1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konflik dan kekerasan bersenjata di berbagai belahan dunia telah melahirkan banyak korban jiwa dan pengungsian. Banyak orang yang tak
bersalah seringkali harus menanggung derita yang sulit dimengerti bahkan sampai
mengalami kematian.
Banyak orang
terpaksa mengungsi
meninggalkan kampung halaman dengan segenap luka yang meraka alami. Mereka berharap dapat menemukan kehidupan yang damai dan masa depan
yang cerah. Mereka mengungsi kemanapun, baik mengungsi di daerah yang masih berada di dalam batas negaranya atau mengungsi keluar dari batas
negaranya. Dalam proses mengungsi atau mencari tempat yang aman, damai, dan
masa depan yang lebih baik bukanlah perkara mudah, terlebih bagi mereka yang mengungsi keluar dari batas negaranya karena akan banyak resiko yang
dihadapi. Sebagian besar mereka mengungsi menggunakan kapal maka resiko tenggelam karena kapal pecah menabrak karang, tersapu ombak akan sangat
tinggi, terbalik, sampai terbakar Tribun, 03102013. Selain itu, resiko akan
ditangkap oleh pemerintah suatu negara juga sangat mungkin terjadi. Berdasarkan data United Nations High Comissioner for Refugees UNHCR
hingga 30 Juni 2014, terdapat 10.116 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar oleh UNHCR di Indonesia, dimana 6.286 orang merupakan pencari
suaka dan 3.830 orang merupakan pengungsi. Dari jumlah tersebut, terdapat
2 7.910 laki-laki dan 2.206 perempuan. Diantara pengungsi dan pencari suaka
yang terdaftar, terdapat 2.507 anak-anak dimana 798 diantaranya merupakan anak-anak tanpa pendamping. Afghanistan, Myanmar, Sri Lanka, Pakistan,
Iran, dan Irak merupakan negara-negara asal utama para pengungsi dan pencari suaka yang terdapat di Indonesia Suaka.or.id, 2014.
Sebagai negara yang bukan penandatanganan Konvensi Pengungsi tahun 1951, Indonesia tidak memberikan para pengungsi dan pencari suaka
yang berada di Indonesia hak untuk bekerja dan memperoleh bantuan sosial dan bagi mereka yang tertangkap, mereka akan di tempatkan di rumah detensi
imigrasi Harian Andalas, 2013. Sebagian kecil dari mereka memperoleh
bantuan-bantuan dari lembaga-lembaga kemanusiaan dan beberapa donasi lainnya. Dengan dana dan bantuan yang sangat terbatas, pengungsi dan
pencari suaka di Indonesia terpaksa hidup dengan bergantung pada rumah- rumah detensi.
Rumah detensi adalah unit pelaksana teknis yang menjalankan fungsi keseimbangan sebagai tempat penampungan sementara bagi orang asing yang
melanggar Undang-Undang Imigrasi yang telah direvisi pada tahun 2011 jrs.or.id. Bab III undang-undang ini menyatakan soal dimana Rumah
Detensi Imigrasi Rudenim bisa dibangun, kondisi yang menyebabkan seseorang ditempatkan dalam rumah detensi dan jangka waktu penahanan.
Dinyatakan juga di dalamnya bahwa memberikan pelayanan keimigrasian, penegakan hukum, keamanan negara dan memfasilitasi kesejahteraan
masyarakat adalah tugas pemerintah. Setiap pengungsi yang datang dan
3 melewati batas wilayah Indonesia dan tertangkap oleh pihak imigrasi, akan
ditahan dan ditampung ke rumah detensi ini. Penamaan Rumah Detensi Imigrasi pasti memiliki maksud
tertentu, menggunakan kata “rumah” bagi sebuah tempat yang mengurangi kebebasan penghuninya merupakan sebuah
paradoks. Rumah bagi sebagian besar orang adalah tempat yang aman dan menyenangkan, yang menghadirkan cinta melalui orang-orang yang kita
sayangi. Rumah menjadi perkenalan pertama kita dengan peradaban manusia serta menjadi tempat untuk bertumbuh di dalamnya. Rumah menjadi sebuah
kerinduan ketika jarak ragawi memisahkan. jrs.or.id Apakah “rumah” menjadi ideal ketika disematkan dalam sebuah
tempat yang membuat banyak orang merasa terkurung dan tidak merasakan cinta, bahkan dari mereka yang setiap hari hadir dan dekat? Rumah menjadi
konsep abstrak yang tidak relevan dengan keseharian detensi. Rumah tidak lagi bermakna dekat, melainkan jauh, baik secara ragawi maupun rohani.
“Bagi kami ini bukan rumah,” ungkap pencari suaka asal Afganistan Jrs.or.id.
Kondisi psikologis para pengungsi akan rentan dan penuh dengan tekanan. Hal ini terjadi karena pencari suaka dan pengungsi yang ditahan
selama berbulan-bulan di Rumah Detensi Imigrasi akan mengalami stress dan depresi selama penantian panjang tanpa kepastian, terkurung, dan tanpa
kontak dengan orang-orang yang dicintai. Pada masa lalu pernah terjadi depresi berat dan tindakan melukai diri sendiri Jrs.or.id.
Masalah lainnya yang dialami oleh para imigrasi yakni kapasitas yang full sehingga rentan
4 keributan. Apalagi para imigran enggan disatukan jika bukan satu negara
Tribun, 28052013 dan mulai berfikir tidak realistis. Saat ini ada 50 orang pengungsi yang tinggal di Yogyakarta telah
dibebaskan dari rudenim dan sedang menunggu penempatan di negara ketiga yang aman. Mereka di pindahkan dari rudenim ke asrama di Yogyakarta. Para
pengungsi yang ada di Yogyakarta adalah pengungsi yang sebelumnya berasal dari berbagai rudenim di wilayah Indonesia. Mereka di pindahkan di
Yogyakarta untuk menunggu diberangkatkan ke negara yang mau menerima mereka. Setelah menunggu lama dengan segela kondisi psikologis yang
dihadapi di rudenim, para pengungsi belum sepenuhnya dapat bebas namun di Yogyakarta mereka sudah diperbolehkan untuk mengakses alat elektronik
handphone, tablet, laptop,dsb dan diberikan kepercayaan untuk pergi keluar asrama. Namun, hal ini tidak mempengaruhi psikologis para pengungsi
menjadi lebih baik. Pengungsi masih menunggu waktu diberangkatan ke Negara ketiga yang tidak jelas dan semakin lama. Bahkan dalam penantian
tersebut, tak jarang ada yang ditolak ke negara ke tiga. Selain itu, adanya keinginan dari pengungsi untuk segera pergi ke negara ketiga agar segera
dapat membangun kehidupan yang baru hanya ada dalam keinginan yang belum terwujud. Hal-hal semacam itu tentu saja akan memberikan pengaruh
terhadap psikologis pengungsi. Selain itu dengan akses komunikasi yang diperoleh, mereka banyak mendapat informasi dari kelurga, sahabat, atau
berita-berita yang membuat mereka sedih, takut dan tidak dapat berbuat apa- apa dengan situasi dan kondisi yang didapat. Mereka membutuhkan bantuan
5 dan layanan yang berkaitan dengan psikologis para pengungsi. Salah satu
lembaga atau yayasan yang bergelut di bidang ini adalah JRS. Yayasan Jesuit Refugee Service JRS Indonesia adalah sebuah
lembaga kemanusiaan yang didirikan pada tanggal 14 November 1980. Lembaga kemanusiaan ini berdiri setelah melihat fenomena “manusia
p erahu” asal Vietnam yang berada di Pulau Galang. Selama 30 tahun terakhir,
JRS bersama dengan semua pihak yang peduli, menemani, melayani dan membela hak para pengungsi, baik yang ada di kamp pengungsian, di
kawasan perkotaan maupun di rumah-rumah detensi imigrasi. JRS bekerjasama dengan dengan staf dan sukarelawan yang berasal dari berbagai
latar belakang, Yayasan JRS Indonesia membuka pelayanan bagi para pengungsi mulai dari Timor Barat 1999, Maluku 2000, Aceh dan Sumatra
Utara 2001, Jawa Barat, Jawa Tengah serta pengungsi korban bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta. jrs.or.id
Sejak tahun 2009 JRS Indonesia mengambil peran untuk mendampingi para pengungsi lintas batas dan pencari suaka sesuai dengan
mandat awalnya. Yayasan JRS Indonesia mulai mendampingi para pencari suaka bangsa Rohingnya di Aceh dan Sumatra Utara. Pelayanan JRS
berkembang menjadi pendampingan bagi pencari suaka di rumah detensi imigrasi Medan 2009, pencari suaka di Cisarua 2010, komunitas
pengungsi di Sewon Bantul 2011 dan pencari suaka di rumah detensi imigrasi Surabaya 2012. Hingga saat ini, pelayanan JRS ada yang sudah
berhenti seperti detensi imigrasi Medan dan akan ada pelayanan JRS yang
6 akan dibuka seperti di Manado dan Medan. jrs.or.id
Hal mendasar dari misi JRS adalah memberikan pelayanan kemanusiaan yang menyeluruh bagi mereka yang terpaksa mengungsi. Segala
macam bantuan di dunia tidak akan mampu menggantikan kehangatan pertolongan yang dilakukan oleh seorang individu kepada sesama lain. JRS
menghargai martabat kemanusiaan para pengungsi melalui pendampingan yang dijalankan jrs.or.id.
Interaksi dan kerjasama dengan para pengungsi secara langsung dan personal inilah yang saling menguatkan baik para pengungsi maupun personil
JRS sendiri. Melalui kehadiran langsung sebagai teman bagi para pengungsi dan ikut merasakan kenyataan hidup mereka di asrama. Relawan JRS menjadi
lebih memahami cara terbaik untuk melayani dan membela mereka. Menemani merupakan suatu kondisi seseorang untuk hadir sebagai
teman. Hal ini termasuk dalam tindakan yang praktis dan efektif. Tidak jarang kehadiran sebagai teman menjadi cara memberikan perlindungan. Kehadiran
dapat menjadi sebuah tanda bahwa seseorang yang memiliki kebebasan, memilih secara sadar dan penuh keyakinan untuk menemani mereka yang
tidak memiliki kebebasan, yang tidak memiliki pilihan tentang keberadaan mereka disana, dengan sendirinya merupakan sebuah tanda, sebuah jalan
untuk menghadirkan harapan. Kualitas pelayanan yang baik menciptakan kepuasan bagi para
pengungsi. Untuk membentuk kualitas pelayanan yang baik, JRS melakukan berbagai cara untuk meningkatkan pelayanannya salah satunya adalah dengan
7 melihat kompetensi para relawan JRS. Kompetensi adalah bagian kepribadian
yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan, selain itu kompetensi
juga dapat dikatakan sebagai sesuatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja Dessler, 2004.
Kompetensi yang akan diukur dalam penelitian ini adalah kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal merupakan kemampuan individu
untuk berinteraksi secara efektif dengan orang lain De Vito, 1992. Hal ini dapat membantu proses pelayanan yang baik dan efektif sesuai dengan visi
dan misi JRS. Dengan kompetensi interpersonal yang dimiliki para relawan, diharapkan proses penemanan dan pelayanan JRS dapat memberikan
kepuasan kepada para pengungsi. Kepuasan adalah tujuan dari penemanan dan pelayanan JRS kepada
para pengungsi. Kepuasan adalah keandalan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dari sudut pandang seseorang dalam melihat
sesuatu. Harapan JRS adalah dengan hadirnya JRS ditengah para pengungsi, membuat para pengungsi dalam keadaan emosional yang menyenangkan. Hal
ini dikarenakan keadaan emosional para pengungsi biasanya cenderung negatif atau tidak menyenangkan Jrs.or.id, 2013.
Kebutuhan JRS untuk memberikan pelayanan semakin meningkat seiring bertambahnya para pengungsi, sehingga mau tidak mau mendorong
Yayasan JRS untuk meningkatkan sumber daya manusianya. Dalam proses ini, kompetensi interpersonal seseorang akan dilihat dan dibandingkan dengan
8 visi dan misi yayasan. Penyesuaian ini bertujuan agar relawan yang akan
menjadi bagian dalam tugas JRS mampu memberikan pelayanan yang baik dan memberikan kepuasan emosional kepada para pengungsi. Ungkapan
tersebut memperlihatkan bahwa kompetensi berperan dalam mencapai kepuasan. Tingkat kompetensi yang rendah dapat mengakibatkan
ketidakpuasan atau tingkat kepuasan yang rendah. Sebaliknya, tingkat kompetensi yang tinggi memberikan kepusan atau tingkat kepusan yang
tinggi bagi pengungsi. Sehingga dapat disimpulkan pertama pengungsi adalah orang yang
menunggu dibebaskan tanpa kepastian, terkurung, dan tanpa kontak dengan orang-orang yang dicintai. Hal ini mempengaruhi psikologis pengungsi
seperti penuh dengan tekanan, mengalami stress dan depresi. Disisi lain JRS merupakan lembaga kemanusiaan yang mendampingi para pengungsi lintas
batas dan pencari suaka. JRS membuat program-program pendampingan kepada pengungsi. Dalam pelaksanan program-program tersebut, JRS
membutuhkan relawan. Relawan yang dibutuhkan adalah relawan yang mampu mempunyai kompetensi untuk berinteraksi dan menjadi teman bagi
pengungsi. Kompetensi yang dirasa cocok untuk tugas tersebut adalah kompetensi interpersonal. harapannya kompetensi interpersonal yang baik
para relawan dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada pengungsi. Kemudian, dengan pelayanan yang baik ini diharapkan mampu memberikan
kepuasan kepada pengungsi. Oleh karena itu perlu, Pengungsi diminta untuk memberikan evaluasi atas program JRS yang telah berjalan selama ini.
9
B. Rumusan Masalah