata metode ini hanya memerlukan energi 0,2 dibandingkan pengeringan biasa dan
menurunkan biaya 11 dibanding belt conveyor drying, serta menurunkan biaya 10 dibandingkan menggunakan drum dryer.
2.5 Bahan Pembusa