4.2.5 Perbandingan Frame Detik.com dan Okezone.com Tabel 19.
Perbandingan frame Detik.com dan Okezone.com
Okezone.com Detik.com
Frame Malaysia sebagai negara
pencuri kebudayaan Indonesia terutama tarian
pendet. Pemberitaan negatif itu
hanya disebabkan faktor kelalaian saja dari pihak
production house PH.
Define Problems Kasus pengklaiman Tarian
Pendet merupakan kesengajaan dari Pemerintah
Malaysia serta Production House PH.
Kasus pengklaiman Tarian Pendet merupakan
kesalahpahaman saja.
Diagnose Causes Pemerintah Malaysia
dengan Production House PH tidak meminta maaf
secara langsung justru melalui surat elektronik.
Pemerintah Malaysia dan Indonesia yang harus
instrospeksi diri.
Make Moral Judgement
1. Malaysia memuat tarian
Pendet di Iklan Visit Malaysia Year 2009 yang
1. Masyarakat Indonesia
saat ini harus menjaga keaslian kebudayaan.
ditayangkan di Discovery Channel tanpa seijin
Indonesia. 2.
Sikap klaim budaya Indonesia seenaknya
yang dilakukan oleh Malaysia sudah terjadi
berulangkali. 2.
Perlindungan hukum harus diperkuat lagi.
Treatment Recommendation
Malaysia belum meminta maaf kepada Indonesia
secara resmilangsung meski sudah dilakukan melalui
surat elektronik. Indonesia dan Malaysia
telah mencapai kata kesepakatan mengenai
keaslian tarian Pendet.
Pembahasan di atas menunjukkan bagaimana peristiwa yang sama bisa dimaknai dan didefinisikan secara berbeda. Pendefinisian yang berbeda tersebut
menyebabkan peristiwa bisa berubah secara total. Jika ditarik ke dimensi yang lebih luas, yakni seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek tertentu, maka terlihat
bahwa masing-masing media memiliki frame sendiri dalam menyeleksi isu tertentu dan menonjolkannya sehingga lebih diperhatikan dan dimaknai.
Detik.com lebih memilih isu yang bernada solutif sehingga pembaca mengerti bahwa pertikaian bilateral antar negara ini seharusnya tidak terjadi.
Bentuk dukungan tersebut terlihat dari bagaimana wartawan Detik.com memilih
narasumber-narasumber yang mendukung wacana, bagaimana wartawan menulis petikan hasil wawancara dengan narasumber, bagaimana wartawan menulis
interpretasi terhadap realitas wacana itu sendiri. Termasuk juga terlihat dari bagaimana pemilihan kata untuk judul dan penambahan ilustrasi gambar untuk
melengkapi berita. Dari aspek-aspek tersebut di atas, terlihat bahwa Detik.com memilih untuk memberi penekananpenonjolan terhadap penyelesaian masalah
Internasional ini. Sementara
itu Okezone.com
memiliki frame sendiri. Okezone.com
memilih isu yang mengarah kepada pandangan bahwa ada yang salah dari Malaysia. Pemberitaan bernada minor ini seakan mengajak masyarakat Indonesia
untuk mengambil tindakan provokatif terhadap kasus klaim ini. Okezone.com mendefinisikan kasus ini sebagai masalah penting dan harus diselesaikan dengan
tuntas, lain halnya yang ditonjolkan oleh Detik.com. Bagaimanapun, budaya Indonesia wajib mendapat perlindungan hukum. Tidak seharusnya budaya yang
seharusnya dimiliki oleh tiap negara ini menjadi rebutan, karena tiap negara memiliki ciri khas masing-masing meski rumpun kita sama yaitu Melayu. Ketika
masalah ini dilihat sebagai kesengajaan dari Malaysia, aktor penyebabnya adalah Production House PH yang memproduksi iklan tersebut. Pada akhirnya, semua
ini berimbas pada bagaimana peristiwa ini direkomendasikan penyelesaiannya oleh masing-masing media. Okezone.com mengusulkan untuk menyelesaikan ini
langsung kepada masalah Internasional. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pendapat Detik.com yang mengusulkan untuk menyudahi masalah yang terus
berkembang.
Selain itu, hal yang menarik dari pemberitaan Okezone.com adalah berita berjudul “Soal Pendet, Indonesia Tunggu Malaysia Minta Maaf”. Dalam berita tersebut
dijelaskan secara gamblang tentang permohonan maaf dari Menteri Pelancongan Malaysia. Disamping itu, juga dibahas permohonan maaf oleh Production House
PH yang memproduksi iklan tersebut. Penjelasan itu ditulis dalam porsi yang cukup besar, bahkan paling besar diantara berita-berita Okezone.com tentang
kasus pengklaiman kebudayaan ini. Dan yang menarik, porsi sebesar ini sama sekali tidak mendapat tempat dalam pemberitaan Detik.com yang lebih banyak
membahas opini-opini terkait solusi tentang pemberitaan tersebut. Pembentukan frame sebagaimana di atas tentunya tak lepas dari pengaruh
ideologi masing-masing media. Ideologi media adalah dasar pemikiran yang melandasi berdirinya sebuah media, dan pada akhirnya berkaitan dengan posisi
media tersebut dalam menyikapi suatu realitas. Ideologi media terwujud dalam bentuk pandangan-pandangan, nilai-nilai, dan norma-norma tertentu yang berlaku
dan mempengaruhi sistem kerja redaksional di media tersebut. Untuk mengetahui ideologi dari suatu media dapat dilihat dengan beberapa cara, diantaranya; sejarah
berdirinya media tersebut, tagline media, profil media, dan dapat juga dilihat dari tulisan-tulisan berita yang dihasilkannya. Misal: Okezone.com berdiri pada 29
Desember 2006 oleh PT. Media Nusantara Citra Tbk MNC. Sebagai media online yang dimiliki perusahaan swasta, Okezone.com kerap kali memuat berita-
berita yang membela hak-hak kemanusiaan bahkan beberapa kali bertentangan pendapat dengan wacana pemerintah. Seperti kasus wacana hukuman mati bagi
koruptor yang sempat mengemuka beberapa waktu lalu, Okezone.com adalah
salah satu media yang menentang wacana hukuman mati tersebut dengan frame bahwa hukuman mati masih perlu dikaji lagi karena bertentangan dengan hak-hak
hidup seseorang. Benar bahwa media harus bekerja secara objektif, berimbang dan netral di
bawah kaedah-kaedah jurnalistik. Bisa jadi secara kaedah jurnalistik suatu pemberitaan sudah dikatakan benar. Tapi ternyata selalu ada celah bagi media
untuk secara halus menyisipkan ideologi dan tendensinya melalui realitas yang mereka beritakan. Atau ideologi dan tendensi tersebut secara tidak sadar hadir
dalam berita. Cara pandang media dan jurnalis Okezone.com dan Detik.com
sesungguhnya pun dipengaruhi oleh ideologi dan nilai-nilai tertentu. Okezone.com memandang pengklaiman kebudayaan tersebut harus dibawa ke
dalam masalah Internasional. Sehingga berita-beritanya kemudian cenderung provokatif terhadap kasus tersebut. Detik.com memandang perebutan budaya ini
seharusnya tidak perlu diperbesar jika ada penyelesaiannya. Pandangan tersebut tentu berdasarkan pertimbangan nilai dan ideologi tertentu. Karenanya kemudian
entah sadar atau tidak, berita-beritanya lebih mengarah kepada tindakan solutif. Berita bukanlah representasi dari realitas. Berita yang kita baca dan lihat
pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik. Pemilihan fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai pada penyuntingan merupakan proses
konstruksi yang dilakukan oleh wartawan Penempatan sumber berita yang menonjol dibandingkan dengan sumber
yang lain; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dibanding tokoh
yang lain; liputan yang hanya satu sisi dan merugikan pihak lain; tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok, tidaklah dianggap sekedar kekeliruan
yang dilakukan oleh wartawan, tetapi memang seperti itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Memang seperti itulah konstruksi wartawan terhadap
realitas yang hendak dia beritakan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil analisis atas berita-berita kasus pengklaiman kebudayaan Indonesia, yaitu tarian pendet oleh pemerintah Malaysia dengan menayangkan
tarian pendet ke dalam iklan Visit Malaysia Year 2009 yang ditampilkan oleh Discovery Channel pada pemberitaan media online yaitu Detik.com dan
Okezone.com sebagaimana dipaparkan di bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut;
Frame pada okezone.com yaitu di dalam setiap pemberitaan media ini sebagian besar mengarah kepada berita provokatif dengan tujuan agar masyarakat
Indonesia menganggap bahwa Malaysia secara sengaja menayangkan tarian pendet ke dalam iklan Visit Malaysia Year 2009 tersebut. Sedangkan pada
detik.com memuat pemberitaan yang mengarah kepada tindakan solutif dan cara penyelesaian yang tepat sehingga tidak terjadi hal yang seperti itu.
1. Problem Identification Pendefinisian Masalah. Detik.com dan
Okezone.com berbeda dalam mendefinisikan masalah. Okezone.com memandang kasus pengklaiman kebudayaan ini sebagai murni
kesengajaan dari pihak Pemerintah Malaysia. Sedangkan Detik.com memiliki pandangan lain, bahwa kasus ini adalah sebagai kesalahan pihak
104